Terdengar teriakan seorang wanita dari kejauhan, membuat Evelyn dan Claudia sangat terkejut. Mereka menoleh, lalu mendapati sosok Daissy yang melangkah semakin dekat."Gawat! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Evelyn panik.Claudia belum sempat menggubris kalimat tanya yang Evelyn ajukan. Karena, saat ini Daissy sudah berdiri tepat di hadapannya."Pantas saja aku cari di mana-mana tidak ada, ternyata kau sedang berbagi makanan dengan Evelyn!" omel Daissy sambil melotot, lalu tanpa belas kasihan ia menjambak kuat-kuat rambut Claudia. "Rasakan akibatnya sekarang!"Claudia meringis menahan sakit, sedangkan Evelyn tidak bisa melakukan apa-apa karena terhalang oleh jeruji."Kau membuatku berada dalam bahaya," ucap Daissy dengan nada marah. Sebab, kalau Zach tahu ada seorang selir yang memberi makanan dan minuman kepada Evelyn, orang pertama yang akan disalahkan tentu adalah dirinya."Ampun! Aku tidak akan mengulanginya lagi," ujar Claudia sambil terisak pelan. Ia berusaha melepaskan tangan
Zach mendengar kabar tentang seorang gadis yang baru saja bunuh diri di ruang tahanan. Ia tahu itu adalah Evelyn, maka buru-buru dirinya melangkah ke tempat kerjadian perkara.Para penjaga, pelayan, bahkan beberapa selir sudah berkumpul di depan jeruji besi, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang berani masuk ke dalam untuk melihat Evelyn lebih dekat. Mereka takut dituduh sebagai pelaku pembunuhan atas apa yang terjadi pada gadis itu. Jadi, daripada harus terlibat masalah, mereka lebih memilih menunggu kedatangan Zach.Dengan wajah panik yang tak dapat disembunyikan, laki-laki dengan postur tubuh tinggi tegap itu segera masuk ke dalam ruang tahanan setelah menyuruh seorang penjaga membuka pintu yang digembok."Kenapa kalian diam saja?!" Zach tidak dapat menahan amarah melihat orang-orang itu hanya bergeming seperti orang bodoh. "Apa kalian sengaja ingin melihatnya mati?!" bentaknya.Kemarahan Zach membuat semua orang ketar-ketir, merasa ketakutan. Kali ini, di balik tubuh yang gemeta
Evelyn mencoba lari menuju kamar mandi di sudut ruangan, berinisiatif untuk mengurung diri dengan menguncinya dari dalam. Akan tetapi, ia tak bisa menepis tangan kekar Zach yang sudah lebih dulu menahan lengannya.Zach membopong Evelyn, lalu melempar tubuh mungil gadis itu ke atas kasur. Membuat Evelyn semakin ketakutan dan memikirkan hal negatif tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Evelyn merangkak ke sisi kasur. Namun, dengan cepat Zach menarik kakinya hingga kembali ke tengah. Tenaga mereka tentu tidak sebanding."Lepaskan aku!" pekik Evelyn. Ia nyaris frustrasi karena tidak tahu bagaimana harus menghindar.Tanpa menggubris ocehan itu, Zach melompat ke atas kasur dan menaiki tubuh Evelyn. Hal itu membuat Evelyn tidak dapat bergerak di bawah kendali Zach."Hey! Kau tidak boleh melakukan ini padaku," ucap Evelyn yang telapak tangannya sudah dibanjiri keringat dingin. Ia sudah meronta, hanya saja tenaganya tidak cukup kuat."Perhatikan bagaimana manusia paling jahat di muka bumi
Kabar mengejutkan yang terucap dari mulut Tristan sukses membuat sekujur tubuh Zach membeku. Tidak sepatah pun kata keluar dari bibir merah mudanya.Sejenak Zach terdiam. Terpaku. Ia hanya memandang miris wanita di hadapannya yang baru saja ia buat hancur, sehancur-hancurnya ....“Nanti akan aku hubungi kembali,” ucap Zach seraya memutus sambungan secara sepihak.Zach menjauhkan ponsel dari telinga. Entah kenapa, kabar tentang kematian Victor menjadi sesuatu yang sangat menyedihkan bagi pria itu. Ulu hatinya tiba-tiba saja mencelos, terperosok sangat dalam hingga rasanya ia nyaris mati karena tersesat di sebuah jurang yang tidak memiliki oksigen.Apakah ia merasa bersalah terhadap Evelyn yang sudah terlanjur rusak?Lantas bagaimana jika Evelyn tahu bahwa ayahnya baru saja dinyatakan meninggal dunia akibat luka tembakan yang dilakukan oleh anak buah Zach?Bukankah Evelyn akan semakin membenci Zach? Atau mungkin malah menaruh dendam?Kali ini Zach bergerak turun dari kasur, memungut dan
Evelyn merasa kepalanya sangat pusing. Sakit, seperti dihantam oleh beban yang sangat berat. Pelan-pelan ia membuka kelopak mata. Cahaya temaram dari lampu kristal yang menggantung di plafon membuat matanya sedikit menyipit.Ia meringis. Mendesis. Seluruh tubuhnya terasa bagai digiling ke dalam mesin penghancur. Lagi, ingatan tentang dirinya yang sudah dinodai oleh Zach benar-benar membuatnya sangat frustrasi. Ternyata itu bukan mimpi, melainkan fakta pahit yang harus ia telan mentah-mentah.“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga.”Suara itu menarik perhatian Evelyn. Ia mendapati sosok Daissy sedang mengambil sesuatu di atas meja di pojok ruangan. Setelah itu, Daissy berjalan menghampirinya.Evelyn masih bergeming. Manik matanya beredar memperhatikan setiap sudut ruangan.Tidak tahu di mana dirinya berada sekarang, satu hal yang paling pasti, Evelyn tahu ini bukan kamar Zach. Bukan tempat kotor yang dipakai oleh si Brengsek itu untuk merampas sesuatu yang paling berharga dari diri Evelyn.
PLAK!Evelyn menundukkan kepala, memegangi bagian yang terasa nyeri akibat satu tamparan keras yang dilayangkan Stella secara dramatis di pipinya. Perih sekali.“Itu peringatan karena kau sudah lancang menggoda suamiku!” Stella tersenyum miring, merasa cukup puas dengan apa yang baru saja ia lakukan kepada perempuan di hadapannya.Dengan mata berkaca-kaca menahan sakit, Evelyn memandang Stella dengan tak kalah sengit. “Aku tidak pernah menggoda suamimu, melainkan dia sendiri yang memaksa agar aku mau berhubungan dengannya.”“Meskipun dia memaksa, bukankah pada akhirnya kau tetap mau juga?”“Sejak awal aku sudah menolaknya, tapi suamimu yang biadab itu sama sekali tidak memberiku ruang untuk menghindar. Dan yang terjadi selanjutnya hanyalah adegan pemerkosaan, yang mana aku sendiri merasa sangat jijik setiap kali mengingatnya,” jawab Evelyn berterus-terang.Stella semakin geram mendengar penjelasan Evelyn. “Omong kosong!” Ia mengepalkan kedua tangan erat-erat. “Kalau sampai suatu saat a
Evelyn terperangah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Zach. Selama beberapa detik, bola mata keduanya saling memandang satu sama lain, seakan sedang berperang siapa di antara mereka yang paling mematikan.“Apa masih belum cukup dengan titik kehancuranku kemarin?” Tatapan Evelyn kini mengendur. Ia sadar, berhadapan dengan Zach tidak akan menghasilkan apa-apa jika keduanya sama-sama keras. “Kenapa aku harus menjadi wanita simpananmu?” tanyanya dengan sabar—mencoba sabar lebih tepatnya.“Karena aku memilihmu,” jawab Zach. Singkat dan padat.Evelyn menggeleng. “Tapi aku tidak mau,” tolaknya seiring dengan tatapan nanar.“Dengan menjadi wanita simpananku, maka tidak ada seorang pun yang berani mengusikmu, apalagi menjadikanmu penghangat ranjang.”“Dan sebagai gantinya, aku harus merelakan diriku ditelanjangi dan dilecehkan setiap malam, demi memenuhi hasrat liarmu di atas ranjang,” tambah Evelyn seraya mengerling dan terkekeh hambar.“Tidak juga,” bantah Zach. Ia melepas tangan Evelyn, m
“Jangan berlebihan, Stella. Aku hanya menyuruhnya istirahat, karena dia masih sakit,” ucap Zach, menanggapi pertanyaan Stella yang diselimuti rasa cemburu dan curiga. “Kalau aku biarkan dia tidur bersama para selir di kamar harem, pasti dia tidak bisa istirahat dengan tenang, karena di sana sangat berisik.”Stella berdecih. “Sejak kapan kau peduli dengan ketenangan seseorang?” sindirnya.“Sayang, ayolah—”“Cukup!” Stella memotong ucapan suaminya begitu saja. “Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun. Selama ini aku selalu sabar dan diam melihatmu tidur dengan para selir di harem, tapi apa kau tahu kalau di sini rasanya sangat sakit, Zach?” Ia menunjuk ke arah dada, memberitahu sang suami bahwa hatinya sudah memendam luka terlalu banyak.Mendengar itu, Evelyn yang tengah menguping di balik pintu lantas berdecih geli. “Selalu sabar dan diam? Apa dia lupa pernah menampar dan mengancamku kemarin?” Ia bergumam, nyaris berbisik, mencemooh perkataan Stella.“Stella, kau hanya salah paham.” Za