“Awas, Hana! Menghindar dari situ! lampu gantungnya lepas,” seru seorang pria yang berprofesi sebagai seorang fotografer, di sesi pemotretan untuk iklan sebuah apartemen.
Hana, sang fotomodel pun menghindar dengan berupaya berlari menjauh dari sana. Namun, kostum yang Hana kenakan rupanya mempersulit langkah gadis itu. Hana yang saat ini memakai gaun panjang dengan high heels setinggi sepuluh sentimeter, hanya mampu bergerak satu langkah. Dia kemudian terjatuh akibat kakinya menginjak ujung gaun, karena melangkah dengan tergesa-gesa. Akhirnya lampu gantung itu terjatuh di samping Hana, dan serpihan kaca lampu itu mengenai wajahnya.
Prang!
“Argghh!” pekik Hana ketika serpihan kaca lampu gantung mengenai wajahnya. Dalam waktu sekejap, darah membasahi wajah gadis itu.
Manager Hana dan beberapa kru yang terlibat dalam pemotretan itu, segera menghambur ke arah Hana dan menggotong tubuh gadis itu ke sofa.
“Cepat panggil ambulans! Hana harus segera dibawa ke rumah sakit!” titah seorang pria pada Mutia, manager Hana.
Mutia dengan cepat menekan angka pada telepon genggamnya, dan melakukan panggilan telepon ke salah satu rumah sakit. Dia meminta agar rumah sakit itu segera mengirim ambulans ke lokasi pemotretan.
Tak lama, ambulans tiba di lokasi pemotretan dan membawa Hana menuju rumah sakit.
***
Mata Hana mengerjap kala sinar mentari menerobos masuk dari celah tirai jendela ruang rawat, tempat gadis itu berada saat ini. Hana membuka kelopak matanya, dan dia merasakan wajahnya dibungkus kain perban yang cukup tebal. Rasa nyeri perlahan menjalar di permukaan wajahnya. Dia menatap langit-langit kamar, dan matanya pun mulai berkaca-kaca kala kini dia merasa dunianya sudah berakhir.
Ingatan Hana kembali ke kejadian kemarin siang, kala dia sedang melakukan pekerjaannya sebagai seorang fotomodel. Pekerjaan yang baru dia tekuni selama enam bulan, dan untuk iklan apartemen tersebut adalah yang pertama kalinya dia menjalani sebagai model iklan. Biasanya dia bekerja sebagai model pakaian di sebuah butik. Namun, kini sepertinya dia harus rela kehilangan pekerjaannya itu, karena wajahnya sudah rusak akibat terkena serpihan kaca lampu gantung apartemen.
Hana seketika histeris menyadari kalau dia sudah terpuruk saat ini.
“Arghh.”
Teriakannya itu membuat Mutia yang sedang tidur di sofa, terbangun dan bergegas menghampiri Hana.
“Han, kamu sudah bangun?” tanya Mutia dengan suara serak, khas orang baru bangun tidur.
“Mbak Mutia, bagaimana dengan karir aku ke depannya kalau wajahku kini sudah hancur?” ucap Hana lirih. Ucapannya terdengar pilu, dan siapa saja yang mendengarnya akan iba pada nasib gadis itu.
“Dokter mengatakan kalau wajah kamu bisa pulih setelah dilakukan operasi, Han,” sahut Mutia.
“Tapi, biayanya pasti mahal, iya kan?” tebak Hana. Dia mulai frustasi karena sebagai model baru, dia tidak punya banyak tabungan. Penghasilannya sebagai fotomodel untuk membantu ibunya menutupi biaya hidup keluarga, setelah ayahnya meninggal dunia.
Mutia, sang manager sekaligus kakak sepupu Hana menganggukkan kepalanya pelan.
“Dokter bilang, biayanya sekitar seratus juta. Itu hanya biaya operasinya saja, belum termasuk biaya pengobatan dan biaya rawat inap. Kalau dijumlah mungkin bisa mencapai dua ratus juta atau lebih. Itu karena luka kamu cukup parah, Han,” jelas Mutia.
“Lalu yang sekarang ini, siapa yang membiayai? Aku atau pihak pengembang apartemen itu?” tanya Hana.
“Kemarin malam perwakilan Barata Group mengatakan, bahwa pihak perusahaan akan bertanggung jawab atas kejadian itu. Mereka akan menanggung seluruh biaya pengobatan maupun rawat inap kamu selama di sini. Tapi, ketika dokter mengatakan kalau wajah kamu akan pulih kembali dengan cara melakukan operasi, pihak Barata Group tidak merespon,” ucap Mutia dengan suara perlahan.
“Lho, kok mereka tidak merespon? Seharusnya mereka juga bertanggung jawab atas musibah yang aku alami ini, Mbak. Aku juga tidak mau mengalami musibah seperti ini. Tapi, namanya musibah kan kita tidak bisa mengelak. Seharusnya mereka juga bertanggung jawab untuk mengembalikan wajahku seperti semula. Menurut Mbak Mutia, sekarang aku harus bagaimana?” tanya Hana lirih.
“Aku ada pikiran untuk mengajukan tuntutan ganti rugi ke pihak manajemen Barata Group, untuk membiayai operasi pada wajah kamu. Wajah kamu itu aset berharga kamu, Han. Jadi harus dipulihkan. Bagaimana? Apa kamu setuju dengan ideku ini?” tanya Mutia.
“Tolong lakukan hal itu untukku, Mbak. Wajah aku ini harus dipulihkan. Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku. Mbak tahu sendiri kalau aku membiayai hidup keluarga dan kuliahku, dari pekerjaanku sebagai seorang fotomodel,” sahut Hana. Dia menggenggam erat jemari Mutia.
“Iya, Han. Kamu tenang saja. Hari ini aku akan ke kantor Barata Group meminta ganti rugi. Kamu nggak masalah kan kalau aku tinggal sebentar? Sebentar lagi ibu kamu akan datang kemari. Aku sudah menghubunginya semalam,” ucap Mutia.
“Iya, Mbak. Aku nggak apa-apa di sini sendiri,” sahut Hana.
“Ok, aku akan pulang sebentar untuk mandi. Setelah itu, aku langsung ke kantor Barata Group,” ucap Mutia yang diangguki oleh Hana.
Siang harinya, Mutia datang ke ruang rawat inap dengan langkah gontai. Wajahnya terlihat tak bersemangat. Hal itu membuat Hana risau.
“Bagaimana hasilnya, Mbak?” tanya Hana.
“Pihak perusahaan nggak mau menanggung biaya operasi pada wajah kamu, Han. Pihak Barata Group bilang, kalau mereka sudah bertanggung jawab dengan membiayai pengobatan dan rawat inap kamu di sini. Masalah operasi itu menjadi urusan kamu. Mereka juga mengatakan kalau pihak Barata Group sudah berbaik hati tidak membatalkan kontrak. Mereka tetap menunggu hingga kamu pulih dan siap untuk melakukan pemotretan lagi,” jelas Mutia.
“Tapi, musibah ini kan karena kelalaian mereka juga yang nggak tepat pasang lampu gantungnya,” ucap Hana mulai kesal.
“Aku sudah jelaskan pada mereka tadi. Mereka bilang, namanya musibah tidak bisa dicegah jadi jangan mencari kambing hitam, begitu kata mereka tadi. Aku juga kesal mendengar jawaban mereka, Han,” ucap Mutia.
“Tapi, ini tetap nggak adil buatku, Mbak,” ucap Hana mulai terisak.
Mutia terdiam. Dia tampak tengah berpikir untuk mencari solusi terbaik bagi adik sepupunya itu.
“Han, aku punya ide. Bagaimana kalau kita menempuh jalur hukum? Kamu setuju nggak? Barangkali saja pihak Barata Group bisa berubah pikiran jika kita menempuh jalur hukum,” tutur Mutia.
“Tapi, biaya pengacara kan mahal, Mbak. Bisa jadi biaya pengacara lebih mahal dari pada biaya operasi wajahku,” ucap Hana.
“Aku punya teman yang berprofesi sebagai pengacara, Han. Kita bisa negosiasi nanti sama dia, bagaimana?” tanya Mutia.
Hana terdiam sejenak, hingga akhirnya dia menganggukkan kepalanya. “Ok, Mbak, aku setuju.”
***
Hana dengan diwakili oleh Mutia, akhirnya melakukan tuntutan ganti rugi melalui jalur hukum. Hal itu membuat pihak Barata Group merasa kesal. Terlebih lagi masalah ini terdengar ke telinga Andhika Barata, CEO Barata Group.
“Gus, ini kenapa kita bisa berurusan dengan masalah hukum? Apa nggak bisa diselesaikan dengan baik-baik?” tanya Andhika pada asistennya.
“Manager wanita itu minta ganti rugi untuk operasi wajah fotomodel itu, Pak. Kita sudah membiayai pengobatan dan rawat inap. Jadi kalau untuk operasi wajah, kita nggak menanggung lagi biayanya, dong.” Bagus, sang asisten menjelaskan awal mula mereka dituntut melalui jalur hukum.
Andhika menghela napas panjang. “Coba kamu atur pertemuanku dengan fotomodel itu. Aku mau bicara sama dia supaya dia mau mencabut tuntutannya. Bikin malu saja, Barata Group dituntut masalah ganti rugi operasi wajah.”
“Bapak serius mau ketemu sama fotomodel itu?” tanya Bagus memastikan.
“Hu’um.”
“Ok, akan saya atur waktunya,” ucap Bagus.
Tiga hari kemudian, Hana ditemani oleh Mutia datang ke kantor Barata Group untuk menemui Andhika Barata. Mereka diantar oleh Bagus menuju ruangan Andhika.
“Pak Andhika, ini Hana, fotomodel yang wajahnya terkena serpihan kaca lampu gantung itu,” ucap Bagus memperkenalkan Hana pada sang CEO, ketika sudah berada di ruangan Andhika.
Andhika menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Bisa saya bicara empat mata dengan Hana?”
Ucapan Andhika sontak membuat Hana serta Mutia terkejut dan saling tatap.
Andhika dan Hana sontak menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria sebaya dengan Andhika kini tengah melangkah serta tersenyum pada Andhika.“Siapa dia, Mas?” bisik Hana.“Dia Sakti. Teman semasa SMA yang berselingkuh dengan Devy,” sahut Andhika datar.Hana hanya manggut-manggut dan memperhatikan perubahan ekspresi sang suami.Rahang Andhika mengeras. Tampak jelas kalau kini dia sedang menahan emosinya. Terbayang masa lalu Sakti bersama dengan Devy yang mengkhianatinya.“Dhika, apa kabar?” sapa sakti ketika dirinya sudah berada di hadapan Andhika.“Kabarku baik, alhamdulillah,” sahut Andhika datar.Sakti yang paham dengan sikap Andhika yang dingin padanya, kini tersenyum canggung.“Aku tahu kamu mau makan malam ke restoran itu. Tapi, bisakah kita bicara sebentar saja. Aku mau...minta maaf padamu,” ucap Sakti agak grogi.Andhika menghela napas panjang. Dia tersenyum samar kala mendengar permintaan maaf yang baru saja Sakti ucapkan. Baru sekarang pria itu minta maaf. Ke mana saja
Aryo lalu mendekati Widya seraya berkata, “Aku akan mencarinya. Aku akan lapor ke polisi. Kamu tenang saja, ya.”“Aku ikut ke kantor polisi, karena aku yang mendapat kabar dari sekolah kalau Tika dijemput oleh seseorang yang mengaku masih keluarga,” sahut Widya setelah dapat menghentikan isak tangisnya. Dia lalu melirik ke arah Wiryo.Aryo yang paham akan lirikan Widya, menoleh pada mertuanya. Dia menatap Wiryo seraya berkata, “Apa Ayah yang menyuruh seseorang untuk menjemput anak kami di sekolahnya?”Wiryo terkekeh mendengar ucapan Aryo. “Buat apa aku melakukan hal itu? Urusanku adalah mengamankan aset perusahaan milik anakku, yang otomatis adalah milik kedua cucuku. Selain itu juga, kamu adalah suami anakku. Jadi aku berusaha untuk mengembalikan posisi kamu seperti semula, sebagai suami Lestari satu-satunya. Jadi setelah kamu menceraikan perempuan ini, dan menyuruhnya pergi dari sini, maka selesai sudah urusanku. Masalah anak kalian, aku sama sekali nggak tahu menahu.”Jawaban Wiryo
Wajah Aryo pun semakin pucat pasi mendengar ancaman dari ayah mertuanya. Dia lalu beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki sang mertua.“Ayah, maafkan aku. Maafkan atas kekhilafanku ini. Aku berjanji akan mengakhiri semua, asalkan jangan usik kehidupan adikku. Aku mohon Ayah,” ucap Aryo memelas.Wiryo tersenyum mendengar permohonan menantunya itu. Dia lalu berdiri karena tak sudi kakinya disentuh oleh pria macam Aryo, yang jelas telah membuatnya kecewa.“Apa kamu pikir aku akan percaya dengan perkataanmu ini, Aryo? Aku bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi untuk kedua kalinya. Kamu mau mengakhiri ini semua, maksudnya mau kamu ceraikan istri simpananmu itu? Apa bisa kamu menceraikannya? Sementara kamu tergila-gila sama dia, iya kan. Kalau kamu nggak tergila-gila, tentu nggak mungkin kamu selingkuh sampai menikahi perempuan itu. Semua yang kamu lakukan itu sudah terlalu jauh, Aryo, dan jujur aku sangat kecewa dan menyesal telah berbaik hati padamu dulu. Jadi salah satunya cara agar k
Sementara itu, Aryo yang tengah berada di apartemen tampak tak tenang. Semenjak kepergiannya dari rumah meninggalkan Lestari yang marah, dan Andhika yang menangis dengan kening yang berdarah, membuat rasa bersalah menyelimuti hati Aryo. Tiba-tiba rasa penyesalan hinggap di hatinya, karena dia tak menuruti permintaan anak sulungnya, anak kesayangannya.‘Dhika maafkan Papa ya, Nak,’ ucap Aryo dalam hati.Aryo memejamkan matanya dan menjambak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Ingin dia berteriak sekedar meringankan sesak di hati. Namun, dia tak ingin Widya mengetahui masalahnya.Widya yang baru saja meninabobokan Kartika, tercenung melihat Aryo yang tampak gusar di ruang tengah. Wanita itu melangkah menghampiri sang suami.“Ada apa, Mas?” tanya Widya dengan perlahan.Aryo membuka kelopak mata dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa kok, Wid. Aku hanya pusing saja. Aku mau tidur saja sekarang. Mungkin dengan tidur, sakit kepalaku akan hilang.”Tak menunggu jawaban dari
Aryo sedikit tersentak mendengar pengakuan Widya. Namun, tak lama dia pun tersenyum karena sadar apa yang mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil.“Aku akan menikahi kamu. Tapi, aku nggak bisa menikahi kamu secara resmi.”“Lho, kenapa?” tanya Widya bingung. “Kamu ini ngakunya bujangan, Mas. Masak menikahi aku nggak menikah resmi sih? Atau...kamu sudah punya keluarga?”Aryo tampak sedikit gugup. Dia melihat wajah Widya yang menatapnya dengan penuh selidik.“Bu-bukan begitu, Widya. Tapi, aku ada ikatan dinas di kantorku yang melarang karyawannya untuk menikah dulu selama lima tahun. Nanti kalau ikatan dinas itu sudah selesai, aku akan meresmikan pernikahan kita. Jadi nanti kita menikah di Bogor saja, ya. Kalau di Jakarta nanti ada teman-temanku yang tahu. Bisa bahaya untuk karirku,” sahut Aryo berbohong. Tentu saja dia tak mau menikah di Jakarta, karena Lestari atau keluarga yang lainnya yang juga tinggal di Jakarta akan tahu. Aryo tak ingin itu terjadi.“Oh, ya sudah kalau begi
Aryo menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.“Aku nggak akan macam-macam, apalagi selingkuh, Tari,” ucap Aryo serius.“Aku hanya jaga-jaga saja, Mas. Aku lakukan ini demi anak kita. Kalau nanti kamu macam-macam, aku bisa mengambil tindakan tegas. Lalu aku pastikan kalau masa depan anakku juga aman. Aku berkata begini bukan sombong, tapi aku hanya mengambil tindakan yang tepat untuk anakku kelak,” sahut Lestari yang juga serius.Akhirnya pasangan suami istri itu berhasil mendirikan CV Barata yang bergerak di bidang kontraktor kecil-kecilan. Lestari sendiri yang menangani dibantu oleh empat orang karyawan. Sedangkan Aryo masih tetap bekerja sambil mencari klien untuk CV Barata. Bahkan Aryo pun mulai berani ikut tender proyek pendirian sekolah swasta. Proyek itu pun sukses. Dari situlah lambat laun CV Barata mulai dikenal orang. Hingga dua tahun pendirian badan usaha itu yang semula bernama CV Barata, kini berubah menjadi PT. Barata.Usaha mereka pun semakin maju pesat. Omsetnya