Share

4. Terciduk

Hana dan Mutia langsung menuju sebuah kamar yang pintunya terbuka. Mata Hana membelalak ketika melihat pemandangan di depannya. Telapak tangan kiri Hana menutup mulutnya yang terbuka. Dia melihat seorang wanita muda nan cantik, tengah terbaring di tempat tidur tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya.

“Kurang ajar!” desis Hana dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Tenang, Han. Hadapi dengan elegan,” bisik Mutia yang berdiri di samping Hana. Mutia menatap jijik pada wanita yang tengah tertidur tanpa selimut menutupi tubuh polosnya. 

“Siapa dia, Rama?” ucap Hana ketika dia membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan pria itu.

“Dia..dia teman kencan aku, Han,” sahut Rama pelan.

Plak!!

Sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi Rama. Pria itu menghela napas sambil mengelus pipinya yang terkena tamparan Hana.

“Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini padaku? Kalau kamu udah nggak ingin menjalin hubungan sama aku, kita sudahi saja. Jadi kamu nggak perlu menusukku dari belakang seperti ini, Ram,” ucap Hana penuh amarah. Dia sudah tidak peduli lagi nasehat Mutia agar menyelesaikan masalah dengan cara yang elegan.

Hana mengamuk dan melayangkan sling bag ke wajah tampan Rama. 

“Dasar buaya darat! Pembohong! Laki-laki kurang ajar kamu, Rama! Semoga penyakit segera menempel di tubuh kamu!” maki Hana yang membuat Rama merah padam wajahnya.

“Tutup mulut kamu, Han. Jangan sembarangan kalau ngomong,” ucap Rama yang tersulut emosinya.

“Kenapa? Takut kalau kena penyakit, ya? Selingkuh dengan wanita murahan itu, pastinya akan menebar penyakit. Dan semoga saja kamu tertular, Rama!” maki Hana lagi.

“Sembarangan saja bilang orang murahan. Sadar diri dong kalau cowoknya sudah nggak mau. Rama lebih tertarik sama aku dibanding dengan kamu. Apalagi sekarang wajah kamu sudah cacat.” Tiba-tiba suara seorang wanita terdengar dari dalam kamar. Rupanya wanita itu terbangun setelah mendengar keributan di luar kamar.

“Eh, Mbak. Kalau nggak mau dibilang murahan, pakai bajunya! Jangan diekspos begitu. Hanya wanita murahan yang sanggup melakukan itu,” ucap Mutia ketus.

“Lho, ini kan apartemen Rama. Dia nggak keberatan kok kalau aku tampil polos kayak begini.” Wanita itu lantas berjalan mendekati Rama. Dia memeluk pinggang Rama seraya berkata, “Iya kan, Sayang. Kamu nggak keberatan kan kalau aku tampil polos begini?”

“Nggak dong, Sayang. Aku malah senang melihat tubuh seksi kamu,” jawab Rama yang membuat Hana semakin meradang. Rama bahkan mendekatkan wajahnya pada wajah wanita itu, dan mengecup bibirnya di hadapan Hana.

“Ck..ck..ck, hebat sekali. Ok, selamat untuk kalian berdua. Pasangan murahan! Rama, mulai saat ini hubungan kita berakhir!” tegas Hana.

“Ok, nggak masalah. Aku sebenarnya juga menunggu saat seperti ini akan tiba. Aku nggak tega kalau memutuskan kamu lebih dulu. Jadi aku memilih kamu yang putusin aku,” sahut Rama kalem, dengan senyuman yang membuat Hana terpancing emosi.

Hana berjalan mendekat dan meninju wajah Rama dengan keras. Rama yang tidak siap dan tidak menyangka kalau Hana akan memukulnya, tubuhnya terhuyung ke belakang. Dari dalam hidungnya keluar darah segar akibat tinju yang Hana berikan di wajah pria itu.

“Sayang, kamu berdarah hidungnya. Ayo, aku antar ke rumah sakit! Dan lakukan visum supaya kita bisa melaporkan dia ke polisi dengan tuduhan penganiayaan,” ucap wanita itu.

“Penganiayaan? Nggak salah itu? Polisi nggak akan percaya dengan laporan kalian. Malah Rama akan malu karena laporannya sendiri,” ucap Hana, lalu melenggang pergi keluar dari unit apartemen Rama, diikuti oleh Mutia.

Hana berjalan cepat menuju lift. Cairan bening sudah mengambang di pelupuk matanya. Dengan cepat dia menghapus air matanya itu agar tidak menetes di pipi.

“Sabar ya, Han. Untung ketahuannya sekarang. Jadi hubungan kamu dan Rama nggak sampai berlanjut ke jenjang yang lebih serius lagi,” ucap Mutia lembut.

Hana menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Iya, Mbak. Aku juga bersyukur kalau saat ini bisa membuka topengnya Rama.”

Di saat yang sama, pintu lift pun terbuka. Hana dan Mutia bergegas masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka, menuju ke lantai dasar. Dalam hitungan detik, Lift tiba di lobi apartemen.

Hana dan Mutia berjalan berdampingan menuju parkiran mobil, tanpa sepatah kata pun terucap dari bibir mereka. Apalagi Hana yang berusaha menata hatinya yang saat ini hancur berantakan.

“Setelah ini, kita langsung pulang saja ya, Han. Kamu perlu istirahat untuk menenangkan pikiran dan hati kamu,” ucap Mutia ketika mereka sudah ada di dalam mobil.

“Iya, Mbak. Kita pulang saja sekarang. Aku mau tidur setelah ini,” sahut Hana.

“Ok.” Mutia lalu mengemudikan mobil meninggalkan area apartemen, dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang di jalan raya.

Tiga puluh menit mereka menempuh perjalanan, akhirnya mobil yang Hana tumpangi tiba di depan rumahnya. Tak lama, muncul adik Hana membukakan pintu pagar dan tersenyum pada sang kakak.

Mutia segera melajukan mobil menuju carport rumah Hana. Setelah mobil terparkir rapi, Hana turun dari dalam mobil lalu masuk ke dalam rumah. Baru satu langkah Hana berjalan, Renata, adik Hana memanggilnya.

“Mbak Hana!” panggil Renata.

Hana membalikkan tubuhnya seraya berkata, “Ada apa, Ren?”

Renata lalu berjalan mendekat, kemudian memeluk lengan sang kakak seraya berucap, “Mbak, minta uang dong. Aku mau beli sepatu, Mbak. Sepatu aku sudah jebol.”

Hana menghela napas panjang seraya berkata, “Beneran sepatunya sudah jebol, Ren? Nggak kayak sebelumnya, kan. Kamu sebelumnya bohong sama aku, supaya dibelikan sepatu baru. Masih ingat nggak kamu dengan ulah kamu itu?”

“Iya, aku masih ingat. Tapi, kali ini beneran lho, Mbak. Masak aku bohong sih? Sebentar, aku ambil dulu sepatunya,” sahut Renata, lalu berjalan ke ujung teras rumah, tempat Renata meletakkan sepatu sekolahnya. Tak lama dia kembali lagi sambil membawa sepatunya itu. “Ini sepatunya, Mbak. Beneran kan kalau sepatunya sudah jebol.”

Hana menganggukkan kepalanya, lalu dia membuka tas dan mengambil dompetnya. Dia kemudian meraih tiga lembar uang pecahan seratus ribu dari dalam dompet, lalu menyerahkannya pada Renata.

“Ini uangnya. Langsung dibelikan sepatu, ya,” ucap Hana yang diangguki oleh Renata.

“Iya, aku juga mau beli sekarang,” sahut Renata. Dia lalu menatap ke arah Mutia, yang sedang menyiapkan motornya. “Mbak Mutia mau pulang? Aku nebeng dong, Mbak. Aku mau ke toko sepatu.”

“Boleh saja, ayo!” ajak Mutia, yang sudah siap di atas motornya.

Renata langsung naik ke jok belakang. Dia lalu melambaikan tangannya pada Hana, ketika Mutia mulai melajukan motornya keluar dari teras rumah.

Setelah Renata dan Mutia tak tampak lagi di depan matanya, Hana lalu masuk ke dalam rumah. Di saat yang sama, telepon genggam Hana berdering. Hana lalu meraih telepon genggamnya dari dalam tas. Matanya membulat ketika melihat nama Andhika terpampang di layar telepon genggamnya.

“Pak Andhika?!” gumam Hana terkejut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status