Masuk"Bisnis keluarga…" gumam Amara, menertawakan dirinya sendiri dengan getir.
Sebuah keluarga besar dengan kerajaan bisnis yang kuat tengah menantinya untuk kembali mengambil alih, namun ia justru menundanya demi seseorang yang bahkan tak pantas menerima cintanya. Penggali emas— begitu lah Tobias menyebut diri nya. Seandainya saja pria itu tahu keluarga macam apa yang ia warisi sejak lahir. Keluarga Crawford memiliki bisnis di seluruh penjuru dunia. Andai bukan karena kecelakaan kapal yang tak terduga, takdir mereka tak akan pernah bersinggungan. Sudah cukup. Ia tak akan terus berjalan di jalan yang salah. Sudah waktunya untuk pulang. --- Di dalam GMC Yukon hitam, Amara menerima panggilan dari kakeknya, Elvis Crawford. > “Kakek, selamat malam,” sapanya sopan, menundukkan kepala meski pria itu tak dapat melihatnya. > “Malam, Amara,” suara berat sang kakek terdengar langsung, tanpa basa-basi. “Apakah akhirnya kamu berhenti bermain-main?” > “Ya,” jawab Amara tegas, dengan nada tenang seorang elite yang dididik oleh tutor terbaik. “Aku akan menceraikan Tobias Larsen dan segera kembali ke rumah. Tapi aku punya satu permintaan—aku ingin sedikit waktu untuk menyelesaikan sesuatu di sini.” Sunyi. Hening di ujung telepon membuat telapak tangannya berkeringat. Amara menarik napas pelan. Ia tak ingin sekadar menghilang, membiarkan Tobias dan Celestine berpikir bahwa ia kalah. > “Tolong hormati keputusanku, Kakek,” ujarnya lembut. “Aku tidak ingin pergi seperti pecundang. Aku ingin membangun namaku sendiri sebelum kembali ke rumah.” Keheningan terasa lama sebelum Elvis akhirnya menjawab, > “Kamu tahu aku benci ketika kamu melanggar perintahku.” > “Aku sadar, Kakek. Aku minta maaf.” Kepalanya tertunduk penuh penyesalan. Ia tahu dirinya keras kepala. > “Tapi kamu benar,” lanjut Elvis. “Tidak ada pengecut dalam keluarga kita. Aku akan memberimu waktu satu tahun untuk tinggal disana sebagai manajer cabang London.” > “Dan sebagai gantinya, kamu harus meningkatkan keuntungan perusahaan sebesar tiga puluh persen.” Amara terbelalak. > “Tiga puluh persen? kek, itu tiga miliar!” > “Dan? Apakah kamu tidak mampu?” > “Tidak… aku mampu.” > “Bagus. Tapi ingat, kalau gagal, ada konsekuensinya.” > “Seperti apa?” > “kakek punya teman dekat, dan putranya tertarik padamu. Kalian akan menjadi pasangan yang sempurna.” Amara langsung mengerutkan alis. Ia paham betul maksud kalimat itu. > “Sebuah perjodohan?” > “Kamu tak keberatan dengan yang pertama, bukan? Dan biar kuberitahu— dia tidak seperti bajingan itu… ah, seharusnya aku mengebirinya!” Amara tertawa kecil mendengar nada geram sang kakek. > “Elijah adalah pria baik,” lanjut Elvis. “Dia akan memperlakukanmu dengan terhormat.” > “Itu tidak perlu, Kakek,” potong Amara sopan. “Aku akan mencapai target itu. Tiga puluh persen dalam satu tahun. Aku tidak membutuhkan pernikahan ini.” > “Baiklah. Sepakat.” > “Terima kasih, Kakek.” > “Jangan berterima kasih padaku. Aku harus menghadiri pertemuan golf sekarang, Istirahatlah.” > “Semoga menyenangkan, Kakek.” Panggilan berakhir. Sunyi kembali menyelimuti mobil. Satu tahun. Tiga puluh persen keuntungan. Amara tahu, ia tidak menyetujui itu dengan mudah. Hanya dirinya yang tahu betapa berat tantangan tersebut. Selama enam tahun, ia meninggalkan identitas dan bakatnya hanya untuk menjadi istri yang sempurna bagi Tobias. Tapi semua itu tak lebih dari mimpi kosong. Sudah saatnya bangun. Dan kali ini, ia tak akan sebaik itu untuk memaafkan. > “Xavier,” ucapnya, mengusap pelipis. “Persiapkan akuisisi perusahaan kosmetik Melanie Woods. Pastikan kita lebih cepat dari Larsen Group.” > “Ya, Nyonya,” jawab pria di kursi depan hormat. “Saya tidak akan mengecewakan Anda.” Amara menatap keluar jendela. Sebuah senyum tipis terbit di bibirnya. Kehidupan barunya baru saja dimulai. --- “Melanie, apa yang kita lakukan di sini?” tanya Amara heran menatap gedung klub besar di depannya. > “Kamu bilang kita akan keluar… untuk merayakan,” lanjutnya ragu. Melanie mengangguk penuh semangat. Setelah mendengar bahwa Amara benar-benar memutuskan untuk menceraikan Tobias, sahabatnya itu ingin merayakannya habis-habisan. Amara setuju. Menangisi pria seperti Tobias selama berhari-hari bukanlah gayanya. Tapi begitu melihat klub yang mencolok di hadapan, ia mulai menyesali keputusannya. > “Ayo, Mara,” seru Melanie, menarik tangan Amara. “Kau tidak bisa berpakaian secantik ini hanya untuk duduk diam!” Amara menatap pantulan dirinya di cermin besar: Gaun kulit hitam ketat selutut, sepatu bot hingga pergelangan kaki, kalung emas yang memperindah leher jenjangnya, dan rambut cokelat berombak yang kini dikuncir kuda tinggi. Ia tampak menakjubkan. Percaya diri. Bukan lagi wanita lemah yang hidup di bawah bayang-bayang Tobias selama enam tahun terakhir. Tatapan orang-orang di klub mengonfirmasi hal itu. > “Kamu lajang sekarang, Amara! Kita harus merayakannya. Kau yang meninggalkannya, ingat?” seru Melanie. Amara tertawa kecil. Ia kagum pada tingkat kebencian sahabatnya terhadap Tobias—bahkan melebihi dirinya. > “Empat shot wiski untuk dua wanita cantik,” ujar bartender saat menaruh minuman di meja. Amara tersenyum manis, membuat pria itu memerah seperti remaja baru puber. > “Bahkan bartender pun tertarik padamu,” goda Melanie sambil menenggak minumannya. “Rayakan kebebasanmu, Mara!” Ia menarik Amara ke lantai dansa, menari di tengah keramaian. Malam itu terasa hidup, dan untuk sesaat, Amara bisa tersenyum tulus lagi. Namun alam semesta tampaknya belum selesai bermain dengannya. Di saat Amara dan Melanie larut dalam musik, seorang pria tinggi berjas rapi melangkah masuk, ditemani seorang wanita pirang yang menempel manja di lengannya. > “Toby, di mana kita duduk?” tanya Celestine, menekan dadanya lembut ke lengan pria itu. > “Di mana saja,” jawab Tobias, datar tanpa emosi. Celestine cemberut kecil, tapi tetap tersenyum manis. Ia menunjuk ke arah area luar lantai dansa. > “Bagaimana kalau di sana?” Tobias mengikuti arah pandangannya— dan seketika langkahnya terhenti. Karena di tengah sorotan lampu dan dentuman musik, berdiri wanita yang tak mungkin ia lupakan. Amara.Lorenzo menyebut nama Tobias dengan nada yang membuat darahnya mendidih. Entah karena cara pria itu mengucapkannya, atau bagaimana ia terdengar begitu percaya diri saat membicarakan Amara, seolah-olah dia tahu segalanya tentang wanita itu. Tobias menatapnya tajam, menahan diri agar tidak langsung meledak. “Amara menginginkan kebebasan, Tobias,” kata Lorenzo santai, menyilangkan tangan di dada. “Dia ingin hidup tanpa bayangan masa lalumu.” Nada suaranya terdengar terlalu ringan, terlalu menantang. Tobias mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Dan kau pikir kau tahu apa yang dia mau?” tanyanya dingin. Lorenzo tersenyum tipis. “Aku tahu cukup banyak. Cukup untuk menyadari bahwa dia sudah berhenti menunggumu.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Tobias diam selama beberapa detik, berusaha memahami apa yang baru saja didengarnya. Ia menatap pria di hadapannya dengan rahang mengeras. “Kau berbicara seolah-olah kau tahu segalanya tentang Amara,” ucapnya pelan tapi tajam. “Aku tahu apa
Menatap nama yang tertera di layar ponselnya, Tobias sempat mengira akan muncul sesuatu di dadanya—amarah, mungkin, terhadap Celestine, wanita yang kini menjadi pusat skandal akibat foto-foto yang tersebar. Namun yang ia rasakan justru kekosongan. Bukan kemarahan, bukan kepedihan, hanya hampa yang dingin. Seolah seluruh emosinya telah terkuras, meninggalkan ruang kosong yang tak berisi apa pun. Ada penolakan yang samar di dalam dirinya. Penolakan terhadap Celestine, terhadap masa lalu, bahkan terhadap dirinya sendiri. Segalanya masih terlihat utuh di permukaan—hubungan yang masih bertahan, kehadiran Celestine yang belum pergi—namun jauh di dalam hatinya, Tobias tahu semua itu hanya bayangan yang tersisa. Yang ada kini hanyalah jarak. Dan di balik jarak itu, kelegaan aneh menyelinap, seolah kehilangan sesuatu yang seharusnya memang tidak pernah ia genggam. Dengan tatapan kosong, Tobias membiarkan ponselnya berdering lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya ia mengangkat. “Halo?”
Properti pertama yang Tobias beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri adalah rumah tempat ia tinggal saat ini. Sebuah kediaman megah berwarna krem lembut, berdiri anggun di kawasan paling eksklusif di kota—tersembunyi, tenang, namun penuh kemewahan yang tidak mencolok. Ada sepuluh kamar tidur, kolam renang indoor dan outdoor, taman luas yang selalu terawat, tiga dapur, dan sebuah kantor pribadi. Bagi kebanyakan orang, rumah itu sudah seperti istana. Tapi bagi keluarga Larsen, yang terbiasa hidup dalam kemewahan berlebihan, tempat ini justru dianggap sederhana. Berkali-kali keluarganya menyuruhnya pindah ke mansion keluarga di pusat kota, tapi Tobias menolak. Entah kenapa, rumah “sederhana” ini terasa jauh lebih nyaman baginya dibanding semua tempat mewah lain yang pernah ia tinggali. Kini, ketika langkah kakinya menyusuri lorong panjang yang sunyi, Tobias baru benar-benar mengerti alasannya. Ia berhenti di ruang tamu, memandang ke sekeliling, membiarkan pandangannya menelusuri s
Tamparan yang melayang dari tangan Amara bukanlah sesuatu yang direncanakan. Gerakannya spontan, secepat kilat, lahir dari luapan emosi yang tak sempat ia kendalikan. Suara keras tamparan itu menggema di ruangan sempit, memantul di antara dinding dan jantungnya yang berdebar tak karuan. Udara tiba-tiba terasa menegang, seperti berhenti bergerak sesaat. Amara menatap tangannya yang masih terangkat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Pipinya sendiri terasa panas dan memerah, bukan karena disentuh, melainkan karena rasa kaget yang menghantam dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar halus, jantungnya berdegup kencang hingga terasa menyakitkan di dada. Di hadapannya, Tobias berdiri kaku. Tatapan pria itu menusuk tajam, begitu dingin hingga membuat bulu kuduk Amara berdiri. Mata gelap Tobias menyala, menahan amarah yang jelas bergolak di dalam dirinya. Tidak ada kata yang keluar, hanya udara tegang yang menggantung di antara mereka. “Kenapa kau ada di sini?” suara Tobias
"Sudah berapa lama?" tanya pria berambut pirang dengan mata cokelat lembut. Suaranya tenang, namun terdengar rasa ingin tahu di dalamnya saat ia menuntun Amara menuju tempat duduk. Setelah menarikkan kursi untuknya, ia menambahkan dengan senyum tipis, "Tiga tahun?" "Empat," jawab Amara singkat sambil duduk, suaranya hampir berbisik, "Terima kasih." Ia menunggu sampai pria itu duduk di depannya sebelum menanyakan, "Bagaimana hidupmu di Italia, Lorenzo?" “Luar biasa, sebenarnya,” ujar Lorenzo dengan nada hangat dan tenang. “Aku tidak akan pulang jika bukan karena Kakek yang memintaku untuk membantumu sedikit, sejak kau sadar kembali.” Amara tersenyum kecil mendengar ucapannya. Lorenzo, kakak laki-lakinya, selalu pandai merangkai kata—sama seperti Kakek mereka. Meski begitu, ia benar-benar senang kakaknya ada di sini bersamanya. “Aku benar-benar senang kau di sini, Lorenzo,” ucapnya tulus, membuat kakaknya tersenyum. Namun senyuman itu segera memudar ketika Lorenzo berkata pelan,
“Semua tuduhan dan klaim yang ditujukan kepada saya dalam unggahan terakhir adalah kebohongan serta bentuk pencemaran nama baik. Saya berharap kalian semua, sebagai penggemar setia, dapat mengabaikan tuduhan berbahaya dan tidak profesional itu, serta terus mendukung karier akting saya ke depannya. Terima kasih atas pengertian kalian.” Keesokan paginya, Melanie yang membaca pernyataan itu mencibir keras. Ia muak dengan betapa suci dan polosnya Celestine terdengar, padahal kenyataannya, wanita itu lebih hitam daripada papan tulis. “Omong kosong,” desisnya sambil menutup laptop dengan kesal. Tatapannya beralih pada Amara yang sedang tenggelam membaca berkas-berkas dari kakeknya—materi penting sebelum ia benar-benar mengambil alih perusahaan keluarga. “Bagaimana bisa dia berbohong sepolos itu di depan semua orang? Perempuan itu benar-benar definisi domba hitam. Dan kalau ada yang masih polos di sini, jelas itu kamu, Amara.” Namun Amara terlalu tenggelam dalam pekerjaannya untuk me