“Mama kok curang, mama bisa bersama Dio sesuaka hati, aku hanya boleh kesana hanya sesekali saja.”
“Iyalah, kamukan sedang sakit, sudah ayo cepat, mau pulang atau mau nginep lagi di sini.”“pulanglah, sudah bosan Laksa di sini.”“Ya sudah ayo jangan bawel.”“Padahal mamanya Dio juga menggemaskan kenapa yang diperebutkan hanya Dio?” kali ini Luna yang berkata dengan geli.“Mamanya Dio hanya untukku tidak akan aku bagi dengan orang lain,” sahut Laksa.“Gombal banget.”“Bukan gombal, tapi mengantisipasi saja agar mamanya Dio tidak cemburu pada anaknya.”Luna terperangah bagaimana pemikiran itu bisa mampir kekepala suaminya. “Aku tidak cemburu.”“Cuma iri sama anak sendiri.”“Idih kakak kenapa bicara begitu.”Laksa hanya tertawa melihat wajah istrinya yang cemberut, kehidupan rumah tangganya dan Luna memang tidak mudah, banyak aral melintang yang menghalangi keduanya, tapi seper“Aku atas nama keluarga minta maaf, tapi ada yang harus aku berikan padamu.” Laksa menutup ponselnya dan menyandarkan punggungnya dengan lelah. “Ada apa, Kak, kita tidak langsung pulang?” tanya Luna. “Adit mau ke sini.” Laksa memandang Luna dalam. “Apa aku jahat kalau sedikit senang dengan kematian Raya?” tanya Laksa bimbang. Sejujurnya Luna tak tahu harus menjawab apa, disatu sisi dia memang lega, tidak ada lagi orang yang merecoki rumah tangganya, tapi sebagai manusia dia juga masih memiliki empati pada seseorang yang sedang kesusahan di luar sana. “Kakak hanya sedang bingung saja,” kata Luna akhirnya. “Akhirnya aku menemukan kalian,” Luna menoleh pada suara dari jendela mobil. “Ada apa sebenarnya, bukankah kamu harusnya membantu mengurus jenazah Raya?” “Bolehlah kita bicara berdua?” tanya Adit pada Laksa, dan menoleh pada Luna dengan tatapan memohon, tapi sepertinya Laksa sedang keras kepala dan tak ingin menga
Kehilangan tak akan pernah mudah. Tak akan ada orang yang siap kehilangan orang yang dicintainya, hal yang sangat manusiawi memang, kadang menyalahkan orang lain adalah cara kita supaya rasa sedih itu bisa hilang, meski tak semua orang akan terima jika disalahkan begitu saja tanpa tahu sebabnya. “Kita pergi sekarang, Sayang,” kata Laksa pada Luna yang masih terpaku menatap orang-orang itu. “Mau ke mana kamu, kamu pembunuh, kamu yang membuat anakku mati!” Luna tahu tidak ada gunanya mereka di sini, secepatnya dia harus membawa Laksa pergi dari sini, Raya yang katanya ingin bertemu dengan Laksa juga sudah meninggal, jadi tidak ada lagi yang perlu mereka bicarakan. Luna menoleh saat suara makian, sumpah serapah dan juga tangisan yang begitu menyayat masih saja terdengar. “Jangan dilihat.” “Apa maksudnya kakak pembunuh Raya?” “Entahlah itu hanya ucapan orang yang sedang berduka saja jangan dimasukkan dalam
“Kami akan menyelidikinya lebih jauh, mungkin kami akan bertanya beberapa hal lagi pada anda terkait Ibu Raya.” “Saya tidak masalah untuk bekerja sama, tapi yang tidak saya mengerti kenapa saya juga disangkut pautkan masalah itu.” Sang polisi terlihat berdehem tidak nyaman. “Karena orang tua dari ibu Raya mengatakan kalau anaknya menjadi bersikap aneh setelah kecelakaan dengan anda waktu itu.” “Aneh bagaimana? gila maksudnya? Terakhir saya bertemu memang dia bertindak di luar kebiasaannya, bahkan sampai dokter memberikan obat penenang, saya kira itu karena dia baru saja keguguran.” “keguguran?” “Iya, apa orang tuanya tidak bilang?” Petugas itu langsung menggeleng, Lkasa lalu menceritakan semua yang terjadi waktu itu, agak aneh juga polisi tak tahu kalau Raya keguguran, bukankah seharusnya itu ada dalam laporan.“Jadi milik siapa janin yang dikandung Ibu Raya.” “Entahlah, saya juga tidak tahu, dia tak meng
“Jadi boleh tidak?” tanya Laksa pada istrinya yang masih saja diam membisu. “Memang kalau aku bilang tidak kakak akan nurut?” Laksa duduk menegakkan punggungnya, dia hanya diam saja saat Luna menyeka keringat yang membanjiri wajah suaminya itu, hari ini memang jadwal Laksa untuk melakukan terapi pada kakinya, latihan berat yang membuat Luna tak tega melihat wajah suaminya yang sudah pucat. “Kamu berhak melarangku, tapi aku juga akan bertanya apa alasannya, jika alasannya bagus aku akan ikuti.” Cukup demokratis memang. “Tidak,” kata Luna yakin. “Alasannya?” “Sudah jelas bukan kakak terlihat sangat capek dan sudah hampir pingsan, kayaknya ngebet banget pengen lihatin mantan pacar,” sindir Luna. Laksa malah tertawa mendengar sindiran istrinya. “Bukan ngebet, hanya aku pikir sekalian saja, aku dengar dia juga dirawat di sini.” “Kok kakak tahu?” “Jangan curiga dulu, ini murni faktor kemanusiaan, dan
“Kenapa jawabannya tak yakin begitu?” “Bukan tak yakin, tapi aku hanya mencoba menahan rasa rindu padamu, kenapa makin lama kamu malah terlihat makin cantik.” “Idih itu yang namanya gombal. Sudah aku mau siapin makan siang dulu, tidak akan kenyang hanya dengan makan gombalan saja.”Laksa tertawa mendengar gerutuan istrinya dan membiarkan Luna berlalu meninggalkannya sendiri dalam kamarnya yang luas ini, digulirkannya kursi roda yang dia gunakan untuk sekedar melihat pemandangan yang terhampar dari balkon kamarnya, tak lupa dinyalakannya televisi di kamar itu, sekedar membuat suasana tak terlalu sepi.“Kamu sudah makan siang, Nak?” tanya sang mama yang barusan keluar dari kamarnya. “Belum, Ma, ini mau makan siang, apa mama dan yang lain sudah makan siang.” “Sudah, tinggal kamu dan Laksa.” “Ma!” panggil Luna saat sang mama akan melangkah entah kemana.“Ya?” “kak Laksa minta pindah ke kamar bawah sem
“Apa tidak sebaiknya kita pindah kamar di lantai bawah saja, di sana masih ada kamar kosong.” Laksa mengamati kamarnya ini beberapa saat, tidak banyak berubah memang meski dia sudah tak menempatinya selama hampir dua bulan, Luna juga jarak tidur di kamar ini dan lebih banyak menghabiskan waktunya bersama dengannya di rumah sakit. “kakak yakin? Bukankah kakak biasanya malas tidur di kamar bawah?” “Ya memang sih aku lebih suka kamar ini yang bisa melihat pemandangan dari atas, tapi aku juga ksihan padamu harus membantuku naik kemari apalagi kondisimu yang juga pasca melahirkan,” kata Laksa dengan rasa bersalah yang kental. “Aku sudah lebih sehat, ternyata ada untungnya juga mendekam di rumah sakit selama hampir dua bulan, kalau ada apa-apa tinggal tanya dokter dan suster di sana.” “Mendekam banget istilahnya.” “Memang begitu bukan.” “Iya, sih tapi kesannya-““Jelek?” Laksa hanya mengangguk. “Jadi
“Mama kok curang, mama bisa bersama Dio sesuaka hati, aku hanya boleh kesana hanya sesekali saja.” “Iyalah, kamukan sedang sakit, sudah ayo cepat, mau pulang atau mau nginep lagi di sini.” “pulanglah, sudah bosan Laksa di sini.” “Ya sudah ayo jangan bawel.” “Padahal mamanya Dio juga menggemaskan kenapa yang diperebutkan hanya Dio?” kali ini Luna yang berkata dengan geli. “Mamanya Dio hanya untukku tidak akan aku bagi dengan orang lain,” sahut Laksa. “Gombal banget.” “Bukan gombal, tapi mengantisipasi saja agar mamanya Dio tidak cemburu pada anaknya.” Luna terperangah bagaimana pemikiran itu bisa mampir kekepala suaminya. “Aku tidak cemburu.” “Cuma iri sama anak sendiri.” “Idih kakak kenapa bicara begitu.” Laksa hanya tertawa melihat wajah istrinya yang cemberut, kehidupan rumah tangganya dan Luna memang tidak mudah, banyak aral melintang yang menghalangi keduanya, tapi seper
Hari ini Laksa sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Lega rasanya setelah hampir dua bulan, menjadi penghuni tetap rumah sakit ini, akhirnya Laksa diperbolehkan untuk pulang ke rumah, meski dia belum seperti sedia kala, tapi setidaknya dokter memperbolehkan Laksa untuk rawat jalan. “Akhirnya aku bisa kembali hidup normal.” “Memang selama ini kakak merasa tidak hidup dengan normal?” “Iya, semuanya serba dibatasi, belum lagi bau obat di mana-mana,” keluh Laksa. “Namanya juga orang sakit, kan biar cepat sembuh, setelah ini kakak juga masih harus rutin minum obat.” Laksa yang sedang duduk di atas ranjang rawatnya menatap Luna dengan senyum di bibirnya. “Aku sebenarnya lebih suka sakit, meski benci ada di rumah sakit.” Hadeh. “Sakit kok senang.” “Bukan sakitnya yang senang, Sayang, tapi aku senang kita bisa lebih dekat.” Luna menghentikan gerakannya yang sedang melipat baju Laksa, dan memandang suami
Raya yang tangannya masih dipelintir oleh Luna tak membuat niatnya surut untuk adu mulut dengan Laksa. “Jelas-jelas wanita ini yang merebutmu dariku, kamu bilang dia tidak bersalah, kamu benar-benar sudah dibutakan olehnya.” “Pergi sebelum aku mempekarakan ini semua, kamu ingat dengan bukti-bukti yang aku miliki aku bisa langsung menghancurkan keluargamu tanpa menyentuh,” Laksa berkata dingin. Raya melotot tak terima, dia berontak dari cengkeraman tangan Luna dan membanting apa saja yang ada di dekatnya, untunglah petugas keamanan yang dipanggil oleh sang mama segera datang dan mengamankannya, tapi bukannya menurut dan menyadari kesalahannya, Raya malah memberontak seperti orang gila, dia bar tenang saat seorang dokter menyuntikkan obat penenang padanya. “Apa yang kamu lakukan pada putriku Laksa.” “Anda bisa melihat rekaman CCTV, saya atau putri anda yang mengacau,” kata Laksa pada wanita paruh baya yang Luna ingat sebagai ibu dari R