Luna keluar dari kamar mandi dengan memakai kaos Laksa dan gaunya yang sudah sobek dibeberapa bagian, dia tak punya pilihan lain selain menerima sedikit kebaikan laki-laki itu.
Ayahnya masih setia menunggunya dengan wajah menunduk. Duduk di atas ranjang. Sejanak Luna ragu untuk menghampiri ayahnya. Tapi sang ayah segera menoleh padanya membuat Luna tak punya pilihan lain selain mendekat. “Kita pulang.” Luna hanya bisa mengikuti langkah kaki ayahnya, percuma juga mengatakan kebenarannya sekarang, ayahnya sudah terlanjur kecewa. Pesta sudah berakhir beberapa jam yang lalu meninggalkan kekacauan di sana-sini termasuk pada Luna. Beberapa orang sedang sibuk membereskan semuanya, tapi kesibukan itu berhenti oleh teriakan seorang laki-laki yang membahana. Luna hanya bisa mengeratkan genggaman tangannya satu sama lain, dia terlalu malu untuk menggandeng ayahnya setelah apa yang terjadi. “Siapkan mobil cepat!” teriak suara itu entah ditujukan pada siapa. Tapi tak lama keluar Ayah Laksa yang sedang membopong seseorang dengan tergesa ke luar rumah, di belakangnya Laksa ingin membantu sang ayah kalimat. “Selesaikan urusanmu, baru temui kami.” Menghentikan langkahnya. Luna bisa melihat pandangan khawatir Laksa, tapi dia juga tak mampu untuk melawan perintah ayahnya, apalagi setelah apa yang terjadi. Laksa menoleh pada Luna dan ayahnya yang masih berdiri diam di sana dengan tatapan yang sangata tajam. “Kita pulang sekarang,” kata sang ayah tegas, membuat Luna yang masih terpaku di tempat tersentak kaget dan buru-buru mengikuti ayahnya. “Tunggu, Om. Kalian tidak bisa pergi begitu saja setelah apa yang terjadi.” “Apa lagi maumu, menuduh anakku yang menjebakmu.” Meski hatinya masih ragu tapi ayah Luna tak mungkin membiarkan putri kesayangan dituduh macam-macam oleh pemuda di depannya ini. Sejak awal dia yang salah menyetujui perjodohan Luna dan Laksa. Mereka hanya keluarga sederhana, sangat timpang denga keluarga ini yang punya segalanya. “Om tidak perlu buru-buru saya akan buktikan kalau putri om yang menjebak saya.” Laksa memandang Luna dengan jijik. “Baik ayo kita lihat bukti apa itu.” Luna mengikuti ayahnya, dia berharap apapun bukti yang dimaksud Laksa bisa membebaskannya dari semua tuduhan menjebak laki-laki itu, Luna bahkan sudah tak ingin lagi melihat Laksa. Dia sakit hati dan merasa terhina. Laksa mempersilahkan mereka melihat layar besar di ruangan itu, hanya mereka bertiga di sana. Sebuah video diputar, ternyata CCTV rumah ini, terlihat Luna yang mengambil dua buah minuman dari seorang pelayan, gadis itu lalu berjalan berputar-putar saat mencari ayahnya. Dan karena lelah dan ingin munim Luna duduk di sebuah kursi panjang, dan terlihat Laksa yang sudah duduk di sana, Luna memberikan minuman itu pada Laksa yang tanpa curiga diminumnya hingga habis. “Dari sini, sudah jelas bukan kalau putri om yang sengaja memberiku minuman itu,” kata Laksa dingin. Erwin, ayah Luna mengerutkan keninganya dan menatap Laksa tepat di matanya. “Putriku memang memberimu minuman tapi di sana tidak terlihat memasukkan apapun setelah mengambilnya dari pelayan.” “Minuman itu tadinya untuk ayah,” Luna angkat bicara, “Luna mencari ayah tapi tidak ketemu. Luna memang tak punya bukti tapi sungguh Luna tidak memasukkan apapun ke minuman itu.” “Bahkan kamu masih mengelak saat bukti sejelas ini,” kata Laksa geram. “Kalau om masih tidak percaya, ada banyak orang yang menyaksikan putri om memberikan minuman padaku.” “Adakah bukti bahwa putriku yang memasukkan obat itu, atau kamu hanya sedang mencari kambing hitam saja untuk menyalahkan kami.” Luna bisa melihat ayahnya yang biasanya lembut dan santun mulai kehilangan kontrol dirinya. “Jadi apa maumu sebenarnya, kamu mau cuci tangan dan tidak bertanggung jawab begitu, silahkan aku juga tidak sudi putriku dihina dan soal perjodohan itu kamu tenang saja, aku akan bicara pada kakekmu dan membatalkannya. Kita pulang, Lun.” Luna kembali berjalan di belakang ayahnya, Luna tahu ayahnya sangat kecewa padanya, tapi ayahnya tetap saja ayah terbaik di dunia bagi Luna, dia tetap menjadi pahlawan untuknya, bahkan saat semua orang lebih mempercayai Laksa. Luna tak tahu apa yang akan terjadi padanya, dia tak mungkin lebih menyusahkan ayahnya lagi. ayahnya guru yang cukup disegani di kampungnya, nama baik ayahnya sudah pasti akan tercoreng karenanya. Mereka berkendara dalam diam, tak ada yang membuak suara, mereka larut dalam pemikiran masing-masing. “Yah,” panggil Luna pelan saat sang ayah sudah memarkir mobilnya di halaman rumah. “Nanti Lun, istirahatlah dulu.” Sang ayah menginggalkan Luna tanpa menoleh lagi, tidak ada senyuman hangat atau usapan lembut di kepalanya seperti biasa. Ayahnya yang biasanya berjalan penuh wibawa, hari ini terlihat sangat ringgih dan lemah, Luna menggigit bibirnya kuat-kuat, mencegah air mata meluncur di pipinya. Kenapa semua ini harus terjadi? Padahal saat berangkat tadi dia begitu bahagia. Dengan lesu Luna melangkah ke kamarnya, Luna ingin mandi membersihkan semua sisa-sisa laki-laki itu di tubuhnya, bahkan kalau bisa Luna ingin mengelupas kulitnya. Entah sudah berapa lama Luna ada di kamar mandi, dia mendengar sayup-sayup suara ayahnya memannggil, seluruh tubuhnya menggigil mati rasa. Luna bukan pengecut yang akan mengakhiri hidupnya, dia tidak akan mungkin membebankan ini semua pada ayahnya. Diharusnya air mata yang mengalir, dia masih punya sang ayah yang percaya padanya, setidaknya itu yang Luna yakini. “Luna sedang mandi, Yah, maaf lama,” Luna menunduk tak berani menatap ayahnya. Lalu dirasakannya pelukan hangat yang sangat Luna sukai, tapi kali ini pelukan itu berbeda, bahu sang ayah bergetar, dan Luna tahu kalau sang ayah menangis. “Maafkan ayah, Nak,” kata sang ayah disela tangisnya. “Ayah bukan ayah yang baik, ayah telah gagal menjagamu.” Luna makin tergugu, ini bukan salah ayahnya, bagi Luna sang ayah adalah ayah terbaik di dunia, pahlawannya yang selalu melindungi Luna. Jika hal buruk terjadi pada Luna, sungguh ini bukan salah ayahnya. “Ini bukan salah ayah, Luna yang salah tak bisa menjaga diri, tapi sungguh, Yah, Luna tidak pernah menjebak siapapun.” Sang ayah melonggarkan pelukan mereka dan menatap putrinya yang begitu pucat seperti mayat. “Ayah percaya putri ayah tak akan melakukannya,” kata sang ayah yakin. Itu cukup untuk Luna. Kepercayaan ayahnya, “Yah, ijinkan Luna pergi, Luna tidak ingin karena aib ini ayah nama baik ayah menjadi rusak.” Mereka duduk di atas ranjang Luna, sang ayah menatap putrinya terkejut. “Ayah tidak peduli dengan nama baik, suatu saat pasti kebenarnya akan terungkap, bagaimanapun kamu tetap putri ayah.” “Luna tahu, Yah, Luna akan pergi ke rumah nenek untuk semantara waktu, Luna janji akan kembali saat Luna sudah pulih. Luna janji akan baik-baik saja, ayah bisa mengunjungi Luna di rumah nenek.” Sang ayah menatap Luna lama, dia sungguh tak rela berpisah dengan putrinya dengan cara seperti ini. Tapi Luna benar, dia butuh sedikit ruang, jauh dari gangguan keluarga Sanjaya. Dengan berat hati sang ayah mengangguk. “Terima kasih, Yah,” kata Luna parau.Ini memang bukan kali pertama Dio sakit, kelahirannya yang lebih cepat dari waktu seharusnya membuat daya tahan tubuhnya tak terlalu baik, baik Luna dan laksa menyadari betul hal itu. Konsultasi ke dokter dan berbagai vitamin sudah bukan hal yang asing untuk mereka, bahkan Dio punya dokter khusus yang setiap minggu mengecek perkembangannya, tapi kali ini berbeda, panas yang disertai ruam di beberapa tempat itu membuat Dio sangat tidak nyaman dan terus menangis. “Maafkan, aku yang tidak perhatian pada anak kita sampai dia seperti ini,” kata Luna lirih mereka sudah duduk di ruang rawat anak. Dokter memutuskan Dio rahus dirawat inap untuk melakukan beberapa pengecekan. “Jangan menyalahkan diri sendiri, ini juga salahku yang tidak bisa menjaga anak kita dengan baik dan memintamu membantu di perusahaan,” jawab Laksa tak kalah lirih. Dua orang itu sama-sama menghela napas dan memandang putra mereka yang terbaring lemah dengan tatapan send
"Mungkin lusa, entahlah dia belum memberikan waktu yang pasti, entah kenapa aku merasa dia bahkan tak ingin memberitahu keluarganya." "Lalu?" "Tidak ada, aku akan mengikuti kemauannya," jawab Laksa enteng. "Apa aku perlu ikut?" Laksa mengedikkan bahunya tapi kemudian berkata. "Terserah saja, tapi aku harap kamu menyiapkan hati untuk semua kemungkinan yang terjadi. Sore harinya Dirga muncul di rumah keluarga Sanjaya dengan wajah kusut dan lelah, tapi terlihat senyum bahagia menghiasi wajah tampannya. "Selamat sore." "Sore, apa ada berita baru?" tanya Laksa langsung. "Akhirnya kita berhasil," kata Laki-laki itu dengan senyum lebar dibibirnya. "Benarkah?" "Kamu bisa lihat sendiri." Dirga lalu membuka laptopnya dan memperlihatkan sistem yang baru saja dia bangun dan memberikan demo di beberapa b
“Mau kemana?” tanya Laksa saat Luna berusaha melepaskan belitan tangannya di pinggang sang istri. Luna menghentikan gerakannya dan menoleh menatap sang suami yang masih terlihat sangat mengantuk. “Mau bangun, ini sudah pagi.” Laksa menoleh pada jam dinding yang masih menunjukkan angka empat pagi. “Ini masih terlalu pagi, nanti saja aku masih mengantuk.” “Kakak boleh tidur lagi, aku mau bantu bibi siapkan sarapan dulu.” “Mana enak tidur sendiri tanpa guling hidup.” dengan kata itu Laksa kembali menarik sang istri untuk tidur kembali tak peduli dengan Luna yang masih menggerutu tak terima tapi mana mau Laksa peduli, sampai tangisan keras Dio membuat Laksa mau tak mau melepaskan pelukan di pinggang istrinya. “Kakak tidur saja lagi biar aku lihat Dio dulu.” Laksa hanya menjawab dengan gumamam lalu kembali melanjutkan tidurnya, Luna hanya bisa
“Apa om seorang polisi atau semacamnya?” tanya Laksa kembali menelisik penampilan laki-laki di depannya ini. “Bukan, Om hanya pegawai negeri di kantor kecamatan.” Pantas terlihat rapi. Sebenarnya banyak hal yang ingin ditanyakan Laksa tapi dia bigung mulai dari mana, sang kakek juga hanya mengatakan waktu itu menyuruh ornag kepercayaannya mengawasi sang ibu, dia bahkan tidak tahu perkembangannya akan sejauh ini. “Apa ibu yang meminta om kemari?” Laki-laki itu menggeleng. “Ibumu tidak tahu kalau Om kemari, tapi om juga tidka masalah kalau dia tahu.” “Begitu,” Laki-laki itu berdehem dan memandang Laksa dengan penuh tekad, membuat laki-laki itu mengerutkan keningnya bingung. “Om hanya ingin minta ijin padamu untuk menikahi ibumu, karena bagaimanapun kamulah yang memiliki kekerabatan paling dekat dengannya salain saudara-saudaranya,.” “Om mungkin sudah tahu sej
Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Laksa, dengan menghela napas kesal dia meletakkan penanya dan melirik Dio yang sedang tertidur pulas di box bayinya, dia memang sengaja melakukan itu supaya bisa memantau anaknya. Laksa ingat komnetar Dirga saat mengunjunginya beberapa hari yang lalu ejekan bapak rumah tangga, sering dilontarkan sepupunya itu, tapi Laksa tidak tersinggung sama sekali dia memang ingin dekat dengan anaknya dan tidka ingin mengulangi kesalahan sang papa yang bersikap sangat dingin padanya. “Masuk!” teriak Laksa. Kepala Tuti menyembul dari celah pintu. “Ada apa?” tanya Laksa langsung. “Itu Mas, ada tamu di bawah.” “Tamu? Mencariku?” “Iya.” “Siapa? Aku tidak ada janji dengan seseorang?” Tuti berdiri di sana dengan bingung, mungkin Laksa lupa kalau dia di rumah bukan di kantornya yang setiap tamu harus membuat janji dulu
“Makanannya tidak enak? Apa aku pesankan yang lain?” tanya Luna lagi, tapi Laksa tetap diam, seolah tak mendengar ucapan Luna, seolah mereka terpisah tempat yang jauh. Luna menghela napas dan berdiri dari duduknya, menarik piring di hadapan Laksa dan mencuil sedikit ayam bakar di piring itu, dengan tangannya Luna menyuapkan makan itu ke mulut Laksa. “Aku bisa makan sendiri, tanganku baik-baik saja.” “Aku tahu, buka mulut kakak sekarang,” kata Luna garang dengan mata melotot, tapi bukannya takut Laksa malah tersenyum dan membuka mulutnya. “Nah pinter, papanya Dio mau makan.” “Berasa jadi anak kecil aku.” “kakak memang bukan anak kecil, kan sudah bikin anak kecil, tapi hari ini tidka mau makan seperti anak kecil,” omel Luna. “Bukan tidak mau makan hanya saja-“ “Galau.” “Eh?” “Iya kakak lagi galau karena pernikahan ibu, aku buk