***
Adit memandang Senja yang pagi ini masih bergelung di dalam selimut. Sementara dia sendiri sudah siap dengan setelan yang semalam ia kenakan. “Dua Puluh Juta untukmu sebagai tambahan karena semalam kita bercinta sekali lagi!” ujarnya sembari melempar segepok uang kepada Senja.
Dengan hati yang penuh sesak Senja menerimanya.
“Ingat jangan lupa minum pil kontrasepsi. Aku tak ingin kamu tiba-tiba menuntut pertanggung jawaban padaku karena hamil!”
Kali ini Senja mengangguk. “Iya Mas,” ucapnya.
Adit mendengus, lalu pergi begitu saja dari hadapan Senja. Dalam kamar yang kini hening Senja menangis. Airmata tak terbendung saat melihat sejumlah uang di dalam genggamannya. Uang yang ia dapatkan karena menjadi wanita simpanan seorang Aditya Prada Wirata.
“Ampuni aku Tuhan, tapi aku sungguh nggak punya pilihan,” ratapnya.
Dalam kesedihan itu, Senja tetap bersyukur karena dengan begini ia bisa mengumpulkan uang pengobatan untuk Andra lebih cepat. Buah hatinya harus diselamatkan.
Di saat Senja sedang menangis, tiba-tiba pintu kamar hotel kembali terbuka. Menampakan wajah Adit yang sarat akan sikap dinginnya. “Ponselmu terus berbunyi sejak tadi. Coba kamu cek, siapa tahu ada hal penting!” ujarnya. Setelah mengatakan itu Adit pergi lagi.
Senja menghapus sisa airmatanya. Mengabaikan sikap Adit, ia segera memeriksa ponselnya. “Dokter Kinan?” Rasa khawatir menyeruak dalam diri wanita itu. Dengan cepat ia menelpon dokter yang selama ini merawat Andra.
“Dokter? Ada apa?” Tanpa basa-basi Senja langsung bertanya tujuan dokter Kinan menelponnya setelah panggilan terhubung.
Dari tempatnya berada dokter Kinan menghela napas dengan berat. “Apa kamu bisa ke rumah sakit sekarang, Bu Senja?” tanyanya.
“Bisa dok! Saya segera ke sana.” Senja tahu sesuatu telah terjadi pada putranya yang masih berumur Lima tahun itu.
Setelah menutup telepon, Senja bergegas mengenakan pakaiannya, lalu meninggalkan kamar hotel. Tak lupa ia membawa uang yang pagi ini Adit berikan.
Tiga Puluh menit waktu yang Senja butuhkan untuk sampai ke rumah sakit Pelita Hati. Seperti biasa, ia selalu berlari menghampiri ruang rawat Andra. “Dokter Kinan!” panggilnya. Kebetulan sang dokter tengah berada di depan ruang rawat Andra.
Dokter Kinan mengangguk singkat. “Ikut saya dulu ke ruangan ya Bu,” intruksinya. Senja mengekor di belakang kala dokter Kinan menuju ke ruangannya.
“Ada apa dengan Andra, dok? Apakah … ” tanya Senja tak sampai selesai ketika telah berada di ruang pribadi dokter Kinan.
“Andra harus cepat ditangani,” Dokter Kinan mengasurkan amplo ke depan Senja. “Bukalah,” pintanya.
Dengan tangan yang bergetar hebat Senja membukanya. Dalam hati ia terus bertanya apa isi amplop tersebut.
“Surat itu menjelaskan kondisi Andra saat ini Bu Senja. Saya tidak ingin kita terlambat. Andra benar-benar telah berada diambang yang … ” dokter Kinan tak tega melanjutkan.
“Tolong lakukan yang terbaik, Dok! Saya sedang berusaha mengumpulkan uang saat ini,” Airmata Senja tak terbendung lagi. Sakit hatinya karena harus melihat anaknya berada di titik seperti ini.
“Berapa lama kira-kira Andra bisa menunggu saya mengumpulkan uang, dokter?” tanya Senja. Ia harus tetap waras agar Andra selamat.
Dokter Kinan menggeleng. Sesungguhnya ia tak tahu akan hal itu. “Saya tidak ingin memberi Ibu harapan, akan tetapi lebih cepat lebih baik. Kita sama-sama tahu seperti apa kondisi Andra,” ucapnya.
“Tadi malam dia memuntahkan darah segar lagi, Bu,”
Mendengar itu membuat jantung Senja berhenti berdetak. Airmata kembali mengaliri pipinya. “Ya Tuhan,” lirihnya. Sudah separah itu kondisi Andra, dan uang untuk pengobatannya baru terkumpul sedikit.
“Dok, saya punya uang Dua Puluh Juta. Apakah saya bisa … ”
“Bu Senja saya sudah bilang saya nggak bisa bantu banyak, tapi saya akan melakukan yang terbaik untuk Andra selagi Ibu mengumpulkan uangnya. Semoga kita sama-sama tidak terlambat ya Bu,”
Senja tak bisa berkata-kata. Hanya airmata yang mewakili rasa sakitnya. Andai bisa menggantikan penderitaan Andra, maka detik ini juga ia bersedia.
“Hanya itu yang ingin saya sampaikan Bu, sekarang sebaiknya Ibu temui Andra dulu. Dia sudah sadar,” dokter Kinan menggenggam tangan Senja. Ia mengerti bagaimana penderitaan Ibu dari pasiennya itu.
Keluar dari ruangan dokter Kinan, Senja benar-benar menghampiri Andra. Wajah pucat putra semata wayangnya itu menjadi pemandangan pertama yang Senja lihat. Bergegas ia menghapus airmatanya agar Andra tak bertambah sedih atau khawatir.
“Ibu!” panggil bocah itu sambil tersenyum lebar. Lihatlah, meskipun sedang sakit parah, Andra tetap saja tersenyum lebar kala menyambut ibunya. Hal itu membuat Senja semakin ingin menangis, tapi ia tahan sekuat tenaga.
Senja memaksa senyumnya. “Sayang, apa kabar? Maaf ya semalam Ibu nggak ada di sini,” ucapnya sambil mencium kening Andra.
“Nggak apa-apa Ibu, kata dokter Kinan Ibu bekerja untuk kesembuhan Andra,”
Senja tak bisa berkata-kata karena tiba-tiba saja airmata yang coba dirinya tahan kini mengaliri pipinya lagi.
Andra yang tahu akan hal itu tak ikut menangis, melainkan tersenyum sambil menangkup pipi ibunya. “Jangan menangis Ibu,” ucapnya.
Mana mungkin Senja sanggup menahannya lagi? Senja terisak sembari memeluk tubuh Andra yang semakin kurus. Dalam hati Senja berteriak, semoga Tuhan tidak mengambil Andra dari hidupnya. Andra adalah satu-satunya keluarga yang ia punya.
“Ibu, Andra ngantuk. Usah kepala Andra ya Bu supaya Andra bisa tidur dengan nyenyak,”
“Andra ngantuk? Ya sudah sini Ibu usap, Sayang.”
Lantas tak berapa lama kemudian Andra benar-benar terlelap. Semakin leluasa saja airmata Senja keluar dari peraduannya. Wanita setegar karang itu akhirnya keluar dari ruang rawat Andra karena tak sanggup menahan isaknya.
“Andra maafkan Ibu, Nak. Ibu nggak berdaya,” Kini Senja berada di taman rumah sakit. Menangisi nasib malang yang menimpa hidupnya. Tidak ada yang menyenangkan. Sejak kecil sudah menderita. Orangtua meninggal dalam kecelakaan, lalu ia terpaksa tinggal di panti asuhan.
Ketika dewasa menikah dengan lelaki yang juga dari panti. Awalnya semua baik-baik saja, akan tetapi suaminya juga harus pergi karena penyakit yang sama dengan yang diderita oleh Andra. Kini, anak semata wayang juga ikut merasakan sakitnya.
“Hancur hati Ibu, Nak. Hancur!” isaknya.
Tanpa Senja sadari seorang lelaki tengah memperhatikannya sembari memegang amplop dari dokter Kinan yang tak sengaja terjatuh kala ia berlari menuju taman. Ada ragu yang tersirat dari lelaki itu saat melihat tangis yang tak kunjung reda dari mata Senja. Namun, pada akhirnya dihampirinya juga wanita tersebut.
“Assalamu’alaikum, permisi Mbak. Saya ingin mengembalikan amplop yang tak sengaja Mbak jatuhkan saat berlari tadi,”
Senja terkejut. Tanpa sempat menghapus airmatanya, Senja sejenak bertatapan dengan lelaki itu.
“Kamu!” Secara bersamaan mereka berujar. Rupanya, yang menemukan amplop milik Senja adalah gus muda yang tempo hari tak sengaja ditabrak oleh Senja.
“Dua kali dia menangis tergugu. Ada apa sebenarnya?” Dalam hati sang gus bertanya.
Sementara itu, Senja dengan cepat merebut amplop dari tangan gus. Jujur ia malu. “Terima kasih,” ucapnya. Senja lalu meninggalkan taman rumah sakit tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Senja pulang ke kontrakan. Tubuhnya yang kotor membutuhkan air bersih. Merasa telah melakukan dosa yang besar, Senja membasuh tubuhnya sambil membaca doa. Senja tahu dirinya terhina, tetapi kepada siapa lagi ia memohon ampun selain kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hanya do’a yang saat ini dapat menenangkan hatinya yang bergejolak dan merintih pedih.
.
Bersambung.
*** Ditemani Aisyah, Senja masuk menemui Umi. Sekali lagi air mata membasahi pipi saat Senja bersimpuh sambil memeluk lengan Umi. "Mohon maafkan aku, Umi. Maaf sebab telah menyeret keluarga ini ke dalam masalahku," ucapnya tergugu. "Umi tidak perlu khawatir lagi, aku akan pergi diam-diam agar gus Isam bisa menikahi ustadzah Hafa," "Siapa bilang Umi ingin Isam menikah dengan Hafa?" tanya Umi sembari mengusap lembut rambut Senja. Membuat Senja bertanya-tanya apakah maksudnya. "Mulai hari ini restu Umi sepenuhnya untukmu dan Abrisam. Kalian berhak bahagia dengan pilihan kalian," Seketika Senja mendongakkan kepalanya, menatap Umi yang juga sedang memandangnya. "M-maksud Umi apa?" tanyanya terbata. Sungguh, Senja tak ingin berharap. Umi memaafkannya saja sudah sangat beruntung, tetapi apa kata Umi tadi? Umi sepenuhnya merestui? Umi Laila tersenyum tipis. Matanya berkaca-kaca menatap Senja. "Iya, kamu yang Umi pilih sebagai menantu. Maafkan Umi ya karena terlalu keras. Padahal hidupmu
***"Berhenti!" Sejak tadi Abrisam hanya diam memperhatikan. Dia menunggu saat yang tepat untuk menghentikan lelaki yang lancang membawa calon istrinya pergi. Bagaimana gus Isam bisa ada di sini? Sedangkan tadi dia membawa Umi ke rumahnya. Jawabannya ada pada Asiyah. Sejak kedatangan Aditya, Asiyah berlari ke rumah gus Isam. Memberi kabar kedatangan lelaki asing yang tampak memihak Senja. Gus Isam bersyukur uminya telah kembali sadar dari pingsan. Dia pun lebih leluasa menemui Senja. "Jangan pernah berpikir untuk membawa Senja pergi dari tempat ini," ucap gus Isam yang kali ini menahan tangan Aditya. Benar, bukan tangan Senja yang lelaki itu genggam. Namun, dia menahan tangan Adit agar tertahan. "Gus," lirih Senja. Perasaannya campur aduk. Cemas dan juga lega, sebab gus Isam menghalangi kepergiannya. "Gus untuk apa lagi gus menghalangi mbak Senja? Biarkan dia pergi bersama mas Adit," ucap Hafa mencoba menyadarkan gus Isam yang menurutnya telah dibutakan oleh Senja tersebut. "K
***Umi Laila yang baru saja mendengar pernyataan tentang Senja tampak sangat syok. Wanita itu menatap Senja tak percaya. "Umi, sekarang Umi tahu kan seperti apa mbak Senja?" Hafa mendekat saat melihat Umi menatap Senja dengan berkaca-kaca. "Dia itu wanita simpanan. Apakah Umi tega membiarkan gus Isam yang sempurna bersanding dengan wanita murahan itu?" tanyanya berapi-api. Umi Laila mengalihkan perhatiannya dari Senja, menatap sedih ke arah Hafa. Kepalanya menggeleng entah karena menjawab Hafa atau yang lainnya. Tak mendapatkan respon yang diinginkan dari Umi Laila, Hafa beralih pada gus Isam. Tiba-tiba dia menangis. "Gus Isam pasti terkejut, kan? Mbak Senja wanita murahan. Rela menjadi simpanan, merusak rumah tangga orang," ucapnya. "Gus tahu apa yang selama ini aku rasakan? Aku memendam semuanya, gus. Aku takut menyakiti orang lain, tapi aku nggak sanggup melihat gus tertipu oleh perempuan murahan itu!" Mendengar Hafa menghina Senja membuat Abrisam mengepalkan tangannya. Hafa
***Jujur saja Adit terbebani mendengar ucapan Nayra beberapa jam yang lalu. Oleh karena itu, sekarang dia berada tepat di depan gerbang pesantren. Namun, dia menahan diri untuk masuk sebab tak ada alasan yang tepat baginya menembus gerbang. Tentu Adit menghormati sebuah batasan. Dia bukan lelaki yang tak tahu aturan. Kecuali mendesak. Adit hanya akan memantau untuk sementara waktu. Lalu, setelah tiga puluh menit berada di sana, Adit pun menghidupkan mesin mobilnya. Roda berputar meninggalkan gerbang pesantren. Di sisi lain, Hafa baru saja turun dari angkot. Tergopoh-gopoh melewati gerbang pesantren. Mulutnya manyun karena kesal akibat ketiduran sampai lupa waktu. Dia malu karena lagi-lagi meminta Aisyah menggantikan tugasnya mengajar anak-anak. Sialnya, angkot yang tadi dia naiki terkena macet hingga dia benar-benar ketinggalan kelas. Terpaksa semua diborong Aisyah."Astaghfirullahal'adzim!" Hafa hampir saja terjatuh andai seseorang tak menggenggam tangannya. Waktu bagai berhenti
***"Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya Kyai setelah Abrisam dan Senja mendudukkan diri di kursi ruang tamu. Nyai Laila terpaksa berhenti berdebat, terapi dia juga akan tetap mengutarakan pendapatnya kepada Isam nanti. "Kalau Isam inginnya minggu ini juga Bi, tapi entah bagaimana dengan Senja," jawab Abrisam. Kyai menunggu jawaban Senja. "Bagaimana Nak Senja? Kamu setuju?" Senja menautkan jari-jemarinya. Pertanyaan ini terlalu mendadak, tetapi dia sudah punya jawabannya. "Boleh setelah lebaran saja Kyai?" tanyanya. "Sebaiknya kamu tanyakan langsung pada calon suamimu," ucap Kyai tenang. Mendengar calon suami membuat pipi Senja memerah tanpa kompromi. Sesungguhnya dia masih tidak percaya gus Isam ingin menikahinya. Ini benar-benar seperti mimpi. Senja melirik gus Isam sekilas. Abrisam tersenyum tipis. Tergelitik hatinya melihat pipi Senja memerah. "Nggak masalah. Lebaran juga tersisa seminggu lagi," ucapnya. "Umi juga setuju! Tunda saja sampai selesai lebaran," sahut Nya
***"Assalamu'alaikum," sebuah salam membuat ketiga wanita yang sedang berada di gazebo pesantren itu menolehkan kepala. Hafa adalah yang pertama berdiri dari duduknya. Disusul Aisyah lalu Senja. "Wa'alaikumsalam. Gus Isam sudah pulang?" tanya Hafa dengan wajah yang sumbringah. Dia senang sekali melihat gus Isam berada di pesantren. Dengan begitu dirinya akan leluasa memberitahukan soal siapa Senja sebenarnya. Gus Isam mengangguk singkat. Tanpa menatap mata, pandangannya tertuju kepada Senja, wanita yang beberapa hari ini ingin sekali dia ketahui kabarnya. Sebuah kejutan bagi gus Isam kala melihat penampilan Senja yang baru. Gamis semata kaki, lalu kerudung menutup dada itu telah merubah Senja seutuhnya. Dan, kalau boleh gus Isam berkomentar, Senja teramat cantik dalam balutan busana syar'i tersebut. Senja menunduk dalam. Ia malu, tetapi juga rindu. Entah bagaimana mengungkapkannya. Namun, diperhatikan gus Isam seperti itu membuatnya salah tingkah. Ingin sekali memberi sedikit sa