Share

3. Sebuah Kenyataan

Andhika tersenyum penuh arti dan menatap Hana seraya berkata, “Kekasih kamu seorang aktor muda yang bernama Rama, bukan?”

Hana terkesiap mendengar ucapan Andhika yang benar adanya. Dia menatap lekat manik mata Andhika.

‘Dari mana dia tahu tentang Rama? Apa Pak Andhika menyelidiki semuanya sebelum dia mengajukan penawaran padaku?’ ucap Hana dalam hati.

“Bapak rupanya tahu segalanya tentang kehidupan pribadi saya. Apa Bapak sengaja menyelidiki? Lalu setelah tahu kalau saya telah memiliki kekasih, kenapa juga Bapak mengajukan penawaran itu? Apa Bapak sengaja menguji kesetiaan saya terhadap Rama?” tanya Hana dengan tatapan menyelidik.

“Buat apa saya perlu tahu tentang kesetiaan kamu? Nggak ada untungnya juga buat saya. Dan perlu kamu tahu, kalau saya sesungguhnya memberikan penawaran ini bukan karena saya tertarik sama kamu. Tapi, saya lakukan ini untuk kepentingan saya sendiri. Saya memerlukan kamu untuk membantu agar saya bisa terlepas dari masalah ini,” sahut Andhika datar.

Hana menghela napas panjang. Dia tidak peduli dengan masalah pria itu. Dia hanya ingin tahu sejauh mana pria itu mengetahui kehidupan  pribadinya.

“Kalau boleh saya tahu, sejauh mana penyelidikan Bapak tentang kehidupan saya?” tanya Hana. Dia memicingkan mata sambil terus menatap Andhika.

Andhika tertawa kecil, lalu berkata, “Saya hanya tahu tentang hubungan kamu dan kekasih kamu saja. Dan ternyata kamu selama ini dibodohi oleh laki-laki itu.”

Kening Hana berkerut. Dia menatap ke arah Andhika dengan tatapan tak suka.

“Jangan menyebar fitnah hanya untuk kepentingan Bapak. Saya cukup mengenal Rama, dan dia orangnya baik. Kami saling percaya satu sama lain. Jadi jangan coba-coba mempengaruhi saya,” ucap Hana.

“Gadis bodoh!” ucap Andhika. Dia tersenyum mengejek pada Hana.

“Eh, kok begitu, sih?” sahut Hana tak suka dengan ucapan Andhika barusan.

“Iya. Kamu memang bodoh, Hana. Tidak sadar kalau dibodohi oleh pria yang bernama Rama. Kamu terlalu tergila-gila sama pria itu, hingga otak kamu nggak bisa membedakan mana yang jujur dan mana yang pembohong! Rama itu berselingkuh di belakang kamu, Hana! Itu kenyataannya, bukan fitnah!” ucap Andhika yang membuat mata Hana membulat.

“Bapak pasti bohong! Saya tidak percaya!” pekik Hana. Namun, di hatinya sempat ada keraguan dan mulai berpikir kalau ucapan Andhika tadi benar adanya.

“Kalau nggak percaya, silakan cek sendiri! Dia kini pasti sedang bersama dengan seorang wanita di dalam apartemennya,” ucap Andhika santai.

Hana yang mulai panas mendengar ucapan Andhika, segera beranjak dari kursi. Dia lalu berjalan menuju pintu. Namun, ketika dia akan memutar kenop pintu, tiba-tiba suara Andhika menghentikan gerakan tangannya.

“Tunggu, Han!” panggil Andhika yang kini berjalan menuju ke arah Hana.

Hana membalikkan tubuhnya dan menatap lekat ke arah Andhika seraya berucap, “Ada apa lagi, Pak?”

Andhika mengulurkan tangannya ke arah Hana. Dia lalu menyerahkan sebuah kartu nama pada gadis itu.

“Ini kartu nama saya. Kamu bisa hubungi saya di nomor ini. Apabila kamu berubah pikiran, setelah mengetahui perbuatan kekasih kamu yang katanya setia,” ucap Andhika.

Hana terdiam. Dia menatap kartu nama itu. Hatinya bimbang untuk menerima kartu nama itu atau tidak.

‘Aku terima atau nggak, ya? Kalau aku terima, itu sama saja aku menerima tawarannya. Tapi kalau nggak aku terima, andaikan Rama benar selingkuh bisa rugi juga aku menolak tawarannya,’ ucap Hana dalam hati.

Akhirnya setelah berpikir sejenak, Hana menerima juga kartu nama itu dan pergi dari ruangan Andhika.

***

[Mbak Mutia, ada di mana? Aku sudah ada di lobi kantor] 

Mutia menghela napas panjang setelah menerima pesan dari Hana. Dia lalu segera beranjak dari kursi dan keluar dari ruangan, lalu berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lobi kantor.

“Hana!” panggil Mutia ketika sudah keluar dari dalam lift. Dia berjalan mendekati Hana yang berdiri tak jauh dari meja resepsionis.

“Mbak, ayo kita ke apartemen Rama!” ajak Hana yang membuat Mutia mengerutkan keningnya.

“Ada apa, Han? Kok tumben kamu ke tempat Rama. Biasanya kamu malas mendatangi dia. Kamu selalu bilang, seharusnya seorang laki-laki yang mendatangi perempuan bukan sebaliknya,” ucap Mutia.

“Aku ingin membuktikan ucapan Pak Andhika. Dia bilang kalau Rama selingkuh di belakangku,” sahut Hana. Dia kemudian berjalan menuju parkiran mobil, diikuti oleh Mutia.

“Apa? Rama selingkuh? Pak Andhika tahu dari mana?” tanya Mutia heran.

“Aku nggak tahu, Mbak. Makanya aku sekarang mau membuktikan ucapan dia tadi,” tutur Hana.

Setelah itu, tak ada percakapan lagi. Mereka lantas masuk ke dalam mobil peninggalan ayah Hana. Mutia segera melajukan mobil meninggalkan halaman kantor Andhika menuju apartemen Rama.

“Kamu yakin mau masuk ke sana?” tanya Mutia ketika sudah tiba di lokasi apartemen Rama.

Hana tersenyum seraya berkata, “Iya, Mbak. Tekadku sudah bulat. Andaikan Rama benar selingkuh, aku akan akhiri sekarang juga hubungan kami.”

“Kalau begitu, aku temani kamu ke sana,” sahut Mutia yang diangguki oleh Hana.

Mereka lalu turun dari mobil, dan melangkah menuju lobi apartemen Rama.

Jantung Hana berdebar kala mereka sudah ada di dalam lift, yang akan membawa mereka ke unit apartemen Rama.

Ting.

Pintu lift terbuka di lantai tujuh, tempat unit apartemen Rama berada.

Tangan Hana terasa dingin ketika berjalan menuju unit apartemen Rama. Hal itu diketahui oleh Mutia, ketika secara tak sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan Hana.

“Tenang, Han. Belum tentu juga ucapan Pak Andhika benar. Tapi, Pak Andhika tahu dari mana? Apabila dia menyelidiki Rama, untuk apa juga?” tanya Mutia heran.

Hana baru saja akan menjelaskan pada Mutia. Namun dia teringat pesan Andhika, kalau dirinya tidak boleh memberitahu tentang penawaran pria itu pada siapa pun.

“Mungkin dia secara tak sengaja pernah melihat Rama dengan wanita lain, Mbak,” sahut Hana asal.

“Mungkin juga. Tapi apa karena ingin menyampaikan itu saja, sehingga dia ingin bicara empat mata sama kamu?” tanya Mutia memicingkan matanya.

Hana menggelengkan kepalanya, namun dia tetap bungkam. Hal itu membuat Mutia merasa gemas.

Mutia akan bertanya lagi, tapi Hana sudah berhenti di depan sebuah unit apartemen bernomor lima.

“Kamu yakin ini apartemennya, Han?” tanya Mutia.

“Hu’um. Rama pernah bilang kalau unit apartemennya ada di lantai tujuh dan unit itu bernomor lima,” sahut Hana.

Hana lalu mengetuk pintu unit apartemen itu beberapa kali.

Tok...tok...tok.

Tidak ada tanda-tanda pintu itu akan dibuka. Hal itu membuat Hana frustasi.

“Mungkin Rama sedang nggak ada di apartemennya, Mbak. Kita pulang aja, deh,” ujar Hana pelan.

Dia lalu membalikkan tubuhnya, namun bersamaan dengan itu kenop pintu berputar.

“Han, ada yang buka pintunya. Rama ada di dalam, tuh,” ucap Mutia tiba-tiba.

Hana membalikkan tubuhnya kembali ke arah pintu. Di saat yang sama pintu itu pun terbuka. Seorang pria tampan muncul di ambang pintu, dengan penampilan yang acak-acakan. Dia sangat terkejut melihat kedatangan Hana.

“Hana! Kok nggak bilang-bilang kalau mau datang kemari?” tanya pria itu, yang seketika wajahnya pucat pasi melihat kedatangan Hana.

“Iya, Ram. Aku mau buat kejutan untuk kamu. Boleh aku masuk?” tanya Hana berusaha tenang.

“T-tapi...” Rama tidak bisa melanjutkan kata-katanya, ketika Hana dan Mutia menerobos masuk ke dalam unit apartemennya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status