Share

5. Perjanjian

Hana lalu melangkah keluar lagi dan duduk di pojok teras rumahnya, karena dia melihat ibunya ada di ruang tengah sedang menonton tayangan TV. Hana tidak ingin sang ibu mendengarkan percakapannya dengan Andhika. Setelah dilihatnya kondisi sudah cukup aman, Hana lalu mengangkat panggilan telepon tersebut.

“Halo,” sapa Hana dengan suara berbisik.

“Halo, Han. Kenapa suara kamu pelan begini? Bisik-bisik segala sih,” sahut Andhika di seberang sana.

“Iya, soalnya ada ibuku sedang nonton TV di ruang tengah. Aku takut kalau pembicaraan kita terdengar olehnya, Pak,” ucap Hana masih dengan suata berbisik.

“Kalau begitu, kita ketemu saja sekarang deh. Ada yang mau saya omongin sama kamu,” sahut Andhika.

“Tentang apa, Pak?” tanya Hana. Dia sesekali melongok ke dalam rumah untuk melihat situasi.

“Tentang kita,” sahut Andhika.

“Tentang kita? Tentang kita apa sih, Pak?” tanya Hana masih belum paham maksud Andhika.

“Tentang perjanjian kita, Hana!” sahut Andhika yang kali ini dengan nada agak tinggi.

“Ih, jangan teriak dong, Pak! Telinga saya masih normal ini. Kalau ada apa-apa sama telinga saya, tuntutan saya bakal dua kali lipat! Yang wajah saya saja belum beres. Masak harus ditambah dengan telinga saya yang rusak, karena Bapak teriak-teriak,” omel Hana.

Tepat ketika Hana mengatupkan bibirnya, terdengar tawa Andhika di seberang sana. Tawa itu terus terdengar hingga kurang lebih tiga menit lamanya.

Hana yang mendengar tawa Andhika, seketika menjadi kesal.

“Kalau Bapak mau tertawa terus, saya akan tutup telepon ini!” ancam Hana dengan suara agak tinggi. Hal itu membuat Andhika langsung terdiam.

“Ok, Han. Maaf kalau tawaku sangat mengganggu kamu. Habisnya kamu lucu banget sih tadi,” sahut Andhika dengan nada suara yang sudah kembali seperti semula.

“Lucu apanya?” tanya Hana.

“Ya itu tadi yang kamu bilang, mau menuntut saya dua kali lipat. Tuntutan yang wajah saja belum beres ditambah tuntutan soal telinga. Mimpi apa saya coba mendapat masalah bertubi-tubi kayak begini,” sahut Andhika.

“Risiko Bapak lah itu. Makanya selesaikan tuntutan saya ini, Pak,” celetuk Hana.

“Saya kan sudah bersedia mau membayar ganti rugi, Han. Malah ini pakai uang pribadi saya lho. Saya menelepon kamu juga mau menanyakan hal yang berkaitan dengan tawaran saya, Han,” sahut Andhika mulai serius.

“Hal yang mana?” tanya Hana yang belum paham juga.

“Kamu sudah membuktikan kata-kata saya tentang pacar kamu? Apa saya bohong kalau saya bilang pacar kamu itu nggak setia?” tanya Andhika.

“Eh, soal itu rupanya. Ternyata benar yang Bapak katakan pada saya, kalau Rama nggak setia,” sahut Hana lirih.

“Terus?” tanya Andhika penasaran.

“Saya putus sama dia,” sahut Hana agak ketus.

“Saya ikut prihatin,” sahut Andhika di seberang sana, yang tanpa Hana ketahui sedang tersenyum. “Jadi apa kamu menerima tawaran saya?”

Hana terdiam. Tatapannya menerawang, membayangkan perbuatan Rama yang berkhianat padanya. Seketika matanya pun mulai berair.

“Hana? Kamu masih ada di situ?” tanya Andhika dengan nada cemas.

“Eh, iya. Saya masih ada di sini,” sahut Hana lirih.

“Apa jawaban kamu?” desak Andhika.

“Saya akan pikirkan lagi. Saya belum bisa kasih jawaban sekarang. Nanti saya akan kasih kabar kalau saya sudah ada jawabannya. Oh iya, saya mau tanya. Dari mana Bapak tahu nomor telepon saya?” ucap Hana.

“Mudah bagi saya untuk tahu nomor telepon kamu, Han. Semudah saya mendapatkan informasi tentang perselingkuhan kekasih kamu. Ok, silakan dipikirkan dulu! Saya tutup teleponnya sekarang,” sahut Andhika.

Setelah itu, sambungan telepon mereka pun berakhir.

***

Hana kini termenung di kamarnya. Dia mempertimbangkan apakah akan menerima atau menolak tawaran Andhika. Dia lalu meraba pipinya yang terluka.

“Kalau pipi ini nggak dioperasi, aku nggak bisa kerja. Sedangkan pekerjaanku menuntut wajah yang mulus. Bisa saja aku menggunakan uang tabungan, tapi banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Sayang juga kalau uang tabungan menipis. Ya sudah deh, aku terima saja. Hanya satu tahun ini kok. Nanti aku tegaskan lagi saja sama Pak Andhika, supaya nggak menyentuh aku. Jadi aku masih tersegel saat pisah sama dia. Aku nggak rugi apa-apa kan. Status saja yang janda. Tapi, aslinya masih perawan. Nggak masalah buat aku. Iya deh, aku kirim pesan saja ke pak Andhika kalau aku terima tawaran dia,” gumam Hana.

Hana lalu mengirimkan pesan untuk Andhika.

[Selamat sore, Pak Andhika. Setelah saya pikirkan, saya menerima tawaran Bapak.]

Dua puluh menit kemudian, terdengar bunyi notifikasi pesan masuk di telepon genggam Hana.

Hana lalu membuka pesan itu, yang merupakan pesan balasan dari Andhika.

[Ok, Han. Kalau begitu, kita ketemu di restoran untuk tanda tangan perjanjiannya. Sekalian kita makan malam. Nanti temui saya di restoran Jepang. Saya menyewa ruang privat di sana. Jam tujuh malam saya tunggu di sana. Nanti tanya saja sama pelayan restoran, ruang privat yang saya sewa.]

Hana pun segera membalas pesan itu.

[Ok, Pak.]

Setelah itu, tak ada komunikasi lagi di antara mereka. Hana melihat saat ini pukul lima sore. Dia pun bergegas untuk mandi, mulai bersiap untuk acara makan malam dengan Andhika.

-Pukul 19.00 WIB-

Hana sudah tiba di restoran yang Andhika sebutkan di pesannya tadi sore. Hana dengan anggun, melangkah ke arah pelayan restoran untuk bertanya. Tak lupa masker sudah dia pasang di wajahnya, untuk menutupi luka di pipinya.

“Selamat malam, Mbak. Saya mau tanya ruang privat yang pak Andhika sewa,” ucap Hana ramah.

“Oh, baik. Mari ikuti saya, Bu!” sahut pelayan restoran itu ramah. Dia lalu berjalan mendahului Hana menuju ke sebuah ruangan yang ada di lantai dua restoran tersebut.

Setibanya di depan ruang privat, pelayan restoran segera membuka pintunya. Tampak Andhika sudah duduk di dalam ruangan itu.

“Hana, masuklah!”

Andhika melambaikan tangannya ke arah Hana agar gadis itu segera masuk ke dalam ruang privat itu.

Hana mengangguk dan masuk ke dalam ruang privat itu. Bersamaan dengan Hana yang memasuki ruangan itu, pelayan restoran menutup pintu tersebut.

“Selamat malam, Pak,” sapa Hana sopan.

“Selamat malam. Silakan duduk, Han!” sahut Andhika, yang diangguki oleh Hana.

Hana lalu duduk berhadapan dengan Andhika. Dia melihat sebuah map berwarna biru tergeletak di atas meja.

Andhika yang menyadari perhatian Hana tertuju pada map tersebut, langsung menyodorkannya ke hadapan Hana. “Ini surat perjanjiannya. Kamu baca dulu dengan teliti sebelum tanda tangan.”

Hana menganggukkan kepalanya dan meraih map tersebut, membuka serta membaca surat perjanjian yang akan segera dia tanda tangani.

“Pak, bisa saya tanya satu hal?” tanya Hana setelah membaca seluruh isi perjanjian itu.

“Silakan!”

“Kita kan hanya menikah untuk sementara saja, selama satu tahun tepatnya. Tapi, kenapa di perjanjian ini nggak disebutkan kalau Bapak nggak akan menyentuh saya? Ini nanti kan hanya menikah pura-pura, menikah bohongan. Harusnya disebutkan juga dong dalam perjanjian ini, kalau Bapak nggak akan menyentuh saya,” ucap Hana.

“Lho, ini nanti kita menikah sungguhan, Hana. Ada wali nikah, ada penghulu, ada saksi, dan ada mahar. Tentu saja ada pengantinnya, kita. Jadi ini nggak bohongan,” sahut Andhika.

“Ok, nanti kita menikah sungguhan. Tapi, saya nggak mau disentuh sama Bapak. Kenapa? Karena ini kan pernikahan bisnis. Jadi saya mau saat kita berpisah nanti, kondisi saya masih suci. Saya akan menyerahkan diri saya pada suami saya kelak, yang benar-benar cinta sama saya. Bapak bilang sebelumnya, kalau menikah dengan saya bukan karena Bapak suka sama saya. Tapi, untuk kepentingan Bapak agar terbebas dari masalah yang Bapak hadapi saat ini. Jadi nggak salah kan kalau saya bilang, ini adalah pernikahan bisnis? Harusnya ditambahkan kata-kata kalau Bapak nggak akan menyentuh saya.” Hana lalu menutup map itu dan mengembalikannya pada Andhika.

“Baik, saya akan tambahkan kata-kata itu. Saya tulis dengan pena nggak apa-apa, ya,” ucap Andhika, yang diangguki oleh Hana.

“Iya, nggak apa-apa. Terus tolong ditambahkan juga kata-kata, kalau Bapak melanggar maka perjanjian akan batal. Pernikahan akan berakhir, walaupun belum satu tahun,” sahut Hana, yang diangguki oleh Andhika.

“Ok.” Andhika lalu menuliskan kalimat seperti yang Hana sebutkan tadi. Setelah selesai, dia membubuhkan tanda tangannya dan menyodorkan map serta pena ke hadapan Hana. “Sekarang kamu baca lagi, dan langsung tanda tangan!”

Hana lalu membaca ulang isi perjanjian itu. Setelah sesuai dengan yang dia inginkan tadi, Hana membubuhkan tanda tangannya di tempat yang sudah disediakan dan di atas materai.

“Perjanjian mulai berlaku sekarang ya, Han. Saya akan transfer uang untuk operasi pipi kamu. Setelah selesai operasi, kita harus ke rumah orang tua saya dan mengumumkan kalau kita adalah sepasang kekasih. Pokoknya nanti kamu ikuti saja apa kata saya. Jangan sekali-sekali membantah. Supaya permasalahan saya bisa selesai,” tegas Andhika.

“I-iya, Pak,” sahut Hana, meskipun dia tidak tahu masalah apa yang Andhika hadapi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status