Hana dan Mutia langsung menuju sebuah kamar yang pintunya terbuka. Mata Hana membelalak ketika melihat pemandangan di depannya. Telapak tangan kiri Hana menutup mulutnya yang terbuka. Dia melihat seorang wanita muda nan cantik, tengah terbaring di tempat tidur tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya.
“Kurang ajar!” desis Hana dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Tenang, Han. Hadapi dengan elegan,” bisik Mutia yang berdiri di samping Hana. Mutia menatap jijik pada wanita yang tengah tertidur tanpa selimut menutupi tubuh polosnya.
“Siapa dia, Rama?” ucap Hana ketika dia membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan pria itu.
“Dia..dia teman kencan aku, Han,” sahut Rama pelan.
Plak!!
Sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi Rama. Pria itu menghela napas sambil mengelus pipinya yang terkena tamparan Hana.
“Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini padaku? Kalau kamu udah nggak ingin menjalin hubungan sama aku, kita sudahi saja. Jadi kamu nggak perlu menusukku dari belakang seperti ini, Ram,” ucap Hana penuh amarah. Dia sudah tidak peduli lagi nasehat Mutia agar menyelesaikan masalah dengan cara yang elegan.
Hana mengamuk dan melayangkan sling bag ke wajah tampan Rama.
“Dasar buaya darat! Pembohong! Laki-laki kurang ajar kamu, Rama! Semoga penyakit segera menempel di tubuh kamu!” maki Hana yang membuat Rama merah padam wajahnya.
“Tutup mulut kamu, Han. Jangan sembarangan kalau ngomong,” ucap Rama yang tersulut emosinya.
“Kenapa? Takut kalau kena penyakit, ya? Selingkuh dengan wanita murahan itu, pastinya akan menebar penyakit. Dan semoga saja kamu tertular, Rama!” maki Hana lagi.
“Sembarangan saja bilang orang murahan. Sadar diri dong kalau cowoknya sudah nggak mau. Rama lebih tertarik sama aku dibanding dengan kamu. Apalagi sekarang wajah kamu sudah cacat.” Tiba-tiba suara seorang wanita terdengar dari dalam kamar. Rupanya wanita itu terbangun setelah mendengar keributan di luar kamar.
“Eh, Mbak. Kalau nggak mau dibilang murahan, pakai bajunya! Jangan diekspos begitu. Hanya wanita murahan yang sanggup melakukan itu,” ucap Mutia ketus.
“Lho, ini kan apartemen Rama. Dia nggak keberatan kok kalau aku tampil polos kayak begini.” Wanita itu lantas berjalan mendekati Rama. Dia memeluk pinggang Rama seraya berkata, “Iya kan, Sayang. Kamu nggak keberatan kan kalau aku tampil polos begini?”
“Nggak dong, Sayang. Aku malah senang melihat tubuh seksi kamu,” jawab Rama yang membuat Hana semakin meradang. Rama bahkan mendekatkan wajahnya pada wajah wanita itu, dan mengecup bibirnya di hadapan Hana.
“Ck..ck..ck, hebat sekali. Ok, selamat untuk kalian berdua. Pasangan murahan! Rama, mulai saat ini hubungan kita berakhir!” tegas Hana.
“Ok, nggak masalah. Aku sebenarnya juga menunggu saat seperti ini akan tiba. Aku nggak tega kalau memutuskan kamu lebih dulu. Jadi aku memilih kamu yang putusin aku,” sahut Rama kalem, dengan senyuman yang membuat Hana terpancing emosi.
Hana berjalan mendekat dan meninju wajah Rama dengan keras. Rama yang tidak siap dan tidak menyangka kalau Hana akan memukulnya, tubuhnya terhuyung ke belakang. Dari dalam hidungnya keluar darah segar akibat tinju yang Hana berikan di wajah pria itu.
“Sayang, kamu berdarah hidungnya. Ayo, aku antar ke rumah sakit! Dan lakukan visum supaya kita bisa melaporkan dia ke polisi dengan tuduhan penganiayaan,” ucap wanita itu.
“Penganiayaan? Nggak salah itu? Polisi nggak akan percaya dengan laporan kalian. Malah Rama akan malu karena laporannya sendiri,” ucap Hana, lalu melenggang pergi keluar dari unit apartemen Rama, diikuti oleh Mutia.
Hana berjalan cepat menuju lift. Cairan bening sudah mengambang di pelupuk matanya. Dengan cepat dia menghapus air matanya itu agar tidak menetes di pipi.
“Sabar ya, Han. Untung ketahuannya sekarang. Jadi hubungan kamu dan Rama nggak sampai berlanjut ke jenjang yang lebih serius lagi,” ucap Mutia lembut.
Hana menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Iya, Mbak. Aku juga bersyukur kalau saat ini bisa membuka topengnya Rama.”
Di saat yang sama, pintu lift pun terbuka. Hana dan Mutia bergegas masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka, menuju ke lantai dasar. Dalam hitungan detik, Lift tiba di lobi apartemen.
Hana dan Mutia berjalan berdampingan menuju parkiran mobil, tanpa sepatah kata pun terucap dari bibir mereka. Apalagi Hana yang berusaha menata hatinya yang saat ini hancur berantakan.
“Setelah ini, kita langsung pulang saja ya, Han. Kamu perlu istirahat untuk menenangkan pikiran dan hati kamu,” ucap Mutia ketika mereka sudah ada di dalam mobil.
“Iya, Mbak. Kita pulang saja sekarang. Aku mau tidur setelah ini,” sahut Hana.
“Ok.” Mutia lalu mengemudikan mobil meninggalkan area apartemen, dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang di jalan raya.
Tiga puluh menit mereka menempuh perjalanan, akhirnya mobil yang Hana tumpangi tiba di depan rumahnya. Tak lama, muncul adik Hana membukakan pintu pagar dan tersenyum pada sang kakak.
Mutia segera melajukan mobil menuju carport rumah Hana. Setelah mobil terparkir rapi, Hana turun dari dalam mobil lalu masuk ke dalam rumah. Baru satu langkah Hana berjalan, Renata, adik Hana memanggilnya.
“Mbak Hana!” panggil Renata.
Hana membalikkan tubuhnya seraya berkata, “Ada apa, Ren?”
Renata lalu berjalan mendekat, kemudian memeluk lengan sang kakak seraya berucap, “Mbak, minta uang dong. Aku mau beli sepatu, Mbak. Sepatu aku sudah jebol.”
Hana menghela napas panjang seraya berkata, “Beneran sepatunya sudah jebol, Ren? Nggak kayak sebelumnya, kan. Kamu sebelumnya bohong sama aku, supaya dibelikan sepatu baru. Masih ingat nggak kamu dengan ulah kamu itu?”
“Iya, aku masih ingat. Tapi, kali ini beneran lho, Mbak. Masak aku bohong sih? Sebentar, aku ambil dulu sepatunya,” sahut Renata, lalu berjalan ke ujung teras rumah, tempat Renata meletakkan sepatu sekolahnya. Tak lama dia kembali lagi sambil membawa sepatunya itu. “Ini sepatunya, Mbak. Beneran kan kalau sepatunya sudah jebol.”
Hana menganggukkan kepalanya, lalu dia membuka tas dan mengambil dompetnya. Dia kemudian meraih tiga lembar uang pecahan seratus ribu dari dalam dompet, lalu menyerahkannya pada Renata.
“Ini uangnya. Langsung dibelikan sepatu, ya,” ucap Hana yang diangguki oleh Renata.
“Iya, aku juga mau beli sekarang,” sahut Renata. Dia lalu menatap ke arah Mutia, yang sedang menyiapkan motornya. “Mbak Mutia mau pulang? Aku nebeng dong, Mbak. Aku mau ke toko sepatu.”
“Boleh saja, ayo!” ajak Mutia, yang sudah siap di atas motornya.
Renata langsung naik ke jok belakang. Dia lalu melambaikan tangannya pada Hana, ketika Mutia mulai melajukan motornya keluar dari teras rumah.
Setelah Renata dan Mutia tak tampak lagi di depan matanya, Hana lalu masuk ke dalam rumah. Di saat yang sama, telepon genggam Hana berdering. Hana lalu meraih telepon genggamnya dari dalam tas. Matanya membulat ketika melihat nama Andhika terpampang di layar telepon genggamnya.
“Pak Andhika?!” gumam Hana terkejut.
Andhika dan Hana sontak menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria sebaya dengan Andhika kini tengah melangkah serta tersenyum pada Andhika.“Siapa dia, Mas?” bisik Hana.“Dia Sakti. Teman semasa SMA yang berselingkuh dengan Devy,” sahut Andhika datar.Hana hanya manggut-manggut dan memperhatikan perubahan ekspresi sang suami.Rahang Andhika mengeras. Tampak jelas kalau kini dia sedang menahan emosinya. Terbayang masa lalu Sakti bersama dengan Devy yang mengkhianatinya.“Dhika, apa kabar?” sapa sakti ketika dirinya sudah berada di hadapan Andhika.“Kabarku baik, alhamdulillah,” sahut Andhika datar.Sakti yang paham dengan sikap Andhika yang dingin padanya, kini tersenyum canggung.“Aku tahu kamu mau makan malam ke restoran itu. Tapi, bisakah kita bicara sebentar saja. Aku mau...minta maaf padamu,” ucap Sakti agak grogi.Andhika menghela napas panjang. Dia tersenyum samar kala mendengar permintaan maaf yang baru saja Sakti ucapkan. Baru sekarang pria itu minta maaf. Ke mana saja
Aryo lalu mendekati Widya seraya berkata, “Aku akan mencarinya. Aku akan lapor ke polisi. Kamu tenang saja, ya.”“Aku ikut ke kantor polisi, karena aku yang mendapat kabar dari sekolah kalau Tika dijemput oleh seseorang yang mengaku masih keluarga,” sahut Widya setelah dapat menghentikan isak tangisnya. Dia lalu melirik ke arah Wiryo.Aryo yang paham akan lirikan Widya, menoleh pada mertuanya. Dia menatap Wiryo seraya berkata, “Apa Ayah yang menyuruh seseorang untuk menjemput anak kami di sekolahnya?”Wiryo terkekeh mendengar ucapan Aryo. “Buat apa aku melakukan hal itu? Urusanku adalah mengamankan aset perusahaan milik anakku, yang otomatis adalah milik kedua cucuku. Selain itu juga, kamu adalah suami anakku. Jadi aku berusaha untuk mengembalikan posisi kamu seperti semula, sebagai suami Lestari satu-satunya. Jadi setelah kamu menceraikan perempuan ini, dan menyuruhnya pergi dari sini, maka selesai sudah urusanku. Masalah anak kalian, aku sama sekali nggak tahu menahu.”Jawaban Wiryo
Wajah Aryo pun semakin pucat pasi mendengar ancaman dari ayah mertuanya. Dia lalu beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki sang mertua.“Ayah, maafkan aku. Maafkan atas kekhilafanku ini. Aku berjanji akan mengakhiri semua, asalkan jangan usik kehidupan adikku. Aku mohon Ayah,” ucap Aryo memelas.Wiryo tersenyum mendengar permohonan menantunya itu. Dia lalu berdiri karena tak sudi kakinya disentuh oleh pria macam Aryo, yang jelas telah membuatnya kecewa.“Apa kamu pikir aku akan percaya dengan perkataanmu ini, Aryo? Aku bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi untuk kedua kalinya. Kamu mau mengakhiri ini semua, maksudnya mau kamu ceraikan istri simpananmu itu? Apa bisa kamu menceraikannya? Sementara kamu tergila-gila sama dia, iya kan. Kalau kamu nggak tergila-gila, tentu nggak mungkin kamu selingkuh sampai menikahi perempuan itu. Semua yang kamu lakukan itu sudah terlalu jauh, Aryo, dan jujur aku sangat kecewa dan menyesal telah berbaik hati padamu dulu. Jadi salah satunya cara agar k
Sementara itu, Aryo yang tengah berada di apartemen tampak tak tenang. Semenjak kepergiannya dari rumah meninggalkan Lestari yang marah, dan Andhika yang menangis dengan kening yang berdarah, membuat rasa bersalah menyelimuti hati Aryo. Tiba-tiba rasa penyesalan hinggap di hatinya, karena dia tak menuruti permintaan anak sulungnya, anak kesayangannya.‘Dhika maafkan Papa ya, Nak,’ ucap Aryo dalam hati.Aryo memejamkan matanya dan menjambak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Ingin dia berteriak sekedar meringankan sesak di hati. Namun, dia tak ingin Widya mengetahui masalahnya.Widya yang baru saja meninabobokan Kartika, tercenung melihat Aryo yang tampak gusar di ruang tengah. Wanita itu melangkah menghampiri sang suami.“Ada apa, Mas?” tanya Widya dengan perlahan.Aryo membuka kelopak mata dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa kok, Wid. Aku hanya pusing saja. Aku mau tidur saja sekarang. Mungkin dengan tidur, sakit kepalaku akan hilang.”Tak menunggu jawaban dari
Aryo sedikit tersentak mendengar pengakuan Widya. Namun, tak lama dia pun tersenyum karena sadar apa yang mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil.“Aku akan menikahi kamu. Tapi, aku nggak bisa menikahi kamu secara resmi.”“Lho, kenapa?” tanya Widya bingung. “Kamu ini ngakunya bujangan, Mas. Masak menikahi aku nggak menikah resmi sih? Atau...kamu sudah punya keluarga?”Aryo tampak sedikit gugup. Dia melihat wajah Widya yang menatapnya dengan penuh selidik.“Bu-bukan begitu, Widya. Tapi, aku ada ikatan dinas di kantorku yang melarang karyawannya untuk menikah dulu selama lima tahun. Nanti kalau ikatan dinas itu sudah selesai, aku akan meresmikan pernikahan kita. Jadi nanti kita menikah di Bogor saja, ya. Kalau di Jakarta nanti ada teman-temanku yang tahu. Bisa bahaya untuk karirku,” sahut Aryo berbohong. Tentu saja dia tak mau menikah di Jakarta, karena Lestari atau keluarga yang lainnya yang juga tinggal di Jakarta akan tahu. Aryo tak ingin itu terjadi.“Oh, ya sudah kalau begi
Aryo menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.“Aku nggak akan macam-macam, apalagi selingkuh, Tari,” ucap Aryo serius.“Aku hanya jaga-jaga saja, Mas. Aku lakukan ini demi anak kita. Kalau nanti kamu macam-macam, aku bisa mengambil tindakan tegas. Lalu aku pastikan kalau masa depan anakku juga aman. Aku berkata begini bukan sombong, tapi aku hanya mengambil tindakan yang tepat untuk anakku kelak,” sahut Lestari yang juga serius.Akhirnya pasangan suami istri itu berhasil mendirikan CV Barata yang bergerak di bidang kontraktor kecil-kecilan. Lestari sendiri yang menangani dibantu oleh empat orang karyawan. Sedangkan Aryo masih tetap bekerja sambil mencari klien untuk CV Barata. Bahkan Aryo pun mulai berani ikut tender proyek pendirian sekolah swasta. Proyek itu pun sukses. Dari situlah lambat laun CV Barata mulai dikenal orang. Hingga dua tahun pendirian badan usaha itu yang semula bernama CV Barata, kini berubah menjadi PT. Barata.Usaha mereka pun semakin maju pesat. Omsetnya
Beberapa minggu kemudian, hubungan Aryo dan Lestari semakin akrab. Hal itu diketahui oleh orang tua mereka. Sehingga Wiryo dan Dirjo sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka.Aryo dan Lestari hanya menuruti keinginan orang tua mereka. Meskipun belum ada perasaan cinta di hati keduanya, namun kedua insan itu telah berkomitmen untuk saling menyayangi dan menghargai satu sama lain. Mereka juga sepakat akan membina rumah tangga dengan baik, sehingga bisa menjadikan rumah tangga mereka rukun dan tenteram.Lima bulan pasca pernikahan, Lestari telah lulus kuliah dengan predikat terbaik. Selain itu, dia juga telah mengandung anak Aryo. Hal itu tentu saja membuat pasangan suami istri sangat bahagia karena mendapat hadiah yang terindah dari Yang Maha Kuasa.“Alhamdulillah, di saat aku telah lulus kuliah, aku hamil,” ucap Lestari suatu malam ketika dia dan Aryo sudah berada di peraduan.“Iya, Tari. Aku sangat bahagia sekali. Kamu jaga ya kandungan kamu ini. Biar bayi kita tumbuh deng
Aryo hanya diam. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia berikan pada kedua orang tuanya. Dia ingin menolak, tapi tak mau mengecewakan orang tuanya. Kalau dia menerima, itu bertentangan dengan hati nuraninya.“Nak, cinta itu bisa tumbuh setelah tinggal bersama nanti setelah kalian menikah. Dulu Bapak dan Ibu juga menikah tanpa adanya cinta. Tapi, pernikahan kami langgeng sampai sekarang,” ucap Narti-sang ibu, seolah tahu dilema yang Aryo rasakan saat ini.Aryo hanya menghela napas panjang. “Lalu bagaimana dengan Lestari sendiri? Apa dia bersedia punya suami kere seperti aku ini. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa untuk dia. Ya...hanya gajiku saja sebagai staf keuangan di perusahaan swasta, yang bisa aku berikan untuknya. Tentunya nggak seratus persen, karena aku juga ingin memberi uang untuk kalian. Aku ingin membantu perekonomian orang tua.”Dirjo dan Narti tersenyum mendengar penuturan anak sulung mereka.“Terima kasih kamu sudah punya niat baik untuk kami, Nak. Bapak yakin kalau
Semenjak Aluna menikah dan tinggal bersama dengan sang suami, Aryo tinggal sendiri di rumahnya. Pria itu hanya ditemani oleh asisten rumah tangga, sopir dan penjaga rumahnya. Membuat Aryo merasa kesepian. Kadang kala dia menginap di rumah Andhika. Dia ingin menginap di rumah Aluna maupun Kartika, tapi dirinya merasa sungkan. Aryo lebih nyaman menginap di rumah anak laki-lakinya. Hal itu membuat Aluna maupun Kartika secara bergantian mengunjungi ayah mereka.Seperti hari ini, Kartika datang berkunjung setelah pulang dari bekerja di rumah sakit.“Kenapa kamu masih bekerja, Tika? Apa uang suami kamu nggak cukup untuk biaya hidup kamu?” tanya Aryo ketika mereka sedang berbincang di taman belakang sambil minum teh di sore hari.“Mas Rafli memang sudah berulang kali menyuruhku berhenti bekerja, Pa. Tapi aku keberatan, karena aku masih menikmati pekerjaanku merawat orang-orang di rumah sakit,” sahut Tika kalem.“Kalau begitu, jadilah perawat Papa. Apa kamu masih keberatan juga kalau harus me