Wajah wanita di hadapannya tak banyak berubah, lebih cantik dari terakhir kali Aksa bertemu. Pipi merah alami, dengan bibir tipis yang dibubuhi lipstik berwarna pucat. Tetapi bukannya aneh, wajah ayu di hadapannya semakin indah dipandang. Malam ini, Aksa membawa Savira makan malam. Di sebuah hotel berbintang pusat kota Jakarta. Sebenarnya, Aksa ingin membawa Savi ke restaurant Jepang, tapi wanita itu menolak dengan alasan bosan.
Mereka berakhir di sebuah rooftop hotel yang menampilkan lampu kelap kelip kota Jakarta dari ketinggian. Ditemani angin yang berhembus menerbangkan anakan rambut Savi yang tak masuk ke dalam gelungan kecil di belakang kepalanya. Wanita itu tampil cantik dengan dress off shoulder yang elegan berwarna hitam. "Kamu sama sekali tidak terlihat berubah, Sav," ucap Aksa, sambil menarik kursi dan mempersilahkan Savi duduk. Terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru menyelesaikan studi kedokteran umum, setelah proses internship yang cukup memakan waktu dan tenaga. Acara makan malam dijadikan sebagai penutup yang manis sebuah perjuangan melelahkan, sebelum melanjutkan perjalanan yang masih panjang di depan mereka. "Tambah cantik malahan," puji Aksa. Mata hazel laki-laki itu seakan berbicara banyak hal, mengamati wajah cantik wanita di hadapannya dengan lesung pipi yang manis. Aksa bahkan tak berkedip menikmati salah satu keindahan yang diciptakan Tuhan. Sejak dulu, Aksa tidak pernah gagal mengagumi sosok Savira. "Basi tau, Sa." "Serius, aku nggak bohong, Sav. Kamu tambah cantik, dan aku kangen ... banget." Jari Savi bergerak menutup mata Aksa, sedikit mendorong agar laki-laki itu tak menatapnya sedemikian intens. Mata wanita itu berkedip natural, merasa canggung mendominasi acara makan malam mereka berdua saat ini. "Selama kita berada di tempat yang berbeda aja, kamu jarang banget ngehubungin aku." Savi melarikan kecanggungan pada sendok dan garpu di piringnya yang masih berisi. Mencoba mengalihkan kegugupan dengan menusuk brokoli hijau yang dimasak setengah matang. Semua makanan di meja ini sama sekali tidak menarik perhatian Savi, karena isi kepalanya terfokus pada pertemuan pertamanya bersama Aksa setelah sekian lama mereka terpisah. Meskipun dekat, tetapi karena kesibukan aktivitas keduanya membuat mereka tak lagi sering berbagi kabar. Hanya sesekali, lalu berubah menjadi tak ada lagi. Makan malam kali ini tentu terasa spesial untuk keduanya. "Aku hanya tidak ingin mengganggu belajarmu. Waktu kita juga berbeda." Savi menurunkan kedua ujung bibirnya ke bawah. "Jawaban yang pas. Mmm, by the way, how's life? Selama tidak ada aku di sampingmu." "Coba nilai sendiri, apa aku baik?" Aksa membuka kedua tangannya, mempersilahkan Savi mendetail keseluruhan dirinya. Laki-laki itu tidak berhenti menggoda, membuat Savira tak hentinya tersipu malu. "Saa, please." "Please, apa? Tanpa memohon, aku akan selalu berusaha menuruti apa yang kamu mau." "Sumpah, nggak pantes banget kamu ngomong manis seperti ini." "Kenapa tidak?" Senyum laki-laki itu lepas, gurat kebahagiaan yang sudah lama tak pernah menyapa ketika tidak ada Savira di sekitarnya. "Kamu harus mulai terbiasa." "Kenapa harus?" "Ck, jangan pura-pura tidak tahu. Om Gibran sudah ngomong, kan?" Aksa mencoba membuka sebuah topik pembicaraan yang sengaja ia bawa. Setelah berhasil meyakinkan papanya untuk menjodohkan dirinya dan Savira, malam ini, Aksa mencoba menggali kemungkinan yang ada. Setidaknya, dia tidak perlu effort berlebihan untuk meluruskan niatnya itu, dengan perjodohan, Savi tidak akan punya alasan untuk menolak. "Kamu mau mengikuti rencana konyol kedua orangtua kita?" tanya Savi. Matanya memicing ragu, menunggu jawaban Aksa dengan mata berbinar. Apa yang ia tunggu? "Kenapa tidak? Tidak ada yang salah dengan rencana itu." Karena aku sendiri yang memutuskannya. "Hanya kamu wanita yang bisa menemani laki-laki rusak sepertiku, Sav." "Kamu tidak rusak, Aksaa." "I'am. Kamu tahu gimana rusaknya aku, Sav. Dan kamu tahu, betapa aku butuh kamu," jawab Aksa, manik matanya redup tanpa cahaya. Menyusup pelan, Aksa mendapatkan apa yang ia inginkan. Menggenggam jemari di hadapannya lembut, menariknya mendekat. Aksa mengisi kekosongan di dalamnya, menahan genggaman tangan keduanya di atas meja. Satu alisnya ia tarik tinggi, dengan seutas senyum yang paksa ia ciptakan. "Kamu wanita yang paling mengerti semua kekacauan di isi kepalaku." "Hanya karena itu?" "Yaa, karena itu." Ada gurat wajah kecewa, entah apa jawaban yang Savira tungggu. Wanita itu memalingkan muka, melihat ke arah piano di sudut panggung yang sedang dimainkan. Ia membiarkan tangannya digenggam, tetapi belum tentu dengan hatinya. Alunan musik instrumental dari seorang musisi perempuan yang cukup terkenal. Savira membiarkan hatinya yang sepi dipenuhi dengan ragam musik indah yang mengisi kekosongan di hati. "Bagaimana hubunganmu dengan Om Asad?" tanya wanita itu tiba-tiba. Kali ini, perhatian keduanya kembali terpusat. Mendengar pertanyaan itu, genggaman tangan di jari Savira mengendur. Hubungan yang tak cukup baik sejak tragedi buruk terjadi, sesuatu yang Aksa dipaksa menyimpannya seorang diri. "Tidak ada yang berubah." “Kenangan buruk di masa lalu masih mempengaruhimu?" Aksa melepaskan genggaman tangan keduanya, membuat jarak dengan menyudutkan duduknya ke kursi yang ia duduki. Gerakan tubuhnya tak nyaman, beberapa kali laki-laki itu merubah posisi. "Aku tidak tahu, dan ... sedang tidak ingin membahas hal itu," jawab Aksa setelah sekian lama menyimpan suara. Suara alunan musik piano dibiarkan mendominasi, keduanya seakan sedang memberi waktu masing-masing. "Aku hanya ingin membahas tentang kita. Minggu ini, ada acara nggak?" "Mmmm, ada nggak yaaa?" goda Savira. "Ck, ada doong, masa buat sahabat sendiri ... eh untuk calon suami nggak ada waktu sih?" Aksa berpura-pura kesal, lalu kembali tersenyum senang ketika Savira terlihat malu-malu. "Mau ke mana?" "Nonton, nge-mall, atau apapun itu yang dulu sering kita lakukan waktu bolos sekolah. Aku pengen ngerasain waktu-waktu kita masih remaja, waktu kita belum merasakan pusingnya menghafal anatomi tubuh manusia." "Boleh, boleh ... aku mau." Keduanya kembali tenggelam dalam perbincangan yang hangat, Savira banyak bercerita tentang kehidupannya ketika di Jepang, sedangkan Aksa juga menceritakan kesepiannya ketika ditinggal Savira. Obrolan hidup, sebelum tiba-tiba, mata Aksa menemukan pemandangan yang membuat nadinya nyaris berhenti. Dia ada di sana, laki-laki itu duduk menatap ke arah yang sama. "Aku ke toilet dulu," ucap Aksa permisi. Laki-laki itu berjalan menuju toilet terdekat yang ada di dekat pintu masuk restaurant. Melewati lorong yang sepi, dalam derap langkah yang berpacu dengan nadi. Berdiri menatap pantulan dirinya sendiri di depan kaca, Aksa mengunci pandangan ke arah pintu di balik tubuhnya. Menetralkan perasaan kacau di dalam dada yang meletup, dengan nafas tersengal menahan amarah. Saat Aksa menemukan sosok yang ia tunggu, matanya langsung terpejam. Ia menikmati rasa sakit yang kembali datang. Kenapa harus, dia menemukan papanya bersama istri keduanya di restaurant ini? Kenapa harus, Aksa yang tahu dan menyimpannya seorang diri hanya agar keluarganya terlihat utuh? "Maaf, Papa tidak tahu kamu ada di sini." Laki-laki itu mendekat, berdiri tepat di belakang tubuhnya. Mata keduanya bertaut di kaca toilet, saling mengunci dalam ikatan yang samar. Aksa membiarkan permintaan maaf papanya memuai dengan sendirinya, berubah menjadi omong kosong yang tak pernah terbukti kebenarannya. Jika permintaan maaf itu tulus, seharusnya papanya melepaskan wanita itu saat Aksa memergoki keduanya di apartement milik keluarga Al-Fayaadh, bukannya justru menikahi wanita itu? Dan beranak pinak di belakang mamanya. "Ini tidak sengaja, Aksa." Geraman rendah yang syarat akan pengertian. Tapi tentu saja, tidak semudah itu Aksa dipaksa paham. "Alasan apa lagi yang Papa buat untuk bisa bersama wanita itu?" "Papaa ... " Tangan laki-laki itu mengudara, kepalanya menciptakan jawaban yang mungkin baru saja ia rangkai untuk memastikan semuanya baik-baik saja. "Mamamu tidak bertanya." Aksa memutar tubuh, bergerak mendekat menarik kerah kemeja laki-laki tua yang masih saja terlihat tampan di usianya yang tak lagi muda. Aksa menatap nyalang pada pahatan yang sama persis dengan miliknya. Aksa adalah duplikasi Asad, semuanya sama, dan Aksa tidak suka dengan fakta itu. "Sampai kapan Papa bohong sama Mama? Sampai kapan Papa membohongi kami semua?!" Suara itu terdengar frustasi, tanpa berniat menurunkan nada bicara ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua. Tangan Tuan Asad menarik tangan Aksa dari kerah kemejanya, lalu membenahi bagian kemejanya yang terlihat kusut karena ulah anak laki-lakinnya. "Sejak kecil, Papa selalu menuruti apa mau-mu. Mungkin sampai sekarang, Papa selalu mengabulkan apapun permintaanmu." Berlagak tenang, meskipun suara jantung Aksa bergenderang, berlomba memompa darah ke seluruh tubuhnya yang kaku. Kilatan bayangan papanya yang sedang bercinta dengan wanita yang tak lain adalah seketarisnya, dalam posisi yang sama sekali tidak berkelas. Aksa melihat dengan kepalanya sendiri, bagaimana bejadnya papa di belakang mamanya. Sapuan di pundak Aksa menegangkan seluruh syaraf di nadinya. Terasa lembut meskipun mengancam. "Seperti sekarang, Papa mengabulkan permintaanmu untuk dijodohkan dengan Savi. Papa sudah melakukannya, dan sekarang tugasmu adalah tetap diam. Bukankah, seperti itu caranya bekerja sama?" Aksa menampik tangan Asad yang ada di pundaknya, sekuat tenaga menetralkan rasa kacau di dadanya, tapi gagal. Aksa marah, tetapi tidak tahu kemana ia melampiaskannya. Laki-laki itu pergi meninggalkan papanya tanpa pamit. Seperti malam-malam sebelumnya, Aksa melepaskan kemarahannya dengan alkohol. Setelah mengantar Savi pulang dalam suasana hati yang kacau. Aksa menenggak sebanyak-banyaknya, mengisi tenggorokan dengan rasa pahit dan panas yang menyakitkan. Ia butuh rasa sakit yang lebih besar dari rasa sakit di hatinya saat ini. "Level alkohol lo semakin kuat, Sa! Semakin gacor aja lo." "Gue sedang kacau." "Ck, Aksa, Aksa. Bener ya kata orang, ketampanan dan kekayaan orang itu tidak menjamin kebahagiaan." Aksa tak menjawab, masih menikmati rasa pengar di tenggorokannya. Ia memejamkan kedua matanya, bersandar di sofa yang malam ini ia sewa. Beberapa kali ia menghabiskan malamnya di tempat ini. Dia tidak punya kekasih, tidak ada orang yang menunggunya di rumah. Aksa adalah laki-laki bebas, tidak terikat. Dia bebas pergi kemana pun tempat yang ia inginkan. Bagas sahabatnya, datang membawa dua teman wanitanya. Laki-laki itu tidak berniat menawarkan, karena Bagas tahu, Aksa sama sekali tidak berminat dengan wanita di club malam. Pernah laki-laki itu mengira Aksa mengalami gangguan orientasi seksual, karena sama sekali tidak pernah terlihat dekat dengan wanita. Tetapi ketika pada suatu malam ia mengantar laki-laki itu ke sebuah tempat kos wanita, Bagas membuang jauh-jauh pikiran itu. Sahabatnya masih normal. "Kenapa lagi, siih. Ayolah, menikmati hidup, seneng-seneng, Kawaan." Bagas menarik satu wanita yang ada di lengan kanannya, mencium bibir wanita itu di hadapan Aksa tanpa malu. Sedang Aksa hanya menanggapi dengan tersenyum aneh, sama sekali tidak terlihat tertarik dengan pemandangan di hadapannya. "Gue nggak suka asal main wanita. Kita dokter, tau bagaimana bermain aman." "Ck, sama cewek lo yang di kos itu?" "Dia bukan cewek guee." "Maksud lo?" Aksa menegakan tubuh, duduk dengan kedua tangan bertumpu di paha. Satu tangannya bergerak mengambil satu batang rokok di meja, menghidupkan api di ujungnya. Menyesapnya dalam, lalu melepaskan asap rokok mengepul ke udara. "Dia bukan cewek gue, dia ... apa ya? Lacur gue, mungkin." "Bangsad! Serius lo?" Aksa memberikan senyuman simpul sebagai jawaban, kembali menyenderkan tubuhnya ke sofa dengan tatapan jauh ke atas. Larasati, seketarisnya yang butuh uang, dan Aksa hanya menawarkan bantuan. Tidak ada yang menarik dari wanita itu, hanya karena Lara saja yang ada, dan tak cukup ribet kehidupannya. Anggap saja, Lara itu hanya sebatas selingan, ketika dia bosan menunggu Savira datang. Karena satu-satunya wanita yang ia inginkan untuk dijadikan pendamping hanyalah Savira Andini, bukan yang lain.Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal