Share

Kesialan Menimpa

Sesampainya di tempat sekolah berbasis Madrasah Tsanawiyah itu Syifa berlari kecil menuju ruang guru, suasana telah sepi. Seluruh siswa telah masuk ke kelasnya masing-masing.

Dengan perasaan malu dan takut Syifa terus melajukan kakinya melewati lorong kelas satu persatu.

Hampir saja ia memasuki ruangan tempat stand by para pengajar, akan tetapi laki-laki matang berseragam dengan kepala pelontos menghadangnya di depan pintu.

Syifa segera menundukkan wajahnya usai melihat raut wajah laki-laki dewasa di hadapannya.

Tak menunggu lama, Syifa di giring laki-laki berstatus kepala sekolah itu ke ruang kerjanya.

“Dasar nasib, udah jatuh ketimpa tangga ... di rumah gaduh, di sini berurusan dengan kepala sekolah,” keluh Syifa dengan perasaan gusar.

Pak Amin duduk di kursi tugasnya, membuat hati Syifa semakin tegang di buatnya.

“Guru baru sudah bisa terlambat masuk.” Pak Amin membanting kertas absensi guru di hadapan Syifa.

Walaupun tak begitu keras dan tak terdengar nyaring. Namun, cukup membuat Syifa terperanjat kaget.

“Maafkan saya Pak, tadi ada urusan penting yang tidak bisa saya tinggalkan,” balas Syifa dengan merunduk.

"Semua orang punya urusan," tepisnya dengan tegas. Sontak membuat Syifa terbungkam.

“Seragam Anda kenapa basah semua seperti itu?” tutur Pak Amin seraya memperhatikan lengan kemeja yang Syifa kenakan nampak pudar dari warna biasanya.

Sontak Syifa berusaha menutupinya dengan kedua tangan, meskipun tak bisa menutupi semuanya.

Wanita itu menghela nafas panjangnya, tidak sempat berfikir untuk mengganti seragam lebih dulu. Ia hanya memikirkan untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang menghalanginya berangkat tepat waktu.

“Hmmm ... itu Pak, tadi saya ...,” ucap Syifa dengan sedikit terbata.

“Sudah, saya nggak mau alasan,” tegas Pak Amin memotong penjelasannya.

“Anda bisa saja dikeluarkan sekarang juga, tapi saya masih memberi Anda kesempatan. Perbaiki kesalahan dan disiplin dalam pekerjaan,” jelas Pak Amin, membuat wanita di hadapannya bernafas lega. 

“Sekarang Anda bisa keluar dari ruangan saya,” sambungnya.

“Baik Pak, terima kasih banyak,” tutur Syifa sembari menunduk hormat, lalu meninggalkan ruangan yang bisa membuat jantungan jika lama-lama berdiam di dalam sana.

*******

Setelah bel istirahat berbunyi para guru berdatangan ke ruang kantor. Syifa duduk di meja yang terletak di sudut belakang dan bersebelahan langsung dengan tembok. Posisi yang aman bagi dia dalam kondisi yang genting seperti ini.

Beberapa guru senior yang berwajah lebih matang dan berlipstik tebal menatapnya sinis. Adapula yang meliriknya, akan tetapi saat Syifa menoleh ia akan menatap ke arah lain.

“Fyuuh ...!” Wanita berusia 24 tahun itu menghela nafas panjangnya dan menghembuskannya perlahan.

“Gila! Bisa-bisanya kamu telat! Nggak malu apa?” bisik Rachel seraya sedikit menoleh kepadanya. Gadis sebaya dengannya itu duduk tepat di depan meja tugasnya sembari sesekali memperhatikan sekitar.

Syifa bergeming tak meresponsnya, ia membuka map di atas mejanya dan meraih sebuah pena, lalu menggoreskan sesuatu di atasnya.

“Jawab! Kamu kenapa? Ada masalah?” Rachel menatapnya setelah di rasa situasi aman karena ada beberapa guru yang keluar meninggalkan ruangan.

“Nggak, ada urusan aja,” jawab Syifa datar.

“Lagian kenapa kamu nggak ngajuin cuti nikah aja sih?” sambungnya.

“Nggak enaklah, baru masuk dua pekan masa langsung cuti, ya ‘kan?” sahut Syifa seraya meletakkan penanya dan mulai menghadap wajah sahabatnya.

Mengobrol santai seperti ini membuatnya sedikit lupa dengan beberapa kejadian yang menimpanya.

“Eh, penganten baru kok auranya nggak bahagia sih?” ujar Rachel seraya menyondongkan wajahnya serta meneliti mimik sahabatnya itu. 

Seketika Syifa meringis menampakkan deretan giginya yang rapi, lalu menjulurkan lidahnya.

“Astaghfirullahal adzim, jelek amat sih?” Rachel mendengus kesal serta mengerucutkan bibirnya yang sedikit tebal.

“Biarin, kalaupun jelek yang penting udah laku. Dari pada kamu? Hehe," ledek Syifa dengan terkekeh. 

“Beneran, kamu ada problem Syif? Aku nggak kenal kamu sehari dua hari, loh ya? Sampe ke lubang semut pun aku tau,” tekan Rachel mengulangi pertanyaannya. 

Seketika Syifa diam membisu, tatapannya kosong menatap sudut dinding yang tak berbenda apapun. 

“Haruskah Rachel tau? Sedangkan pernikahanku masih baru, masih banyak jalan yang harus aku lalui. Ini baru awal, belum tentu kedepannya akan terus begini,” pikir Syifa dalam benaknya. 

Ia terlihat menghela nafas, lalu menghempaskannya dengan perlahan. 

“Huft, biarlah! Cukup kupendam sendiri saja,” lanjutnya.

“Hey! Di tanya kok malah melamun?” Rachel melambaikan tangannya di depan wajah Syifa.

“Hahahaha.” 

“Kamu waras nggak sih? Di tanya malah ketawa?” Rachel menempelkan telapak tangannya di dahi Syifa.

“Aku masih waras Hel,” elak Syifa.

“Lagian kamu juga sih, penganten baru di tanya-tanya. ‘Kan malu kalau aku harus bilang lelah semalaman, ups!” Seketika Syifa menutup mulutnya dengan kedua tangan.

“Haduh! Jaga ucapanmu di depan si jomblo.” Rachel menepuk jidatnya seraya berbalik arah.

Sejurus kemudian senyum riang di wajah Syifa berubah sendu.

“Maaf Hel, aku nggak bisa cerita sama kamu. Biarkanlah aku terlihat baik-baik saja di matamu,” batin Syifa seraya menatap tubuh sahabatnya dari belakang.

Sejurus kemudian Syifa termangu seraya mendaratkan kepalanya di atas meja dan menatap tembok di sampingnya.

“Syif, ke kantin yuk!” Suara Rachel kembali terdengar. 

“Astaghfirullahaladzim, kamu tidur jam berapa sih? Bangun! Jangan sampe yang lain liat kalau kamu tidur.” Rachel menepuk punggung Syifa beberapa kali.

Syifa menghela nafas panjangnya, matanya yang terpejam perlahan ia buka. 

“Aku nggak tidur Hel, aku cuman capek saat ini ... capek karena aku memiliki keluarga yang tidak membuatku bahagia,” batin Syifa sembari menatap dinding bercat putih di hadapannya.

“Syifaaa,” panggil Rachel ulang dengan cara yang sama.

“Iya Hel, kenapa? Ada apa?” sahut Syifa menampilkan wajah malasnya.

“Daripada kamu tidur ke kantin aja yuk! Laper.” Tangan kanan Rachel terlihat mengelus perut ratanya. 

“Hmmmm,” balas Syifa. Gadis cantik di depannya ini memang tidak pernah berubah sejak pertama kali kenal di bangku kuliah.

Dia terkenal boros dan suka ngemil. Walaupun begitu tubuhnya masih terbilang ramping, akan tetapi tidak dengan waktu yang sekarang.

“Badanmu akan tambah melar nanti,” celetuk Syifa dengan ekspresi datarnya.

“Sembarangan kamu! Aku belum makan dari pagi tau. Aku bangun kesiangan, belum sempet sarapan di kostan.” Rachel terlihat mengerucutkan bibirnya.

“Hehehehe.” Syifa terkekeh melihat tingkahnya.

“Tapi biar ajalah! Nanti aku bakal diet lagi,” ujar Rachel seraya mengelus kedua lengannya.

“Ya udah aku anterin,” ucap Syifa sembari berdiri dan di sambut senyum hangat dari sahabatnya itu.

“Dari pada duduk terus, bakal makin bikin pikirinku pusing,” pikir Syifa seraya melangkahkan kaki keluar.

Setelah beberapa langkah melewati ruang guru keduanya berpapasan dengan Bu Ainun, guru senior yang berbadan sedikit gempal berjalan dengan Bu Sari yang berperawakan tinggi serta bertubuh langsing.

“Zaman sekarang ngelamar kerjaan harus pakai ijazah kali. Minimal S1, mentok-mentoknya SMA,” ucap Bu Ainun dengan suara ketusnya.

“Ya iyalah Bu, apalagi instansi pendidikan minimal harus S1 linear,” balas Bu Sari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status