Share

Pertengkaran di Sekolah

Suara keduanya begitu kentara terdengar di telinga Syifa dan Rachel.

Dua wanita muda itu saling bertatapan sejenak dengan langkah yang terus di pijaki.

Saat kedua netranya menatap kedepan, tiba-tiba bola matanya tercengang melihat sosok laki-laki yang sangat ia kenal keluar dari ruangan TU dan melenggang menuju gerbang depan.

Sontak Rachel menepuk lengan Syifa perlahan, akan tetapi wanita bersuami di sampingnya telah lebih dulu menangkap kehadiran sang suami di sana.

“Suamimu habis ngapain Syif? Bawa map segala,” seloroh Rachel melihat laki-laki memakai kemeja putih lengkap dengan celana dan sepatu hitam.

“Nggak tau,” balas Syifa. Kedua netranya tak lepas dari tubuh suaminya yang melangkah pergi.

Tak lama kemudian tanpa menunggu lama lagi Syifa berlari kecil mengejar tubuh suaminya yang menghilang di pandangan matanya. 

“Syif, mau kemana?” teriak Rachel memanggilnya. Namun, Syifa tak menghiraukan panggilannya.

Ia segera menghampiri sang suami dengan ayunan kaki yang di percepat. 

“Mas Hamzah!” serunya untuk menghentikan langkah sang suami.

Seketika tubuh laki-laki itu berhenti dan menoleh kepadanya.

“Dek,” ucapnya singkat saat sang istri tengah menghampirinya.

Syifa mengantur pola nafasnya yang masih terengah-engah, lalu dengan satu tarikan nafas ia mulai mengeluarkan kata-kata.

“Mas ngapain disini?” tanya Syifa seraya memperhatikan penampilan Hamzah yang begitu rapi tak seperti biasanya.

Hamzah bergeming, raut wajahnya nampak lesu dan tak bersemangat. Sesekali ia menatap kebawah dan terlihat ragu mengucapkan kalimat dari mulutnya.

“Kenapa Mas? Kok nggak jawab?” tuntut Syifa.

Hamzah masih tetap diam.

Dari jarak yang tak jauh dari tempat mereka berdiri nampak dua laki-laki berjas hitam terlihat mendekat. Namun, bukan untuk menghampiri keduanya.

Halaman depan sekolah swasta ini cukup luas, sehingga seringkali di manfaatkan para guru untuk memarkirkan mobilnya.

“Permisi Bu Syifa dan Pak Hamzah,” ujar Pak Hasan selaku wakil kepala sekolah. Ia terlihat mengawal kepala sekolah menuju mobil bersamanya.

Syifa terkejut mendengar ucapan Pak Hasan yang menyebut nama suaminya tersebut.

“Dari mana Pak Hasan kenal Mas Hamzah?” pikir Syifa dalam benaknya.

Pak Amin yang menjabat sebagai kepala sekolah nampak masuk kedalam mobil lebih dulu.

“Ohya Pak Hamzah, hmmm ... maaf, saran saya sebaiknya Bapak kuliah terlebih dahulu baru bisa melamar kerja disini. Punya ilmu tanpa ijazah memang agak susah Pak,” tuturnya sembari menepuk bahu Hamzah dengan memberikan energi semangat terlihat dari senyumnya yang mengembang.

“Insyaallah, terima kasih banyak Pak,” balas Hamzah.

“Sama-sama, maaf saya permisi, ya?” ucap Pak Hasan sembari memasuki mobilnya di sisi bagian kemudi.

Syifa dan Hamzah menepi guna memberi jalan kepadanya.

Tak lama kemudian Syifa segera melempar pertanyaan kepada suaminya.

“Mas habis melamar pekerjaan? Sebagai apa?” tanya Syifa menatap lekat wajah suaminya. 

"Sekolah aja nggak lulus, gimana mau kerja di dunia akademisi?" protes Syifa dalam hatinya.

Hamzah bungkam, ia menoleh dan menatap sisi yang lain. Apa saja asal bukan wajah sang istri yang membuatnya merasa terintimidasi.

“Mas kok nggak jawab?” ulang Syifa. Namun, Hamzah tetap saja diam.

Sejenak Syifa menarik nafas panjangnya, lalu menghempaskannya dengan kasar.

“Mas mau bicara tidak? Atau aku akan pergi dari sini,” pungkas Syifa dengan hati yang mulai kesal. Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Syifa segera melangkahkan kaki untuk meninggalkan Hamzah. 

Tiba-tiba sebuah tangan besar menahannya, sontak Syifa berbalik dan menatap laki-laki yang menahannya tersebut.

“Kebutuhan kita semakin banyak Dek, mas butuh penghasilan yang lebih,” ungkap Hamzah lirih.

Syifa kembali mendekat dan mengurungkan niatnya untuk meninggalkan sang suami di sana. 

“Aku harus menafkahimu, apalagi ibu yang mengeluhkan banyaknya kebutuhan kepadaku,” tutur Hamzah tanpa di minta.

Ia pikir dengan mengungkapkan rasa gundah akan mampu mengurangi keresahan di hatinya, apalagi Syifa adalah istrinya sendiri.

“Ibu lagi, ibu lagi, ibu lagi ... kapan sih kita bisa hidup mandiri, Mas?” sergah Syifa dengan suara yang cukup tegas membuat Hamzah terbelalak melihat reaksi sang istri yang jauh dari prediksi.

“Ibu ‘kan tanggung jawabnya mas, Dek,” sanggah Hamzah.

“Mas, sadar nggak sih? Ibu itu terlalu berlebihan. Ia sudah melewati batas wajar, apalagi tuntutannya kepadaku, huh!” keluh Syifa, wajahnya telah merah padam.

“Dek, kenapa bilang seperti itu? Apa selama ini kamu marah dengan sikap ibu?” ujar Hamzah menatap kedua netra sang istri seraya menuntut penjelasan yang pasti.

“Apa menurut Mas selama ini aku tidak terganggu, hah?” Syifa semakin naik pitam.

“Bukankah selama ini Mas sudah minta maaf kepadamu, Dek? Apa itu nggak cukup?”

“Nggak! Mas kira maaf itu bisa membuat aku bahagia? Membuat aku nggak tertekan hidup di sana? Mas salah! Cobalah mengerti keadaanku Mas!”

Emosi Syifa semakin tak terkontrol. Telunjuknya mengarah ke dada bidang Hamzah, membuat laki-laki itu geleng-geleng kepala melihat aksinya. 

“Istighfar Dek! Setan dan hawa nafsu merasukimu. Bahkan kamu lupa kita sedang dimana, nggak baik kita bertengkar seperti ini,” ujar Hamzah berusaha meredam emosi istrinya.

“Asal Mas tau, ya? Aku tuh tertekan, kepikiran. Ternyata kehidupan rumah tangga bisa serumit ini, apalagi hidup bersama mertua.” Syifa meluapkan semua emosinya. 

“Cukup Dek!” Hamzah menekan kedua bahu Syifa.

Hamzah berusaha kuat menahan emosi sang istri yang entah sejak kapan ia pendam sehingga saat ini semuanya meletup tak berkesudahan.

Seketika Syifa menghentikan aksinya, kedua tangannya telah menekan kedua kepala yang terasa berat seperti hendak meledak saja.

Hamzah menarik nafasnya dalam-dalam hingga terdengar hembusan nafasnya yang bergemuruh.

Sejenak kemudian Syifa menoleh, akan tetapi betapa terkejutnya dirinya. Beberapa orang telah berdiri menyaksikan adu mulut dirinya dengan sang suami.

Tak jauh dari sana satu, dua, tiga bahkan terhitung lebih dari lima orang terpaku menatap dirinya. 

Syifa terfokus pada gadis muda yang hendak mengeluarkan motornya di parkiran depan sana.

Syifa segera menghampirinya.

“Hel, kamu mau pulang? Sekolah sudah selesai kah?” tanya Syifa seraya berdiri di samping motornya. Beberapa detik kemudian terdengar bunyi bel tanda pulang. 

“Besok lusa ulangan para siswa, jadi setelah bersih-bersih mereka bisa istirahat pulang,” terang Rachel sembari mendaratkan tubuhnya di jok motor dan memasang kunci untuk menyalakan motor.

“Rachel tunggu!” Syifa menahan setir motornya. Sontak Rachel menoleh kepadanya.

“Apa kamu dan lainnya mendengar semuanya sejak tadi?” tanya Syifa menuntut penjelasan dari sahabatnya ini.

Rachel diam membisu, sejenak ia tersenyum canggung di sudut bibirnya. 

“Maafkan aku, ya? Semoga kamu bisa selalu sabar dan tabah menjalani hidup, Syif.” Rachel mengelus lembut lengan sahabatnya.

“Aku akan selalu mendukung kamu dan siap membantu kapanpun jika kamu mau,” sambungnya seraya tersenyum simpul. 

Binar bahagia tergambar pada raut wajah Syifa, sudut matanya mengembun.

Tangannya bergegas mengusap apapun yang akan mengalir dari sana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status