Reviano menatap layar ponsel berisikan teks dari orang tuanya yang menanyakan kapan dia akan pulang. Sejenak dia memandang karyawan yang sedang rapat bersama di ruang meeting. Dia memasukan kembali ponsel itu dan melirik ke arah Via yang sedang menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga.
Mata Sean tidak bisa lepas memandangi wajah rupawan Via yang menunduk membaca laporan, tetapi logikanya menang selangkah hingga dia lega dapat memalingkan wajah.
Sedikit berdehem, Sean mengumpulkan perhatian; “Sampai dimana kita tadi?”
“Laporan rating dan review hotel kita di platform booking room, Pak. Saya rasa ….”
Rapat kembali berlanjut, tetapi mata Sean tidak bisa menjeda pandang dari Via yang menjelaskan tentang laporan review Hotel Luna Star yang sedikit menurun dari bulan sebelumnya.
Di tengah sesi Sean mendapati Via yang melamun. Agar terlihat profesioanl tidak pilih kasih, Sean pun menegur.
“Via?” panggil Sean saat gadis itu mulai hilang fokus. “Viania Harper!” panggilnya lagi. Hingga paggilan ke tiga, gadis itu tetap tidak mengangkat wajah membuat Sean sedikit khawatir. Dengan wajah tenang seperti biasa, Sean memanggil Via terakhir kali karena dia tidak nyaman ketika mulai terdengar suara berbisik dari sekitar. “Via!”
Gadis itu tersentak, jelas terkaget karena tidak mendengarkan. Dia tertunduk malu, yang membuat Sean merasa sedikit bersalah.
“Via, dari tadi aku memanggilmu. Apa kau sakit?”
“Sejak tadi siang saya merasa kurang enak badan,” jawab gadis itu terlihat segan dan melanjutkan, “Maaf, sudah mengganggu konsentrasi Anda.”
Dengan keberadaan Via saja sudah cukup membuat Sean hilang konsentrasi, tetapi tentu dia tidak akan menjawab demikian.
“Tidak-tidak, jika memang sudah tidak kuat mengikuti rapat kamu bisa beristirahat.”
“Seperti sebelum-sebelumnya, mintalah izin jika merasa kurang sehat sebelum rapat dimulai.” Kini dia merasa khawatir walau Via berkata sebaliknya. Ekor mata Sean terus mengawasi Via yang tetap mengikuti rapat sembari dia membuka dokumen yang baru dijelaskan tadi. “Kembali ke rapat, aku ingin kita meningkatkan pelayanan Luna Star dan ….”
…………………………………………………………
Daren baru saja masuk ke dalam ruang kerja Sean di Luna Star. Sahabatnya itu mendekat sembari membawa tumpukan dokumen.
“Aku mendengar dari bibi kau akan pulang ke Blueberry Hill,” ujar Daren begitu menaruh tumpukan dokumen ke atas meja.
Sean terlihat enggan menjelaskan, namun pada akhirnya dia mengangguk saja.
“Ibu memintaku untuk pulang,” katanya. “Aku hanya sebentar di Blueberry, setelahnya aku akan ke Michigan untuk menyelesaikan proyek yang ayah beri dua tahun lalu.”
Wajah Daren tampak tertarik untuk ikut bergabung.
“Aku juga ingin ikut serta.”
Satu tatapan tajam dari Sean mampu membungkam mulut Daren yang tidak ada rem.
“Kau pikir aku mau mengerjakan proyek itu? Luna Star saja masih butuh bimbingan, ayah malah ingin membangun hotel baru di Michigan. Sudah kujelaskan untuk menunda dulu sampai Luna Star stabil, dia menolak mentah-mentah. Benar-benar keras kepala,” sungut Sean sembari membaca dokumen yang dibawa Daren satu per satu.
“Bukannya itu proyek taman bermain?” Kini Daren dibuat bingung dengan perubahan rencana. “Sejak kapan berubah menjadi hotel?”
Sean menutup dokumen yang dia baca dan menatap Daren kembali.
“Sejak Nicko Anderson mengumumkan akan membangun taman bermain tidak jauh dari lokasi taman bermain yang ayah rencanakan.”
Kali ini Sean tidak bisa menutupi rasa kesalnya. Wajah tenangnya yang biasa berubah keruh.
“Ya ampun, kau bisa membangun di tempat yang baru.”
“Tidak semudah itu, melakukan riset ulang hanya akan menambah biaya saja. Ditambah lagi aku tidak ingin berurusan dengan mafia.”
Mengingat bahwa Nicko Anderson bagian dari mafia Italia tentu bukanlah hal mudah, dan Sean tahu konsekuensinya bila berhadapan dengan orang-orang seperti mereka.
“Aku lapar, ayo kita makan keluar,” rengek Daren yang membuat Sean sakit kepala.
Sean meletak kembali dokumen yang nyaris dia tanda tangani, namun mengingat Daren yang rewel lebih menyebalkan dibanding menyelesaikan tumpukan dokumen itu, maka dia memutuskan untuk makan siang sebelum waktunya.
…………………………………………………….
“Kemana kau membawaku?” tanya Sean begitu mereka tiba di dekat pusat perbelanjaan.
“Toko roti favoritku, beberapa waktu lalu kau memakasa untuk diajak ke sini. Apa kau lupa?”
Mendengar kata toko roti, Sean pun keluar lebih dulu, membuat Daren terkekeh. Dia tidak mengerti mengapa sahabatnya suka sekali mengunjungi setiap toko roti di kota itu.
Lebih dulu Sean sampai di dalam toko tersebut, dia memerhatikan sekitar dengan seksama, layaknya tim penilai yang memerhatikan tiap detail bangunan.
“Hey, kita ke sini untuk membeli bukan menyelediki lubang di setiap dinding,” bisik Daren saat mereka dipelototi pria penjaga etalase.
Seakan tidak peduli, Sean mengedikan bahu sembari melanjutkan penilaian semula. Dia bahkan memerhatikan dengan rinci setiap menu yang dipajang. Melemparkan banyak pertanyaan tentang bahan dasar kue-kue di sana, membuat Daren merasa tidak enak hati dengan si penjaga.
“Kau mau beli atau sedang merancang bisnis baru?” Bagi Daren pertanyaan terakhir lebih masuk akal.
“Menurutmu berapa persentase keberhasilan bisnis toko roti sebesar ini?” tanya Sean tiba-tiba, Daren hendak menjawab saat Sean menjawab sendiri pertanyaan barusan. “Kurasa cukup menguntungkan dengan eksposur yang tepat. Lagi pula, dia juga tidak peduli dagangannya laku atau tidak.”
Kali ini Daren yang dibuat bingung.
“Siapa?”
Sean mengibas tangan ke udara, mengabaikan pertanyaan barusan lalu tanpa dosa memesan banyak kue yang terpajang di etalase. Nyaris keseluruhan sebagai sampel.
“Bilang saja kau tidak mau bercerita, jangan mengibaskan tanganmu dengan tidak sopan,” dengus Daren sembari memukul tangan Sean yang masih di udara.
Dengan tersenyum puas, Sean menatap Daren sembari menenteng belanjaan.
“Beritahu aku bila kau temukan toko yang baru,” katanya sambil berlalu meninggalkan Daren yang belum memesan apa pun.
……………………………………………………
Satu per satu Sean membalas pesan dari ibunya. Dia mengabari kapan akan tiba di Blueberry Hill.
Saat hendak keluar ruangan, ponselnya berbunyi. Dia mengira ibunya memanggil, tanpa melihat caller Id, Sean mengangkat panggilan tersebut.
“Halo,” sapanya.
“Halo, Sean. Ini aku Eve. Aku dengar dari bibi kau akan pulang, kenapa tidak mengabari?” tanya Evelyn dengan suara manja seperti biasa.
Sean tertawa mendengarnya dan mengurungkan niat keluar dari ruangan.
“Maaf, kupikir kau sangat sibuk. Dua hari lagi aku akan pulang, kita bertemu di sana saja. Saat ini aku sangat sibuk Eve,” jelas Sean tidak ingin membuat bawahannya menunggu di ruang rapat. Dia melihat arloji yang menunjukan jadwal rapat segera dimulai. “Akan kuhubungi bila ada waktu,” tawar Sean yang disambut Evelyn dengan tidak terima.
“Apa tidak bisa menyuruh mereka menunggu? Rasanya lama sekali kita tidak berbicara,” sungut gadis itu dari seberang.
“Tidak bisa, Eve. Hargai waktu mereka, aku tidak bisa seenaknya membatalkan rapat hanya karena kau ingin berbicara.” Walau terdengar kasar, tetapi Sean tidak ingin Evelyn menjadi terbiasa.
Dari nada suara gadis itu, Sean dapat mendengarnya saat cemberut.
“Baiklah-baiklah CEO yang pengertian. Telepon aku saat kau ada waktu.”
Sean tertawa mendengar kelakar tersebut. Dia menyetujui sebelum akhirnya memutus sambungan.
Baru saja Sean membuka pintu saat sekretaris pribadinya tiba-tiba memanggil dengan suara ceria yang membuat Sean mengernyitkan dahi.
“Pak, ada paket yang baru saja datang!” seru wanita itu sembari berlari-lari kecil dengan sepatu hak tinggi yang membuat bising saat berbentur lantai.
Wajah Sean berubah sumringah ketika dia ingat cincin berlian pesanannya yang tiba hari ini. Tangannya cepat mengambil paket tersebut dari genggaman Altha yang terulur.
“Terima kasih,” ujarnya dengan senyum merekah sempurna, tanpa sadar membuat wanita di hadapannya terperangah dengan mata membulat.
Tidak sabar, Sean pun membuka kotak tersebut dan melihat cincin berlian yang dia design sendiri telah berwujud. Begitu elegan persis seperti yang dia bayangkan, bahkan jauh lebih sempurna dari gambar yang dia lukis. Langkahnya begitu ringan ketika menuju ruang rapat, sekali pun senyum tidak pudar mengukir wajah Sean yang rupawan hanya karena sebuah cincin dalam saku celana.
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,