Sean menghela napas panjang setelah itu menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Beberapa jam yang lalu Bimala tiba-tiba datang ke panti asuhan sambil menangis dan membawa sebuah koper. Sean tidak tahu masalah apa yang terjadi di antara Bimala dan Prada hingga membuat penampilan sahabat sekaligus cinta pertamanya itu terlihat sangat menyedihkan.
Sean menghampiri Bimala di kamar setelah menelepon Prada. Helaan napas panjang kembali lolos dari bibirnya ketika melihat Bimala yang sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Wajah Bimala terlihat sembab, isakan kecil pun sesekali lolos dari bibirnya. Sean perlahan mendekat lalu menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Bimala. Dia sangat terkejut ketika telapak tangannya tanpa sengaja menyentuh kening Bimala yang terasa panas. Sepertinya Bimala demam. Sean pun cepat-cepat mengambil sebaskom air dan handuk kecil di dapur untuk mengompres Bimala. "Bimala kenapa, Sean?" tanya Ibu Panti yang sudah merawat mereka sejak kecil ketika berpapasan dengan Sean. "Sean nggak tahu, Bu." Sean menggeleng pelan. "Mungkin dia ada sedikit masalah dengan Prada." Ibu Panti menggigit bibir bagian bawahnya dengan cemas sambil melirik Bimala yang tertidur di kamar Sean. "Baru kali ini ibu melihat Bimala menangis seperti tadi. Padahal saat kecil Bimala jarang sekali menangis. Ibu takut sekali Bimala kenapa-napa, Se." "Ibu jangan cemas karena Bimala wanita yang sangat kuat. Dia pasti baik-baik saja." Ibu Panti mengangguk, berusaha percaya dengan apa yang Sean katakan. "Itu buat apa, Se?" tanyanya sambil menunjuk baskom yang Sean bawa. "Sepertinya Bimala demam. Sean ingin mengompres Bimala supaya demamnya turun." Ibu Panti semakin merasa cemas. Sepertinya masalah yang dialami Bimala dan Prada lumayan serius hingga membuat mantan anak asuhnya itu sakit. "Apa kamu perlu bantuan ibu?" "Tidak perlu" Sean menggeleng pelan. "Lagi pula Sean bisa merawat Bimala sendiri. Sebaiknya Ibu urus adek-adek yang lain karena sekarang waktunya mereka belajar, kan?" "Oh, iya, ibu lupa. Baiklah kalau begitu, ibu mau nemenin adek-adekmu belajar dulu. Jangan sungkan panggil ibu kalau kamu butuh sesuatu." Sean mengangguk lalu segera masuk ke kamar. Dia meletakkan baskom yang di bawanya di atas meja setelah itu mulai mengompres Bimala. Dia melakukannya berkali-kali agar demam Bimala turun. Bimala tiba-tiba mengerjapkan kedua matanya perlahan. Awalnya semua terlihat samar, tapi lama-lama kelamaan berubah jelas ketika cahaya putih menerobos masuk ke dalam indra penglihatannya. Bimala ingin bangun, tapi sesuatu yang basah tiba-tiba jatuh dari atas kepalanya yang terasa pening luar biasa. Tubuhnya pun terasa sangat lemas karena terlalu banyak menangis. Bimala akhirnya kembali berbaring sambil memandangi langit-langit kamar Sean dengan tatapan kosong. Seharusnya kemarin malam menjadi hari yang paling membahagiakan baginya setelah menanti kepulangan Prada selama dua bulan. Rasanya Bimala sudah tidak sabar ingin menghabiskan waktu bersama Prada. Menceritakan hal apa saja yang sudah mereka lewati selama berpisah, kemudian makan soto ayam yang dia buat tadi bersama, setelah itu menonton film di dalam kamar sambil berbagi pelukan hangat hingga larut malam. Rasanya pasti sangat seru dan menyenangkan. Namun, semua itu hanya menjadi angan-angan semata karena Prada tiba-tiba membawa pulang seorang wanita dan mengaku kalau wanita itu adalah istrinya. Hidup Bimala seketika hancur, dunianya seolah-olah runtuh. Suami yang dia pikir setia, ternyata tega menduakan cintanya. Prada benar-benar jahat. Sangat jahat. Lima tahun lalu lelaki itu meminta izin pada Ibu Panti untuk menikahinya. Melihat ketulusan dan kesungguhan Prada membuat Bimala tidak berpikir dua kali untuk menerima pinangan Prada. Mereka melewati hari dengan penuh kebahagiaan dan saling menguatkan jika ada salah satu di antara mereka yang terpuruk memikirkan masalah anak. Terutama Bimala. Entah mengapa perasaan Bimala akhir-akhir ini lebih sensitif. Mungkin karena dia sudah terlalu sering ditanya soal anak. Untung saja Prada selalu ada di sisinya dan mengatakan kalau semua pasti akan baik-baik saja untuk menghiburnya. Akan tetapi semua perhatian yang Prada berikan ternyata palsu. Bimala merasa tertipu. "Bodoh!" Bimala menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah kenapa oksigen di sekitarnya seolah-olah berubah menjadi karbon dioksida yang begitu mencekik leher. Dadanya sesak. Bimala merasa sangat bodoh sudah percaya dengan Prada hingga hingga tidak menyadari kalau suaminya itu menikahi wanita lain di belakangnya. "Kamu benar-benar bodoh Bimala!" Air mata itu jatuh bagitu saja membasahi pipi Bimala. Hatinya begitu sakit setiap kali teringat dengan pengkhianatan Prada. Sean urung masuk ke kamar ketika mendengar Bimala yang terisak pelan. Dengan penuh sabar dia menunggu Bimala yang sedang menangis sambil bersandar pada pintu. Dia baru berani masuk setelah memastikan kalau Bimala sudah lebih tenang. "Sudah bangun?" tanya Sean sambil meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja. Bimala mengangguk lalu meminta Sean agar membantunya bangun lalu duduk bersandar di ujung tempat tidur. "Masih pusing?" Sean menempelkan punggung tangannya ke kening Bimala. Embusan napas lega sontak lolos dari bibirnya karena tubuh Bimala sudah tidak sepanas tadi. "Sedikit," jawab Bimala. Suaranya terdengar serak. "Makan dulu, ya? Setelah itu minum obat." Bimala tersenyum tipis melihat sepiring nasi putih yang diberi kecap dengan lauk kerupuk yang Sean ulurkan pada dirinya. Sahabat baiknya itu selalu tahu makanan yang hanya bisa dia santap jika sedang kurang enak badan. "Mau aku suapi?" Bimala menggeleng pelan lalu mulai makan. Sean hanya diam melihatnya. Untung saja Bimala masih mau makan walau hanya dengan nasi dan kecap. Sean langsung memberi obat setelah Bimala menghabiskan makanannya. "Makasih." Sean mengangguk lalu meletakkan gelas yang diulurkan Bimala di atas meja. "Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa sudah lebih tenang?" Bimala mengangguk walaupun perasaannya belum tenang sepenuhnya. "Makasih banyak ya, Se. Maaf udah ngrepotin kamu." "Santai saja. Lagian kayak sama siapa saja." Bimala terkekeh pelan, tapi hal itu tidak bisa menutupi kesedihannya. "Kenapa?" tanya Sean setelah menyadari raut wajah Bimala berubah sendu. Dia ingin tahu masalah apa yang sebenarnya terjadi di antara Bimala dan Prada. Namun, sahabatnya itu sejak tadi hanya diam. "Lupakan saja, aku tidak akan memaksa kalau kamu belum siap bercerita." Bimala menggeleng cepat. Sepertinya tidak ada salahnya jika dia membagi sedikit masalahnya dengan Sean. Lagi pula mereka sejak dulu memang sering berbagi cerita. Bimala pun menarik napas dalam-dalam sebelum bicara. "Mas Prada nikah lagi," ujarnya lirih. "A-apa?!" Sean tersentak. Sepasang iris hitam miliknya menatap Bimala dengan pandangan tidak percaya.Prada mengurangi kecepatan mobilnya ketika memasuki kawasan perumahan tempatnya tinggal. Malam ini jalanan terlihat lebih sepi dari pada biasanya, udara pun terasa lebih dingin. Prada sebenarnya ingin segera pulang lalu meminta maaf pada Bimala setelah mendengar penjelasan dari Sean. Namun, pekerjaannya hari ini sangat banyak dan dia baru bisa meninggalkan kantor ketika jam menunjukkan pukul delapan malam.Prada menghentikan mobilnya tepat di depan rumah. Sebelum turun dia mengambil sebuah paper bag berisi macaron dan seikat bunga mawar hijau yang tergeletak di bangku samping kemudi."Kak Prada sudah pulang?""Ah, iya, Fel." Prada merasa sedikit kecewa ketika melihat Felia yang membukakan pintu untuknya. Padahal biasanya Bimala yang menyambut kedatangannya."Padahal Kak Prada baru sehari jadi CEO. Tapi Kakak udah disuruh lembur. Kak Prada pasti capek banget, ya?" Felia merasa bersalah pada Prada. Lelaki itu harus bekerja ekstra keras demi menghidupi dirinya dan Arkana. Padahal dia ha
"Pak, ini berkas kerja sama dengan perusahaan CT Corp yang harus Anda tanda tangani."Prada menerima map berwarna biru tua yang diberikan sekretarisnya setelah itu mengucapkan terima kasih."Saya juga ingin memberi tahu kalau hasil rapat pagi tadi sudah selesai saya ketik.""Langsung saja kirim ke email saya, Karina.""Baik, Pak." Karina mengangguk patuh. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu bekerja dengan baik sebagai sekretaris Prada."Apa ada lagi?""Bapak ada pertemuan dengan perusahaan INB¹⁰⁰ untuk membahas produk baru yang akan dikeluarkan oleh perusahaan kita setelah makan siang nanti.""Baiklah, terima kasih banyak, Karina.""Sama-sama, Pak." Karina pun pamit undur diri dari ruangan PradaPrada mengembuskan napas panjang selepas kepergian Karina. Padahal dia baru sehari menjadi CEO, tapi ada banyak sekali tugas yang harus dia kerjakan. Memimpin rapat, memeriksa laporan, dan bertemu dengan klien penting.Prada kembali memeriksa berkas yang ada di hadapannya. Baru beberapa me
Felia mengerjabkan kedua matanya perlahan ketika ranjang yang berada di sebelahnya bergerak. Tubuh wanita itu sontak menegang ketika sebuah tangan tiba-tiba memeluk pinggangnya dengan erat.Felia pun berbalik. Mulut ibu satu anak itu sontak menganga lebar karena wajahnya berhadapan langsung dengan dada bidang Prada."Kak Prada!" Felia refleks membungkam mulutnya dengan kedua telapak tangan. Dia nyaris saja berteriak karena Prada tiba-tiba ada di kamarnya. Untung saja dia punya pengendalian diri yang baik."Kak Prada kenapa tidur di sini?" Felia menatap Prada dengan jantung yang berdebar hebat. Dia selalu merasa deg-degan jika berada di dekat Prada."Ingin saja," jawab Prada sekenanya.Felia diam-diam mengulum senyum. Tanpa perlu bertanya pun Felia sebenarnya tahu alasan yang membuat Prada tidur di kamarnya malam ini. Prada pasti kecewa dengan Bimala yang pergi ke mall bersama Sean tanpa meminta izin darinya.Seharusnya Felia tidak boleh bahagia di atas penderiataan Bimala. Akan tetapi
Bimala kembali mencoba untuk menelepon Prada. Namun, Prada lagi-lagi mengabaikan panggilannya. Sepertinya Prada kali ini benar-benar marah pada dirinya.Wajar saja kalau Prada marah karena dia sudah mengingkari janji yang dia buat pada lelaki itu.Bimala pun mencoba menelepon Felia. Namun, Felia juga mengabaikan teleponnya sama seperti Prada.Entah apa yang sedang Prada dan Felia lakukan sekarang. Mereka pasti sedang bersenang-senang untuk merayakan keberhasilan Prada hingga tidak memedulikan telepon darinya.Detik demi detik berlalu, tidak terasa sekarang sudah hampir jam sembilan malam, tapi Prada dan Felia belum juga pulang. Telepon dan pesan yang dia kirim untuk mereka pun tidak ada yang dibalas. Padahal dia ingin tahu bagaimana kabar mereka.Bimala memandang lesu spageti buatannya yang tersaji di atas meja makan. Bimala ingin sekali makan karena perutnya sudah sangat lapar. Namun, dia memilih menunggu Prada dan Felia pulang agar mereka bisa makan malam bersama.Bimala tiba-tiba b
Prada mencengkeram setir mobilnya dengan erat. Wajah lelaki berusia tiga puluh tahun itu terlihat mengeras, rahangnya pun mengatup rapat. Prada merasa sangat marah sekaligus kecewa dengan Bimala.Prada mungkin bisa memaklumi alasan Bimala yang tidak bisa mendampinginya hari ini karena ingin membantu Ibu Panti. Tapi apa yang dia lihat barusan. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri Bimala pergi ke mall bersama Sean. Bimala bahkan tidak meminta izin pada dirinya sebelum pergi.Kenapa Bimala tega membohonginya? Apa Bimala tidak pernah memikirkan bagaimana perasaannya?"Sial!" desis Prada terdengar penuh amarah. Tanpa sadar dia menambah kecepatan mobilnya membuat seorang wanita bergaun merah muda yang duduk di sebelahnya ketakutan."Kak Prada ...," gumam Felia dengan suara gemetar. Jantung Felia berdetak cepat, wajahnya pun terlihat sedikit pucat, tanpa sadar kedua tangannya mencengkeram sabuk pengaman dengan erat karena Prada mengendarai mobilnya dengan sangat kencang.Felia sepenuhny
Suasana panti hari ini lebih ramai dari pada biasanya. Ada sebuah panggung kecil yang dihiasi balon warna-warni di tengah halaman. Beberapa buah meja dan kursi pun tertata rapi di depan panggung tersebut.Semua penghuni panti tampak sibuk menyambut tamu yang akan datang, begitu pula dengan Sean. Dia sengaja mengosongkan jadwalnya hari ini untuk membantu ibu panti."Kevin, tolong taruh kursi ini di sana." Sean menyuruh seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun untuk meletakkan kursi di tempat yang dia tunjuk.Sean mengembuskan napas panjang setelah itu menegakkan tubuhnya. Sepasang iris hitam miliknya memperhatikan sekitar dengan lekat untuk memastikan kalau semuanya sudah siap. Hari ini panti asuhan kedatangan beberapa pelajar dari luar negri. Mereka datang untuk memberi edukasi serta bantuan untuk anak-anak."Semua sudah siap, Se?" tanya Ibu Panti."Sudah, Bu." Sean melihat jam tangannya. Ternyata sekarang sudah jam sebelas kurang sepulih menit.Sean pun meminta anak-anak