Share

Bab 02. DTA002

Dua puluh menit berlalu. Motor Tante Ayi sudah terparkir di parkiran sebuah rumah sakit yang terletak di sudut kota. Bukan rumah sakit besar, tetapi cukup lengkap untuk fasilitasnya.

Salwa segera melepas helm, lalu meletakkan helm itu di jok motor Tante Ayi. Pikirannya masih berkecamuk dengan perasaan gelisah yang kini sedang membebat hatinya. Sampai suara Tante Ayi menyadarkannya, memaksa lamunan Salwa agar segera terlepas begitu saja.

Salwa mengangguk menanggapi. Dengan wajah pasi, Salwa mengikuti ke mana Tante Ayi mengajaknya pergi. Dia menundukkan pandangan, mengekor jalan Tante Ayi yang ada di depannya. Hingga tanpa terasa mereka sudah berada di area ruang perawatan pasien.

Dengan sekilas pandang saja Salwa bisa melihat bahwa ruangan itu diperuntukkan bagi pasien kelas menengah ke bawah. Bukan sebuah ruangan yang dipisahkan sekat-sekat kecil menggunakan kelambu, melainkan sebuah ruangan luas yang terdapat banyak sekali ranjang berjajar dengan saling berhadap-hadapan.

Keuangan yang serba kekurangan pada keluarga Salwa tak mampu menyewa ruang perawatan yang lebih menjaga privasi. Bapak Salwa dirawat di sebuah area bangsal yang dihuni oleh hampir lima belas pasien.

Di antara ranjang-ranjang yang tampak sudah berpenghuni itu, Salwa melihat ibunya sedang duduk menggunakan kursi plastik dengan ketiga adiknya berdiri mengitari. Mereka menangis sembari menatap tubuh yang sedang terpasang masker oksigen bertekanan tinggi di bagian wajah.

"Salwa, Tante ada urusan sebentar. Apakah kamu bisa sendiri?"

Salwa mengangguk seraya menyunggingkan senyum. "Terima kasih atas bantuannya, Tan." Tante Ayi segera pergi setelah mengucapkan sepatah dua patah kata perpisahan kepada Salwa.

Pandangan Salwa beralih ke dalam area bangsal itu lagi yang sebelumnya menatap punggung kepergian Tante Ayi. Dia melihat beberapa pasien dengan berbagai macam jenis penyakit sedang berkumpul di area itu. Salwa tak menghiraukannya, tujuannya hanya satu yaitu menemui keluarganya.

Salwa berjalan lurus ke depan, mengabaikan pemandangan pedih di sekelilingnya. Dia berhenti ketika berada beberapa langkah dari jarak di mana ibu dan adik-adiknya berada.

"Ibuk," panggil Salwa dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.

Dia adalah Darmini, wanita paruh baya yamg biasa bekerja sebagai buruh cuci keliling. Sosok yang dipanggil Salwa Ibu pun menoleh, bersamaan dengan ketiga adik Salwa yang sedang berdiri di samping perempuan itu. Salwa segera mengambil langkah lebar, berjalan menghampiri ibu dan juga adik-adiknya.

Mereka saling berpelukan, mengurai rasa sedih dengan membentuk satu dukungan. Beban berat dipikul bersama tanpa perlu merasa menjadi kerdil lantaran tanggungan yang teramat besar.

"Apa kata Dokter, Buk?" Salwa berkata setelah melepas pelukan dari ibunya. Matanya mematri tubuh yang kini terbaring lemah di atas ranjang perawatan dengan selimut garis-garis yang dibawa dari rumahnya menutupi sampai sebatas pinggang.

"Jantung Bapak kambuh. Tapi Dokter mengatakan Bapak masih bisa diselamatkan. Kondisinya mulai membaik setelah sebelumnya hanya bisa memejamkan mata dengan mulut ternganga. Kita berdoa sama-sama untuk kesembuhan Bapak, ya?"

"Ya, kami selalu mendoakan kesembuhan Bapak," jawab Salwa dengan mengangguk.

Salwa menoleh ke arah ketiga adiknya yang berdiri di samping ibunya. Ada Ahsan, Alfatih, dan si bungsu Azlina.

Ahsan masih duduk di kelas tiga SMP, sedangkan Alfatih kelas satu SMP. Azlina si bungsu masih kelas dua SD. Hati Salwa kembali gulana ketika menyadari bahwa ketiga adiknya sangat membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidup serta pendidikan mereka.

Mata Salwa beralih menatap Darmini. Sosok wanita hebat yang mendampingi ayahnya di waktu susah, membesarkannya juga adik-adiknya dengan penuh sayang juga kelembutan. Tak pernah sekalipun Salwa mendengar keluhan yang keluar dari bibir kehitaman wanita itu. Ibunya begitu sabar dan ikhlas menjalani kekurangan dan kesulitan perekonomian juga keterbatasan keluarganya.

"Kalian sudah makan?" tanya Salwa kepada ketiga adiknya. Mereka menggeleng secara bersamaan sambil menunjukkan mimik muka lesu.

Sesak kembali mencekik, menghimpit di dada. Salwa tak kuasa menahan haru di hatinya. Perih di perut dia tahan. Segera diraihnya tas punggung yang sedari tadi dikenakannya untuk mengambil kue yang dia dapatkan dari sekolah. Ya, Salwa mendapatkan sekotak kue pada acara pelepasan siswa di sekolahnya tadi pagi. Dia ingin memakannya, tetapi dia teringat akan adik-adiknya yang mungkin menyukai kue-kue yang ada di kotak berwarna putih itu.

"Makanlah! Jangan berebut!" ucap Salwa setelah mengulurkan kotak kue itu kepada adik-adiknya.

Ahsan, Alfatih, dan Azlina segera membuka kotak kue itu secara bersamaan. Ada empat kue di dalam kotak itu dan kesemuanya adalah kue basah. Ada kue lemper, pukis, kroket kentang, dan yang terakhir puding yang diletakkan di cup bening kecil.

Mungkin, hanya melahap satu buah kue dengan ukuran kecil itu tak membuat perut mereka kenyang, tetapi setidaknya mampu mengganjal rasa lapar yang sedari tadi mereka rasakan.

Salwa termenung dengan pandangan kosong. Dia tidak bisa melihat keluarganya terus seperti ini, serba kekurangan dan sering menahan rasa lapar. Dia sebagai anak sulung merasa tidak berguna. Seharusnya dia tidak mementingkan diri sendiri dengan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Sebaiknya dia segera mencari pekerjaan untuk mengurangi beban sang Ibu. Dia tidak boleh egois. Ketiga adik-adiknya harus memiliki masa depan cerah, bukan masa depan suram yang tak patut hanya untuk dibayangkan.

Sampai ketika suara lirih Ahsan terdengar, membuat lamunan Salwa segera tertarik ke permukaan.

"Mbak Salwa, ini masih sisa satu."

Dia mengerjapkan matanya sekali, lalu menoleh ke arah Ahsan yang kini tengah mengulurkan cup bening berisi puding. Salwa menatap cup puding itu dengan perasaan ingin, tetapi segera ditepisnya rasa itu. "Kamu tidak lapar?" Dia memilih bertanya kepada Ahsan.

Ahsan kembali mengawasi puding di tangannya, tetapi buru-buru dia menggeleng. "Aku sudah kenyang, Mbak. Mbak Salwa pasti sudah sangat lapar, kan?"

Salwa tersenyum kemudian. Dia menangkap raut tidak rela di wajah Ahsan, tetapi melihat ketulusan dari adik pertamanya membuat Salwa mengambil makanan itu juga. "Terima kasih."

Tepat ketika Salwa menyendokkan puding itu dengan sendok kecil, dia memandang Darmini. Urung sendok itu mendarat ke mulutnya. Dia memilih menyuapi ibunya dengan puding tersebut.

"Ibu juga belum makan, 'kan? Kita makan puding ini sama-sama," ucap Salwa seraya mengangsurkan sendok yang berisi potongan puding ke mulut ibunya.

Darmini menerimanya. Mata tua berkaca-kaca melihat kerukunan anak-anaknya. Dia sangat bersyukur memiliki anak-anak yang baik dan penurut. Keluarganya memang tidak memiliki banyak harta, tetapi kasih sayang antar keluarga sangat kuat dan itu membuat keluarga mereka selalu merasa bahagia di tengah kesulitan yang tengah mereka alami.

***

"Usir dia! Aku tidak mau melihatnya bekerja di sini lagi."

Sean Arthur menyalakan pemantik, menyulutkan api di ujung rokok yang telah diapit di sela bibirnya. Dia mengesah kasar, lalu merebahkan tubuhnya ke sofa panjang yang ada di balkon kamar.

Pria berdarah Kanada itu menatap bangunan area belakang penthouse yang dia tempati, menyesap rokok, lalu mengembuskan kepulan asap dari dalam mulutnya.

"Kau pikir mudah mencari pelayan?" Leon yang merupakan adik angkat sekaligus tangan kanan Sean Arthur di perusahaan legalnya tampak berdecak setelah tragedi pemecatan asisten rumah tangga yang dipekerjakan Sean Arthur di penthouse milik lelaki itu.

Dalam sebulan ini, dia harus mencari asisten rumah tangga sebanyak sepuluh kali, karena Sean Arthur selalu saja menemukan ketidakcocokan dengan hasil pekerjaan mereka. Terkadang mereka sendiri yang tiba-tiba mengajukan pengunduran diri atau bahkan kabur di tengah tugas. Entah apa yang membuat semua pelayan yang telah menginjakkan kaki ke penthouse Sean Arthur tidak bertahan lama, seolah-olah ada hal yang membuat mereka ketakutan, terintimidasi, dan penuh teror.

Sean hanya menatap Leon dengan wajah dingin yang sama, lalu menyesap pipa nikotin itu tanpa menanggapi ucapan adik angkatnya. Dia mengalihkan perhatiannya pada sebuah map yang tergeletak di atas meja kecil di sisi kiri sofa yang dia duduki. Lelaki itu membacanya sekilas, menghempaskannya kemudian.

"Setiap pelayan yang kau dapatkan selalu tidak becus bekerja. Mereka semua tidak berguna."

Leon mengayunkan langkah mendekati Sean, berdiri tepat di depan lelaki itu. "Lupakan tentang pelayan. Nona Natasya menawarkan diri untuk menemanimu akhir pekan. Apakah kau bersedia?"

Lelaki berusia tiga puluh dua tahun itu menggeleng, dia merasa bosan dengan perempuan bernama Natasya. Sepertinya dia harus mengganti teman kencannya kali ini, karena waktu untuk Natasya sudah lebih dari cukup. "Carikan yang lain. Aku sudah bosan dengannya."

Hal kedua yang tidak disukai Leon dari seorang Sean Arthur adalah cepat bosan dengan wanita yang sama. Padahal Natasha baru dikencaninya selama dua pekan ini, sedangkan di pekan ketiga dia harus mencari alasan agar perempuan bernama Natasha itu tidak merengek untuk bisa bertemu Sean Arthur lagi.

"Aku melihat wanita Jepang yang menjadi model iklan produk sampo XX. Aku ingin dia untuk dua pekan mendatang." Sean menengadah ke arah Leon seraya berkata, "Kau mengerti?"

"Ya, dia akan datang sesuai keinginanmu."

"Berkas-berkas ini ...." Dia mengedikkan dagu ke arah map yang baru saja dibaca isinya. "Revisi semua! Aku ingin ide yang fresh, bukan yang seperti ini."

Leon segera mengambil berkas yang Sean maksudkan. Membuka isinya sekilas, Leon memeriksa sejenak apa yang membuat Sean tidak menyukai idenya. Dia mengesah kemudian, mengembuskan napas kasar. Sean benar-benar tipe pria perfectionist.

Dia mengangguk setelah memahami, melangkahkan kaki untuk segera pergi dari hadapan Sean Arthur. Namun, tepat ketika dirinya berada di bibir pintu kaca, lelaki berdarah Chinese itu menoleh, seraya menanyakan sesuatu. "Sejak kapan kau tertarik dengan wanita Asia?"

"Apakah kau memerlukan jawaban itu?"

Mengabaikan pertanyaan Leon, Sean Arthur justru melemparnya dengan pertanyaan.

Bagi seorang Sean Arthur, wanita dipandang sebelah mata, dianggap seonggok tubuh yang hanya berguna ketika dia sedang ingin menuntaskan hasrat biologisnya. Tidak ada yang spesial dari mereka karena dengan kuasa yang dimilikinya, tak ada seorang wanita pun yang mau menolak dan menampik pesonanya.

Perempuan-perempuan kelas atas akan dengan sabar mengantre untuk mendapatkan jatah berkencan dengannya. Bahkan karier mereka akan semakin cemerlang ketika memperkenalkan diri sebagai wanita seorang Sean Arthur.

Selama ini, wanita kelas atas yang sempat berkencan dengan Sean Arthur adalah dari kalangan model papan atas berkebangsaan Eropa atau Amerika. Sean tak pernah sekalipun memutuskan untuk berkencan dengan seorang wanita Asia. Dia memiliki sudut pandang berbeda terhadap wanita. Menurutnya, wanita barat tentu lebih berkelas daripada wanita Asia. Hingga detik ini, permintaan aneh yang keluar dari bibir lelaki itu membuat Leon sedikit tertarik.

“Karena permintaanmu, tidak biasa.”

“Jadi, apakah aku perlu membuang waktuku untuk menjelaskannya kepadamu?”

Leon terkekeh, dia menggeleng kemudian. "Ah, tidak. Itu semua terserah kepadamu. Aku hanya penasaran, apakah memang seleramu sudah berubah atau kau sengaja mengubah sudut pandangmu terhadap wanita Asia? Tapi kau tak perlu menjawabnya."

Dan sebelum kakinya melangkah lagi, dia menangkap suara Sean Arthur menjawab pertanyaannya. "Aku hanya tertarik, tidak lebih," ucap Sean sembari menyesap batang rokok itu kembali.

Leon tersenyum menanggapi. Sudah terbiasa mendengar kata Sean Arthur mengenai kesannya terhadap wanita.

“Kau tidak perlu mencemaskannya, karena dia akan datang sesuai dengan keinginanmu."

Leon segera melangkah pergi setelah mengucapkan hal itu. Membiarkan Sean Arthur menikmati waktu bersantainya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status