Share

3. Ayah Percaya?

Penulis: Ajeng padmi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-30 10:31:29

Luna keluar dari kamar mandi dengan memakai kaos Laksa dan gaunya yang sudah sobek dibeberapa bagian, dia tak punya pilihan lain selain menerima sedikit kebaikan laki-laki itu.

Ayahnya masih setia menunggunya dengan wajah menunduk. Duduk di atas ranjang. Sejanak Luna ragu untuk menghampiri ayahnya. Tapi sang ayah segera menoleh padanya membuat Luna tak punya pilihan lain selain mendekat.

“Kita pulang.”

Luna hanya bisa mengikuti langkah kaki ayahnya, percuma juga mengatakan kebenarannya sekarang, ayahnya sudah terlanjur kecewa.

Pesta sudah berakhir beberapa jam yang lalu meninggalkan kekacauan di sana-sini termasuk pada Luna. Beberapa orang sedang sibuk membereskan semuanya, tapi kesibukan itu berhenti oleh teriakan seorang laki-laki yang membahana. Luna hanya bisa mengeratkan genggaman tangannya satu sama lain, dia terlalu malu untuk menggandeng ayahnya setelah apa yang terjadi.

“Siapkan mobil cepat!” teriak suara itu entah ditujukan pada siapa.

Tapi tak lama keluar Ayah Laksa yang sedang membopong seseorang dengan tergesa ke luar rumah, di belakangnya Laksa ingin membantu sang ayah kalimat. “Selesaikan urusanmu, baru temui kami.” Menghentikan langkahnya.

Luna bisa melihat pandangan khawatir Laksa, tapi dia juga tak mampu untuk melawan perintah ayahnya, apalagi setelah apa yang terjadi.

Laksa menoleh pada Luna dan ayahnya yang masih berdiri diam di sana dengan tatapan yang sangata tajam.

“Kita pulang sekarang,” kata sang ayah tegas, membuat Luna yang masih terpaku di tempat tersentak kaget dan buru-buru mengikuti ayahnya.

“Tunggu, Om. Kalian tidak bisa pergi begitu saja setelah apa yang terjadi.”

“Apa lagi maumu, menuduh anakku yang menjebakmu.” Meski hatinya masih ragu tapi ayah Luna tak mungkin membiarkan putri kesayangan dituduh macam-macam oleh pemuda di depannya ini.

Sejak awal dia yang salah menyetujui perjodohan Luna dan Laksa. Mereka hanya keluarga sederhana, sangat timpang denga keluarga ini yang punya segalanya.

“Om tidak perlu buru-buru saya akan buktikan kalau putri om yang menjebak saya.” Laksa memandang Luna dengan jijik.

“Baik ayo kita lihat bukti apa itu.”

Luna mengikuti ayahnya, dia berharap apapun bukti yang dimaksud Laksa bisa membebaskannya dari semua tuduhan menjebak laki-laki itu, Luna bahkan sudah tak ingin lagi melihat Laksa. Dia sakit hati dan merasa terhina.

Laksa mempersilahkan mereka melihat layar besar di ruangan itu, hanya mereka bertiga di sana.

Sebuah video diputar, ternyata CCTV rumah ini, terlihat Luna yang mengambil dua buah minuman dari seorang pelayan, gadis itu lalu berjalan berputar-putar saat mencari ayahnya.

Dan karena lelah dan ingin munim Luna duduk di sebuah kursi panjang, dan terlihat Laksa yang sudah duduk di sana, Luna memberikan minuman itu pada Laksa yang tanpa curiga diminumnya hingga habis.

“Dari sini, sudah jelas bukan kalau putri om yang sengaja memberiku minuman itu,” kata Laksa dingin.

Erwin, ayah Luna mengerutkan keninganya dan menatap Laksa tepat di matanya. “Putriku memang memberimu minuman tapi di sana tidak terlihat memasukkan apapun setelah mengambilnya dari pelayan.”

“Minuman itu tadinya untuk ayah,” Luna angkat bicara, “Luna mencari ayah tapi tidak ketemu. Luna memang tak punya bukti tapi sungguh Luna tidak memasukkan apapun ke minuman itu.”

“Bahkan kamu masih mengelak saat bukti sejelas ini,” kata Laksa geram. “Kalau om masih tidak percaya, ada banyak orang yang menyaksikan putri om memberikan minuman padaku.”

“Adakah bukti bahwa putriku yang memasukkan obat itu, atau kamu hanya sedang mencari kambing hitam saja untuk menyalahkan kami.” Luna bisa melihat ayahnya yang biasanya lembut dan santun mulai kehilangan kontrol dirinya. “Jadi apa maumu sebenarnya, kamu mau cuci tangan dan tidak bertanggung jawab begitu, silahkan aku juga tidak sudi putriku dihina dan soal perjodohan itu kamu tenang saja, aku akan bicara pada kakekmu dan membatalkannya. Kita pulang, Lun.”

Luna kembali berjalan di belakang ayahnya, Luna tahu ayahnya sangat kecewa padanya, tapi ayahnya tetap saja ayah terbaik di dunia bagi Luna, dia tetap menjadi pahlawan untuknya, bahkan saat semua orang lebih mempercayai Laksa.

Luna tak tahu apa yang akan terjadi padanya, dia tak mungkin lebih menyusahkan ayahnya lagi. ayahnya guru yang cukup disegani di kampungnya, nama baik ayahnya sudah pasti akan tercoreng karenanya.

Mereka berkendara dalam diam, tak ada yang membuak suara, mereka larut dalam pemikiran masing-masing.

“Yah,” panggil Luna pelan saat sang ayah sudah memarkir mobilnya di halaman rumah.

“Nanti Lun, istirahatlah dulu.” Sang ayah menginggalkan Luna tanpa menoleh lagi, tidak ada senyuman hangat atau usapan lembut di kepalanya seperti biasa.

Ayahnya yang biasanya berjalan penuh wibawa, hari ini terlihat sangat ringgih dan lemah, Luna menggigit bibirnya kuat-kuat, mencegah air mata meluncur di pipinya.

Kenapa semua ini harus terjadi? Padahal saat berangkat tadi dia begitu bahagia.

Dengan lesu Luna melangkah ke kamarnya, Luna ingin mandi membersihkan semua sisa-sisa laki-laki itu di tubuhnya, bahkan kalau bisa Luna ingin mengelupas kulitnya.

Entah sudah berapa lama Luna ada di kamar mandi, dia mendengar sayup-sayup suara ayahnya memannggil, seluruh tubuhnya menggigil mati rasa.

Luna bukan pengecut yang akan mengakhiri hidupnya, dia tidak akan mungkin membebankan ini semua pada ayahnya. Diharusnya air mata yang mengalir, dia masih punya sang ayah yang percaya padanya, setidaknya itu yang Luna yakini.

“Luna sedang mandi, Yah, maaf lama,” Luna menunduk tak berani menatap ayahnya. Lalu dirasakannya pelukan hangat yang sangat Luna sukai, tapi kali ini pelukan itu berbeda, bahu sang ayah bergetar, dan Luna tahu kalau sang ayah menangis.

“Maafkan ayah, Nak,” kata sang ayah disela tangisnya. “Ayah bukan ayah yang baik, ayah telah gagal menjagamu.”

Luna makin tergugu, ini bukan salah ayahnya, bagi Luna sang ayah adalah ayah terbaik di dunia, pahlawannya yang selalu melindungi Luna. Jika hal buruk terjadi pada Luna, sungguh ini bukan salah ayahnya.

“Ini bukan salah ayah, Luna yang salah tak bisa menjaga diri, tapi sungguh, Yah, Luna tidak pernah menjebak siapapun.”

Sang ayah melonggarkan pelukan mereka dan menatap putrinya yang begitu pucat seperti mayat. “Ayah percaya putri ayah tak akan melakukannya,” kata sang ayah yakin.

Itu cukup untuk Luna.

Kepercayaan ayahnya,

“Yah, ijinkan Luna pergi, Luna tidak ingin karena aib ini ayah nama baik ayah menjadi rusak.” Mereka duduk di atas ranjang Luna, sang ayah menatap putrinya terkejut.

“Ayah tidak peduli dengan nama baik, suatu saat pasti kebenarnya akan terungkap, bagaimanapun kamu tetap putri ayah.”

“Luna tahu, Yah, Luna akan pergi ke rumah nenek untuk semantara waktu, Luna janji akan kembali saat Luna sudah pulih. Luna janji akan baik-baik saja, ayah bisa mengunjungi Luna di rumah nenek.”

Sang ayah menatap Luna lama, dia sungguh tak rela berpisah dengan putrinya dengan cara seperti ini. Tapi Luna benar, dia butuh sedikit ruang, jauh dari gangguan keluarga Sanjaya.

Dengan berat hati sang ayah mengangguk.

“Terima kasih, Yah,” kata Luna parau.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Yang Kau Pilih   285. Wanita Terpilih 2

    Satu minggu kemudian, waktu yang dijanjikan Laksa untuk mengajak keluarganya ke Yogya, dan hal yang sangat tidak diduga Luna adalah untuk memenuhi keinginan sang istri yang ingin naik kereta, Lkaksa memboking satu gerbong kereta eksekutif yang harga tiap kursinya hampir satu juta rupiah. “Memangnya kita mau ajak orang satu kelurahan, pakai booking satu gerbong.” Laksa hanya mengedikkan bahunya acuh. “Aku tidak mau kamu dan Dio merasa tidak nyaman.” Luna hanya diam percuma saja berdebat dengan Laksa yang memang sudah sejak lahir di beri makan dengan sendok emas. “Hei jangan cemberut seperti itu aku minta maaf, ok lain kali aku akan minta pendapatmu dulu.” “Tapi ini berlebihan kaka.” “Tidak ada yang berlebihan untuk istri dan anakku yang berharga.” Siapa yang tidak terbuai coba dengan mulut manis Laksa. Seperti biasa saat mereka tiba di rumah sang nenek, se

  • Wanita Yang Kau Pilih   284. Wanita Terpilih

    Luna berdiri sambil mengawasi putra kecilnya yang sesekali mengganggu sang ayah yang sedang khusyuk berdo’a di samping makan sang nenek, laki-laki kecil kesayangan Luna itu memandang ingin tahu, Luna sudah mencoba menggendongnya untuk di bawa ke mobil terlebih dahulu, tapi dasar anak itu malah meronta dan lebih memilih untuk bersama ayahnya. Hari ini memang mereka sedang mengunjungi makan ibu Laksa. Sudah dua tahun berlalu sejak kematian sang ibu, dan Laksa sepertinya sudah mengikhlaskan semuanya, baik kematian ibunya maupun perlakuan ibunya dulu padanya meski begiitu hukum masih tetap berjalan, pelaku yang menyebabkan ini semua, pun keluarganya yang berusaha menyuap petugas juga sudah mendapatkan hukuman yang setimpal. Selama dua tahun ini hidup mereka memang bisa dibiilang lebih tenang, meski banyak masalah yang menerpa tapi tetap saja bersama mereka bisa mengatasinya. Memang begitulah definisi hidup berkeluarga yang sering aya

  • Wanita Yang Kau Pilih   283. Tinggal Rencana 2

    Kepulangan kedua orang tuanya merupakan anugerah bagi Laksa, paling tidak kedua orang tuanya akan membantunya menyelesaikan masalah ini. “Kamu urus masalah di kantor polisi dengan papa, mama dan Luna akan mengurus Dio,” kata sang mama lembut tapi tegas. Mamanya memang sudah tua dan mulai sakit-sakitan, tapi tetap saja kemampuannya dalam menghadapi orang-orang licik itu tidak berkurang. Benar saja, saat Laksa sampai di kantor polisi, sang papa juga sudah ada di sana ditemani om Hardi. “Papamu memberikan bukti tambahan untuk menjerat mereka,” bisik Dirga pada Laksa. “Sepertinya aku sudah dibutuhkan di sini, lebih baik aku tadi menemani istriku,” gumam Laksa antara kesal dan lega semua sudah berjalan lancar. “Tentu saja, aku sudah bekerja keras untuk ini.” “Ya...ya, aku sangat berterima kasih untuk itu, meski aku tahu apa tujuanmu sebenarnya.” Dirga mengangkat

  • Wanita Yang Kau Pilih   282. Tinggal Rencana

    Mobil mewah itu melaju dengan kencang menuju pusat kota. Terlihat sangat terburu-buru bahkan tak melihat sesaat kemudian sebuah mobil lain mengekor di belakangnya. “Apa mereka bisa menolong mama, Pa?” tanya laki-laki yang lebih muda, yang memegang kemudi mobil mewah itu, di sampingnya laki-laki yang lebih senior duduk dengan tegang. “Jangan pikirkan mamamu dulu, pikirkan kita sendiri, jika kita tidak selamat, mamamu juga tidak akan mungkin bisa bebas.” “Tapi, Pa-“ “Sudahlah jangan bicara lagi, seharusnya kamu bicara padaku saat mamamu akan melakukan hal konyol itu, lihat sekarang, aku yakin keluarga itu tidak akan tinggal diam dan mengusut semuanya.” Laki-laki yang lebih senior itu terus saja mengoceh menyalahkan semua orang, sedangkan laki-laki yang lebih muda dan sedang mengemudi terlihat berusaha keras menahan amarahnya, tangannya mencengkeram kemudi

  • Wanita Yang Kau Pilih   281. Belum Tuntas2

    Luna tersenyum miris, kakinya lalu melangkah menghampiri kulkas dan menemukan beberapa buah jeruk yang sepertinya sudah di sana dari beberapa hari yang lalu. Melihat isi kulkas yang penuh dia yakin ibu mertuanya baru saja mengisinya, tanpa tahu sebentar lagi dia tidak akan bisa menikmati ini semua. “Ada jeruknya?” Luna menoleh dan tersenyum saat sang tante ternyata membuntutinya. “Ada tante.” Sejenak Luna larut dalam kegiatannya membuat jus jeruk, tapi saat teringat sesuatu dia lalu meninggalkan sebentar mesin juicer yang masih menyala dan menemui sang tante. “Apa ada yang harus Luna bantu, Tante, maaf tadi Luna malah istirahat di kamar dan tidak membantu.” “Bukan masalah, Nak, tante tahu kamu pasti lelah, apalagi yang tante dengar anakmu juga masih di rumah sakit.” “Iya tante, sekarang di jaga salah seorang keluarga. Ehm... tante apa tidak sebaiknya kita pesan makanan sa

  • Wanita Yang Kau Pilih   280. Belum Tuntas

    Ada sebagian orang yang memang bisa dengan legowo menerima musibah yang telah terjadi pada dirinya, dan menganggapnya sebagai takdir Tuhan yang harus mereka jalani, tapi sebagian lagi tidak dapat menerima hal itu dengan baik, balas dendam dan mencari kambing hitam adalah hal yang paling lumrah dilakukan. Pembalasan yang mereka lakukan pun sangat beragam ada yang hanya dengan nyinyiran, tak saling tegur atau yang paling ekstrem sampai pada tindak kriminal yang nantinya juga bisa merugikan diri sendiri. Dirga sangat sadar akan hal itu. Sebagai orang yang pernah mengalami kemarahan dan kekecewaan yang sama, tapi tentu saja dia tidak sudi untuk terus menerus jadi korban, apalagi jika dirasa kemarahan orang itu membabi buta. “Aku dengar kamu mengancam ibu Raya,” kata Laksa saat mereka duduk berdua setelah pemakaman sang ibu usai dilakukan , beberapa sanak saudara terlihat membantu dalam prosesnya. “Kenapa kamu tak terima,” kata Dirga ketus. Laksa langsung menoleh pada sepupunya i

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status