Anak itu, Alvaro! 1"Suara anak siapa, Bu?" ulang Mala pada ibu mertuanya. Ada raut kegugupan yang berusaha dia tutupi. Mata Mala membidik arah kamar dimana Rita masuk ke dalam sana. Suara bayi tak terdengar lagi, membuat wanita itu menebak dengan penuh keyakinan bahwa bayi yang menangis tersebut adalah anaknya. Entah kekuatan dari mana, Mala melangkahkan kaki ke arah kamar yang dulu dihuni olehnya dan Bayu. Rasa heran bercampur penasaran mengapa ibu mertuanya tidak menempatkan Rita di kamar tamu yang biasa ditempati saudara yang menginap di rumah itu. "Mau kemana?" tanya ibu mertua Mala dengan suara yang terdengar sedikit panik. Mala membalikkan tubuhnya. Benar, dia mendapati wajah ibu mertuanya yang berusaha menutupi kegugupan. "Menengok bayinya Rita. Tak masalah bukan? Dia juga saudara sepupuku." Tanpa menunggu jawaban dari Bu Rahayu, Mala melanjutkan langkahnya. "Mbak! Jangan lancang. Siapa tahu Rita tak mau privasinya diganggu!" teriak Rosa yang justru membuat Mala makin pena
Bayi itu Alvaro ! "Mbak Rita kenapa? Kok kayanya kaget dengan pertanyaanku? Ayahnya kerja?" "Kamu kok nggak sopan tanya seperti itu? Memangnya perlu banget kamu tahu? Memang wanita yang nggak pernah dididik ibunya ya seperti ini! Nggak punya etika!" hardik Bu Rahayu pada menantunya. Mala makin menyadari sesuatu. Dia bukan wanita bodoh, dia amat menyadari ada sesuatu yang memang ditutupi oleh ketiga wanita di depannya. "Bu, kenapa reaksimu berlebihan seperti ini? Ada masalah dengan pertanyaanku? Kenapa harus teriak?" Kali ini Mala tak tinggal diam seperti yang sudah-sudah. Tak ada yang harus dijaga perasaannya. Rasa lelah juga dirasakannya karena bakti yang tanpa batas pada wanita bergelar ibu mertuanya itu tak pernah menganggapnya selayaknya seorang menantu. Entah dimana letak kesalahan Mala. Berkali-kali dia meminta penjelasan pada Bayu, tetapi hanya kalimat yang bernada memohon kesabaran pada Mala atas sikap mertuanya. Dengan penuh kelembutan Bayu selalu berhasil meredam emosi y
Kecamuk"Kalau Kinan punya adik laki-laki, kita beri nama Alvaro," ucap Bayu pada istrinya. Mala yang tengah melihat tayangan youtube mengenai tutorial memasak kari menoleh ke arah laki-laki itu. Senyumnya terbit setelah sang suami menatapnya dengan wajah jenaka. "Kamu sudah siap punya anak lagi, 'kan?" tanya Bayu, "aku ingin anak laki-laki. Biar nonton bola ada yang menemani." Mala tertawa sejenak. Ada yang menggelitik hatinya saat mendengar alasan yang dikemukakan oleh suaminya. "Yang benar saja, Mas. Masa pengin anak laki-laki cuma buat teman nonton bola. Kalau perkara nonton bola, bukannya selama ini Kinanti pun sering menemanim? Bahkan teriakannya melebihi suporter di lapangan," jawab Mala. "Nggaklah. Pokoknya pengin anak laki-laki.""Kalau ternyata nanti aku hamil, terus anaknya perempuan gimana?" "Ya bikin lagi!" jawab Bayu dengan mimik serius hingga membuat Mala melemparkan bantal guling ke arah suaminya sebagai wujud protes. "Satu saja aku sering keteter, Mas. Untung ad
Tidak mungkin laki-laki yang telah membersamainya selama lima tahun itu telah menghianati janji suci pernikahan mereka. Apalagi mengingat segala macam perjuangan yang sudah mereka lakukan untuk memenangkan hati Bu Rahayu. Meski kenyatannya hati wanita itu terlampau kuat sekokoh karang hingga tak bisa diruntuhkan oleh segala jenis kebaikan yang Mala tawarkan padanya. Entah akad seperti apa yang membuat Bu Rahayu akhirnya luluh dan menerima pernikahan mereka yang digelar di rumahnya. Nyatanya dia berada di tengah-tengah pernikahan Bayu dan Mala, meski dengan wajah yang tak bisa berbohong. Bahkan dia menolak untuk mengambil foto bersama saat resepsi berlangsung. Wanita itu beralasan mendadak pusing dan ingin merebahkan diri di kasurnya. Mala bukan tidak tahu dengan alasan yang dibuat-buat oleh mertuanya. Hanya saja melihat bagaimana perjuangan Bayu memperoleh restu membuatnya cukup tahu diri untuk tidak banyak bertanya dan menerka apa yang terjadi dengan ibu mertuanya. Meski tak dipung
Fakta TerungkapMala turun dari motor maticnya setelah menemukan tempat parkir yang pas untuk kendaraannya. Kali ini dia tak jadi membawa Kinanti, karena Bude Rumi melarangnya untuk mengajak serta anak semata wayangnya. "Datang saja sendiri, tak perlu bawa Kinanti. Kalau Mbak Karin minta ketemuan di kafe artinya memang urgent sekali. Kalau hal biasa tentu lebih baik main kesini langsung. Iya 'kan? Biar Kinan sama Bude, kasian juga mau pulang jam berapa? Ini saja sudah sore," ucap Bude Rumi saat Mala menceritakan rencananya. Mala menatap Kinanti yang tengah bermain lego ditemani Mbah Ruminya di ruang tengah. Kalimat yang Bude Rumi ucapkan memang ada benarnya. Terlalu beresiko membawa anak perempuannya itu keluar. Tentu saja angin malam tak terlalu bagus untuk anak seusia Kinanti. "Bude…Apakah semuanya akan baik-baik saja?" tanya Mala dengan suara lirih. Hatinya sedikit goyah apakah akan tetap pergi dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh Karina, atau memang lebih baik tak tahu ap
Mala meremas ponsel yang ada di genggamannya menyalurkan rasa marah dan kecewa pada sosok yang sudah tak bisa ditemuinya lagi di dunia. Bahkan dia tak bisa hanya sekadar meluapkan emosi pada orang yang bersangkutan pun sudah tidak bisa. "Mala. Maaf jika langkahku menyakitimu. Tapi aku tak mau kau terus menerus meratapi seseorang yang sudah menyakitimu sedemikian jahat. Rasanya tak adil kau mengingatnya penuh mengenai kenangan-kenangan manis dengannya yang faktanya tidak hanya kamu saja yang telah membuat kenangan indah dengannya. Ada wanita lain yang juga merasakan hal yang sama." Karina memahami rasa sakit yang dialami wanita di depannya. Rasanya tak adil jika Mala terus menerus mengenang Bayu dengan kebaikannya saja, nyatanya laki-laki itu telah menghianati Mala sejauh itu. Dia yakin dengan langkah yang ditempuhnya, terlebih mengingat kehidupan Mala masih teramat jauh ke depan. "Kapan? Kapan laki-laki itu menikahi wanita ini?" tanya Mala dengan suara bergetar. Ada rasa jijik seke
Adakah yang lebih menyedihkan dari rasa kecewa dan marah pada sosok yang sudah tak ada di dunia ini? 💔💔💔Mala menatap bayangannya di depan cermin. Lama dia menatap pantulan dirinya yang terlihat makin tak terawat akhir-akhir ini. Bagaimana dia mau merawat diri, semenjak kematian suaminya hanya air mata yang setia berteman dengannya. Cekungan hitam di lingkaran matanya kian hari kian melebar. Siang malam tiap dia melihat barang-barang Bayu hatinya kembali bersedih. Hampir tiap malam dia mengadukan semuanya pada Sang Pencipta. Ribuan doa kebaikan dia langitkan demi ampunan untuk orang yang sangat dikasihinya. Itu yang membuatnya makin sesak, karena dia menyadari tidak hanya dirinya yang berdoa untuk suaminya. Ada Rita, yang bahkan jika Bayu suaminya masih ada mungkin lebih diharapkan doanya. Mala memukul dadanya cukup keras berharap rasa perih yang menjalar setelah tahu kenyataan suaminya memiliki wanita lain lekas menghilang. Rasanya amat tak adil, saat dia menangisi laki-laki i
Tak ada lagi yang perlu disesali. Sebanyak apapun ingatan Mala mengenang kebaikan Bayu, tetap penghianatannya ini berhasil menutup rapat seluruh kelebihan laki-laki itu. Tak ada yang tersisa, karena setiap mengingat Bayu hanya kebencian yang menggunung yang muncul di alam bawah sadarnya. Mala memegang tiga buah sertifikat di tangannya. Satu buah rumah yang mereka tinggali saat ini. Satu lagi rumah di perumahan D'Golden tak jauh dari tempatnya mengajar, dan mungkin disanalah nanti dia akan tinggal. Mala yang memang meminta rumah tersebut karena letaknya lebih strategis. Kebetulan saat itu temannya yang pemilik sebelumnya mutasi ke daerah lain, yang akhirnya dibeli Mala dan Bayu dengan harga yang sesuai. Beruntung lagi karena Bayu tak pernah membicarakan apapun yang dia punya dengan sang ibu. Beruntung selama ini wanita itu terlalu terlena dengan jatah dari Bayu yang memang cukup besar. Mala hanya diberi sebagian, itu pun sering disertai dengan berbagai sindiran yang selalu diarahkan