Share

Gus Isam

***

Abrisam baru saja kembali dari pesantren saat menemukan sebuah amplop yang dijatuhkan seorang wanita. Niat hati ingin langsung menemui uminya, tapi terpaksa tertunda karena ingin mengembalikan amplop tersebut.

Tak disangka pemilik amplop tersebut adalah wanita yang sama dengan orang yang pernah menubruknya sehari sebelumnya.

Gus Isam tampak terkejut karena perempuan itu selalu saja menangis saat mereka bertemu. Sayang tak sempat ia bertanya, perempuan itu sudah pergi terlebih dulu.

“Apa yang kamu pikirkan, Abrisam?”

Sebuah suara mengintrupsi Isam dari lamunannya.

Gus muda tersebut tampak terkejut. “Umi? Sejak kapan Umi ada di sini?” tanyanya.

Umi Laila tersenyum karena anak sulungnya itu tak menjawab pertanyaannya. “Sudah sejak Lima menit yang lalu, Nak. Memangnya apa yang membuatmu melamun seperti itu?” tanyanya.

Isam salah tingkah. Astagfirullah. Tak seharusnya ia mengingat wanita yang bukan mahramnya.

“Apa yang mengganggumu, Isam? Cerita pada Umi,” ucap Nyai Laila.

Isam ragu, haruskah ia bercerita pada wanita yang telah melahirkannya itu atau memendam rasa penasarannya seorang diri.

Namun, melihat betapa banyak beban pikiran uminya saat ini, Isam memutuskan untuk tak menceritakannya. “Tidak ada apa-apa, Umi. Bagaimana keadaan Adnan? Apakah ada kemajuan?” tanyanya mengalihkan perhatian Umi Laila.

Nyai Laila mengembuskan napas dengan berat. “Dokter hanya meminta kita untuk bersiap-siap,” jawabnya lirih. Sungguh, Umi tahu semua makhluk ciptaan Tuhan akan kembali padaNya suatu hari nanti, tetapi betapa cepatnya waktu Adnan jika memang apa yang dokter katakan adalah kebenaran.

Namun, jika mengingat lagi penderitaan Adnan sejak mengalami kecelakaan hari itu, Umi lebih rela Adnan pergi untuk selamanya. Mungkin menghadap Allah lebih cepat bisa membuat putra bungsunya itu bahagia.

“Sabar Umi, ini semua yang terbaik untuk Adnan. Lagipula Allah tak akan menguji kita diluar batas kemampuan kita sebagai umatnya,”

“Kamu benar Isam. Kini Umi sudah ikhlas bila sewaktu-waktu Allah merenggut Adnan dari kita. Umi hanya berharap Adnan menjadi lebih damai setelah itu,” ucap Nyai Laila.

Adnan masih terbaring kaku dengan banyaknya selang di tubuhnya. Dokter mengatakan napasnya masih ada, tetapi sewaktu-waktu dapat pula lenyap dari raganya.

Hal itu pula yang mengharuskan Isam berada di rumah sakit beberapa waktu belakangan ini. Bergantian dengan Abinya, Kyai Ahmad, Isam menemani sang Umi yang tetap tinggal di rumah sakit menemani Adnan.

“Umi, Isam ingin pamit pada Umi. Untuk sementara waktu Isam belum bisa menemani Umi menjaga Adnan. Beberapa waktu lalu Isam diminta untuk mengisi pengajian di beberapa masjid mengingat sebentar lagi kita memasuki bulan ramadhan. Umi tak apa-apa kan sendirian?”

Nyai Laila tersenyum mendengar ucapan anaknya. Tentu ia tak akan pernah keberatan saat Isam ingin melakukan kebaikan. “Pergilah, Nak. Umi tidak apa-apa, ada Allah yang akan menjaga Umi di mana pun Umi berada, lagipula Abimu juga akan lebih sering berkunjung ke sini. Dia tidak akan membiarkan Umi bersedih sendirian,” ucapnya.

“Ahh, ustadzah Hafa juga berjanji untuk sering menemani Umi!” ujar Nyai melanjutkan.

Gus Isam tersenyum tipis, tahu betul maksud kenapa Umi Laila menyebut nama ustadzah Hafa sambil meliriknya. Umi sejak dulu memang berusaha untuk menjodohkannya dengan ustadzah bertutur lembut itu.

“Alhamdulillah kalau begitu. Setidaknya Umi memiliki teman selama aku tidak ada di sini,”

“Iya Alhamdulillah. Tapi, kamu harus mengucapkan terima kasih pada ustadzah Hafa secara langsung ya. Umi belum sempat berterima kasih waktu itu,” ucap Umi.

“Tak baik Umi bila Isam menemui ustadzah Hafa secara pribadi. Sebaiknya Umi saja yang melakukannya,” balas Isam berusaha menghindari percakapan tentang ustadzah Hafa.

“Baiklah.” Nyai Laila tahu Isam belum siap untuk dijodohkan secara terang-terangan dengan Hafa. Itulah kenapa Isam selalu saja menghindar kala ia menyebut nama ustadzah cantik yang telah mencuri hatinya tersebut.

Isam mengembuskan napas dengan berat. Ia meraih tangan Uminya. Dirinya tahu sang Umi kecewa. “Maafkan Isam ya Umi, untuk sementara waktu Isam hanya ingin Umi fokus pada Adnan. Jangan memikirkan tentang Isam dulu,” ucapnya dengan lembut.

“Apakah itu artinya kamu setuju dijodohkan dengan ustadzah Hafa suatu hari nanti, Isam?”

“Aku tidak bisa berjanji, Umi, tapi apapun itu asal bisa membuat Umi dan Abi bahagia, maka aku siap melakukannya,”

Mendengar itu membuat Nyai Laila mengembuskan napas dengan lega. “Terima kasih, Anakku,” ucapnya.

Isam mengangguk. “Sekarang kita lantunkan ayat-ayat suci alquran untuk Adnan ya Umi, agar Adnan tenang,” ajaknya.

Nyai Laila setuju. Lantas mereka berdua pun mulai melantunkan ayat alquran untuk Adnan yang masih koma.

***

“Umi, aku kembali ke pesantren dulu. Nanti Abi akan datang,” ucap Isam saat jam menunjukan pukul Empat sore. Tadi ia sudah sholat bergantian dengan Umi Laila.

“Hati-hati dijalan anakku. Beritahu Umi saat kamu sudah sampai di pesantren,”

“Baik Umi.” Isam membalas.

Setelah itu, ia keluar dari ruang rawat Adnan. Tak disangka dalam perjalan gus muda itu berpas-pasan dengan ustadzah Hafa. Sebab saling mengenal, keduanya pun saling menyapa.

“Assalamu’alaikum Gus Isam,” Tak salah bila Nyai Laila sangat menyukai ustadzah Hafa. Selain memiliki wajah yang cantik, ustadzah Hafa juga sangat santun. Bahkan saat menyapa gus Isam saja ia menundukan pandangannya.

“Wa’alaikumsalam,” Gus Isam menyahuti. “Apakah ustadzah Hafa bermaksud menjenguk Adnan?” tanyanya.

Sejenak ustadzah Hafa mengangkat pandangannya, lalu mengangguk. “Betul. Aku sudah berjanji pada Umi Laila, gus,” jawabnya.

“Terima kasih, ustadzah Hafa. Saya sangat bersyukur karena kamu bersedia menemani Umi,”

Ustadzah Hafa menggelengkan kepalanya, merasa tindakannya bukan apa-apa. Ia ikhlas menemani Nyai Laila yang begitu baik padanya itu. “Ini sungguh tidak seberapa, gus,” ucapnya.

“Tidak seberapa bagimu, tapi bagi Umi sangat bermakna. Beliau sangat senang kamu datang berkunjung,”

“Kalau gus sendiri bagaimana? Apakah gus tidak keberatan melihat saya ada di sini?” Ustadzah Hafa memberanikan diri untuk bertanya. Tak ada maksud menggoda dalam tutur katanya. Ia hanya ingin memastikan perasaan gus muda yang telah lama dirinya kagumi itu.

“Tentu saya tidak keberatan. Saya justru sangat berterima kasih, terlebih untuk beberapa hari ini saya belum bisa menemani Umi,”

“Memangnya gus mau ke mana?” Sebab penasaran Hafa pun bertanya. Ia juga memberanikan diri menatap sebentar wajah gus Isam.

Gus Isam mengalihkan pandangan karena tak ingin berbagi tatap terlalu lama dengan lawan jenisnya. “Saya ada pengajian di beberapa masjid,” jawabnya.

Embusan napas lega lalu terdengar dari ustadzah Hafa. “Gus tenang saja, biar Hafa yang menggantikan gus Isam menemani Umi Laila selama gus Isam tidak bisa,” ucapnya.

“Iya, sekali lagi terima kasih. Kalau begitu saya permisi duluan.” Abrisam berucap untuk pamit. “Assalamu’alaikum,” lanjutnya.

“Wa’alaikumsalam.” Ustadzah Hafa membalas kemudian.

Isam melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti karena kehadiran ustadzah Hafa. Sementara itu, Hafa sempat memutar butuhnya hanya sekadar untuk memandangi punggung gus Isam yang semakin menjauh. “Kapan kiranya gus Isam bisa melihat perasaanku yang tulus ini?” lirihnya dengan mata sendu.

Iya, sejak pertama kali mengenal gus Isam, Hafa tak pernah berhenti berharap kepada Tuhan agar Isam menjadi jodohnya. Namun, hingga detik ini sang gus muda tak pernah menunjukan ketertarikan terhadapnya. Justru lebih sering menghindar kala bertemu.

Hafa ingin menyerah, akan tetapi sebuah angina segar seolah menyapa saat Umi tertarik untuk menjadikannya menantu. Harapan Hafa melambung lagi.

Entah apakah mungkin ustadzah berparas cantik berhati soleha seperti Hafa bisa mendapatkan gus Isam sebagai imamnya suatu hari nanti. Semua rahasia tentang jodoh hanya milik Tuhan semata. Ustadzah Hafa hanya bisa berdoa.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status