MasukAmara—wanita yang selama enam tahun terakhir mengaku mencintainya tanpa henti, yang selalu menempel padanya seperti permen karet, seolah dunia ini hanya berputar di sekitar dirinya—telah lebih dulu mengajukan gugatan cerai sebelum Tobias sempat melakukannya. Fakta itu menampar harga dirinya berkali-kali.
Dialah yang seharusnya mengambil langkah pertama. Dialah yang seharusnya meninggalkan, bukan ditinggalkan. Dan kenyataan bahwa Amara berani mendahuluinya membuat amarahnya bergolak seperti api yang disiram bensin. “Kau benar-benar menguji kesabaranku, Amara,” suaranya terdengar pelan, tetapi penuh ancaman. Tatapan matanya sedingin baja, dan nada bicaranya lebih dingin dari itu. “Jangan coba-coba bertingkah seolah-olah kau hebat, karena pada akhirnya, kau tahu apa yang bisa kulakukan.” Amara menatapnya tanpa gentar. Tidak ada ketakutan, tidak ada getar di suaranya. Justru ada sesuatu yang berbahaya dalam cara ia tersenyum—dingin, yakin, dan nyaris menghina. “Tapi kau tidak tahu apa yang bisa kulakukan, Tobias.” Tobias mencibir. “Apa yang akan kau lakukan? Menghancurkanku? Merusak reputasiku?Atau semacam menghancurkan bisnis Melanie?” Amara menegakkan tubuhnya, matanya bersinar tajam. “Aku tantang kau, Tobias. Coba saja sentuh sedikit saja orang-orang yang kulindungi, dan kau akan lihat sendiri bagaimana hasilnya.” Kata-katanya mengiris udara di antara mereka seperti pisau. Tobias tahu Amara sedang marah, tapi bukan amarah biasa—ini adalah kemarahan seorang wanita yang sudah terlalu lama diam, terlalu lama menahan, dan kini meledak tanpa bisa dikendalikan. Namun, bagi Tobias, ancaman itu hanyalah angin lalu. Dia pernah berhadapan dengan musuh yang jauh lebih berbahaya, menghadapi persaingan bisnis yang bisa menghancurkan kerajaan ekonomi hanya dalam semalam. Jadi jika Amara pikir ancamannya bisa membuatnya gentar, dia jelas salah besar. “Kurasa,” katanya dengan senyum tipis, “kau sudah memutuskan untuk melepas topeng palsumu.” “Ada perbedaan antara melepas topeng dan menjadi diriku yang sebenarnya,” balas Amara tanpa ragu. “Coba saja, Tobias, dan aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya.” Ada sesuatu yang berkilat di mata Tobias—gelap, dingin, dan sulit dijelaskan. Emosi yang tidak bisa ia beri nama—marah, bingung, tapi juga tertarik entah kenapa. Namun sebelum ia sempat mengatakan apa pun, suara langkah lain terdengar. Melanie muncul dari balik pilar, wajahnya penuh tanda tanya dan tatapan dingin yang langsung ia tujukan pada Tobias serta Celestine yang berdiri tak jauh dari sana. “Apa yang mereka lakukan di sini?” tanyanya, nada suaranya datar tapi penuh kejengkelan. Amara menatapnya singkat, lalu mengalihkan pandangannya ke Tobias. “Aku tidak peduli dan aku tidak ingin tahu,” katanya tajam. “Ayo, Mel. Kita pergi ke tempat lain. Aku tidak tahan berada di udara yang tercemar oleh bau pelacur dan bajingan.” Tanpa menoleh ke belakang, tanpa memberi Tobias kesempatan untuk membalas, Amara menggenggam tangan Melanie dan melangkah pergi. Langkahnya tegas, gaunnya bergoyang mengikuti setiap gerakan tubuhnya, dan rambut cokelat berombaknya berkibar lembut di belakang. Tobias hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa kehilangan kendali. Begitu Amara benar-benar menghilang dari pandangan, rahang Tobias mengeras. Ia mengatupkannya begitu kuat sampai terdengar bunyi gemeretak dari giginya. Setiap kata yang diucapkan Amara sebelumnya terpantul-pantul di kepalanya, menimbulkan bara kemarahan yang nyaris membakar pikirannya. Celestine menyentuh lengannya lembut, mencoba mengalihkan perhatian pria itu. “Toby?” panggilnya hati-hati. “Sudahlah, jangan dipikirkan.” Namun Tobias tidak mendengarnya. Tidak bisa. Yang ada di kepalanya hanyalah satu hal—bagaimana Amara berani memperlakukannya seperti itu. Siapa sebenarnya wanita itu sampai berani menantangnya seperti seorang musuh? Dia yang seharusnya menjadi istrinya. Dia yang seharusnya tunduk, bukan menentang. Dan sekarang, dia bahkan mengajukan gugatan cerai terhadapnya, lalu berani mengancamnya pula? Tobias mengembuskan napas berat, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku jas. Jarinya menekan nomor dengan cepat dan pasti. Suara dering hanya berlangsung beberapa detik sebelum suara tenang asistennya, Dean, terdengar. “Ya, Pak?” “Apakah kau sudah mengumpulkan semua dokumen untuk memastikan pembelian Woodlands Cosmetics berjalan lancar?” tanyanya tanpa basa-basi. Hening sejenak. Dean terdengar gugup ketika menjawab. “Tentang itu, Pak…” Tobias langsung menyipitkan mata, suaranya berubah dingin. “Ada masalah apa, Dean? Tidak bisakah kau menangani hal kecil ini?” “Seharusnya akuisisi selesai hari ini, Pak, tapi… Ny. Woods telah menjual bisnis itu kepada seseorang yang… misterius. Saya masih mencoba mencari tahu siapa pembelinya.” Tobias berhenti sejenak. Tatapannya menajam, dan amarahnya kembali naik. “Cukup. Kirimkan semua informasi yang kau punya tentang grup bisnis yang sekarang memegang hak Woodlands. Aku ingin semuanya ada di mejaku malam ini.” “B-baik, Pak. Akan segera saya kirim.” Tobias menutup panggilan itu tanpa menunggu respon lebih lama. Ia berjalan cepat menuju pintu keluar, langkah-langkahnya berat, berirama dengan detak jantung yang keras di telinganya. Celestine memanggilnya lagi, tapi Tobias tak menggubris. Ia sudah terlanjur diselimuti kemarahan. Begitu keluar dari klub, matanya langsung menangkap sosok yang tak asing di kejauhan. Rambut coklat berombak. Gaun hitam yang elegan. Tubuh ramping yang kini membelakanginya, berdiri di depan sebuah GMC Yukon hitam mengilap. Amara. Namun bukan itu yang membuat Tobias menghentikan langkahnya. Di samping Amara berdiri seorang pria tua—rambutnya perak, mengenakan jas mahal yang tampak disesuaikan dengan ukuran tubuhnya. Pria itu menyerahkan sesuatu pada Amara. Dari jarak sejauh itu, Tobias masih bisa mengenalinya: kartu hitam premium, simbol keanggotaan eksklusif yang hanya dimiliki oleh segelintir orang di dunia. Amara menerimanya tanpa ragu, lalu mengangguk hormat pada pria itu sebelum masuk ke mobil. Tobias merasa darahnya naik ke kepala. Kata-kata Celestine beberapa jam lalu berputar di kepalanya—tentang bagaimana Amara mungkin sudah punya pria lain, seorang sponsor kaya yang mendanainya. Dan sekarang, pemandangan di depannya seperti bukti hidup dari ucapan itu. Tidak heran dia menolak lima puluh juta yang ditawarkan Tobias beberapa minggu lalu untuk menyelesaikan perceraian secara damai. Ternyata, dia sudah menemukan sugar daddy. Beraninya dia! Dia masih menyandang gelar istrinya, dan sudah berani berurusan dengan pria lain? Tobias menggenggam ponselnya begitu erat sampai buku jarinya memutih. Ia ingin menghampiri Amara, ingin menariknya keluar dari mobil itu dan memaksanya menjelaskan. Tapi sebelum sempat melangkah, mobil hitam itu sudah melaju menjauh, meninggalkan jejak debu dan rasa marah yang membakar dadanya. Baiklah. Jika Amara pikir dia bisa lolos begitu saja, dia salah besar. Tobias menatap arah kepergian mobil itu, matanya gelap dan tajam. Lalu, untuk kedua kalinya malam itu, dia menekan nomor lain di ponselnya. Kali ini bukan Dean yang menjawab, melainkan suara serak seorang pria yang sudah sangat dikenalnya. “Tn. Larsen,” suara itu menyapa hati-hati. “Saya ingin file lengkap tentang Amara Miller,” kata Tobias datar. “Semuanya. Gaya hidupnya, siapa yang dia temui, ke mana dia pergi, dengan siapa dia berhubungan, dan apa pun yang dia sembunyikan.” Terdengar keheningan singkat di ujung telepon sebelum Larsen menjawab tergesa. “Tentu, Pak. Saya—” “Kau punya dua puluh empat jam,” potong Tobias, nadanya setajam pisau. “Dua puluh empat jam untuk mendapatkan semua informasi itu. Jika kau gagal, kau bisa mengucapkan selamat tinggal pada hidup nyamanmu di London.” “B-baik, Pak!” jawab Larsen cepat. “Bagus.” Tobias menutup panggilan, menatap kosong ke arah jalanan malam yang mulai sepi. Angin dingin berhembus, tapi tubuhnya terasa panas oleh amarah. Dia tidak tahu siapa pria tua itu, tapi dia akan segera mengetahuinya. Dan ketika dia tahu, Amara akan menyesali keputusan yang baru saja dia ambil. Dalam pikirannya hanya ada satu hal: jika dia tidak bisa memiliki Amara sepenuhnya, maka tidak ada seorang pun yang boleh memilikinya juga. Dan Tobias Crawford tidak pernah kalah—terutama bukan dari wanita yang dulu memohon cintanya, lalu kini berani menantangnya.Lorenzo menyebut nama Tobias dengan nada yang membuat darahnya mendidih. Entah karena cara pria itu mengucapkannya, atau bagaimana ia terdengar begitu percaya diri saat membicarakan Amara, seolah-olah dia tahu segalanya tentang wanita itu. Tobias menatapnya tajam, menahan diri agar tidak langsung meledak. “Amara menginginkan kebebasan, Tobias,” kata Lorenzo santai, menyilangkan tangan di dada. “Dia ingin hidup tanpa bayangan masa lalumu.” Nada suaranya terdengar terlalu ringan, terlalu menantang. Tobias mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Dan kau pikir kau tahu apa yang dia mau?” tanyanya dingin. Lorenzo tersenyum tipis. “Aku tahu cukup banyak. Cukup untuk menyadari bahwa dia sudah berhenti menunggumu.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Tobias diam selama beberapa detik, berusaha memahami apa yang baru saja didengarnya. Ia menatap pria di hadapannya dengan rahang mengeras. “Kau berbicara seolah-olah kau tahu segalanya tentang Amara,” ucapnya pelan tapi tajam. “Aku tahu apa
Menatap nama yang tertera di layar ponselnya, Tobias sempat mengira akan muncul sesuatu di dadanya—amarah, mungkin, terhadap Celestine, wanita yang kini menjadi pusat skandal akibat foto-foto yang tersebar. Namun yang ia rasakan justru kekosongan. Bukan kemarahan, bukan kepedihan, hanya hampa yang dingin. Seolah seluruh emosinya telah terkuras, meninggalkan ruang kosong yang tak berisi apa pun. Ada penolakan yang samar di dalam dirinya. Penolakan terhadap Celestine, terhadap masa lalu, bahkan terhadap dirinya sendiri. Segalanya masih terlihat utuh di permukaan—hubungan yang masih bertahan, kehadiran Celestine yang belum pergi—namun jauh di dalam hatinya, Tobias tahu semua itu hanya bayangan yang tersisa. Yang ada kini hanyalah jarak. Dan di balik jarak itu, kelegaan aneh menyelinap, seolah kehilangan sesuatu yang seharusnya memang tidak pernah ia genggam. Dengan tatapan kosong, Tobias membiarkan ponselnya berdering lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya ia mengangkat. “Halo?”
Properti pertama yang Tobias beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri adalah rumah tempat ia tinggal saat ini. Sebuah kediaman megah berwarna krem lembut, berdiri anggun di kawasan paling eksklusif di kota—tersembunyi, tenang, namun penuh kemewahan yang tidak mencolok. Ada sepuluh kamar tidur, kolam renang indoor dan outdoor, taman luas yang selalu terawat, tiga dapur, dan sebuah kantor pribadi. Bagi kebanyakan orang, rumah itu sudah seperti istana. Tapi bagi keluarga Larsen, yang terbiasa hidup dalam kemewahan berlebihan, tempat ini justru dianggap sederhana. Berkali-kali keluarganya menyuruhnya pindah ke mansion keluarga di pusat kota, tapi Tobias menolak. Entah kenapa, rumah “sederhana” ini terasa jauh lebih nyaman baginya dibanding semua tempat mewah lain yang pernah ia tinggali. Kini, ketika langkah kakinya menyusuri lorong panjang yang sunyi, Tobias baru benar-benar mengerti alasannya. Ia berhenti di ruang tamu, memandang ke sekeliling, membiarkan pandangannya menelusuri s
Tamparan yang melayang dari tangan Amara bukanlah sesuatu yang direncanakan. Gerakannya spontan, secepat kilat, lahir dari luapan emosi yang tak sempat ia kendalikan. Suara keras tamparan itu menggema di ruangan sempit, memantul di antara dinding dan jantungnya yang berdebar tak karuan. Udara tiba-tiba terasa menegang, seperti berhenti bergerak sesaat. Amara menatap tangannya yang masih terangkat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Pipinya sendiri terasa panas dan memerah, bukan karena disentuh, melainkan karena rasa kaget yang menghantam dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar halus, jantungnya berdegup kencang hingga terasa menyakitkan di dada. Di hadapannya, Tobias berdiri kaku. Tatapan pria itu menusuk tajam, begitu dingin hingga membuat bulu kuduk Amara berdiri. Mata gelap Tobias menyala, menahan amarah yang jelas bergolak di dalam dirinya. Tidak ada kata yang keluar, hanya udara tegang yang menggantung di antara mereka. “Kenapa kau ada di sini?” suara Tobias
"Sudah berapa lama?" tanya pria berambut pirang dengan mata cokelat lembut. Suaranya tenang, namun terdengar rasa ingin tahu di dalamnya saat ia menuntun Amara menuju tempat duduk. Setelah menarikkan kursi untuknya, ia menambahkan dengan senyum tipis, "Tiga tahun?" "Empat," jawab Amara singkat sambil duduk, suaranya hampir berbisik, "Terima kasih." Ia menunggu sampai pria itu duduk di depannya sebelum menanyakan, "Bagaimana hidupmu di Italia, Lorenzo?" “Luar biasa, sebenarnya,” ujar Lorenzo dengan nada hangat dan tenang. “Aku tidak akan pulang jika bukan karena Kakek yang memintaku untuk membantumu sedikit, sejak kau sadar kembali.” Amara tersenyum kecil mendengar ucapannya. Lorenzo, kakak laki-lakinya, selalu pandai merangkai kata—sama seperti Kakek mereka. Meski begitu, ia benar-benar senang kakaknya ada di sini bersamanya. “Aku benar-benar senang kau di sini, Lorenzo,” ucapnya tulus, membuat kakaknya tersenyum. Namun senyuman itu segera memudar ketika Lorenzo berkata pelan,
“Semua tuduhan dan klaim yang ditujukan kepada saya dalam unggahan terakhir adalah kebohongan serta bentuk pencemaran nama baik. Saya berharap kalian semua, sebagai penggemar setia, dapat mengabaikan tuduhan berbahaya dan tidak profesional itu, serta terus mendukung karier akting saya ke depannya. Terima kasih atas pengertian kalian.” Keesokan paginya, Melanie yang membaca pernyataan itu mencibir keras. Ia muak dengan betapa suci dan polosnya Celestine terdengar, padahal kenyataannya, wanita itu lebih hitam daripada papan tulis. “Omong kosong,” desisnya sambil menutup laptop dengan kesal. Tatapannya beralih pada Amara yang sedang tenggelam membaca berkas-berkas dari kakeknya—materi penting sebelum ia benar-benar mengambil alih perusahaan keluarga. “Bagaimana bisa dia berbohong sepolos itu di depan semua orang? Perempuan itu benar-benar definisi domba hitam. Dan kalau ada yang masih polos di sini, jelas itu kamu, Amara.” Namun Amara terlalu tenggelam dalam pekerjaannya untuk me







