Gio meninggalkan mal. Marah dan kecewa membalut seluruh hatinya. Dia ternyata salah mengira pada Veronica. Wanita itu tidak sungguh-sungguh sayang padanya. Selama ini mungkin karena dia lebih dulu mendekat, makanya Veronica membuka hati. Begitu ada yang lain datang, dia punya pilihan yang berbeda. Bisa jadi Jodi lebih menarik dan muda. Lebih bisa memahami Veronica. "It:s fine. Tidak apa-apa. Semua selesai. Aku akan fokus pada anak-anak. Mereka kebahagiaanku. Keinginan bersama yang lain, kurasa hanya sesaat. Aku pasti akan baik-baik saja." Gio memutuskan dia tidak akan menanyakan apapun tentang urusan hati pada Veronica. Setelah ini, urusan kerja sama dengan distro pun akan Gio serahkan penuh pada pegawainya, tidak perlu Gio ikut campur. "Maafkan aku, Vicky. Aku ingin menggantikan kamu dengan yang lain. Ternyata tidak ada yang seperti kamu, tulus sayang padaku." Hati Gio berbisik. Gio terus membawa kendaraannya kembali pulang. Dia akan melihat seperti apa kondisi Felipe. Dia berha
Naik ke lantai 3, duduk di sofa, tangis Veronica meledak. Dia tengkurap di atas sofa dengan kepala menelungkup pada bantal. Sedih, sangat sedih. Tidak terbayang, sebuah hubungan yang manis, pernikahan yang akan segera dia lewati, dan keluarga bahagia yang akan dia rengkuh, lenyap begitu saja. Gio mempermainkannya, sebaliknya Gio pun menilai yang sama. "Tuhan ... kenapa begini? Aku ... aku ..." Veronica bahkan tidak bisa berkata-kata. Hanya menangis dan menangis, entah berapa lama. Dalam hati dia tidak rela melepas kebahagiaan yang harusnya segera jadi bagian hidupnya. Anak-anak Gio sangat erat mengikat dirinya. Mendengar Felipe sakit, Veronica tidak bisa menunda, dia mau melihat dan merawatnya. Tetapi, saat bertemu Gio, dia hanya menjadi pengganggu. Gio kembali memakai sisi dirinya sebagai CEO dingin seperti kulkas lagi. Dia sama sekali tidak mau mendengar Veronica. Tanpa Gio sadari, justru dia yang lebih dulu menyakiti Veronica dengan diam-diam. Mengapa keadaan malah sebaliknya
"Tunggu dulu! Ini waktunya aku pergi. Adegan selanjutnya ga perlu pemain figuran, kan?" Maureen berdiri dan langsung berjalan keluar kamar. "Hee ... hee ..." Felipe terkekeh mendengar kata-kata adiknya. Maureen tidak menutup pintu, dia biarkan terbuka. "Biasanya papa ga kasih teman lawan jenis masuk kamar. Tapi kali ini terpaksa, Wuri. Soalnya aku ga boleh ngapa-ngapain. Harus bedrest," kata Felipe. "Om Gio ga akan marah? Tante Ve?" tanya Wuri. "Udah diijinkan. Ini kasus khusus," jawab Felipe. Wuri tersenyum. Masih canggung rasanya hanya berdua dengan Felipe di dalam kamar seperti itu. Felipe memandang Wuri. Semakin hari Wuri semakin berbeda. Percaya diri dan terlihat berani dengan orang lain. "Kamu cantik." Felipe spontan mengucapkan itu. Tapi dia serius. Wuri tersenyum dengan hati berdebar mendapat pujian dari Felipe dan tidak tahu harus bereaksi bagaimana. "Apa yang terasa sakit?" tanya Wuri. Dia mengalihkan situasi, tidak mau Felipe fokus dengan dirinya. "Peru
“Sekarang waktunya makan.” Maureen berkata dengan mata setengah melotot pada kakaknya. "Suapin," jawab Felipe dengan gaya dibuat-buat. "Ih, manja!" Maureen gemes rasanya dengan tingkah Felipe. "Katanya ga boleh ngapa-ngapain," ujar Felipe beralasan. "Pintar memanfaatkan suasana," Maureen menggeleng-geleng. "Biar aku yang suapin, Reen," kata Randy. "Oya, bagus. Terima kasih banyak mau membantu kakakku." Maureen minggir dan mempersilan Randy yang membantu Felipe. “Yaaa, Reen …” Felipe pura-pura kecewa. “Aku ada urusan lain. Selamat makan!” Maureen berjalan keluar kamar. Randy dan Felipe tertawa. "Kamu tega ya, sama adikmu." Randy geleng-geleng. Felipe kembali tertawa. “Dia gemesin kalau kesal. Hehehe …” ujar Felipe. Lalu dia melihat pada nampan di atas meja. "Sini, piringnya, aku makan sendiri," pinta Felipe. Randy mengambil nampan dengan piring di atasnya dan memberikannya pada Felipe. Felipe menerimanya dan dia taruh di pangkuannya. Lalu dia mulai makan. “
Gio melihat sekelilingnya. Beberapa pegawai yang pulang lambat memperhatikan dia dan Shiany. Sangat tidak bagus mereka melihat Gio dengan seorang wanita yang sedang menangis. Lebih baik Gio mengajak Shiany pergi dan mencari tempat untuk menenangkan dirinya. “Bu Shiany, kita pergi. Jangan menangis di sini,” kata Gio. “Aku bingung, Pak. Aku harus gimana.” Shiany menyahut tapi tidak membuka tangannya. “Oke. Kita pergi ke tempat yang kamu maksud,” ujar Gio dengan berat hati. “Sungguh? Pak Gio mau ikut denganku?” Shiany membuka kedua tangannya. Wajahnya basah dengan air mata. Sorotan sedih tampak di sana. “Ya, ayo.” Gio makin tidak enak beberapa orang terus memperhatikan dia dan Shiany. Gio cepat masuk ke mobil. Shiany pun beranjak, masuk ke dalam mobilnya sendiri. Di dalam mobil dia menghapus air matanya dengan tisu. Senyumnya melebar. “Berhasil. Aku tidak akan berbuat kebodohan kali ini. Lihat saja, Pak Gio, tinggal sedikit lagi kamu akan takluk sama aku,” kata Shiany dengan
Seandainya bisa, Gio ingin menghilang dan langsung muncul lagi di depan distro. Dia tidak sabar untuk bertemu Veronica dan bicara dengannya. “Jadi, Veronica minta putus setelah mendapat kiriman foto-foto dari Shiany? Lalu dia mau membuka hatinya pada Jodi karena berpikir aku hanya menipunya? Gila! Shiany ternyata benar-benar gila,” kata Gio geram. Jalanan masih lumayan padat, Gio tidak bisa meluncur dengan cepat seperti yang dia harapkan. Kesal rasanya dan perjalanan pun terasa sangat lambat. “Ayo, cepat, cepat …” ucap Gio gusar. Setelah bergelut dengan penuhnya lalu lintas, akhirnya Gio berhasil masuk ke jalanan perumahan. Beberapa menit lagi, dia akan sampai di distro. Dada Gio mulai berdetak sangat kuat. Wajah cantik Veronica mulai terpampang di pikirannya. Dia rindu, sangat rindu pada Veronica. Tapi rasa marah dan kecewa menutupi semuanya. Distro tampak cukup ramai. Padahal sudah hampir jam delapan malam. Gio tidak begitu memperhatikan yang lain. Dia memarkir mobil dan de
Gio mengurai senyum kecil di ujung bibirnya. Dia memandang Veronica dan mengangguk pelan."Ya. Sejak tahu Jodi menemuimu meskipun memang ada urusan pekerjaan, aku sudah tahu dia pasti akan mencoba mendekati kamu." Gio membuka pikiran yang sempat menyusup di kepalanya tapi tidak dia katakan pada Veronica."Alasannya?" Veronica menatap Gio lebih lekat."Jodi dikenal pengagum wanita dan suka bermain dengan mereka," jawab Gio. "Kamu cantik dan menarik. Kamu cerdas dan penuh semangat. Akan sangat mudah pria mengagumi kamu, Vero. Apalagi Jodi.""Karena itu sebenarnya Kak Gio agak berat melepas aku bekerja sama dengan Pak Jodi?" tanya Veronica lebih jauh."Boleh kamu katakan begitu," ujar Gio."Dari mana Kak Gio pikir aku tertarik dengan Pak Jodi?" Veronica masih ingin mengerti isi hati Jodi, dia bertanya lagi."Ah, kenapa kamu tanya itu?" Gio menaikkan kedua alisnya. “Hmm?” Veronica mengangkat kedua bahunya. Dia masih heran Gio bisa menduga Veronica begitu mudah beralih hati pada pria lain
"Bye, Pa! Sukses ya!!" Maureen melambai pada Gio yang sudah ada di dalam mobil. "Thank you. Kamu juga baik-baik di rumah. Hati-hati kalau pergi ke pantai." Dia siap berangkat menjemput Veronica lalu bersama meluncur ke Bandung. Maureen sebenarnya ingin sekali ikut. Tetapi karena Gio akan pergi beberapa hari, Gio tidak mengijinkan. Begitu juga dengan Felipe dan Reggy. Gio tidak mau mereka bolos sekolah karena urusannya. Gio akan melamar resmi Veronica pada orang tuanya. Gio mengajak adik satu-satunya, Marco Franciscus Hendrick, untuk ikut serta sebagai keluarga. Marco tinggal di Yogyakarta bersama keluarganya. Dia menunggu Gio menjemput, lalu lanjut ke Bandung bersama. Sementara sang ayah memperjuangkan kelancaran urusan cintanya dengan Veronica, anak-anak akan healing di pantai. Rencana camping akhirnya matang dan siap dieksekusi. Hari itu persiapan terakhir dan esok pagi-pagi mereka akan meluncur menuju pantai di Malang selatan. Reggy dan Randy bagian mengurus tenda. Maureen deng