"Lyra Calista!" Kinan mengeluarkan kepalanya di jendela mobil dengan teriakan khasnya yang melengking.
Setelah mendapat telepon dari temannya itu dia langsung bergegas kemari. Bahkan melewatkan waktu kerjanya untuk sekedar singgah sebentar. Urusan berita memang Kinan harus jadi nomor satu. Untungnya dia bekerja di perusahaan Kakeknya Lyra sendiri. "Eh, mbak Kinan. Selamat pagi." "Pak, Lyra ada di dalam?" tanya Kinan pada satpam rumah yang keluar dari pos. "Di dalam cuma ada Pak Domini. Mbak Lyra baru aja keluar." Dia pergi? Gadis itu menggerutu dalam hati. Memang temanya ini hanya ingin membuatnya penasaran saja. "Kebiasaan banget bikin orang kesel." Kinan berniat untuk langsung pergi, namun belum sempat menaikan kaca jendela dia mendengar bunyi klakson dari belakang. Bisa dilihat sebuah mobil datang ke arahnya. Mobil itu berhenti tepat di sebelahnya, terparkir dengan sempurna. Pintu mobil terbuka, seorang pria turun dari sana dengan pakaian rapihnya. Pria itu tersenyum menatap bangunan di depan sana, sedikit mengurai rambutnya ke belakang dan melepas kaca mata hitam yang bertengger di wajahnya. "Tolong buka gerbangnya, Pak. Saya mau bertemu Kakek Domini." "Loh, Mas Harry?" Sang satpam langsung merogoh saku celana mengeluarkan kunci gerbang. "Siap mas. Tunggu sebentar." Memang Domini selalu meminta satpam rumahnya untuk selalu mengunci gerbang, entah itu ada orang di dalam ataupun tidak. Karena demi keamanan rumah juga. Sementara itu Kinan sejak tadi hanya diam terlihat terkejut. Kinan menutup mulutnya yang sejak tadi terbuka lebar. "Harry?" **** "Harry udah pulang ke Indonesia?" Lyra memperlambat langkahnya saat membaca pesan dari Kinan. Tangan satunya menenteng kantung kresek berisi makanan yang baru saja dibeli. Niatnya dia akan sarapan di butik barunya, bersama karyawan yang lain. Saat mengetahui Harry yang berada di rumah Kakeknya, Lyra merasa sedikit cemas. Takut pria itu semakin menghasut kakeknya untuk semakin percaya. Dia sendiri tidak pernah mengerti kenapa Harry bisa dengan mudah mengambil hati sang Kakek. "Aku ga akan kemakan rayuan kamu lagi," gumamnya meremas ponsel dengan erat. Tiin... Suara klakson terdengar nyaring. Lyra menoleh dan terkejut saat melihat mobil melaju ke arahnya. Si pengendara yang melihat Lyra tiba-tiba menyebrang langsung menginjak rem. Namun belum sempat menghindar tubuhnya sudah terserempet. "Aw! Shhh.." Tubuh rampingnya terjatuh ke jalan. Ponsel dan makanan yang dibawannya juga ikut terhempas. Dengan susah payah Lyra berdiri dan memukul jendela mobil. "Keluar sekarang! Tanggung jawab!" Tak menunggu lama pintu terbuka, muncullah sesosok pria tinggi dengan setelan jas hitamnya. Beberapa detik Lyra terdiam memandangi wajah itu. Ya ampun! Ini pria semalam. Bagaimana takdir mempertemukan mereka untuk kedua kalinya, atau... Ketiga kalinya? "Ada yang terluka? Saya minta maaf," ucap Victor memperhatikan Lyra dari atas sampai bawah memastikan gadis itu baik-baik saja. "Gak lihat orang kesakitan? Bawa mobil itu yang benar, dong! Jangan asal tabrak," gerutunya masih kesal. "Tapi kamu juga jalan tidak hati-hati. Sambil main ponsel." "Jadi maksudnya saya yang salah?" Dengan cepat Victor menggeleng. Pria itu membasahi bibirnya sesaat karena gugup. "Bukan, saya yang salah. Maaf, ya." Lyra tak membalas lagi. Ia mengambil ponsel dan makanan yang berserakan. Bagian pergelangan kaki dan sikunya terluka. Ponselnya mati, tak dapat menyala. Victor yang melihat langsung menghampiri. Pria itu tak menyangka akan kembali bertemu dengan Lyra di situasi seperti ini. Dengan cepat ia membantu Lyra mengambil kantung kresek itu dan menuntunnya berdiri. Tapi jika tidak seperti ini apa mereka akan bertemu lagi? "Ganti rugi!" ucap Lyra menunjukkan ponselnya yang mati. Tentu Lyra mampu membeli yang baru atau lebih mahal. Namun dia tak ingin kehilangan data di ponselnya karena banyak hal yang penting. "Oke, saya akan ganti rugi. Saya belikan lagi makanan untuk kamu dan ponsel kamu juga. Sekarang kamu mau kemana? Biar saya antar." "Ga perlu. Saya bawa mobil sendiri di sana," tunjuknya di sebrang jalan. Victor menghela nafas. "Bukannya kamu mau saya tanggung jawab? Saya obati luka kamu di mobil." "Tapi.." "Tidak bisa ditolak." Tanpa menunggu aba-aba Victor mengangkat tubuh kecil itu ala bridal style. Lyra yang terkejut langsung memeluk pundak Victor dan satu tangan menarik dress-nya yang hanya selutut. Lyra bisa melihat wajahnya dengan dekat. Pipinya memerah dan ia langsung menatap ke arah lain. Dia dimasukan ke kursi belakang, dan Victor juga duduk di sampingnya. Terlihat Victor mengambil sebuah ponsel dan kotak obat di dashboard. "Ini ponsel saya sebagai jaminan. Saya punya dua ponsel, jadi selama milik kamu saya perbaiki, kamu bisa pakai yang ini," jelasnya yang disetujui Lyra. "Sekarang angkat kaki kamu." Perlahan Victor mengangkat kedua kaki Lyra ke atas pangkuannya. Melepas sepatu yang terpasang indah di sana. Sebenarnya Lyra tak begitu nyaman dengan posisi seperti ini apalagi dengan pria yang baru dikenal, bisa dibilang asing. "Awas ya kalau macam-macam! Saya bisa teriak," ancam Lyra sambil memegang jok mobil dengan erat. Seketika Victor tertawa pelan. Melihat wajah ketakutan Lyra yang justru klterluhat lucu. "Kamu takut? Padahal harusnya saya yang takut kamu macam-macam. Lupa kalau di awal pertemuan kita, kamu yang cium saya tiba-tiba?" Ciuman? Seketika ingatan itu kembali datang. Dimana Lyra menghampiri seorang pria yang ternyata orang itu ada di hadapannya sekarang. Bahkan Lyra juga ingat jika dialah yang menciumnya lebih dulu. Sialan bibir ini! "Mulai ingat?" tanya Victor menyeringai kecil. "Saya tidak akan macam-macam. Tenang saja." Sekarang rasanya malu sekali. Wajahnya benar-benar merah. Meskipun dari luar tampilannya seperti wanita dewasa yang nakal, namun nyatanya Lyra hanya mencium satu orang selama hidupnya yaitu mantannya sendiri. "Pelan-pelan," bisiknya melihat Victor bersiap menyentuh luka dengan kapas. Tangannya begitu telaten mengobati luka di kaki. Lyra hanya menatap pria dihadapannya dengan tatapan yang penuh kagum. Tampan, hidung mancung, bibir tebal dan bulu di area rahang yang menambah kesan maskulin. Pantas saja malam itu dia tergoda. Namun pikirannya juga penuh tanda tanya, penasaran dengan malam dimana pertama kali mereka bertemu. "Bapak juga yang kirim bunga bunga buat saya?" tanya Lyra seketika. Tak dapat menahan untuk tidak bertanya. Victor yang awalnya fokus langsung menoleh. "Jadi sudah kamu terima?" ucapnya balik bertanya. "Buat apa? Kita aja ga saling kenal." "Hanya untuk tanda selamat karena butik baru kamu. Supaya lebih pribadi." "Jadi nama Bapak Vee?" "Victor. Itu panggilan yang kamu buat, kan?" Victor yang awalnya sedikit berekspresi kini mulai sering tersenyum. Entah kenapa gadis ini begitu manis dan menggemaskan, namun bisa juga menjadi sexy dalam waktu yang bersamaan. Sangat menarik. Lyra mulai teringat dengan perkataan Kinan waktu itu. Jika dipikir memang Victor berada di usia matang, apalagi dia tampan dan sukses, mana mungkin belum memiliki pasangan. "Bapak punya istri?" tanya Lyra spontan. Pria dihadapannya diam beberapa detik lalu tersenyum simpul dan menurunkan kaki Lyra dari pangkuannya. "Kenapa memangnya?" "Cuma tanya aja. Saya cuma ga mau dibilang pelakor." "Jadi kamu bilang tadi mau ke butik, kan? Saya antar kamu sekarang." Victor langsung pindah ke kursi depan. Sementara Lyra masih memperhatikan pria itu. Apa benar dia single? **** Sesampainya di depan butik Victor segera turun dan membukakan pintu untu Lyra. Karena pergelangan kaki yang terkilir dia masih harus berjalan dengan pelan. Sebelumnya mereka juga sempat mampir untuk membeli makanan yang baru karena sempat terjatuh. "Terimakasih Bapak udah antar saya," ucap Lyra tersenyum lembut. "Saya yang minta maaf untuk kejadian tadi. Oh ya, kamu juga bisa panggil saya cukup dengan nama. Tidak perlu terlalu formal." "Tapi Pak Victor lebih tua dari saya jadi..." Seakan mengerti Victor langsung mengangguk. "Oke, panggil sesuka kamu." Padahal dalam hatinya Victor berharap mendengar panggilan itu lagi. Vee, terkesan lembut dan hangat. Sesuatu yang berbeda dan istimewa. Tak lama di sana Victor langsung pamit karena masih memiliki pekerjaan. Dia juga mengatakan akan segera kembali menghubungi Lyra saat ponselnya sudah selesai. Bagaimanapun juga dia tak ingin kehilangan data-data penting itu. Saat hendak masuk Lyra dikejutkan dengan seseorang yang baru saja keluar dari dalam butiknya. Pria dengan pakaian casual. Kaos putih pendek yang menunjukan otot lengannya. "Nice to meet you again, babe," sapa orang tersebut dengan merentangangkan tangan. "Harry?" Tampilannya sedikit berubah. satu tahun tidak bersama namun Lyra menyadari perubahannya. Pria itu membentuk tubuhnya dengan sempurna. Apa-apaan? dia berusaha pamer seakan mengatakan tanpa Lyra dirinya bisa lebih keren?"Kamu ngapain di sini?" tanya Lyra ketus. "Aku kangen sama kamu. Kenapa kamu menghindar?" Harry hendak memeluk namun Lyra langsung menepis tangan kekar itu. "Harry, stop! Aku udah punya cowok baru jadi berhenti ganggu aku!" "Siapa? Mana orangnya? Biar aku rebut kamu dari dia." Lyra memejamkan matanya menahan kesal. "Dia udah pergi. Dia yang antar aku ke sini." "Namanya?" "Bisa gak usah kepo?" Wanita itu berjalan begitu saja masuk ke dalam butik. Harry berdecak dan mengikutinya dari belakang. Keningnya berkerut melihat Lyra yang berjalan tertatih-tatih. Apakah wanita ini sudah bermain ranjang dengan kekasih barunya? Namun pikirannya langsung teralih melihat pergelangan kaki yang terlilit perban. "Kaki kamu kenapa?" tanya Harry mensejajarkan langkah. "Gara-gara pacar baru kamu itu? Baru pacaran aja udah KDRT," lanjutnya menggebu-gebu. "Apa, sih? Ga usah bawa orang lain, kamu aja dulu selingkuh." "Aku ga selingkuh." "Tidur sama perempuan lain itu bukan selingkuh?" Lyra mempe
"Lyra Calista!" Kinan mengeluarkan kepalanya di jendela mobil dengan teriakan khasnya yang melengking. Setelah mendapat telepon dari temannya itu dia langsung bergegas kemari. Bahkan melewatkan waktu kerjanya untuk sekedar singgah sebentar. Urusan berita memang Kinan harus jadi nomor satu. Untungnya dia bekerja di perusahaan Kakeknya Lyra sendiri. "Eh, mbak Kinan. Selamat pagi." "Pak, Lyra ada di dalam?" tanya Kinan pada satpam rumah yang keluar dari pos. "Di dalam cuma ada Pak Domini. Mbak Lyra baru aja keluar." Dia pergi? Gadis itu menggerutu dalam hati. Memang temanya ini hanya ingin membuatnya penasaran saja. "Kebiasaan banget bikin orang kesel." Kinan berniat untuk langsung pergi, namun belum sempat menaikan kaca jendela dia mendengar bunyi klakson dari belakang. Bisa dilihat sebuah mobil datang ke arahnya. Mobil itu berhenti tepat di sebelahnya, terparkir dengan sempurna. Pintu mobil terbuka, seorang pria turun dari sana dengan pakaian rapihnya. Pria itu tersenyum menat
Tepat malam ini adalah hari yang penting bagi Lyra. Di dalam sebuah bangunan yang telah ditata dengan megah. Beberapa tamu undangan mulai berdatangan. Lyra berdiri berdampingan dengan sang Kakek, Domini. Kemana orang tuanya? "Cantik sekali cucuku ini," ucap Domini merangkul Lyra dari samping. "Dari dulu juga cantik, kan?" sahut Lyra terkekeh pelan. Acara itu juga dihadiri oleh Kinan dan Jo. Kedua teman baik Lyra yang tak bisa dipisahkan. Awalnya Jo menolak datang ke acara seperti ini karena dia tak suka sesuatu yang formal. Hanya ada manusia dengan wajah datar dan kesombongannya. "Aku mau Ketemu Kinan dulu, ya," ucapnya meminta izin. "Jangan lama-lama. Acaranya akan segera dimulai." Wanita itu mengangguk kecil dan segera menghampiri temannya. Malam ini Lyra mengenakan dress berwarna merah yang menjuntai sebetas mata kaki. Belahan di sisi kanan menunjukan kaki jenjangnya yang mulus. Menarik perhatian beberapa pria dan mengagumi cucu satu-satunya dari Domini Caisar. "Se
Seorang Pria berjalan memasuki bangunan yang terlihat sepi. Victor, dia terus memikirkan perempuan yang ditemuinya semalam. Tanpa memberitahu namanya dan meninggalkan rasa penasaran yang mendalam. Banyak gadis cantik di luar sana namun malam itu seorang wanita menghampirinya dengan berani. Semalaman dia mencoba membuang pikirannya itu namun tak bisa. Tatapan mata yang membuatnya luluh, dan senyuman manis dari bibir merahnya. Dia gila dalam semalam. Di dalam sana ada beberapa pekerja yang membereskan ruangan. Victor menghampiri salah seorang bartender yang menyusun botol di rak. "Permisi." "Loh, ada apa, Pak? Ada yang bisa dibantu?" "Boleh saya bertanya tentang.... Wanita yang bekerja di sini?" Tanya Victor mengecil di akhir kalimat. Pria bertato itu tertawa pelan. Tidak aneh lagi, beberapa pria datang kemari setelah melakukan one night stand dengan wanita di sini. Bisa dibilang sudah biasa. "Namanya siapa?" Victor mengatupkan kedua bibirnya. Itulah masalahnya. "Saya tid
Lampu neon berkelip dengan warna merah dan biru, berpadu dengan dentuman musik yang membuat dinding klub malam itu bergetar. Aroma parfum mahal bercampur dengan alkohol menyebar di udara, membuat kesan yang memabukkan. Di tengah keramaian, seorang wanita menarik perhatian hampir semua pasang mata. Lyra, cantik, seksi, dan berkarisma. Gaun hitam membalut tubuhnya dengan pas, menonjolkan lekuk yang membuat banyak pria terdiam hanya untuk menatap. Bibirnya merah berani. "Mana Harry?" tanya seorang bartender di sebrang sana dengan sedikit berteriak. Wanita itu menoleh dan menekuk bibirnya. "Jangan bahas dia lagi." "Loh, kenapa?" Ia menyandarkan tubuhnya pada meja bar, jemari lentiknya memutar gelas cocktail berwarna merah. Dulu setiap datang ke tempat ini Lyra selalu datang dengan mantannya. Pria itu tak mengijinkan kekasihnya untuk datang sendiri ke tempat seperti ini. "Ck, udah basi." Dari arah pintu masuk, datang sosok pria matang dengan aura berbeda. Memiliki aura yan