Share

Bab 4

Author: Rira Faradina
last update Last Updated: 2022-02-21 04:18:56

"Alina, Kenalkan ini Bayu," ucap Mama mengenalkan kami.

Pria itu tersenyum datar menatapku,  tubuhnya tinggi dengan berat tubuh yang proporsional, kulit putih yang bersih, dengan jambang tipis diwajahnya, membuatnya terlihat maskulin. Sungguh penampilan yang menarik perhatian kaum hawa. Jujur saja, aku tak menampik pesonanya saat pertama kali kami bertemu. 

Mas Bayu datang kerumah bersama ibunya, yang merupakan sahabat baik mama. Bahkan menurut cerita mama, Bu Ratih, ibunya Mas Bayu merasa berhutang budi pada keluarga mama, karena keluarga mama yang membantu biaya pendidikannya dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.

Dari cerita mama. Sebelum menikah, Bu Ratih adalah seorang yatim yang dibesarkan sendiri oleh ibunya. Persahabatannya yang terjalin dengan mama, membuat kakekku, yang kala itu masih menjabat sebagai seorang perwira polisi, menjadikannya seorang anak asuh, dan membiayai pendidikannya hingga sekolah menengah atas.

Menikah dengan seorang ASN, tidak membuat sikap Bu Ratih pada Mama berubah. Mereka tetap menjaga hubungan persahabatan.

Hingga akhirnya, setengah tahun setelah kematian papa, rencana perjodohan pun dilakukan, dengan alasan sudah mengenal baik bebet, bibit, dan bobotnya, dan juga karena Bu Ratih merasa ingin membalas hutang budi pada keluarga mama. 

Mama menyetujui rencana perjodohan itu karena aku butuh sosok yang bisa menjagaku. Mengingat papa sudah meninggal. Sebagai anak satu satunya, aku mengerti kegelisahan mama. Hidup berdua tanpa seorang lelaki yang bisa melindungi cukup berat dilakukan, apalagi kami tak punya banyak saudara mengingat mama juga seorang anak tunggal.

Papa meninggal dalam sebuah kecelakaan lalulintas. Pekerjaan papa  yang seorang dokter umum di sebuah rumah sakit swasta hanya meninggalkan pesangon. Untunglah semasa hidupnya papa sudah memikirkan masa depanku, dengan membeli sebuah asuransi.

Berbekal uang asuransi papa, mama membuka usaha bakery kecil-kecilan. Sisanya ia simpan di rekeningku. untuk masa depanku.

"Uang ini milikmu, Alina. Mama hanya memakainya sedikit untuk membiayai hidup kita, simpan saja. Jika kelak mama tak ada, kau masih memiliki pegangan."

Ucapan mama kini terngiang kembali ditelingaku. Kupandangi buku tabungan yang kupegang, nilainya cukup besar, ditambah nafkah bulanan dari Mas Bayu yang jarang kupakai membuat saldo di dalam rekeningku menggendut.

Tiga kali bertemu, pernikahan kamipun pun akhirnya digelar. Saat itu aku masih belum mengetahui hubungan asmara antara Mas Bayu dan Kania. Hanya sebuah kalimat ambigu yang diucapkan Bu Ratih sehari sebelum akad nikah, namun, kuabaikan karena aku yakin dapat meraih cinta Mas Bayu.

[Abaikan semua hal tentang masa lalu Bayu, Alina, termasuk wanita masa lalunya, karena itu bisa merusak pernikahanmu. Jika kau butuh dukungan, ibu akan selalu ada untukmu.]

Pernikahan pun kami digelar meriah, sayang, malam pertama kami yang kuharap menjadi satu malam yang bisa dikenang indah, menjadi malam kelam, karena Mas Bayu menolak menyentuhku.

Malam itu juga, Mas Bayu pun menjelaskan padaku alasannya menerima perjodohan kami, dan hubungan asmaranya dengan Kania, aku menghargai kejujurannya meskipun hatiku perih mendengarnya. Aku tak bisa menepis rasa cemburu dihati. Istri mana yang tidak cemburu saat mendengar nama wanita lain di sebut oleh suaminya di malam pertama mereka, Namun, aku masih bersabar, berharap ia sedikit saja bisa menatapku dan menyadari keberadaan ku sebagai istrinya.  

Lamunanku terhenti saat kudengar ponselku berdering. Nama Sang Mantan kekasih suamiku tertera di layar pipih ini. Ada rasa marah dihati ingin memakinya, tapi, aku tersadar, hal itu tak akan ada gunanya.

Untuk beberapa saat aku hanya menatap layar ponselku. Meski ada keinginan untuk menjawab panggilannya tapi aku menahannya. Aku tahu apa yang ingin dibicarakannya denganku, dan saat ini aku tak ingin mendengarnya.

Ponselku berhenti berdering setelah tiga kali panggilannya kuabaikan. Kuputuskan mencari ketenangan sejenak, demi janin dalam kandunganku ini.

***

Deru mobil mas Bayu terdengar, ketika aku baru saja menyelesaikan sholat isya, kulirik jam weker diatas nakas yang menunjukkan pukul delapan lebih empat puluh malam. Cukup malam untuk ukuran Mas Bayu yang selalu tiba dirumah selepas azan Maghrib.

Mas Bayu bekerja sebagai Arsitek Junior di sebuah Perusahaan Arsitektur nasional, dan juga sedang merintis sebuah biro konsultan bersama seorang temannya, membuatnya cukup sibuk diluar rumah, tak jarang aku sering mengingatkan hal hal kecil padanya.

Mas Bayu memiliki dua orang saudara, Mas Adi dan Carissa. Kakak tertuanya, Mas Adi, lebih memilih menjadi seorang ASN, mengikuti Jejak Alm. Ayah mertua ku, dan adik perempuannya, Carissa, menikah dengan seorang warga negara asing, dan memilih menetap di negara asal suaminya, New Zealand. Sedang ayah mertuaku sendiri, sudah meninggal karena gagal ginjal tiga bulan setelah kami menikah.

Kurapikan mukena yang kupakai, tak lupa mengoleskan sedikit lipstik ke bibirku, masih berharap ia sedikit melirik ku.

Terdengar bunyi pintu diketuk, tak ingin membuatnya menunggu lama, aku menghambur ke depan, membukakan pintu untuknya.

Seperti biasa, senyum itu diperlihatkan padaku setiap kali ia pulang kerumah. Lalu menanyakan bagaimana kabarku hari ini.

"Kau sudah makan malam, mas? kalau belum aku hangatkan sebentar lauknya." Aku bertanya sambil membawakan tasnya.

"Maaf Alina, Aku sudah makan malam dengan Kania," sahutnya.

Untuk sesaat aku terpaku, dadaku terasa sesak mendengarnya. Kuhela nafas panjang, berusaha menenangkan perasaanku. 

Ia melangkah masuk ke dalam kamar kami, lalu duduk sambil melepas dasi dan sepatunya.

Aku memilih tak bertanya lagi, kuambil sepatu dan meletakkannya di rak sepatu. Kulihat, ia mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Selagi ia membersihkan diri, tak sengaja mataku memandang ponselnya yang tergeletak di atas nakas.

Entah darimana datangnya keberanian, tanganku tiba tiba lancang mengambil dan membuka ponselnya. Sesuatu yang jarang kulakukan, karena aku menghormati privasinya. Jariku dengan lincah langsung membuka aplikasi W*. Membaca satu persatu pesan disana.

Hanya pesan Kania saja yang kucari, dan mataku tak berkedip saat membaca pesan pesan mereka. 

Rencana pernikahan mereka.

Hal yang dibicarakan Mas Bayu kemarin denganku. Ya Tuhan, bisakah Kau membatalkan rencana mereka? 

Aku memang terlalu naif, dari awal aku tahu, bahwa cinta Mas Bayu hanya untuk Kania saja, kupikir dengan ketulusan cintaku, bisa mengalihkan perhatian dan cinta Mas Bayu kepadaku. Ternyata aku salah, cinta Mas Bayu mungkin tak akan pernah bisa kumiliki.

Kukembalikan segera ponselnya ke atas nakas, aku berpura pura tegar dan tersenyum. Berusaha kuat akan kenyataan ini. 

Ku rebahkan tubuhku di atas ranjang, terdengar langkah kakinya keluar dari kamar mandi, aku sengaja membalikkan badanku, membelakanginya. Aku tak ingin ia melihat bagaimana kacaunya raut wajahku saat ini.

Harum aroma sabun masih menguar dari tubuhnya, saat ia naik ke atas ranjang ini, aku mengelus perutku yang masih rata, berharap janin didalamnya dapat menguatkanku.

"Alina, aku tahu kau belum tidur," ucapnya pelan.

Aku menghembuskan nafas pelan, kupejamkan sejenak mataku, berusaha menguatkan hati.

"Apa ini soal Kania lagi?"

"Iya, aku ingin memberitahumu, aku akan melamar Kania," terangnya.

Aku diam, menahan sesak di dada. Ada rasa marah menyeruak ingin menentangnya, tapi sedetik kemudian aku tersadar jika aku tidak akan bisa menghalanginya.

"Sejak awal pernikahan kita, aku sudah memberitahu tentang Kania padamu, kuharap kau menerimanya, Alina.

Maaf, jika aku harus menduakanmu, tapi aku tak bisa mengabaikan wanita yang kucintai," lanjutnya.

"Lakukan saja mas, aku sudah lelah membicarakan hal ini padamu," Jawabku singkat.

"Terima kasih, Alina."

Ada getar bahagia kurasakan dari nada  suaranya, sesuatu hal yang tidak pernah ia tunjukkan padaku. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan darinya saat kami berduaan.

"Kapan rencana lamarannya, Mas?" Tanyaku tanpa menoleh.

"Akhir bulan ini, Alina. Aku akan senang jika kau juga hadir disana," ungkapnya.

Hadir?

Aku menelan ludah mendengarnya, memastikan apa yang baru saja kudengar. Aku tak bisa menghadirinya karena aku tak akan sanggup melihat wajahmu yang tersenyum bahagia disana, mas. Mungkin sudah waktunya bagiku sekarang untuk mundur.

Maaf mas, tapi aku menyerah. 

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (7)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
enak bener kamu Bayu ngomong aja kalau mampu nahan LAKNAT dari ALLAH
goodnovel comment avatar
Isabella
pingin nampok si bayu dsr lelaki songong
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kayaknya kau cuman pantas jadi babunya bayu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 169 (Ending)

    "Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 168

    "Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 167

    Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 166

    Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 165

    Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 164

    "Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status