Sudah tiga hari Freya mengunci mulut dan mengunci diri di kamar yang gelap. Dia menolak makan juga tak mau berbicara pada ibunya. Sungguh rasanya dia telah kehilangan muka karena ibunya bertindak tak semestinya di depan Abdu bahkan di tempat umum.
Pandangannya jauh menerawang menembus ambang jendela hingga ke langit biru. Semangatnya luruh bersama kebahagiaannya yang hilang seketika.Terdengar ketukan pada pintu kamarnya. "Ibu letakkan makananmu di depan pintu. Terserah jika kau nggak mau makan. Ibu nggak akan peduli." Kemudian hening. Freya pun bergeming.Namun, kepalanya tiba-tiba pusing. Pandangannya menjadi gelap. Dia pun ambruk ke atas ranjangnya. Pingsan karena kelelahan dan juga dehidrasi.***Di tempat yang berbeda, Gauri dan Ali menggelar resepsi. Tidak terlalu megah, namun tamu yang hadir cukup banyak hingga memenuhi tiap kursi yang terpajang.Gauri meski hari ini dia merasa bahagia karena akhirnya sudah sah menyandang sebagai istrSuasana bising melingkupi setiap sudut bandara. Semua orang berbeda postur dan warna kulit, tergesa-gesa mengejar waktu sembari menyeret-nyeret koper mereka. Ada juga yang menenteng tas jinjing serta kardus-kardus.Tak jauh dari pintu keberangkatan, Gauri sedang memeluk Taksa. Beberapa kali dia mengusap kepala anak semata wayangnya itu. Agak berat baginya untuk meninggalkan bocah itu. Apalagi ini merupakan kali pertama Gauri melakukan perjalanan jauh tanpa Taksa."Kamu baik-baik sama Papa, ya? Jangan nakal. Nanti kalau Mama udah tiba di sana, Mama langsung telepon Taksa."Anak kelas dua Sekolah Dasar itu mengangguk. Apa yang ibunya rasakan, dia tentu tidak tahu. Berbeda dengannya, Taksa malah senang sekali bisa menginap di rumah ayahnya, Abdu. Sebab jika bersama Abdu, dia sedikit merasakan kebebasan. Bisa main game sepuasnya, bebas tidur larut malam bila esoknya libur sekolah."Sebentar lagi pesawat kita akan berangkat. Ayo!" Ali mengingatkan setelah meli
Jam dinding berbentuk bulat berwarna hitam pekat dengan dihiasi warna putih pada angka dan jarumnya, menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Biasanya Abdu di waktu seperti ini sudah rebahan di kamar miliknya. Namun karena sedang bersama Taksa, mau tidak mau dia menemani putranya itu menonton TV di ruang tengah.Acara kartun kesukaan Taksa akan berakhir setengah jam lagi. Sembari menemani, dia sedari tadi berbalas pesan dengan Freya via aplikasi W******p.[Taksa belum juga tidur? Dia nggak ngantuk apa, Kak?] Pesan Freya baru saja masuk.Seraya menyandarkan kepala ke kursi sofa merah marun, Abdu mengetik pesan balasan. Kedua kakinya bersandar pada kursi plastik lipat berwarna putih.[Enggak kayaknya. Biarin aja. Nanti jam 9 acaranya juga habis.]Pesan yang baru dikirimkan, terlihat sudah dibaca Freya. Akan tetapi, tak terlihat tanda-tanda perempuan itu mengetik balasan.Abdu melirik pada Taksa yang menguap. "Itu udah ngantuk, kita tidur sek
Ayam jago peliharaan Dodot mulai berkokok sebelum hari terlalu terang. Rumah pria berambut kriting itu kebetulan berada tepat di sebelah rumah Abdu. Tanah tempat Abdu membangun rumah, didapat dari sahabatnya itu sendiri. Ketika dulu Abdu menyendiri dan merenungi segala kesalahannya, Dodot menawarkan sebidang tanah dan jadilah Abdu membeli dan membangun rumah di sini.Freya mengeliat, merenggangkan kedua tangan dan kakinya. Matanya mengerjap-ngerjap berusaha menerima cahaya dari lampu kamar. Seperti kebiasaan, Taksa tidak bisa tidur dalam kegelapan. Takut katanya, sehingga Freya menyalakan lampu kamar sepanjang malam.Dia menoleh ke samping, memindai wajah Taksa yang masih tertidur pulas. Dia tersenyum pada bocah itu. Wajahnya perpaduan antara Gauri dan Abdu. Namun, rambut dan kulit tubuhnya persis seperti ayahnya.Perlahan Freya membelai rambut bocah itu. Terlihat pergerakan pelan, tetapi Taksa tidak bangun, hanya berpindah posisi saja.Tak ingin membangu
Abdu pulang ke rumah tepat ketika Taksa baru saja memejamkan matanya untuk tidur siang. Lelaki itu terlihat letih. Wajahnya lusuh, rambut serta pakaiannya tidak lagi rapi. Meski begitu, dia tetap memberikan senyuman termanis untuk kekasihnya yang menyambut seraya membuka pintu ruang tamu."Mana Taksa?""Barusan tidur siang, Kak."Abdu melangkah ke sofa lantas duduk. Dia membuka sepatu dan melepas kaos kaki. Menanggalkan jaket, lalu mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Kelopak matanya tertutup rapat.Sesungguhnya Freya sejak tadi ingin mengungkapkan kejadian yang mengganggu pikirannya. Namun, jika melihat Abdu letih begini, ya ... dia tentu tidak berani.Freya kembali menelan ucapan yang sudah berada di ujung lidahnya. Lebih baik menunggu waktu yang tepat, hingga Abdu dalam keadaan segar bugar dan pikiran yang tenang."Mandi dulu sana, habis itu makan, Kak, lalu lanjut tidur." Freya masih berdiri sembari memberi instruksi. Ketika dia be
Sedan yang dikendarai Abdu melaju tidak terlalu kencang. Bersama Taksa serta Freya, dia menuju bandara untuk menjemput kepulangan Gauri dan Ali dari berbulan madu.Hanya suara musik game yang berasal dari ponsel di genggaman Taksa yang memecah kesunyian di antara mereka. Freya dan Abdu sama-sama membisu. Pikiran mereka tak luput dari kejadian tak enak yang menimpa Taksa kemarin. Hanya saja, mereka tidak tahu isi benak masing-masing.Freya pikir, mungkin Abdu sedang tidak ingin berbicara panjang lebar. Bisa jadi pria itu memikirkan masalah dalam pekerjaan atau hal lainnya. Freya tidak ingin terlalu banyak ikut campur jika tidak dimintai pendapat oleh Abdu sendiri.Sedang Abdu, dia juga tak bisa menebak apa yang akan Freya lakukan. Selamanya menyembunyikan fakta tersebut atau mendiskusikannya hanya dengan Gauri saja. Ah, dia memang tidak pandai menebak isi hati dan pikiran para wanita.Oleh karena jarak bandara dan rumah tidak terlalu jauh, mereka bertiga t
"Eh, ada Taksa ...!"Kedatangan mereka berlima disambut ramah oleh ibunya Ali, terlebih pada Taksa. Wanita berusia lebih dari setengah abad itu merentangkan tangan hendak memeluk bocah lelaki yang menatap ragu.Ibunya Ali seolah tidak peduli. Dia merengkuh Taksa ke dalam pelukannya, bahkan bersusah payah menunduk.Freya melirik berkali-kali pada Abdu yang diam-diam tersenyum sinis. Meski tidak kentara, tapi Freya hapal betul senyum tipis lelaki itu."Ini oleh-oleh buat Mama." Gauri menyerahkan bungkusan besar untuk ibunya Ali.Wanita itu melepaskan pelukan, lalu menerima bungkusan berwarna cokelat yang dikemas rapi. "Seharusnya nggak usah repot-repot, Nak. Apa ini?" Ibunya Ali sedikit mengintip dari celah bungkusan yang memang tidak tertutup rapat."Baju, Ma. Abis ... kita di sana nggak sempat jalan-jalan. Ali sibuk dengan pekerjaannya."Tangan kanan ibunya Ali mengibas. "Nggak apa-apa. Mama harap maklum, kok. Udah, yuk, pada masuk. J
Matahari berada tepat di pucuk kepala, ketika Freya baru saja menurunkan standar motor metiknya di parkiran kafe, di mana tempat dia dan Gauri membikin janji temu.Meski pandangannya masih tertutup kaca helm gelap, tetapi dia bisa melihat sosok Gauri dan Taksa yang sedang duduk di bangku sudut kafe.Bergegas Freya melepaskan sarung tangan, menyatukan kedua benda lembut nan tebal itu menjadi sebuah gumpalan, lantas dia selipkan ke dasboar motornya. Lalu dia mencopot helm, menyimpannya di bawah jok. Sejenak dia memandangi wajahnya dari pantulan kaca spion, merapikan anak rambut yang lepek akibat helm dan keringatnya sendiri.Merasa kehadirannya sudah diketahui oleh Taksa yang melambai-lambai dari balik kaca kafe, Freya menyambar tas jinjing dan melangkah ke dalam kafe. Ucapan selamat datang dia terima dari pelayan yang berdiri di sebelah pintu. Tak kalah ramah, dia membalasnya dengan anggukan."Kenapa harus jam segini, sih?" Freya sedikit menggerutu sembari
Dengan tekad yang kuat, hari ini juga Gauri ingin memberitahukan segala kegundahannya pada Ali. Namun, seperti tidak punya banyak keberanian, dia ingin Freya turut serta menemaninya sekaligus sebagai saksi, bahwa pada hari itu ibunya Ali telah memperlakukan Taksa dengan tidak menyenangkan hati.Sesungguhnya Freya sendiri merasa tidak enak, seperti memakan buah simalakama. Di satu sisi dia ingin membantu, tapi di sisi lain dia tidak ingin terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga orang lain sebagaimana yang selalu diwanti-wanti ibunya sejak lalu-lalu. Namun, bila dia tidak angkat bicara, kasihan Gauri. Pasti perempuan itu akan dicap memfitnah mertuanya sendiri tanpa adanya bukti.Selepas menghabiskan menu hidangan kafe, mereka bertiga menuju rumah Gauri yang lama, yang dulunya ditinggali semasa Gauri masih menjalin hubungan bersama Abdu. Semenjak dia menikah, rumah itu kini kosong. Pemiliknya sesekali datang hanya untuk membersihkan debu dan juga sarang laba-laba yang