"Mass..."
Bella mendesah nikmat ketika Anggra, suaminya, mempermainkan puncak dada miliknya dengan kuat. Hujaman demi hujaman yang diarahkan Anggra ke dalam miliknya membuat Bella seakan terbang melayang ke nirwana. Pagi ini, seperti hari-hari sebelumnya, Bella sedang sibuk di dapur memasak sarapan untuk suaminya yang akan berangkat ke kantor. Namun saat masakannya baru setengah matang, Anggra tiba-tiba muncul dari belakang dan menyibak gaun tidur selututnya, lalu meraba-raba bagian bawah tubuhnya dengan beringas. Tak butuh waktu lama bagi suaminya itu untuk segera membuka semua pakaian Bella di dapur, lalu bercinta dengan penuh semangat. "Sayang, aku mau keluar... hhh... " Anggra memeluk istrinya erat dari belakang, seraya menembakkan seluruh cairan kenikmatannya ke dalam milik Bella. Lelaki itu kemudian mengecup bibir istrinya sekilas setelah memakaikan gaun tidur Bella yang tadi ia lemparkan ke atas kabinet. "Makasih, Sayang. Kamu istri terbaik, tak pernah menolak dimana pun dan kapan pun aku menginginkanmu." Anggra tersenyum puas dan kembali mengecup bibir merah muda Bella dengan penuh rasa gemas. "Mas, umm... nanti kamu malah nggak jadi sarapan kalau terus nempel sama aku," goda Bella sembari terkekeh pelan karena Anggra yang seakan tak mau lepas darinya. "Aah, aku masih kangen kamu, Sayang. Satu ronde lagi, mau?" Rayu suaminya sambil terus mengecup dan menggesek-gesekkan wajahnya di dada Bella yang kini telah tertutup gaun tidurnya. "Tapi nanti kamu terlambat masuk kantor, Mas..." "Aku pemiliknya. Nggak masalah kan kalau bos telat?" Cengir Anggra jahil. Anggra memiliki bisnis start up e-commerce yang masih merintis. Meskipun belum tenar dengan banyak user, namun lelaki itu optimis bahwa start up yang ia miliki memiliki kans yang cukup besar untuk bersaing dengan pendahulunya. "Nggak usah masak, aku cuma laparnya karena ingin makan kamu, Sayang," bisik Anggra sambil kembali bergerilya menyusuri paha mulus istrinya. Dan Bella pun hanya bisa pasrah ketika suaminya itu kembali menggarap tubuhnya di dapur, walaupun tak biasanya Anggra mengajaknya hingga dua sesi yang panjang seperti orang kesetanan. Seperti tak ada hari esok, dan seolah-mereka tidak akan bertemu lagi dalam waktu yang cukup lama. *** "Mas, ini sebenarnya mau kemana sih?" Bella menatap ngeri pada pemandangan dari balik kaca jendela mobil. Sejauh mata memandang, hanya kegelapan pekat dan jurang gak berdasar yang terlihat di bawahnya. Jalanan di depan mereka memang sangat mulus tanpa ada kerusakan sama sekali, namun sangat sepi padahal waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Saat ini Bella dan suaminya sedang berkendara ke arah pegunungan, dimana Anggra telah diundang ke dalam suatu acara pesta yang juga melibatkan beberapa pengusaha sukses serta sosialita dari Ibu Kota. Anggra terpilih untuk menjadi seorang anggota dalam komunitas mereka melalui sepucuk surat bermaterai dalam sebuah kotak kaca yang mewah. Seorang kurir khusus yang mengantarnya ke rumah mereka., Ada sebuah manset emas dengan simbol bunga anggrek hitam yang harus dikenakan oleh Anggra, serta sebuah kalung berlian berliontin kupu-kupu yang harus dikenakan oleh Bella. Bahkan keberadaan dua benda mewah itu saja sudah tak ternilai harganya! Bella tidak begitu jelas komunitas apa yang dimaksud, namun ketika suaminya menceritakan kabar itu dengan bahagia serta semangat yang menggebu-gebu, mau tak mau Bella pun turut bersuka cita. "Ini akan menjadi batu loncatan untuk bisnis start up-ku, Sayang," tutur Anggra dengan mata yang bersinar-sinar. "Komunitas itu sangat eksklusif, tak sembarang orang bisa masuk ke dalamnya! Dan suamimu ini telah terpilih untuk bergabung bersama orang-orang super kaya serta super sukses di sana!" Ucapnya waktu itu dengan penuh kebanggaan. "Sebentar lagi kita sampai kok, Sayang. Kamu jangan khawatir gitu ah. Maklum saja namanya juga orang kaya, biasanya suka hal yang unik-unik dan tidak biasa. Seperti halnya lokasi penyelenggaraan pesta di tempat yang juga tidak biasa," terang Anggra panjang lebar. "Tapi memangnya Mas Anggra nggak merasa ada yang aneh? Bukannya Mas sendiri yang bilang kalau komunitas itu sangat eksklusif dan hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya dan sangat sukses? Aku rasa, kita belum sekaya dan sesukses itu untuk bisa masuk ke dalamnya," timpal Bella menatap suaminya. "Itulah yang namanya factor X, Bella. Mungkin kita tidak sekaya mereka, tapi sepertinya bisnis start up milik Mas dinilai baik oleh mereka," sahut Anggra sambil tersenyum. "Ya, semoga saja seperti itu," guman Bella tak yakin, dengan mengalihkan wajahnya ke luar jendela untuk menatap pohon-pohon yang berjejer di tepi jurang. Selama beberapa saat tak ada lagi yang berbicara, karena sepasang suami istri itu terlihat sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya mobil Anggra berbelok ke sebuah jalanan menuju rumah megah yang berada di ujung jurang. "Kita sudah sampai, Bella." Anggra membangunkan istrinya yang sempat terlelap dengan menyentuh lembut pipi keemasan sehalus sutra itu. "Uhm?? Oh, maaf Mas. Aku ketiduran." Anggra terkekeh melihat ekspresi polos istrinya yang menggemaskan. "Nggak apa-apa, Sayang. Kamu pasti masih lelah setelah sepagian tadi aku ajak bercinta berkali-kali, kan?" Godanya. "Mas, ihh!!" Bella memukul lengan suaminya yang malah semakin tergelak karena melihqy wajahnya yang merona. Ketika akhirnya mereka turun dari mobil, Bella pun terkesiap melihat pemandangan di hadapannya. Rumah mewah ini mungkin lebih pantas disebut istana! Meskipun pada kesan pertama, Bella terpukau melihat keindahan bangunan yang lebih layak untuk berada di negeri dongeng daripada dunia nyata itu, namun ia tidak menyukai keberadaannya yang terlalu dekat dengan bibir tebing yang curam. Terlalu mengerikan dan berbahaya menurut Bella. Tepat sekali apa yang tadi dikatakan oleh suaminya : orang kaya memang mempunyai selera yang unik! "Tanganmu dingin sekali," komentar Anggra saat menggandeng jemari istrinya. "Kamu gugup?" Bella mengangguk dengan wajah memelas. "Gugup dan tiba-tiba mules," jujurnya sambil cemberut melihat Anggra yang malah tertawa. "Mas, aku nunggu di mobil saja ya? Rasanya kok tiba-tiba nggak percaya diri masuk ke dalam sana." Anggra mengecup jemari istrinya dengan lembut. "Jangan takut, Sayang. Ada aku yang akan menjaga kamu. Lagipula..." ucapan Anggra berhenti sebentar untuk bersiul sambil mengamati gaun seksi berwarna perak yang melekat erat di tubuh istrinya bagai kulit kedua. "Kapan lagi aku punya kesempatan untuk memamerkan istriku cantik dengan tubuh moleknya ini," goda Anggra sembari mengedipkan matanya. Bella tertawa malu, dan sedikit membenahi bagian dada yang mengekspos belahan bulat yang mencuat menggoda, serta sedikit menarik bagian bawah gaunnya yang mempertontonkan paha mulus berkulit keemasan yang menawan. Bella mendapatkan kiriman gaun ini dari istri ketua komunitas ini, yang namanya saja sampai sekarang belum ia ketahui. "Mas, nama perkumpulan ini apa sih?" Tanya Bella ketika mereka berjalan melewati beberapa mobil sport supermewah yang terparkir di sepanjang jalan menuju rumah megah itu. Pasti ini semua mobil para tamu yang hadir di sana. "Hmm... kayaknya nggak ada nama resminya sih. Tapi bisa dibilang Klub 'Berbagi Kebahagiaan'," jawab Anggra sedikit ragu. "Salah satu acara di pesta ini adalah lelang barang berharga, dan uang hasil lelang akan didonasikan kepada yayasan yatim piatu." "Woow. Keren banget itu, Mas! Ternyata selain kaya, mereka juga murah hati ya?" Cetus Bella kagum. Namun semua kekaguman itu pun serta-merta sirna, kala pasangan suami istri itu memasuki pintu ganda yang tinggi dan sangat berat ketika didorong. Bella tak bisa berkata-kata ketika melihat puluhan manusia tampan dan cantik dengan dandanan serta busana mereka yang mahal, serta-merta menolehkan kepala mereka kepada dirinya. "K-kenapa semua orang memperhatikan kita, Mas?" Bella mencengkram lengan suaminya dengan erat karena gugup, tapi anehnya Anggra terlihat santai saja dengan segala perhatian itu. "Mereka bukan memperhatikan KITA, tapi memperhatikan KAMU, Sayang," ucap suaminya memperjelas. "Itu karena kamu sangat cantik malam ini." Rasa-rasanya Bella ingin sekali berlari sejauh mungkin dari sini, jika saja Anggra tidak menyeret langkahnya untuk berjalan masuk ke sebuah ruangan luas seperti sebuah aula yang sangat megah. Bella serasa berada di sebuah ruangan yang diperuntukkan oleh bangsawan Inggris, seandainya saja tatapan para lelaki di sana tidak memandangnya dengan sorot yang mengganggu. Bella menelan ludah, saat merasa bahwa para lelaki bertuxedo menatapnya dengan penuh nafsu, memindai seluruh tubuhnya dari atas ke bawah tanpa melewatkan satu inchi pun. Tidak, ini tidak benar. Bella harus meminta suaminya agar angkat kaki dari sini!((SATU MINGGU KEMUDIAN)) "Regan?" Lelaki berpostur tubuh tinggi dengan ototnya yang maskulin itu menoleh kepada sumber suara yang memanggilnya. Senyum lebar pun sontak terkembang di bibirnya, kala melihat sosok menawan yang telah menyapanya dengan suara lembut. "Sweetie, kamu sudah datang?" Dengan langkahnya yang lebar, Regan pun menyongsong wanita cantik berkulit keemasan yang kini telah menjadi istrinya. Kedatangan Bella ke kantor Bradwell Company ini adalah atas permintaan suaminya. Hari ini adalah hari dimana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diselenggarakan, sekaligus penentuan apakah Regan masih menjabat sebagai CEO ataukah tidak. Berbagai tekanan dari Dewan Direksi untuk menurunkan dirinya dari jabatan tertinggi itu adalah alasan utama diselenggarakannya RUPS hari ini. Harga saham Bradwell Company yang anjlok cukup drastis beberapa minggu ini adalah penyebabnya, hingga membuat para pemegang saham atau shareholders gusar. Padahal selama bertahun-tahun harga saham Bradwell
Renata dan Chelsea, kedua wanita yang saling berpelukan itu kini sama-sama mencurahkan air mata. Mereka semua berkumpul di Penthouse Regan, dengan maksud untuk menjalin kembali apa yang telah tercerai-berai sebelumnya. Setelah seluruh cerita telah diungkapkan, ketika semua kesalahpahaman diluruskan, dan saat sebuah kata 'maaf' terucap dengan penuh ketulusan, maka jiwa-jiwa yang terluka itu tetaplah terluka. Namun dibalik itu, ada sebuah harapan dan janji yang tersemat di dalam hati, bahwa suatu hari nanti semua luka memerihkan itu perlahan sirna ditelan oleh rasa bahagia. Suasana penuh haru itu membuat Bella dan Axel tak pelak ikut menitikkan air mata. Sementara Regan, lelaki itu masih membisu dalam keheningan pikiran yang tak dapat terbaca. George mendekati putranya dan menepuk pelan pundak Regan. "Bisakah Daddy bicara sebentar denganmu?" Pinta lelaki itu dengan sorot penuh permohonan. Regan melarikan maniknya ke arah Bella yang ternyata juga sedang memandanginya, dan tersenyum
"Auuww!! Bisa pelan-pelan nggak sih??" Protes Axel sambil mendelik kesal ke arah Renata, yang dengan sengaja menekan kuat-kuat kapas yang dibubuhi obat luka itu ke pipi Axel. Renata membalas dengan ikut-ikutan mendelikkan matanya. "Rasakan! Salahmu sendiri kenapa bisa-bisanya membuat Regan marah! Sudah kubilang untuk sembunyi, eeh... kamu malah memanggil namanya!" Dengus Renata sebal. "Dasar bodoh!" Umpat Renata gusar. Axel pun hanya bisa meringis walaupun dalam hati merasa senang, karena lagi-lagi dengan alasan ini ia bisa lebih lama bersama Renata. Si Psikiater ini tentu saja sudah bisa meramalkan apa yang akan terjadi, jika ia dengan terang-terangan mengakui kepada Regan bahwa semalam ia meniduri Renata. Ya, Regan benar-benar murka dan memukulnya. "Dia sangat overprotektif kepada semua wanita yang berada di sekitarnya, ya?" Cetus Axel menyimpulkan. Renata mengangguk kecil. Ia menempelkan plester ke sisi wajah Axel yang lukanya terbuka, lalu mengoleskan gel anti lebam di sudut
"Arabella Kanaya, maukah kamu menjadi istriku?" Pertanyaan yang diucapkan dengan lantunan nada yang lembut namun suara yang maskulin itu membuat jantung Bella tak henti berdebar. Wajah Regan terlihat semakin tampan di bawah bias cahaya lilin yang berpendar hangat menyinari kulitnya, serta lampu-lampu aneka warna dari gedung di sekitar mereka. Apakah Bella sedang bermimpi? Apakah ini nyata? Karena ini semua terlalu indah, hingga Bella khawatir bahwa ini hanyalah ilusinya semata. Namun semua keragu-raguan Bella yang insecure itu segera terbantahkan, saat Regan meraih jemari lentiknya untuk dikecup satu persatu dengan lembut. "Apakah pertanyaanku begitu sulit untuk dijawab?" Tanyanya dengan raut sendu. Serta merta Bella pun menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu, Regan. Aku hanya... benar-benar tidak menyangka. Dan aku mengira yang kudengar barusan adalah khayalanku saja," ucapnya berterus terang. Kali ini Regan mengecup telapak tangan dan bagian pergelangan tangan Bella dimana ur
"Another shot, please!" Seru Renata kepada bartender sembari mengacungkan gelasnya yang telah kosong. "Apa Anda yakin, Nona?" Tanya bartender itu setelah mengamati Renata yang mulai terlihat mabuk. Renata memandangi name tag di dada sang bartender. "Devin," ia membaca tulisan yang tertera di sana. "Tentu saja aku yakin, Devin. Jangan khawatir. Tolong berikan aku minuman lagi." Bartender itu pun kembali menuangkan cairan keemasan yang menguarkan aroma alkohol yang pekat ke dalam gelas Renata, membuat senyum cantik terpulas di bibir itu. "Terima kasih, Devin. Oh iya," Renata mengeluarkan dompet dari tasnya, lalu menarik sebuah black card dan menaruhnya di atas meja di hadapan sang bartender. "Ini, bawa saja kartuku," cetusnya santai sembari mengangkat gelasnya yang telah terisi dengan gestur bersulang. "Jaga-jaga saja kalau-kalau aku sudah tak sadar saat pulang nanti." "Oke," sahut Devin dengan mata bersinar-sinar dan cepat-cepat menyelipkan kartu hitam itu di saku dadanya. "Akan
Renata menatap Regan dengan tatapan yang tak terbaca. Seluruh cerita yang disampaikan saudara kembarnya dengan tenang dan runut itu membuat sesuatu di dalam dirinya patah. Jadi selama belasan tahun ini Regan telah memendam kebencian dan kesedihannya sendiri? "Kenapa kamu tidak menceritakannya kepadaku?" Tanya Renata tak mengerti. "Karena aku tidak mau membuatmu ikut terluka, Ren," sahut Regan sambil tersenyum tipis, namun kilas kepedihan terpatri di garis bibirnya. "Lagipula kamu itu tipe yang nekat, aku khawatir kalau kamu tiba-tiba kabur dari rumah untuk mencari ibu biologis kita," cetus Regan sambil terkekeh pelan. Renata tidak ikut tertawa, meskipun apa yang diucapkan Regan adalah benar adanya. Memang hanya Regan yang benar-benar mengetahui dirinya, namun untuk kali ini Renata tidak menyukai keputusan Regan yang sepihak itu. Renata memejamkan kedua matanya sejenak, sebelum akhirnya ia membuka mata dan menggenggam jemari kakak kembarnya dengan kedua tangannya. "Regan, bagaima