Share

Antara Doa dan Dosa

***

Adit memandang Senja yang pagi ini masih bergelung di dalam selimut. Sementara dia sendiri sudah siap dengan setelan yang semalam ia kenakan. “Dua Puluh Juta untukmu sebagai tambahan karena semalam kita bercinta sekali lagi!” ujarnya sembari melempar segepok uang kepada Senja.

Dengan hati yang penuh sesak Senja menerimanya.

“Ingat jangan lupa minum pil kontrasepsi. Aku tak ingin kamu tiba-tiba menuntut pertanggung jawaban padaku karena hamil!”

Kali ini Senja mengangguk. “Iya Mas,” ucapnya.

Adit mendengus, lalu pergi begitu saja dari hadapan Senja. Dalam kamar yang kini hening Senja menangis. Airmata tak terbendung saat melihat sejumlah uang di dalam genggamannya. Uang yang ia dapatkan karena menjadi wanita simpanan seorang Aditya Prada Wirata.

“Ampuni aku Tuhan, tapi aku sungguh nggak punya pilihan,” ratapnya.

Dalam kesedihan itu, Senja tetap bersyukur karena dengan begini ia bisa mengumpulkan uang pengobatan untuk Andra lebih cepat. Buah hatinya harus diselamatkan.

Di saat Senja sedang menangis, tiba-tiba pintu kamar hotel kembali terbuka. Menampakan wajah Adit yang sarat akan sikap dinginnya. “Ponselmu terus berbunyi sejak tadi. Coba kamu cek, siapa tahu ada hal penting!” ujarnya. Setelah mengatakan itu Adit pergi lagi.

Senja menghapus sisa airmatanya. Mengabaikan sikap Adit, ia segera memeriksa ponselnya. “Dokter Kinan?” Rasa khawatir menyeruak dalam diri wanita itu. Dengan cepat ia menelpon dokter yang selama ini merawat Andra.

“Dokter? Ada apa?” Tanpa basa-basi Senja langsung bertanya tujuan dokter Kinan menelponnya setelah panggilan terhubung.

Dari tempatnya berada dokter Kinan menghela napas dengan berat. “Apa kamu bisa ke rumah sakit sekarang, Bu Senja?” tanyanya.

“Bisa dok! Saya segera ke sana.” Senja tahu sesuatu telah terjadi pada putranya yang masih berumur Lima tahun itu.

Setelah menutup telepon, Senja bergegas mengenakan pakaiannya, lalu meninggalkan kamar hotel. Tak lupa ia membawa uang yang pagi ini Adit berikan.

Tiga Puluh menit waktu yang Senja butuhkan untuk sampai ke rumah sakit Pelita Hati. Seperti biasa, ia selalu berlari menghampiri ruang rawat Andra. “Dokter Kinan!” panggilnya. Kebetulan sang dokter tengah berada di depan ruang rawat Andra.

Dokter Kinan mengangguk singkat. “Ikut saya dulu ke ruangan ya Bu,” intruksinya. Senja mengekor di belakang kala dokter Kinan menuju ke ruangannya.

“Ada apa dengan Andra, dok? Apakah … ” tanya Senja tak sampai selesai ketika telah berada di ruang pribadi dokter Kinan.

“Andra harus cepat ditangani,” Dokter Kinan mengasurkan amplo ke depan Senja. “Bukalah,” pintanya.

Dengan tangan yang bergetar hebat Senja membukanya. Dalam hati ia terus bertanya apa isi amplop tersebut.

“Surat itu menjelaskan kondisi Andra saat ini Bu Senja. Saya tidak ingin kita terlambat. Andra benar-benar telah berada diambang yang … ” dokter Kinan tak tega melanjutkan.

“Tolong lakukan yang terbaik, Dok! Saya sedang berusaha mengumpulkan uang saat ini,” Airmata Senja tak terbendung lagi. Sakit hatinya karena harus melihat anaknya berada di titik seperti ini.

“Berapa lama kira-kira Andra bisa menunggu saya mengumpulkan uang, dokter?” tanya Senja. Ia harus tetap waras agar Andra selamat.

Dokter Kinan menggeleng. Sesungguhnya ia tak tahu akan hal itu. “Saya tidak ingin memberi Ibu harapan, akan tetapi lebih cepat lebih baik. Kita sama-sama tahu seperti apa kondisi Andra,” ucapnya.

“Tadi malam dia memuntahkan darah segar lagi, Bu,”

Mendengar itu membuat jantung Senja berhenti berdetak. Airmata kembali mengaliri pipinya. “Ya Tuhan,” lirihnya. Sudah separah itu kondisi Andra, dan uang untuk pengobatannya baru terkumpul sedikit.

“Dok, saya punya uang Dua Puluh Juta. Apakah saya bisa … ”

“Bu Senja saya sudah bilang saya nggak bisa bantu banyak, tapi saya akan melakukan yang terbaik untuk Andra selagi Ibu mengumpulkan uangnya. Semoga kita sama-sama tidak terlambat ya Bu,”

Senja tak bisa berkata-kata. Hanya airmata yang mewakili rasa sakitnya. Andai bisa menggantikan penderitaan Andra, maka detik ini juga ia bersedia.

“Hanya itu yang ingin saya sampaikan Bu, sekarang sebaiknya Ibu temui Andra dulu. Dia sudah sadar,” dokter Kinan menggenggam tangan Senja. Ia mengerti bagaimana penderitaan Ibu dari pasiennya itu.

Keluar dari ruangan dokter Kinan, Senja benar-benar menghampiri Andra. Wajah pucat putra semata wayangnya itu menjadi pemandangan pertama yang Senja lihat. Bergegas ia menghapus airmatanya agar Andra tak bertambah sedih atau khawatir.

“Ibu!” panggil bocah itu sambil tersenyum lebar. Lihatlah, meskipun sedang sakit parah, Andra tetap saja tersenyum lebar kala menyambut ibunya. Hal itu membuat Senja semakin ingin menangis, tapi ia tahan sekuat tenaga.

Senja memaksa senyumnya. “Sayang, apa kabar? Maaf ya semalam Ibu nggak ada di sini,” ucapnya sambil mencium kening Andra.

“Nggak apa-apa Ibu, kata dokter Kinan Ibu bekerja untuk kesembuhan Andra,”

Senja tak bisa berkata-kata karena tiba-tiba saja airmata yang coba dirinya tahan kini mengaliri pipinya lagi.

Andra yang tahu akan hal itu tak ikut menangis, melainkan tersenyum sambil menangkup pipi ibunya. “Jangan menangis Ibu,” ucapnya.

Mana mungkin Senja sanggup menahannya lagi? Senja terisak sembari memeluk tubuh Andra yang semakin kurus. Dalam hati Senja berteriak, semoga Tuhan tidak mengambil Andra dari hidupnya. Andra adalah satu-satunya keluarga yang ia punya.

“Ibu, Andra ngantuk. Usah kepala Andra ya Bu supaya Andra bisa tidur dengan nyenyak,”

“Andra ngantuk? Ya sudah sini Ibu usap, Sayang.”

Lantas tak berapa lama kemudian Andra benar-benar terlelap. Semakin leluasa saja airmata Senja keluar dari peraduannya. Wanita setegar karang itu akhirnya keluar dari ruang rawat Andra karena tak sanggup menahan isaknya.

“Andra maafkan Ibu, Nak. Ibu nggak berdaya,” Kini Senja berada di taman rumah sakit. Menangisi nasib malang yang menimpa hidupnya. Tidak ada yang menyenangkan. Sejak kecil sudah menderita. Orangtua meninggal dalam kecelakaan, lalu ia terpaksa tinggal di panti asuhan.

Ketika dewasa menikah dengan lelaki yang juga dari panti. Awalnya semua baik-baik saja, akan tetapi suaminya juga harus pergi karena penyakit yang sama dengan yang diderita oleh Andra. Kini, anak semata wayang juga ikut merasakan sakitnya.

“Hancur hati Ibu, Nak. Hancur!” isaknya.

Tanpa Senja sadari seorang lelaki tengah memperhatikannya sembari memegang amplop dari dokter Kinan yang tak sengaja terjatuh kala ia berlari menuju taman. Ada ragu yang tersirat dari lelaki itu saat melihat tangis yang tak kunjung reda dari mata Senja. Namun, pada akhirnya dihampirinya juga wanita tersebut.

“Assalamu’alaikum, permisi Mbak. Saya ingin mengembalikan amplop yang tak sengaja Mbak jatuhkan saat berlari tadi,”

Senja terkejut. Tanpa sempat menghapus airmatanya, Senja sejenak bertatapan dengan lelaki itu.

“Kamu!” Secara bersamaan mereka berujar. Rupanya, yang menemukan amplop milik Senja adalah gus muda yang tempo hari tak sengaja ditabrak oleh Senja.

“Dua kali dia menangis tergugu. Ada apa sebenarnya?” Dalam hati sang gus bertanya.

Sementara itu, Senja dengan cepat merebut amplop dari tangan gus. Jujur ia malu. “Terima kasih,” ucapnya. Senja lalu meninggalkan taman rumah sakit tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Senja pulang ke kontrakan. Tubuhnya yang kotor membutuhkan air bersih. Merasa telah melakukan dosa yang besar, Senja membasuh tubuhnya sambil membaca doa. Senja tahu dirinya terhina, tetapi kepada siapa lagi ia memohon ampun selain kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hanya do’a yang saat ini dapat menenangkan hatinya yang bergejolak dan merintih pedih.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status