Share

bab 2

Penulis: Lindaaaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-08 21:12:31

“Apa?”

Amara akhirnya berhasil bersuara setelah keheningan panjang di antara mereka. Amara berharap apa yang baru saja didengarnya hanyalah kesalahan telinganya sendiri.

“Kau tidak salah dengar,” jawab Tobias datar tanpa sedikit pun ragu. “Sekarang, setelah Kakek tiada, aku rasa sudah waktunya kita bercerai.”

Napas Amara tercekat. Air mata jatuh begitu saja. Ya, memang benar, Amara yang pertama kali menyinggung soal perceraian dan warisan sang kakek dalam pesan yang dikirimnya tempo hari. Jika mereka bercerai, Amara berhak mendapatkan setengah dari harta Tobias.

Namun kenyataannya, harta itu tak pernah menjadi tujuan Amara. Amara hanya ingin menjaga warisan mendiang Gustavo agar tidak jatuh ke tangan yang salah—terutama ke wanita seperti Celestine. Amara hanya ingin berbicara dengan Tobias, ingin memperbaiki hubungan mereka yang retak.

Amara memang sengaja menulis pesan itu untuk memancing amarah Tobias. Tapi saat pria itu benar-benar datang menemuinya, Amara malah hancur. Tobias membuatnya luluh, membuatnya berharap lagi pada pernikahan yang sebenarnya sudah mati.

“Kau… ingin bercerai?” Suara Amara gemetar, nyaris tak terdengar. “Lalu kenapa kau masih… tidur denganku tadi?”

Suara itu pecah di udara, getir dan menyakitkan. Amara menunduk, mencium samar aroma tubuh mereka yang masih tertinggal di seprai. Tubuhnya masih lemah setelah badai gairah yang baru saja mereka lewati. Tapi baru beberapa menit berselang, semua berubah—kata-kata kejam keluar dari bibir Tobias.

“Itu hanya seks,” ujar Tobias dingin. “Lagipula, bukankah itu yang kau mau? Kau menikmatinya. Tapi bagiku, itu cuma cara untuk menyampaikan kebenaran. Meski tubuhku sudah terbiasa denganmu selama enam tahun ini, bukan berarti aku mencintaimu.”

Ucapan itu seperti pisau yang menusuk jantung Amara. Wajahnya memucat, matanya memburam karena air mata. Selama ini Amara berpikir Tobias punya sedikit perasaan untuknya. Tapi ternyata tidak.

Bagi Tobias, Amara hanyalah pemuas hasrat. Sebuah kesalahan yang ingin segera dibuang ketika cinta sejatinya kembali.

“Jangan bersikap seolah kau korban, Amara!” Suara Tobias meninggi. “Kau tahu kenapa kita menikah! Kau menyelamatkan kakekku, lalu memanfaatkan keadaan itu untuk mengancamnya. Itu sebabnya dia memaksaku menikahimu!”

“Tidak, Tobias!” Amara menggeleng keras, air mata membasahi pipinya. “Aku tidak pernah mengancam Kakek. Aku menikahimu karena aku mencintaimu.”

“Cukup!” Tobias memotong kasar sambil mengenakan kemeja putihnya. “Aku akan mengirimkan dokumen perceraian secepatnya. Tanda tangani saja, tanpa drama.”

Amara menatap Tobias tak percaya. Air matanya jatuh makin deras. Dalam pikirannya, wajah mendiang Gustavo muncul jelas.

‘Amara, anakku, tolong jaga Tobias untukku. Hanya kamu yang bisa.’

Amara menggenggam seprai erat. Tapi harapannya musnah ketika Tobias melemparkan kartu hitam ke wajahnya.

“Ambil ini. Lima puluh juta. Cukup untuk menghidupi beberapa generasi. Jangan harap lebih. Kalau kau menolak, jangan salahkan aku kalau aku berlaku kejam.”

Tanpa menoleh lagi, Tobias pergi meninggalkan kamar.

Amara hanya bisa terduduk di atas ranjang. Tubuhnya gemetar, air matanya tak berhenti mengalir.

Bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini?

Jika bukan karena kecelakaan mobil itu, mungkin jalan hidup Amara tak akan pernah bersinggungan dengan Tobias.

Saat itu, Amara menyelamatkan seorang pria tua—Gustavo Larsen. Sebagai tanda terima kasih, Gustavo ingin menikahkan cucunya dengan Amara. Dan siapa sangka, cucu yang dimaksud ternyata Tobias, pria yang diam-diam Amara kagumi sejak remaja.

Amara sempat menolak. Amara tahu Tobias sudah punya kekasih, Celestine. Tapi Gustavo bersikeras—kanker yang dideritanya membuatnya ingin melihat cucunya menikah sebelum ajal menjemput. Amara akhirnya menyerah pada permintaan terakhir pria tua itu.

Amara tidak tahu kalau Gustavo memaksa Tobias juga.

Pria itu bahkan mengancam akan menghancurkan keluarga Celestine jika Tobias menolak menikahi Amara. Demi menyelamatkan kekasihnya, Tobias pun menyerah.

Selama enam tahun menikah, Tobias tampak seperti suami yang baik di mata semua orang. Tobias selalu pulang tepat waktu, makan malam bersama, dan menanyakan kabar Amara. Tobias membuat Amara percaya bahwa semuanya baik-baik saja… sampai Celestine kembali.

Sejak saat itu, Tobias berubah. Semua yang dilakukannya hanyalah balas dendam.

Suara dering telepon memecah keheningan.

Nama Melanie tertera di layar—sahabat Amara.

“Amara? Ada apa dengan Tobias? Kenapa dia tiba-tiba menarik investasinya dari perusahaanku?” Suara Melanie terdengar panik.

Amara terdiam sesaat. Dadanya sesak. Amara tahu ini ulah Tobias. Ini ancaman—peringatan agar Amara segera menandatangani surat cerai itu.

Air mata Amara menetes lagi. Tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan marah.

Jadi begini wajah asli Tobias Larsen—dingin, kejam, dan tak tahu malu!

“Baiklah!” Amara menekan giginya kuat-kuat, lalu menelpon balik Tobias. Begitu panggilan tersambung, Amara langsung berteriak tanpa memberi kesempatan pria itu bicara.

“Aku setuju bercerai! Dan aku tidak akan mengambil sepeser pun uang kotor darimu! Siapkan surat cerainya sekarang juga!”

Tanpa menunggu jawaban, Amara menutup telepon.

Tangan Amara bergetar, tapi hatinya mantap. Amara menulis pesan kepada Melanie, memastikan semuanya baik-baik saja, lalu mulai mengemasi barang-barangnya.

Malam itu, Amara meninggalkan kediaman keluarga Larsen untuk selamanya.

Langkah Amara terhenti di depan gerbang besar saat hujan tiba-tiba turun. Tetes-tetes air membasahi wajahnya, bercampur dengan air mata yang belum sempat kering.

Amara menatap kosong ke langit kelabu. Dunia seakan ikut menangis bersamanya.

Namun tak lama kemudian, hujan yang mengguyur Amara tiba-tiba berhenti. Seseorang berdiri di depannya, memayunginya dengan mantel hitam tebal.

“Nyonya Crawford,” suara lembut itu terdengar familiar.

Amara menoleh. Di hadapannya berdiri Xavier, kepala pelayan keluarga Crawford.

Amara hanya diam.

Tanpa banyak bicara, Xavier menyelimuti bahu Amara dengan mantel yang hangat.

“Batas waktu hampir habis, Nyonya,” kata Xavier pelan. “Saatnya Anda meninggalkan Tuan Larsen dan kembali ke rumah. Sang Master menunggu—untuk menyerahkan seluruh warisan keluarga pada pewaris yang sah dan satu-satunya.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 13

    Lorenzo menyebut nama Tobias dengan nada yang membuat darahnya mendidih. Entah karena cara pria itu mengucapkannya, atau bagaimana ia terdengar begitu percaya diri saat membicarakan Amara, seolah-olah dia tahu segalanya tentang wanita itu. Tobias menatapnya tajam, menahan diri agar tidak langsung meledak. “Amara menginginkan kebebasan, Tobias,” kata Lorenzo santai, menyilangkan tangan di dada. “Dia ingin hidup tanpa bayangan masa lalumu.” Nada suaranya terdengar terlalu ringan, terlalu menantang. Tobias mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Dan kau pikir kau tahu apa yang dia mau?” tanyanya dingin. Lorenzo tersenyum tipis. “Aku tahu cukup banyak. Cukup untuk menyadari bahwa dia sudah berhenti menunggumu.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Tobias diam selama beberapa detik, berusaha memahami apa yang baru saja didengarnya. Ia menatap pria di hadapannya dengan rahang mengeras. “Kau berbicara seolah-olah kau tahu segalanya tentang Amara,” ucapnya pelan tapi tajam. “Aku tahu apa

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 12

    Menatap nama yang tertera di layar ponselnya, Tobias sempat mengira akan muncul sesuatu di dadanya—amarah, mungkin, terhadap Celestine, wanita yang kini menjadi pusat skandal akibat foto-foto yang tersebar. Namun yang ia rasakan justru kekosongan. Bukan kemarahan, bukan kepedihan, hanya hampa yang dingin. Seolah seluruh emosinya telah terkuras, meninggalkan ruang kosong yang tak berisi apa pun. Ada penolakan yang samar di dalam dirinya. Penolakan terhadap Celestine, terhadap masa lalu, bahkan terhadap dirinya sendiri. Segalanya masih terlihat utuh di permukaan—hubungan yang masih bertahan, kehadiran Celestine yang belum pergi—namun jauh di dalam hatinya, Tobias tahu semua itu hanya bayangan yang tersisa. Yang ada kini hanyalah jarak. Dan di balik jarak itu, kelegaan aneh menyelinap, seolah kehilangan sesuatu yang seharusnya memang tidak pernah ia genggam. Dengan tatapan kosong, Tobias membiarkan ponselnya berdering lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya ia mengangkat. “Halo?”

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 11

    Properti pertama yang Tobias beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri adalah rumah tempat ia tinggal saat ini. Sebuah kediaman megah berwarna krem lembut, berdiri anggun di kawasan paling eksklusif di kota—tersembunyi, tenang, namun penuh kemewahan yang tidak mencolok. Ada sepuluh kamar tidur, kolam renang indoor dan outdoor, taman luas yang selalu terawat, tiga dapur, dan sebuah kantor pribadi. Bagi kebanyakan orang, rumah itu sudah seperti istana. Tapi bagi keluarga Larsen, yang terbiasa hidup dalam kemewahan berlebihan, tempat ini justru dianggap sederhana. Berkali-kali keluarganya menyuruhnya pindah ke mansion keluarga di pusat kota, tapi Tobias menolak. Entah kenapa, rumah “sederhana” ini terasa jauh lebih nyaman baginya dibanding semua tempat mewah lain yang pernah ia tinggali. Kini, ketika langkah kakinya menyusuri lorong panjang yang sunyi, Tobias baru benar-benar mengerti alasannya. Ia berhenti di ruang tamu, memandang ke sekeliling, membiarkan pandangannya menelusuri s

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 10

    Tamparan yang melayang dari tangan Amara bukanlah sesuatu yang direncanakan. Gerakannya spontan, secepat kilat, lahir dari luapan emosi yang tak sempat ia kendalikan. Suara keras tamparan itu menggema di ruangan sempit, memantul di antara dinding dan jantungnya yang berdebar tak karuan. Udara tiba-tiba terasa menegang, seperti berhenti bergerak sesaat. Amara menatap tangannya yang masih terangkat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Pipinya sendiri terasa panas dan memerah, bukan karena disentuh, melainkan karena rasa kaget yang menghantam dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar halus, jantungnya berdegup kencang hingga terasa menyakitkan di dada. Di hadapannya, Tobias berdiri kaku. Tatapan pria itu menusuk tajam, begitu dingin hingga membuat bulu kuduk Amara berdiri. Mata gelap Tobias menyala, menahan amarah yang jelas bergolak di dalam dirinya. Tidak ada kata yang keluar, hanya udara tegang yang menggantung di antara mereka. “Kenapa kau ada di sini?” suara Tobias

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 9

    "Sudah berapa lama?" tanya pria berambut pirang dengan mata cokelat lembut. Suaranya tenang, namun terdengar rasa ingin tahu di dalamnya saat ia menuntun Amara menuju tempat duduk. Setelah menarikkan kursi untuknya, ia menambahkan dengan senyum tipis, "Tiga tahun?" "Empat," jawab Amara singkat sambil duduk, suaranya hampir berbisik, "Terima kasih." Ia menunggu sampai pria itu duduk di depannya sebelum menanyakan, "Bagaimana hidupmu di Italia, Lorenzo?" “Luar biasa, sebenarnya,” ujar Lorenzo dengan nada hangat dan tenang. “Aku tidak akan pulang jika bukan karena Kakek yang memintaku untuk membantumu sedikit, sejak kau sadar kembali.” Amara tersenyum kecil mendengar ucapannya. Lorenzo, kakak laki-lakinya, selalu pandai merangkai kata—sama seperti Kakek mereka. Meski begitu, ia benar-benar senang kakaknya ada di sini bersamanya. “Aku benar-benar senang kau di sini, Lorenzo,” ucapnya tulus, membuat kakaknya tersenyum. Namun senyuman itu segera memudar ketika Lorenzo berkata pelan,

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 8

    “Semua tuduhan dan klaim yang ditujukan kepada saya dalam unggahan terakhir adalah kebohongan serta bentuk pencemaran nama baik. Saya berharap kalian semua, sebagai penggemar setia, dapat mengabaikan tuduhan berbahaya dan tidak profesional itu, serta terus mendukung karier akting saya ke depannya. Terima kasih atas pengertian kalian.” Keesokan paginya, Melanie yang membaca pernyataan itu mencibir keras. Ia muak dengan betapa suci dan polosnya Celestine terdengar, padahal kenyataannya, wanita itu lebih hitam daripada papan tulis. “Omong kosong,” desisnya sambil menutup laptop dengan kesal. Tatapannya beralih pada Amara yang sedang tenggelam membaca berkas-berkas dari kakeknya—materi penting sebelum ia benar-benar mengambil alih perusahaan keluarga. “Bagaimana bisa dia berbohong sepolos itu di depan semua orang? Perempuan itu benar-benar definisi domba hitam. Dan kalau ada yang masih polos di sini, jelas itu kamu, Amara.” Namun Amara terlalu tenggelam dalam pekerjaannya untuk me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status