Tanpa dia sadari aku mengekor di belakangnya untuk berjalan ke arah balik panggung. Aku berlindung di balik punggungnya saat membelah kerumunan yang penuh sesak tanpa dia ketahui. Di sisi belakang panggung, kulihat anak-anak sudah berkumpul dengan orang tua mereka masing-masing. Kinanti yang menoleh ke kanan dan kiri tersenyum lebar melihat Mas Dion. Seketika dia berlari menubruk lelaki itu. Aku tersenyum saat Kinanti kaget melihatku yang berada di balik Om Dionnya."Mama sama Om Dion? Kok tadi nggak keliatan dari atas?" Mas Dion memutar tubuhnya hingga dia tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya saat mendapatiku di belakangnya. Kedua alis tebalnya bertaut menunjukkan ekspresi bingungnya."Kamu fokusnya ke Om Dion, jadi Mama yang langsing ini nggak keliatan," jawabku setengah meledek. Mas Dion mengangkat kedua bahunya. "Secara tidak langsung kau mengatakan aku gendut, Mala." Aku tertawa dan mengabaikan wajah lucu lelaki itu. Kuraih kepala Kinanti untuk mendekat ke tubuhku. Kuciumi
Wanita di Pusara Suamiku Pusara Suamiku Gerimis sore itu mengiringi langkah kecil Mala menuju gundukan tanah basah di pemakaman umum tak jauh dari rumahku. Tanah lembab yang dia pijak makin membuat langkahnya melambat, seolah bekerja sama dengan semesta agar wanita itu memiliki kekuatan lebih saat mendekati tempat yang dituju. Mala membetulkan kerudung yang menutupi kepalanya. Entahlah, Dia hanya merasa harus memperhatikan penampilannya saat mengunjungi pemilik pusara itu. Penuh sesak dia paksakan tiap tarikan napas saat mendekati tempat pembaringan terakhir laki-laki yang sudah menemani hidupnya selama lima tahun terakhir. Ya… Suaminya menghembuskan napas untuk yang terakhir kali sore kemarin. Tak ada sakit apapun yang dideritanya. Tak ada kalimat perpisahan apapun yang dia sampaikan padanya. Laki-laki itu pergi begitu saja. Lima tahun dia menghabiskan waktu dengannya, tak pernah sekali pun Bayumeninggalkannya. Kini dia harus merasakan untuk pertama kali berpisah bukan untuk s
TamuMala tengah menyuapi Kinanti tatkala dua orang rekan kerja suaminya berkunjung ke rumah. Anak perempuannya itu beringsut mendekati Mala karena dia tak terbiasa dengan kedatangan orang asing. Dua orang itu seringkali berkunjung ke rumahnya karena mereka cukup dekat dengan mendiang suami Mala. "Mbak. Kami ikut berbelasungkawa atas meninggalnya Mas Bayu. Dua hari yang lalu saat dia pergi kami tengah mengikuti pelatihan aplikasi baru di Yogyakarta," ucap Rani, rekan satu tim suaminya. Bayu—suaminya bekerja di perusahaan ekspor ikan. Beberapa kali mereka bertemu dalam acara yang diadakan oleh kantor tempat suaminya bekerja. Raut kesedihan nampak dari wajah ayu milik Mala. Kulitnya yang putih terlihat memerah menahan tangis. Bagaimanapun dia harus terlihat tegar di depan anak semata wayangnya. "Mas Bayu tidak menampakkan sakit sebelumnya. Berarti memang meninggal mendadak, Mbak?" tanya Iksan yang datang bersama Rani. Mala menatap kedua orang di depannya bergantian. Tak lama setelah i
Perusuh"Oh iya, Bude. Tadi mau Mala masukkan ke rumah malah Kinanti keburu rewel," jawab Mala dengan nada sebiasa mungkin. Wajah Rosa terlihat kesal dengan kenyataan di depannya. Padahal di dalam hatinya dia sudah menebak bahwa kedua tamu tadi membawa uang santunan untuk Mala dan anaknya. "Perasaan tadi aku masuk nggak ada bungkusan itu di depan!" ucapnya sambil menjatuhkan bobotnya di atas sofa. Dengan santainya dia duduk dengan mengangkat kedua kakinya. Tangannya lincah memainkan ponsel yang bulan lalu dibelikan oleh suami Mala. Tentu saja dengan perdebatan alot karena setahun yang lalu juga dia meminta dibelikan ponsel oleh sang kakak. "Mbak. Mereka nggak ngasih apa gitu?" Pertanyaan tanpa rasa malu itu meluncur dari mulut gadis yang masuk kuliah semester tiga itu. Mala kembali melayangkan tatapan kesalnya pada sang adik ipar. "Memangnya kamu mengharapkan dia bawa apa, Ros? Kok dari tadi keliatannya ngarep banget mereka bawa sesuatu yang bisa kamu manfaatkan?" Pertanyaan menoh
Tahlilan di Rumah MertuaMala mendengar bisik-bisik di belakang saat dia beranjak ke dapur setelah Kinanti terlelap. Meski dia berusaha memejamkan mata, tetap saja tidur siang di kala rumahnya tengah dipadati orang untuk membantunya terasa amat tak elok. Langkahnya terhenti saat Bu Nurul, tetangga rumahnya yang turut serta membantu itu membuka suara. "Kemarin saya lihat juga, Bu Ning. Rasanya nggak wajar juga. Mosok di rumah menantunya saja sibuk-sibuk menyiapkan tahlilan buat sang anak, malah dia sendiri mengadakan acara serupa di rumahnya. Bukannya lebih baik ngadain bareng-bareng di sini. Biar keliatan guyub gitu. Tingkah mertua kaya gitu nggak cuma di sinetron saja, di kehidupan nyata juga ada," ucapnya dengan begitu meyakinkan. Nada suara Bu Nurul terdengar almenahan geram saat menceritakan tingkah absurd ibu mertua Mala. "Yang bikin aneh bin ajaib lagi, ada seorang wanita yang dari kemarin itu di rumahnya. Tiap sore anakku laporan dia selalu ngeliat dia ke makamnya Mas Bayu. K
Ibu Mertua "Kamu ngadu dengan Mas Bambang?" Ibu mertua Mala datang saat dia hampir menidurkan Kinanti. Mala terkesiap mendengar suara wanita itu. Sang anak yang semula hampir terlelap itu kembali terjaga. "Apa masalahnya kalau Ibu mengadakan tahlilan di rumah sendiri? Kamu nggak terima? Bayu itu anakku, rumah itu adalah rumah masa kecilnya. Kenapa kamu merusuh seperti itu? Pake acara mengadukanku pada kakak kandungku! Kau tahu bukan, bagaimana mulut istrinya itu?" Ibu mencengkeram tanganku kasar. Aku berusaha menetralkan debaran jantungku yang berdetak tak karuan. "Ingat, Mala. Aku juga sengaja menggelar acara di rumah karena tiap kali kemari, aku selalu mengingat kebodohanmu yang membiarkan Bayu pergi begitu saja. Seharusnya kau tanggap dan mencari bantuan, bukan duduk menemaninya selayaknya tuan putri! Akibatnya seperti ini, kami semua harus kehilangan Bayu! Entah bagaimana kuliah Rosa setelah ini, padahal dia baru semester tiga. Kau memang menantu payah! Entah dosa apa yang mem
Memperingatkan RosaMala mematut dirinya di depan kaca. Hari ini dia memutuskan untuk pergi mengajar setelah libur beberapa hari. Dia rindu suasana anak didiknya. Sedangkan Kinanti, dia akan bersama Bude Rumi seperti yang sudah-sudah. Wanita itu bagai malaikat penolong. Bahkan dia tak segan mengurus Kinan dengan penuh kasih sayang. "Mala, berangkatlah ke sekolah. Jika ada tamu, biar Bude yang menemui. Hidupmu harus berlanjut, bahkan kau harus berjuang lebih keras lagi. Tak ada Bayu tempatmu bergantung. Kau punya anak yang harus dihidupi. Tak mungkin selamanya kau harus bergantung pada apa yang ditinggalkan mendiang suamimu. Lagi pula Bude tak yakin mertuamu itu tak akan menuntut macam-macam," ucap Bude Rumi saat Mala tengah duduk di meja makan. Wanita itu mengaduk makanannya dan mengangguk pelan. "Bude hapal perangai wanita itu. Kau yang sabar. Jangan pula bersikap lemah. Kita bukan malaikat. Bela dirimu sekuat tenaga saat mereka mengusikmu. Bude tak ingin seperti yang sudah-sudah,
Dikelilingi Orang Baik"Kenapa? Ada masalah dengan ucapan Bude? Makanya kalau ngomong dipikir. Jangan asal keluar kalau tidak mau perkataanmu itu justru berbalik memukul wajahmu sendiri!" Rosa sangat tak terima dengan perkataan wanita tambun itu. Tetapi apadaya, membantah kalimatnya sama sekali bukan ide yang cemerlang. Bisa habis tak bersisa apabila berani mendebat dirinya. Meskipun dia tahu, Bude Rumi tak terikat hubungan darah apapun dengan Mala, tetapi sikap dan perhatiannya melebihi seorang ibu. Dan Mala diam bukan karena dia takut dengan adik suaminya, hanya saja tenaganya belum terlalu pulih untuk berdebat dengan gadis tak sopan itu. Dia juga bosan dengan sikapnya selama ini yang tak pernah menghormatinya dengan layak. Jika selama ini Mala selalu mengalah demi menghargai suaminya, entah kini dia bisa melakukannya lagi atau tidak. "Makan begini saja diceramahi panjang lebar. Males jadinya!" Rosa beranjak dari tempatnya duduk seraya membanting sendoknya hingga menimbulkan buny