Selama empat tahun bekerja belum pernah Angeline sesibuk ini. Ada saja yang diperintahkan Nathan kepadanya, mulai dari mengambil dokumen di departemen lain hingga mengambilkan stelan jas di tempat laundry. Angeline tidak akan heran jika suatu hari nanti Nathan akan menyuruhnya mengepel lantai.
Yah, ternyata jobdesc sekretaris dan asisten pribadi memang berbeda. "Angel, kamu pegang ini." Nathan memberikan sebuah kartu tebal berwarna hitam. Angeline mengambil dan mengamatinya. Tidak banyak keterangan yang tertulis di kartu, hanya tertera nomor lantai dan nama gedung. "Untuk apa ini, Pak?" tanya Angeline. "Sebagai asisten pribadi sewaktu-waktu saya akan meminta kamu naik ke penthouse. Lift dan pintu hanya dapat dibuka dengan kartu ini." Nathan bicara tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya. "Oke. Masih ada yang lain?" Angeline menggenggam kartu itu. "Tidak ada. Kamu boleh kembali." Angeline pun keluar dari ruangan Presiden Direktur. Untuk meredakan ketegangan dia mampir ke meja Cindy. "Hai, sudah nggak ada kesibukan?" tanya Cindy dengan senyum manis di wajah. "Baru saja selesai merapikan meja. Mau nafas sebentar," ujar Angeline. "Ya, silakan. Tapi hati-hati saja. Pak Nathan bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi di gedung ini." "Oh ya? Kamera tersembunyi?" Angeline mengernyit. Cindy mengangkat bahu, "Di beberapa tempat." "Bos paranoid," celetuk Angeline. Cindy tertawa kecil, "Namanya juga bos. Dimaklumi saja lah. Untuk saat ini tempat teraman adalah toilet wanita." "Iya sih, sebenarnya nggak masalah, asal nggak sampai mengganggu privasi." Baru saja Cindy hendak bicara telepon di mejanya berdering. Wanita itu melirik Angeline dan menjawab panggilan. Dari mimik wajahnya bisa ditebak kalau yang menelepon adalah Nathan. Agar tidak mempersulit Cindy, Angeline berjalan kembali ke ruangannya. Pukul lima sore terjadi pergerakan massal di gedung kantor ini. Semua orang meninggalkan ruangan masing-masing untuk pulang. Angeline pun bersiap untuk pergi. Sayangnya pintu penghubung ruangan terbuka, menampakkan sosok Nathan dengan segala keangkuhan dan auranya yang dominan. "Angeline, kita bicara sebentar," perintah Nathan. "Ya, Pak," keluh Angeline. Tampaknya sulit untuk lolos dari mulut harimau. "Bagaimana hari pertamamu?" Nathan memimpin jalan ke ruangannya. "Masih baik," jawab Angeline yang bertanya-tanya apa maksud dan tujuan Nathan. "Karena kita akan sering bersama sebaiknya tidak ada ganjalan yang menghalangi," ucap Nathan. "Iya, Pak." "Apa ada ganjalan di hatimu?" Nathan berjalan mendekat. Angeline mengernyit, "Mungkin sedikit, mengenai yang terjadi tadi pagi." Nathan tersenyum, "Tidak nyaman melihatnya?" "Tentu saja. Saya bukan penyuka exhibisionis," tukas Angeline. "Kamu harus membiasakan diri dengan saya, Angeline. Mungkin akan ada yang berikutnya," kata Nathan dengan suara rendah menggoda. "Saya akan pura-pura tidak melihat," ujar Angeline sambil menahan rasa muak. "Bagus." Nathan mengangkat tangan ke arah Angeline untuk melihat reaksinya. Tidak disangka wanita yang terlihat lembut itu akan menepis begitu cepat. "Sorry, saya tidak nyaman disentuh oleh lawan jenis," kata Angeline dingin. "Kamu tidak punya pacar?" Diam-diam Nathan mengukur kemampuan Angeline dari sentuhan singkat tadi. Sepertinya wanita ini memiliki kemampuan tersembunyi. "Saya berhak untuk tidak menjawab pertanyaan tentang kehidupan pribadi," jawab Angeline. Jantungnya berdebar kencang mengantisipasi apa yang akan terjadi selanjutnya. "Fair enough. Kamu bisa beladiri?" Angeline tidak menjawab. Nathan bertaruh. Dia kembali mengulurkan tangan untuk menyentuh Angeline. Lagi-lagi wanita itu menepis dengan akurat. Kali ini Nathan terus maju. Tangan kanan ditepis, tangan kiri menyusul menjangkau Angeline. Bukan hanya menepis, Angeline juga mengeluarkan pukulan yang ditangkis sempurna oleh Nathan. "Cukup, Pak." Angeline mengernyit. "Tidak salah saya memilihmu menjadi asisten pribadi." Nathan tersenyum lebar. "Saya kembali—" "Angel, saya belum menyuruhmu pergi," potong Nathan. "Ada apa lagi, Pak?" Angeline menjaga jarak, tapi lelaki itu berjalan ke meja. "Hubungi nomor ini. Katakan saya membutuhkannya besok siang." Nathan mengambil sebuah kartu nama berwarna merah muda dan memberikannya pada Angeline. Mata Angeline membulat membaca nama yang tertera di kartu nama, sebuah nama yang dikenal sebagai penyedia escort. Dia protes, "Kenapa saya yang harus menghubungi mereka? Anda 'kan bisa sendiri?" "Untuk apa saya menggajimu?" Nathan tersenyum lebar. "Untuk bekerja di kantor sesuai jobdesc saya, bukan mewakili Anda memesan wanita panggilan!" Suara Angeline meninggi. "Kenapa keberatan? Kamu tinggal bicara atas nama saya, bukan? Itu masih termasuk dalam jobdesc kamu sebagai asisten pribadi. Apa kamu cemburu?" goda Nathan. Pertanyaan itu seolah menampar wajah Angeline, bolak-balik. Wajahnya memucat karena marah. Tanpa sadar tangannya meremas kartu nama merah muda itu. "Saya berhak menolak." Dengan ketenangan luar biasa Angeline meletakkan kartu nama yang telah kusut di atas meja. Nathan merasa senang karena berhasil membuat asisten pribadinya emosi. Senang sekali melihat wajah manis itu menahan marah, membuatnya terlihat menggemaskan. "Kamu tahu apa konsekuensi menolak perintah langsung dari atasan?" pancing Nathan. "Apa?" tantang Angeline. "Bekerja satu bulan tanpa gaji." Angeline memicingkan mata, berpikir apakah perlawanannya sepadan dengan konsekuensi yang mengancam di depan mata. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Jika saja dia bertemu dengan Nathan di tengah jalan bukan sebagai bosnya, bisa dipastikan dia akan memukul wajah lelaki itu sekuat tenaga. "Bagaimana?" Nathan tersenyum begitu jahat sehingga dapat membuat setan iri. Untuk beberapa saat keduanya saling adu tatap. Nathan cukup terkesan dengan keberanian Angeline menantangnya. Terlihat jelas wanita ini keras hati, keras kepala, dan entah apa lagi. Dia sedang bertaruh, apakah Angeline akan menyerah atau terus melawan. Perlahan Angeline meraih kartu nama yang tergeletak di meja, "Ada pesan khusus, Pak?" "Katakan saja yang seperti biasa." "Saya telepon di meja Cindy." Tanpa menunggu respon Nathan, Angeline bergegas keluar. "Satu kosong," gumam Nathan. Setelah melaksanakan perintah bosnya yang cukup gila, Angeline duduk sejenak di meja Cindy untuk menenangkan diri. Karena sudah lewat jam kantor semua orang sudah pulang. Suasana begitu sepi. "Pak, pekerjaan sudah beres, saya pulang dulu." Angeline yang sudah tenang menghadap Nathan. "Hmm ...." Nathan sedang mengetik sesuatu di laptop. "Sampai besok, Pak." Angeline hendak beranjak. "Buatkan saya kopi," ucap Nathan. "Sekarang?" "Bukan. Besok. Ya tentu sekarang. Kamu sedang terburu-buru?" tukas Nathan. Sambil menggerutu dalam hati Angeline pun ke pantry untuk membuatkan secangkir kopi. Timbul niatnya memasukkan garam sebagai ganti gula, tapi memikirkan resikonya Angeline membatalkan niat tersebut. "Kopinya, Pak." Angeline meletakkan secangkir kopi di meja. "Thanks." "Saya boleh pulang?" tanya Angeline. Nathan mengangkat wajah, "Seharusnya kamu tidak pulang sebelum saya selesai, tapi karena ini hari pertama kamu boleh pulang." "Oke. Sampai besok, Pak." Angeline segera angkat kaki sebelum bosnya yang sedikit gila dan reseh menahan lagi. Emosi terpendam yang disebabkan oleh perilaku Nathan dilampiaskan Angeline di gym tempatnya rutin berlatih kickboxing. Setiap pukulan dan tendangan dilakukan sepenuh tenaga. "Hei, lagi emosi dengan siapa?" tanya Yoga, pacar Angeline selama tiga bulan terakhir. "Jobdesc baru, bikin capek," sahut Angeline. Enggan menceritakan tentang keanehan bos barunya kepada Yoga. "Oh, sudah dapat pekerjaan baru? Bagus lah, jadi kamu nggak usah pusing mikir cocok apa nggak sama bos baru," ujar Yoga. Angeline meringis. Seandainya Yoga tahu. "Ya sudahlah. Jangan dipikirin lagi. Lebih baik mikirin aku." Yoga tersenyum manis. Senyuman itu melenyapkan sebagian beban hati Angeline, "Iya deh. Aku pikirin kamu saja." Sejauh ini Yoga adalah pacar yang baik di mata Angeline. Lelaki berkulit gelap itu tidak pernah berbuat kurang ajar. Hubungan mereka pun sebatas berciuman tanpa bersentuhan melewati batas. Angeline nyaman berada di dekat Yoga, demikian pula sebaliknya. "Mau langsung pulang?" tanya Yoga. "Iya. Aku mau istirahat lebih cepat supaya besok pagi nggak ngantuk. Asisten pribadi harus datang lebih pagi dari bos." Angeline telah selesai berkemas. Tas besarnya tersampir di bahu. "Oke. Let's go." Yoga menggandeng tangan kekasihnya ke tempat memarkir motor di depan gym. "Sorry ya, tiga bulan ini masa percobaan, jadi mungkin setiap hari aku bakal langsung pulang," ucap Angeline. "Nggak apa-apa. Masih ada weekend untuk kita." Yoga membelai rambut Angeline, menyisipkan helaian-helaian yang nakal ke belakang telinga. "Thanks." Angeline tersenyum lebar. Luput dari perhatian mereka, seseorang mengamati dari dalam mobil yang diparkir di seberang gym. Lelaki yang duduk di belakang kemudi itu menyeringai melihat interaksi antara Angeline dan Yoga."Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar