Share

4. Dinner Date

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2024-08-25 21:24:53

"Bella!"

Wajah Anggra terlihat menggelap karena gusar melihat istrinya yang turun dari belakang panggung dan hendak berlari keluar melewati pintu samping.

Beberapa pengawal yang melihat gelagat salah satu 'barang lelang' mereka yang sepertinya hendak melarikan diri, sontak berlari ke arah Bella dan segera memegang tangan wanita itu erat-erat.

"Lepaskan aku!! Aaak!!" Bella meronta-ronta dan menjerit ketika salah satu pengawal itu membopongnya serta menyampirkan tubuh Bella di atas bahunya.

"Kamu mau kemana, hah?!" Bentak Anggra gusar seraya mencengkram pergelangan tangan Bella, ketika wanita itu telah dibawa kembali ke hadapannya.

PLAAAKKK!!

Dengan kemarahan yang sudah berada di ubun-ubun, Bella menampar suaminya dengan satu tangannya yang bebas.

"Kamu benar-benar keterlaluan, Mas!!" Bella menjerit histeris dan memukuli dada Anggra dengan membabi-buta.

"Kamu bohong!! Kamu kira aku bisa percaya begitu saja kalau Regan Bradwell itu hanya ingin makan malam denganku, hah??! Mana mungkin seseorang sekaya apa pun dia, mau mengeluarkan 3 juta dollar hanya untuk makan malam??!"

"BELLA! BERHENTI!" Anggra memeluk istrinya hingga wanita itu pun tak bisa berkutik.

Air mata mulai menetes di pipi keemasan yang mulus itu. "Apa ini kemauanmu, Mas? Kamu menjual istrimu sendiri demi suntikan dana untuk bisnismu?" Lirihnya sesenggrukan.

Anggra mengelus punggung istrinya dengan lembut. "Aku tidak akan pernah menjualmu, Sayang. Kamu cuma menemani Tuan Regan Bradwell makan malam. Hanya itu, Bella. Tolong percaya padaku ya?"

Bella yang sedikit demi sedikit mulai percaya karena bujukan lembut Anggra, masih sesenggrukan di dada suaminya. "Ba-Bagaimana jika Tuan Regan meminta lebih? Bagaimana jika... dia ingin tidur denganku?"

Anggra tertawa kecil. "Apa kamu lupa kalau dia juga punya istri? Mana mungkin dia berani mengajakmu tidur sementara istrinya juga ikut makan malam denganmu?"

Kepala Bella pun sontak mendongak menatap suaminya dengan netra jernih coklat yang membelalak lebar . "Ja-jadi Nyonya Patricia akan ikut dalam makan malam itu?!"

"Memangnya kamu kira aku akan membiarkan istriku hanya makan malam berdua dengan lelaki lain?" Timpal Anggra sembari mengelus rambut Bella. "Mana mungkin, Bella."

Bella pun termangu. Ternyata ini sungguh tidak seperti yang ia kira sebelumnya! "Maafkan aku, Mas. Aku sudah mukul kamu. Aku kira tadi... ah, sudahlah! Maaf ya..." Bella mengelus pipi Anggra yang tadi ia tampar. "Sakit ya?"

Anggra meringis dan kembali menyodorkan pipinya yang sedikit memerah. "Kalau dikecup pasti sakitnya hilang," godanya dengan kilat nakal di matanya.

Bella tersipu malu dan mencubit lengan Anggra yang tergelak gemas dengan wajah merona istrinya.

"Sayang, sekarang Tuan dan Nyonya Bradwell sudah menunggumu untuk makan malam bersama. Kamu mau kan?"

Bella mengangguk ragu. "Mas Anggra kenapa nggak ikut juga?"

"Aku harus mengurus berkas-berkas tanda tangan untuk penerimaan dana dari Tuan Bradwell. Nggak apa-apa kan, kalau aku tidak bisa menemani kamu?"

Bella pun cemberut. Sebenarnya ia lebih suka jika suaminya ikut makan malam bersama, karena Anggra adalah tipe orang yang pintar mencairkan suasana. Tidak seperti dirinya yang pendiam dan canggung.

Namun Anggra terus meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali dan Bella hanya perlu menjadi diri sendiri di hadapan mereka.

Maka dengan satu tarikan napas berat, Bella pun melangkahkan kaki mengikuti seorang pengawal menuju ke suatu tempat di dalam rumah bak istana ini. Bella terkagum-kagum ketika melintasi lorong-lorong panjang yang berkelok-kelok seakan tak berujung ini.

Luar biasa sekali. Apa Tuan Bradwell terinspirasi dari kastil jaman dulu? Bangunannya berdesain seperti jaman dulu, namun tetap cantik dan artistik.

"Sebelah sini, Nyonya Arabella."

Lamunan Bella buyar ketika pengawal menegurnya. Lelaki itu telah berdiri di depan sebuah pintu ganda superbesar dengan ukiran-ukiran yang rumit.

"Silahkan masuk, Nyonya. Kehadiran Anda sudah ditunggu." Si pengawal mengangguk kepadanya sebelum menghilang berbelok di lorong.

Bella menghembuskan napas berat. "Ayo, Bella. Kamu pasti bisa! Mas Anggra bilang ini cuma makan malam biasa, kok!" Serunya memberi semangat kepada diri sendiri.

Sejenak ia ragu apakah harus mengetuk pintu terlebih dahulu, ataukah langsung masuk saja? Ah, tapi bukankah dia sudah ditunggu? Jadi sepertinya ia langsung masuk saja.

Bella meraih handle pintu dengan perasaan yang tak menentu, dan ketika ia membukanya, sekarang ia pun tahu tak ada kesempatan lagi untuk mundur.

"Selamat malam Tuan dan Nyonya B--ah! Maaf!!" Bella cepat-cepat membuang pandangannya dengan perasaan rikuh. "Se-seharusnya tadi saya mengetuk pintu dulu."

Suara tawa merdu mengalun dari bibir Patricia yang sedang berada di atas pangkuan Regan. Barusan Bella memergoki mereka sedang berpagut bibir mesra.

"Tidak apa-apa, Arabella. Ayo, masuk dan duduklah di sini," ajak Patricia ramah. Wanita itu turun dari pangkuan suaminya lalu duduk tepat di kursi sebelah Regan.

Bella menggigit bibirnya kikuk. Ah, bodohnya dirinya! Tapi tak pelak wanita itu sedikit lega karena melihat istri dari Tuan Regan yang ternyata ikut makan malam bersama mereka. Rupanya Mas Anggra telah berkata jujur.

Bella memutuskan untuk duduk di kursi tepat di seberang Patricia, namun sebuah suara berat membuat gerakannya membeku.

"Duduklah di hadapanku."

Bella menatap Tuan Regan dan refleks mengerjapkan matanya dua kali, lalu menatap Patricia yang mengangguk dengan senyum yang masih saja terukir di bibirnya.

Tanpa menjawab dengan kata-kata, Bella pun memutuskan untuk menuruti permintaan Tuan Regan yang lebih mirip sebuah perintah itu.

Bella sadar bahwa netra biru lelaki itu pasti saat ini sedang tertuju kepadanya, maka wanita itu pun memilih menunduk alih-alih membalas tatapan tajam yang seakan mampu mengulitinya.

Sebagai tuan rumah, Patricia mengajak Bella memulai makan malam sembari bercakap-cakap. Tidak seperti yang ia cemaskan sebelumnya, ternyata Patricia cukup mampu membuatnya rileks sepanjang mereka menghabiskan makan malam mereka.

Perbincangan memang didominasi oleh Patricia, namun Bella sama sekali tidak keberatan.

"Ah, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam!" Ucap Patricia ketika netranya melirik jam di dinding.

"Sebaiknya aku menemui para tamu dulu, mereka pasti bingung karena tuan rumah mereka tak kunjung terlihat!"

Bella tersenyum kecil. Ia sudah terlihat lebih rileks berkat kehadiran Patricia yang mampu mencairkan suasana. "Kalau begitu, saya ucapkan terima kasih atas makan malam yang menyenangkan ini, Tuan dan Nyonya Bradwell. Dan juga terima kasih atas kemurahan hati Anda untuk suntikan dana kepada suami saya, Tuan."

Patricia terkekeh pelan melihat Bella yang sepertinya ingin cepat-cepat keluar dari sini. "Kamu mau kemana, Arabella? Tunggulah di sini dan temani suamiku. Masih ada makan pencuci mulut yang sangat lezat dan aku ingin kamu mencobanya."

Bella menelan ludah dan mengerjap dua kali. Apa?? Dia akan ditinggalkan berdua bersama Tuan Regan Bradwell?? "Ta-tapi..."

"Habiskan dulu dessertnya."

Lagi-lagi, hanya sebuah kalimat perintah yang terus keluar dari bibir lelaki itu. Kalimat yang entah kenapa selalu menimbulkan perasaan merinding bagi Bella.

Patricia berdiri dari kursinya, lalu menundukkan wajahnya untuk mengecup pipi suaminya. "Jangan terlalu galak sama Arabella ya?" Ucapnya sambil terkekeh pelan dan mengedipkan sebelah matanya kepada Bella, sebelum melangkah keluar dari ruang makan ini.

Regan menaruh sikunya di atas meja dan menjalin jemarinya. Netra biru safir miliknya terlihat berkilau terkena bias cahaya dari chandelier kristal superbesar yang berada tepat di atas mereka.

Rasanya Bella ingin sekali menundukkan tatapannya, namun entah kenapa ia seperti terhipnotis. Sorot biru misterius itu memaku pandangangannya hingga ia tak mampu bahkan untuk sekedar berpaling.

Dua orang maid yang datang untuk mengantarkan dessert bahkan seakan dianggap tak ada oleh mereka. Manik coklat Bella yang beradu dengan Regan terus saling menatap, seolah ingin saling menyelami palung penuh misteri di hati masing-masing.

"Jangan menatapku terus, Arabella. Ayo, makan dulu dessertnya."

Bella mengejap cepat setelah sadar bahwa Regan telah menyindirnya. Ah, kenapa ia selalu saja melakukan hal yang memalukan? Dasar Bella bodoh!

Wanita itu pun hanya bisa memberikan senyum kikuk dan meraih garpu kecil untuk menyantap sesuatu yang mirip dengan puding strawberry yang rasanya lebih lembut, namun sesungguhnya itu adalah Blancmange on a glass platter.

"Kamu suka dessertnya?"

Bella menelan suapan ketiganya sebelum kembali menatap Tuan Regan dan mengangguk pelan. "Saya suka Blancmange."

Regan tersenyum diam-diam. "Dessert ini memang khusus disesuaikan dengan kesukaanmu, Arabella."

Sontak Bella pun mengernyit mendengarnya. Tunggu, dari mana Tuan Regan tahu kalau ia menyukai Blancmange?

Regan tersenyum tipis dan meraih gelas bertangkai berisi cairan merah pekat, lalu menghirup isinya dalam beberapa teguk serta menyisakan sedikit di dasar gelas sebelum menaruhnya kembali.

"Apa kau tidak merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuhmu? Jantung yang berdebar, napas yang memburu, atau sesuatu yang berada di bawah sana mulai terasa basah?" Tanya Regan dengan seringai yang mulai muncul menghiasi wajah tampannya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Untuk Sang Penguasa   53. Dirimu Tempatku Berada (Tamat)

    ((SATU MINGGU KEMUDIAN)) "Regan?" Lelaki berpostur tubuh tinggi dengan ototnya yang maskulin itu menoleh kepada sumber suara yang memanggilnya. Senyum lebar pun sontak terkembang di bibirnya, kala melihat sosok menawan yang telah menyapanya dengan suara lembut. "Sweetie, kamu sudah datang?" Dengan langkahnya yang lebar, Regan pun menyongsong wanita cantik berkulit keemasan yang kini telah menjadi istrinya. Kedatangan Bella ke kantor Bradwell Company ini adalah atas permintaan suaminya. Hari ini adalah hari dimana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diselenggarakan, sekaligus penentuan apakah Regan masih menjabat sebagai CEO ataukah tidak. Berbagai tekanan dari Dewan Direksi untuk menurunkan dirinya dari jabatan tertinggi itu adalah alasan utama diselenggarakannya RUPS hari ini. Harga saham Bradwell Company yang anjlok cukup drastis beberapa minggu ini adalah penyebabnya, hingga membuat para pemegang saham atau shareholders gusar. Padahal selama bertahun-tahun harga saham Bradwell

  • Wanita Untuk Sang Penguasa   52. Cinta Yang Sempurna

    Renata dan Chelsea, kedua wanita yang saling berpelukan itu kini sama-sama mencurahkan air mata. Mereka semua berkumpul di Penthouse Regan, dengan maksud untuk menjalin kembali apa yang telah tercerai-berai sebelumnya. Setelah seluruh cerita telah diungkapkan, ketika semua kesalahpahaman diluruskan, dan saat sebuah kata 'maaf' terucap dengan penuh ketulusan, maka jiwa-jiwa yang terluka itu tetaplah terluka. Namun dibalik itu, ada sebuah harapan dan janji yang tersemat di dalam hati, bahwa suatu hari nanti semua luka memerihkan itu perlahan sirna ditelan oleh rasa bahagia. Suasana penuh haru itu membuat Bella dan Axel tak pelak ikut menitikkan air mata. Sementara Regan, lelaki itu masih membisu dalam keheningan pikiran yang tak dapat terbaca. George mendekati putranya dan menepuk pelan pundak Regan. "Bisakah Daddy bicara sebentar denganmu?" Pinta lelaki itu dengan sorot penuh permohonan. Regan melarikan maniknya ke arah Bella yang ternyata juga sedang memandanginya, dan tersenyum

  • Wanita Untuk Sang Penguasa   51. Pertemuan Keluarga

    "Auuww!! Bisa pelan-pelan nggak sih??" Protes Axel sambil mendelik kesal ke arah Renata, yang dengan sengaja menekan kuat-kuat kapas yang dibubuhi obat luka itu ke pipi Axel. Renata membalas dengan ikut-ikutan mendelikkan matanya. "Rasakan! Salahmu sendiri kenapa bisa-bisanya membuat Regan marah! Sudah kubilang untuk sembunyi, eeh... kamu malah memanggil namanya!" Dengus Renata sebal. "Dasar bodoh!" Umpat Renata gusar. Axel pun hanya bisa meringis walaupun dalam hati merasa senang, karena lagi-lagi dengan alasan ini ia bisa lebih lama bersama Renata. Si Psikiater ini tentu saja sudah bisa meramalkan apa yang akan terjadi, jika ia dengan terang-terangan mengakui kepada Regan bahwa semalam ia meniduri Renata. Ya, Regan benar-benar murka dan memukulnya. "Dia sangat overprotektif kepada semua wanita yang berada di sekitarnya, ya?" Cetus Axel menyimpulkan. Renata mengangguk kecil. Ia menempelkan plester ke sisi wajah Axel yang lukanya terbuka, lalu mengoleskan gel anti lebam di sudut

  • Wanita Untuk Sang Penguasa   50. The Couple

    "Arabella Kanaya, maukah kamu menjadi istriku?" Pertanyaan yang diucapkan dengan lantunan nada yang lembut namun suara yang maskulin itu membuat jantung Bella tak henti berdebar. Wajah Regan terlihat semakin tampan di bawah bias cahaya lilin yang berpendar hangat menyinari kulitnya, serta lampu-lampu aneka warna dari gedung di sekitar mereka. Apakah Bella sedang bermimpi? Apakah ini nyata? Karena ini semua terlalu indah, hingga Bella khawatir bahwa ini hanyalah ilusinya semata. Namun semua keragu-raguan Bella yang insecure itu segera terbantahkan, saat Regan meraih jemari lentiknya untuk dikecup satu persatu dengan lembut. "Apakah pertanyaanku begitu sulit untuk dijawab?" Tanyanya dengan raut sendu. Serta merta Bella pun menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu, Regan. Aku hanya... benar-benar tidak menyangka. Dan aku mengira yang kudengar barusan adalah khayalanku saja," ucapnya berterus terang. Kali ini Regan mengecup telapak tangan dan bagian pergelangan tangan Bella dimana ur

  • Wanita Untuk Sang Penguasa   49. The Proposal

    "Another shot, please!" Seru Renata kepada bartender sembari mengacungkan gelasnya yang telah kosong. "Apa Anda yakin, Nona?" Tanya bartender itu setelah mengamati Renata yang mulai terlihat mabuk. Renata memandangi name tag di dada sang bartender. "Devin," ia membaca tulisan yang tertera di sana. "Tentu saja aku yakin, Devin. Jangan khawatir. Tolong berikan aku minuman lagi." Bartender itu pun kembali menuangkan cairan keemasan yang menguarkan aroma alkohol yang pekat ke dalam gelas Renata, membuat senyum cantik terpulas di bibir itu. "Terima kasih, Devin. Oh iya," Renata mengeluarkan dompet dari tasnya, lalu menarik sebuah black card dan menaruhnya di atas meja di hadapan sang bartender. "Ini, bawa saja kartuku," cetusnya santai sembari mengangkat gelasnya yang telah terisi dengan gestur bersulang. "Jaga-jaga saja kalau-kalau aku sudah tak sadar saat pulang nanti." "Oke," sahut Devin dengan mata bersinar-sinar dan cepat-cepat menyelipkan kartu hitam itu di saku dadanya. "Akan

  • Wanita Untuk Sang Penguasa   48. Karena Dia Sudah Kembali

    Renata menatap Regan dengan tatapan yang tak terbaca. Seluruh cerita yang disampaikan saudara kembarnya dengan tenang dan runut itu membuat sesuatu di dalam dirinya patah. Jadi selama belasan tahun ini Regan telah memendam kebencian dan kesedihannya sendiri? "Kenapa kamu tidak menceritakannya kepadaku?" Tanya Renata tak mengerti. "Karena aku tidak mau membuatmu ikut terluka, Ren," sahut Regan sambil tersenyum tipis, namun kilas kepedihan terpatri di garis bibirnya. "Lagipula kamu itu tipe yang nekat, aku khawatir kalau kamu tiba-tiba kabur dari rumah untuk mencari ibu biologis kita," cetus Regan sambil terkekeh pelan. Renata tidak ikut tertawa, meskipun apa yang diucapkan Regan adalah benar adanya. Memang hanya Regan yang benar-benar mengetahui dirinya, namun untuk kali ini Renata tidak menyukai keputusan Regan yang sepihak itu. Renata memejamkan kedua matanya sejenak, sebelum akhirnya ia membuka mata dan menggenggam jemari kakak kembarnya dengan kedua tangannya. "Regan, bagaima

  • Wanita Untuk Sang Penguasa   47. Dia Tak Pantas Untuk Ditangisi

    "Apa??" Renata membelalakan maniknya menatap Regan dengan sorot tak percaya. "K-kau sudah... tahu??" Regan mengulurkan tangannya untuk menggenggam erat jemari adik kembarnya itu. Kedua manik indah biru safir itu pun saling bertemu namun dengan makna yang berbeda. "Ya, Renata. Sebenarnya aku sudah mengetahuinya sejak 16 tahun yang lalu..." guman Regan sembari tersenyum sedih. "Dan kurasa ini saatnya kamu juga mengetahui apa yang terjadi, Ren..." **FLASHBACK 16 TAHUN YANG LALU** Remaja lelaki itu melangkah masuk menuju pintu gerbang rumahnya dengan gontai karena sekujur tubuhnya terasa lelah. Tugas-tugas sekolah dan banyaknya ekstrakuler yang ia ikuti terkadang memang membuat tenaganya terkuras habis, namun dibalik itu semua, sesungguhnya ia menyukai kesibukan. "Aah, pundakku pegal sekali!" Keluhnya sembari memukul-mukul pelan pundak kiri dengan kepalan tangan kanannya. Semalaman ia menginap di rumah salah seorang temannya untuk mengerjakan sebuah project sains untuk klub fisika

  • Wanita Untuk Sang Penguasa   46. Rahasia Yang Terkuak

    "Jadi dia masih hidup??!" Patricia terkesiap saat mendengar suara ayahnya yang terdengar gusar pada seseorang di sambungan telepon. Dengan perlahan dan tanpa suara, ia pun menjalankan kursi rodanya semakin mendekati pintu ruang kerja Maxwell Harrison agar bisa mendengarkan dengan lebih jelas. BRAAKK!!! Hampir saja Patricia berteriak karena terkejut saat Maxwell menggebrak mejanya dengan keras. Untungnya wanita itu cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan untuk meredam suara yang keluar. "Aku tidak mau tahu! Laksanakan tugasmu atau lehermu yang akan menggantikan nyawanya!!" Bentak Maxwell sembari menutup sambungan telepon dengan geram. "Daddy?" Lelaki yang juga ayahanda Patricia itu pun sontak menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya. "Patrice? Kamu sudah datang?" Maxwell berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pintu dimana Patricia masih terdiam di atas kursi rodanya. "Kenapa kamu tidak bilang kalau hari ini keluar dari rumah sakit? Daddy bisa menjemputmu."

  • Wanita Untuk Sang Penguasa   45. Pembalasan Yang Pantas

    Awan mendung dengan semilir angin dingin yang berhembus menerbangkan dedaunan kering di atas rumput. Titik-titik air pun mulai meluruh turun dari atas langit, menjanjikan curahnya yang akan jauh lebih deras. Dua sosok itu masih berada di sana, di depan sebuah makam berbatu granit putih. Rambut dan pakaian mereka mulai lembab dibasahi rintik hujan, namun tak ada satu pun dari mereka yang bergeming. Sang lelaki masih berdiri di sisi sang wanita yang sedang duduk berlutut di atas rumput, manik biru safirnya yang basah tak lepas memandang sayu pada nisan putih itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang, George?" Rintih Chelsea pilu. Hujaman rasa bersalah yang begitu masif membuat sekujur tubuhnya lemas. "Semua ini salahku. Salahku!! Aku berdosa kepada Chloe!!" Chelsea kembali meraung keras sambil menjambak rambutnya frustasi. "Bangunlah, Chloe! Aku mohon, hiduplah!! Kau... kau berhak mendapatkan kebahagiaan, Kak..." jeritannya melengking penuh kesedihan yang mendalam. Air mata yang ber

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status