Keesokan pagi di gedung Wayne Group ...
Sesuai kebiasaannya sebagai seorang sekretaris Angeline datang lebih pagi dan mempersiapkan mental untuk menghadapi hari. Tidak disangka Nathan tiba bersamaan dengan dirinya. Mereka berdua pun masuk di lift yang sama, lift khusus bagi sang Presdir. "Selamat pagi, Pak," sapa Angeline seformal mungkin. "Hmm ...." Mendadak Nathan menekan tombol menghentikan lift di tengah jalan. Dia berbalik menghadap Angeline dengan wajah tanpa ekspresi. Jantung Angeline berdebar keras, dia tidak yakin dapat menjatuhkan seorang lelaki tinggi besar seperti Nathan dalam ruang tertutup yang kecil. Tanpa berbicara Nathan mendekat. Spontan Angeline mundur sampai punggungnya menyentuh dinding lift. Nathan tidak berhenti. Tangannya hendak menjangkau wanita yang terpojok itu. "Mau apa, Pak?" Angeline menepis tangan Nathan. "Semalam saya melihatmu bersama lelaki. Pacarmu?" Nathan semakin mendekat. Perbedaan tinggi badan membuat Angeline harus mendongak untuk menatap Nathan. Bagaimana tidak? Tinggi Angeline hanya mencapai hidung lelaki itu, dan dia memakai sepatu hak setinggi lima sentimeter. "Anda mengikuti saya?" Angeline mengernyit. Rasa tidak suka di hatinya semakin besar. "Kebetulan lewat. Apakah dia pacar yang baik?" Nathan tersenyum. "Bukan urusan Anda, Pak." Angeline mengepalkan tangan, bersiap untuk hal yang terburuk, berkelahi di dalam lift. Nathan mengangkat tangan untuk menyentuh rambut di sisi wajah Angeline, tapi wanita itu tidak tinggal diam. Dia menepis tangan Nathan. Kali ini Nathan pun tidak tinggal diam. Tangannya mencekal pergelangan tangan Angeline dan menahannya di dinding lift. Angeline terkejut dan melayangkan pukulan dengan tangan yang bebas. Nathan menangkis. "Jangan kurang ajar, Pak. Saya bukan wanita yang bisa dipermainkan," desis Angeline. "Saya tahu." Nathan menunduk. Angeline mengangkat lutut dengan tenaga yang tidak kecil. Sayangnya Nathan mengantisipasi, dia menahan lutut wanita itu dan menangkap pergelangan tangannya yang bebas. Kini kedua tangan Angeline tertahan di atas kepala. "Sekarang apa yang bisa kamu lakukan?" tantang Nathan. Angeline sedikit pusing karena kehangatan tubuh Nathan menyerbunya. Cengkeraman lelaki itu sangat kuat, usaha Angeline untuk melepaskan diri sia-sia. "Lepaskan! Ini pelecehan!" pekik Angeline yang berharap seseorang mendengar suaranya. "Bukan. Ini usaha pendekatan, Angeline." Nathan menatap dalam. "A—apa? Pendekatan?" Angeline terbelalak. "Percaya tidak? Saya akan merebutmu dari pacar palsumu," kata Nathan penuh percaya diri. Kemarahan Angeline meningkat. Dia meronta semakin kuat hingga lift bergoyang. Saat Nathan lengah karena merasa terlalu percaya diri wanita dalam cengkeramannya tidak akan bisa melepaskan diri, Angeline menggunakan kepala untuk diadu dengan wajahnya. Sontak Nathan mengaduh kesakitan. Cengkeraman mengendur dan Angeline berhasil melepaskan diri. Dia cepat-cepat menyerang untuk melumpuhkan Nathan, namun lelaki itu juga bukan orang biasa. Dia membungkuk dan menangkap pinggang Angeline. Kedua kaki Angeline terangkat dari lantai. Nathan memanggulnya di bahu! "Benar-benar ...." Nathan mengusap wajahnya dengan punggung tangan. "Turunkan aku!! Brengsek!!" Angeline meronta. Nathan menulikan telinga. Dia menekan tombol dan lift kembali bergerak menuju lantai empat puluh. Pintu lift terbuka dan Nathan berjalan santai menuju ruangannya dengan wanita yang meronta-ronta di bahu. Cindy ternganga melihat adegan itu. "Tahan semua telepon, bilang saya sedang meeting. Dan jangan ada yang masuk kemari," perintah Nathan. "Baik, Pak," sahut Cindy. "Lepasin! Sialan!" Angeline terus meronta. Nathan masuk ke ruangan, mengunci pintu, kemudian menjatuhkan Angeline di sofa. Begitu tubuhnya menyentuh sofa Angeline segera melompat bangun. Dia menjaga jarak aman dari Nathan. "Kamu tahu kenapa saya tertarik padamu?" Nathan tersenyum. "Bukan urusanku!" Angeline menatap marah. Belum pernah dia merasa malu seperti ini, dipanggul secara paksa oleh bosnya. "Kamu wanita pertama yang tidak menunjukkan ketertarikan padaku." Nathan membuka kancing manset dan menggulung lengan baju, menampakkan tato tribal yang melingkari lengan kiri. "Heh! Sebesar apa egomu? Memangnya mukamu seganteng apa sampai mengira semua wanita akan menyukaimu? Kamu gila??" Mata Angeline melirik tato tersebut. "Saya suka tantangan, Angel. Untuk saat ini kamu tantangan terbesarku." Nathan melangkah maju. "Jangan mendekat!" Angeline mundur. "Atau apa?" Nathan tersenyum senang. Perburuan ini membuat dirinya bersemangat. Dia sudah memikirkan berbagai macam cara untuk membuat Angeline meneriakkan namanya. "Ini hari terakhirmu bisa berjalan!" "Oh ya? Saya mau lihat bagaimana kamu melakukannya, Cantik." Nathan melompat maju untuk menangkap wanita di hadapannya. Angeline terkesiap, tapi dia sudah siap. Kakinya bergeser memutar ke samping dan tangan Nathan lewat begitu saja di depannya. Sekuat tenaga Angeline menendang. Nathan menangkis sekaligus menangkap kaki kanan Angeline. Tidak akan menyerah begitu saja, Angeline melompat melayangkan kaki kiri ke kepala Nathan. Tendangan ditangkis dan mereka berdua terjatuh ke lantai. "Sial," maki Nathan saat Angeline berhasil melepaskan diri. Perkelahian yang tidak seimbang terus berlanjut. Tempo serangan pun begitu cepat. Angeline menyadari perbedaan tenaga mereka. Dia harus berusaha untuk berada di luar jangkauan Nathan atau lelaki itu akan dapat melumpuhkannya. "Strategimu bagus, hanya saja sampai kapan kamu bisa menghindar?" Nathan bisa menebak pergerakan Angeline. "Selama mungkin!" sergah Angeline. "Menyerahlah, Angel. Saya tidak mau asisten pribadiku tidak dapat bekerja karena cedera," goda Nathan. Emosi membuat Angeline lengah. Nathan berhasil menyergap dari belakang. Karena Angeline masih bisa menyerang dengan kaki, Nathan menjatuhkan wanita itu ke sofa dan menindihnya. Angeline panik saat menyadari tubuh Nathan berada di antara kakinya. "Jangan banyak bergerak, Angel, atau tubuhku akan menjadi bersemangat," bisik Nathan. "Mau apa kamu?" Angeline menatap ngeri. Nathan berpikir sejenak, "Pacarmu belum pernah menyentuhmu, kan?" Wajah Angeline memerah, "Apa maksudnya? Tentu saja pernah!" "Tidak di bagian ini, bukan?" Nathan menggerakkan pinggul dengan provokatif. "Berhenti!" Angeline semakin panik. "Sudah kuduga. Kamu belum tersentuh." Nathan sedikit iba melihat sepasang mata indah di bawahnya berkaca-kaca. Bukan perkara sulit untuk menundukkan Angeline, tapi Nathan tergerak untuk tidak melakukannya. Angeline menggigit bibir untuk menahan emosi. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan lelaki brengsek ini. Angeline memalingkan wajah saat Nathan mendekat. Kehangatan nafas Nathan berhembus lembut di lehernya. "Saya tidak akan menyentuhmu seperti ini." Nathan melepas Angeline. Angeline segera melompat bangun dan memberi jarak sejauh mungkin. Wajahnya masih merona. "Kembalilah ke ruanganmu." Nathan tersenyum. Matanya melirik kancing kemeja hitam Angeline yang terlepas. Angeline menyadari tatapan Nathan dan segera mengancingkan kembali kemejanya. "Jangan harap saya masih mau bekerja di sini!" sergah Angeline. "Kontrak tidak bisa dibatalkan, Angel. Kamu tidak mau membayar penalti, kan?" "Apa? Katamu kemarin ... Dasar penipu!" Nathan tertawa, "Saya sudah terlalu baik tidak membawamu ke tempat tidur. Sekarang, jadilah asisten pribadi yang baik dan buatkan saya secangkir kopi." Mata Angeline menatap tidak percaya pada lelaki yang berjalan anggun dan duduk di belakang meja. Setan macam apa dia? "Masih belum bergerak?" Nathan mengangkat wajah. Tidak ada pilihan, Angeline keluar dari ruangan terkutuk itu seperti badai topan. "Kamu kenapa?" Cindy menatap Angeline yang berantakan. "Bosmu gila!" Cindy menghela nafas, "Memang betul. Tapi gaji yang diberikannya sangat memuaskan." Kedua wanita itu tidak berbicara selama beberapa saat. Telepon di meja Cindy berbunyi. "Halo? Iya, Pak." Cindy melirik Angeline. "Bosmu, kan?" Angeline sengaja berkata keras-keras supaya terdengar oleh si penelepon. Cindy meringis dan meletakkan gagang telepon, "Iya, dia bertanya mana kopinya." "Kamu saja deh yang bawa. Aku nggak mau masuk ke ruangannya," pinta Angeline. "Jangan, kamu bisa membuatku berada dalam kesulitan. Cukup letakkan saja cangkir kopi di mejanya, lalu cepat keluar. Nggak sulit kok?" bujuk Cindy. Angeline mengerang kesal, "Baiklah." Sebentar kemudian Angeline membawa secangkir kopi panas ke ruangan Nathan. Tanpa kontak mata Angeline meletakkan cangkir kopi di meja dan berbalik untuk keluar. "Tunggu." Angeline berbalik kembali. Dia terbelalak melihat Nathan berdiri dan membuka kemeja, menampakkan tubuhnya yang kekar. Tato naga di lengan lelaki itu melingkar sampai ke dada. Nathan mengamati perubahan ekspresi Angeline. Tidak ada wanita yang tidak menyukai lelaki bertubuh bagus, tidak ada pengecualian bagi Angeline. Nathan berdeham, "Rapikan ini." Angeline menerima kemeja dari tangan Nathan. "Peralatannya ada di kamar." Nathan menunjuk ke dinding di belakangnya. "Di mana?" Angeline terbengong karena tidak melihat apa-apa. "Sini." Nathan berjalan ke sebuah titik. Dia menekan panel tersembunyi dan dinding bergeser terbuka. Rupanya ada pintu rahasia di sana. "Kamar ini hanya saya yang boleh masuk. Dan sekarang asisten pribadiku." Nathan memberi jalan. Ragu-ragu, Angeline melangkah masuk. Sebuah kamar yang rapi dan bersih menyambut indera penglihatan. Perabotan di dalam begitu lengkap menyerupai kamar hotel, bahkan ada kamar mandi. "Ini tempat beristirahat saat overload," jelas Nathan. "Juga membawa wanita," ketus Angeline. "Angel, saya tidak membawa wanita ke kamar pribadi. Saya bisa melakukannya di luar." Nathan tersenyum. Angeline terpana. "Kamu wanita pertama yang kubawa ke kamar ini. Bahkan sekretarisku pun belum pernah masuk." "Whatever," gumam Angeline. Setelah mencari-cari—yang tidak dibantu sama sekali oleh Nathan—Angeline menemukan setrika uap di sudut kamar. Dia langsung menyalakan dan merapikan kemeja Nathan. Seketika kemeja itu sudah licin seperti baru. "Sudah." Angeline mengembalikan kemeja pada pemiliknya. "Bagus. Bantu saya mengancingkan ini." Nathan memakai kemeja dan menunggu. "Kancingkan sendiri! Saya asisten, bukan istri!" sergah Angeline. "Asisten pribadi memiliki jobdesc serupa istri, jadi jangan komplain." Nathan menunggu. Sambil berkeluh-kesah Angeline melakukan instruksi bosnya. Hati-hati Angeline mengancingkan kemeja, berusaha untuk tidak bersentuhan dengan si pemilik tubuh. "Sudah." Angeline mundur selangkah. "Oke. Thanks." Nathan pun keluar dari ruang istirahat. Pintu tertutup tanpa peringatan. Angeline bergegas berlari ke pintu. Dia panik karena tidak menemukan cara untuk membukanya. Sementara di luar Nathan menyeringai senang. Dia berniat mengurung Angeline sampai sore. Permainan baru ini sungguh menyenangkan."Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar