Share

Bab 5

Penulis: Rira Faradina
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-21 04:27:32

Kutatap wajahku yang pucat dicermin. Sejak tadi mulutku tak bisa menelan apapun karena rasa mual. Morning Sickness ini membuatku tak bertenaga. Yang kulakukan sedari tadi hanyalah berbaring saja. Malas melakukan kegiatan apapun.

Mas Bayu sempat bertanya mengapa aku tak menyentuh sarapannya, Namun, aku bisa menyakinkan dirinya jika aku baik baik saja, aku beralasan hanya masuk angin biasa. Entah kenapa, aku masih ingin merahasiakan kehamilanku darinya.

Bi Imah, seorang yang bekerja sebagai ART di rumahku, membuatkan ku segelas teh hangat. Bi Imah hanya bekerja setengah hari saja, ia biasa datang pukul tujuh pagi dan akan pulang setelah menyiapkan makan siang.

Aku masih duduk menatap pantulan wajah diri di cermin. Ku elus perlahan perutku. Aku berharap ditengah berkecamuknya pikiran dan perasaanku saat ini, tak akan mempengaruhi tumbuh kembang janin dalam kandungan ku.

Pembicaraan dengan Mas Bayu semalam, masih menyisakan rasa sesak didada. Keinginannya untuk meminang Kania, seperti sudah tak terbendung lagi. Harapannya untuk bersama wanita yang dicintainya kini sudah terbentang didepan mata.

Aku memijat kepala yang terasa pusing. Mungkin sudah waktunya aku memeriksakan kandunganku ke dokter. Aku butuh vitamin agar janin dan tubuhku kuat menghadapi kenyataan ini, tak ingin terlalu banyak berpikir, kuputuskan sore ini saja pergi ke dokter.

Tok tok tok ....

Terdengar pintu kamarku diketuk, dengan langkah malas aku menyeret kaki ke sana untuk membuka pintu, wajah Bi Imah langsung menyembul ketika daun pintu ini terbuka.

"Bi Imah?" Tanyaku sedikit terkejut.

Wajah cemas Bi Imah terlihat sangat cemas, entah apa yang membuatnya seperti terlihat khawatir seperti itu. Jujur saja melihat penampakan raut wajah wanita yang telah bekerja setahun padaku ini, tak ayal membuatku sedikit cemas.

"Ada apa Bi, apa ada masalah?"

"Anu Mbak, bibi kalau boleh mau minta izin, tadi ada yang datang kesini, ngasih kabar kalau Nurma mau lahiran," jelasnya gelisah.

"Ya sudah, tunggu apa lagi, Bi Imah bisa pulang sekarang," jawabku.

"Memangnya Nurma di mana sekarang?"

"Tadi yang ngabarin bilang, udah dibawa ke-rumah sakit," ucapnya gugup.

"Begitu ya, tunggu sebentar disini," pintaku.

Aku masuk dan mengambil beberapa lembaran biru dari dalam dompet ku, lalu kembali lagi menemui Bi Imah, yang masih menunggu di depan pintu kamarku.

"Bibi pulang saja sekarang, ini ada sekedar untuk bantu beli popok," ucapku mengulurkan tangan.

"Maaf, tapi Bibi juga izin gak datang beberapa hari, ya mbak Alina, buat ngurusin Nurma dulu dan bayinya," ucapnya lagi.

"Iya, gak apa apa. Bibi datang kembali kalau semuanya sudah beres," jawabku.

Ia terlihat lega, setelah mengucap berkali kali terima kasih, ia pun berlalu dari hadapanku.

Aku berlalu meninggalkan kamarku, berjalan kearah dapur. Kulihat makan siang sudah tersedia di atas meja. Rupanya sebelum pergi meminta izin padaku, ia sudah menyelesaikan pekerjaannya dengan rapih seperti biasanya.

Hoek ....

Rasa mual kembali menyapa saat aku mencium aroma masakan. Kucoba memuntahkan isi perutku di wastafel ini, namun, tak ada apapun yang keluar. Rasa mual ini sungguh menguras energi. Kuhirup dalam dalam aroma minyak kayu putih, setidaknya ini bisa sedikit membantu melegakan rasa mual ini.

Lewat aplikasi aku memesan sebuah taksi online. Kulirik jam diponselku, sudah hampir jam sebelas siang, aku membuka lemari mengganti pakaianku dengan pakaian yang pantas lalu bersiap menunggu kedatangan taksi yang tadi kupesan.

Sepuluh menit kemudian, sebuah taksi sudah tiba didepan rumahku. Tak ingin membuang-buang waktu, aku segera memintanya pergi ke sebuah rumah sakit.

****

"Selamat, ibu positif hamil, usia kandungan ibu sudah berjalan tujuh minggu," terang dokter Silvia, dokter kandungan yang kupilih.

Aku tersenyum mendengarnya. Tampak dilayar monitor sebuah janin kecil sudah berada di rahimku. Bahagia. Tentu saja, jangan kau tanyakan lagi.

Aku duduk dihadapan dokter Silvia, ia memberikan informasi yang kuperlukan mengenai kehamilanku, tak lupa menuliskan beberapa resep vitamin untukku.

"Jangan lupa diminum vitaminnya, dan rutin tiap bulan diperiksakan kandungannya, ya bu," pesan dokter Silvia, ketika aku pamit hendak meninggalkan ruangannya.

Aku menyimpan vitamin kedalam tas, setelah merasa tak ada keperluan lagi di rumah sakit ini, aku pun berjalan menuju pintu keluar, namun, begitu tiba di pintu keluar, ponselku tiba tiba berdering.

Kania.

Nama itu nampak jelas terlihat dilayar ponsel, mood ku yang tadinya bahagia menyambut calon anakku, tiba tiba rusak hanya dengan melihat namanya saja.

Dengan suara ketus aku menjawab panggilannya, dalam sambungan telepon ini, ia meminta ingin bertemu denganku.

Entah untuk urusan apa lagi ia ingin bicara denganku, akupun menyetujuinya. Ku ajak dia bertemu di sebuah Cafe dekat rumah sakit ini. Aku ingin mendengar apa lagi yang ingin ia ambil dariku.

Setengah jam sudah berlalu aku duduk di cafe ini, namun, Kania belum juga datang. Rasa pusing dan mual yang kutahan sudah cukup menyiksaku, ditambah cuaca yang sedang terik, membuatku rasanya ingin cepat cepat pulang dan merebahkan diri.

Aku masih memandang ke luar jendela, segelas minuman dingin yang kupesan hanya kuminum beberapa teguk saja, begitu pula dengan cake ini, hanya ku cuil sedikit, karena perutku menolak diisi.

Wanita yang sedari tadi kutunggu akhirnya terlihat, aku mendengkus kesal, karena kulihat ia tak datang sendiri, melainkan bersama seorang teman wanita. Sambil mengulas senyum, wanita yang mengenakan blouse berwarna merah ini, kini menghampiriku.

"Maaf, Alina. Aku terlambat."

Aku hanya mengangguk pelan, ia lalu memperkenalkan wanita yang datang bersamanya padaku.

"Ini Winda, sepupuku." Wanita itu mengulurkan tangannya, mengajakku berjabat tangan.

"Alina," balasku sambil menerima jabatan tangannya.

"Katakan ada urusan apa lagi kau ingin menemui ku, bukankah semua sudah sesuai dengan keinginanmu, bukankah sebentar lagi Mas Bayu akan melamarmu?" Sindirku.

Ia belum menjawabnya, tapi meminta Winda untuk memanggil pelayan, memesankan minuman, tak lupa juga menawariku.

"Aku tak punya banyak waktu, Kania. Jika kau ingin bicara, sebaiknya bicaralah sekarang," desakku ketus.

"Aku ingin kau menerimaku sebagai calon istri Mas Bayu, aku ingin kau hadir di acara lamaranku nanti," ucapnya sambil menatapku tajam.

Aku menyipitkan mata begitu mendengar ia bicara. Apa benar ia meminta bertemu hanya untuk mengatakan hal itu?

"Apa Mas Bayu yang memintamu, mengatakan hal itu padaku?" Tanyaku sinis.

"Tak penting Mas Bayu yang meminta atau tidak. Aku ingin kau melihat acara lamaran kami," kilahnya.

Aku terkekeh geli mendengarnya, ia terlihat tak suka dengan sikapku. Dering ponsel seseorang tiba tiba berbunyi, membuatku menghentikan sejenak tawa ku.

"Maaf, aku terima telepon sebentar," ucap Winda lalu berdiri, melangkah menjauhi kami.

"Bagaimana kalau aku menolak? Apa yang akan kau lakukan?" Tantangku.

"Terserah kau saja, Alina. Aku hanya mencoba untuk bersikap baik padamu, kau hadir atau tidak tak akan berpengaruh bagiku. Mas Bayu akan tetap melamarku."

Ia memperlihatkan sikap kesalnya padaku, aku tersenyum sinis melihatnya. Lalu membalikkan kembali kata katanya.

"Jika kau sudah tahu, lalu untuk apa bertanya lagi padaku. Hah?"

"Alina!" Sentaknya keras.

"Jaga mulutmu, Kania. Jangan seenaknya kau lancang memanggil namaku. Aku Alina, istrinya Mas Bayu, dan akan selamanya begitu. Aku yakin Mas Bayu sudah memberitahumu jika ia tak akan menceraikan ku setelah kalian menikah, bukan?"

"... dan kurasa wanita pintar seperti dirimu pasti tahu, apa anggapan orang orang tentang Istri kedua."

"Pe-la-kor," ucapku dengan nada penekanan yang kuat.

"Alina ... kau!"

Wajahnya memerah karena tudingan yang kukatakan. Aku tersenyum mengejek padanya, tak lama bibirnya kembali berdecak kesal padaku.

"Aku sudah berusaha bersikap baik padamu, Alina. Kau sungguh membuatku kesal," geramnya.

"Aku yakin kau meminta bertemu karena permintaan dari Mas Bayu, bukan?" Sinisku.

Ia terdiam mendengarnya, namun, sorot matanya masih menunjukkan rasa tidak nyaman atas pertanyaanku tadi.

"Iya, jika bukan karena permintaan Mas Bayu, aku malas bertemu denganmu," ungkapnya.

"Jadi, tak usah lagi kau tanyakan, kau sendiri sudah tahu apa jawabanku, Kania."

"Maaf, tapi kurasa sudah tak ada lagi yang harus kita bicarakan, aku mau pulang," ucapku sambil meraih tasku.

"Kalau begitu, kau minta saja Mas Bayu untuk menceraikanmu, Alina? Kurasa itu lebih baik untuk kita bertiga," ucapnya saat aku baru saja membalikkan badan.

"Kau ..."

Aku mengepalkan tanganku erat, rasa marah yang sedari tadi kutahan, ingin kukeluarkan sekarang.

"Kenapa Alina, kau tidak bisa melakukannya?" Ia tersenyum seolah mengejekku.

"Kania ...!"

Aku membentaknya keras, beberapa pasang mata pengunjung kini menatap kami, aku tak peduli, memilih mengabaikannya. Dengan geram aku mendekat kembali ke arah Kania. Memberinya sedikit pelajaran.

Plak.

Sebuah tamparan kuhadiahkan di pipi mulusnya, ia terkejut lalu memakiku.

"Kurang ajar kau, Alina!" Geramnya sambil mengelus pipinya yang memerah.

"Kau sadar apa baru saja kau katakan?"

"Kau memintaku membujuk Mas Bayu agar menjatuhkan talak. Kau tahu, jika setan sedang tertawa bahkan iblis pun berbahagia mendengar ucapanmu ini, Kania. Tidakkah kau tahu, jika memutuskan dan menghancurkan pernikahan orang lain itu, dosa."

"Aku memang menolak rencana poligami yang akan Mas Bayu lakukan, tapi bukan berarti aku bisa meminta cerai sesuka hatiku, aku masih takut akan dosa. Untuk hal seperti itu apakah aku juga harus memberitahumu?

Ia masih memegang pipinya, aku melotot tajam padanya, kesabaranku sudah diambang puncak. Jika tak segera kutinggalkan tempat ini, bisa bisa aku khilaf, dan wanita ini sudah habis kuhajar.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
dasarnya JALANG nggak tahu aturan agama Fir'aun barangkali
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
banyak alasan kau nyet
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 169 (Ending)

    "Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 168

    "Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 167

    Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 166

    Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 165

    Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g

  • Wanita Yang Dicintai Suamiku   Bab 164

    "Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status