Sepasang iris hitam milik Sean menatap Bimala dengan pandangan tidak percaya. Dalam hati dia berharap semoga yang Bimala katakan tidak benar karena Prada terlihat sangat mencintai Bimala.
Namun, melihat kondisi Bimala yang kacau seperti sekarang membuat Sean berpikir kalau Prada memang menikah lagi. "Ka-kamu bohong kan, Bi?" Sean masih mencoba menyangkal. "Sayangnya enggak, Se." Bimala menggeleng pelan lalu meraih selembar tisu yang ada di atas meja untuk mengusap air matanya. Dalam hati kecilnya Bimala berharap jika Prada tidak benar-benar menikahi wanita lain tanpa seizinnya. Namun, harapannya seketika terpatahkan ketika dia melihat seorang wanita yang datang bersama Prada. "Aku tadi lihat sendiri. Mas Prada ...." Bimala menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Sean memberanikan diri untuk meraih tangan Bimala lalu menggenggamnya dengan lembut seolah-olah memberi kekuatan. "Membawa wanita itu pulang ke rumah dan bilang kalau wanita itu adalah istrinya. Mereka bahkan sudah memiliki anak." Air mata itu jatuh berderai-derai membasahi pipi Bimala. Sedangkan Sean hanya diam, amarah tergambar jelas di wajahnya setelah mendengar cerita Bimala. Jujur saja Sean tidak menyangka jika Prada tega menyakiti Bimala padahal beberapa jam yang lalu lelaki itu mengatakan pada dirinya kalau dia tidak akan pernah menyakiti Bimala. "Kenapa Mas Prada tega ngelakuin ini sama aku ya, Se?" Bimala menatap Sean dengan sendu. Kesedihan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. Sampai sekarang Bimala belum tahu alasan yang membuat Prada menikah lagi. "Apa mungkin dia kecewa karena aku belum bisa ngasih dia anak?" Sean semakin mempererat genggaman tangannya. Prada benar-benar berengsek jika menjadikan anak sebagai alasan untuk menikah lagi. Sebagai seorang suami Prada seharusnya jujur pada Bimala sejak awal, bukan malah diam seperti pengecut. "Kamu tahu sendiri kan, Se, apa saja yang udah aku lakuin agar bisa punya anak?" Sean mengangguk. Dia menjadi saksi hidup betapa keras usaha yang sudah Bimala lakukan untuk memiliki anak. Konsultasi ke dokter, pergi ke tukang pijat, bahkan mengonsumsi vitamin dan obat-obatan untuk kesehatan rahimnya. Sean bahkan tidak bisa menghitung berapa banyak air mata yang sudah Bimala keluarkan saat menjalani proses tersebut. "Tapi kalau Tuhan belum ngasih aku bisa apa?" gumam Bimala terdengar pilu. Bimala merasa usaha yang dia lakukan selama ini sia-sia setelah Prada membawa pulang wanita itu ke rumah mereka. "Aku juga pengen punya anak, Se ... pengen banget. Tapi Mas Prada malah memiliki anak dengan wanita lain. Apa aku memang tidak pantas menjadi seorang ibu?" "Bimala dengarkan aku." Sean menghela napas panjang lantas menghapus air mata yang membasahi pipi Bimala. "Kamu itu sangat berharga, Bimala. Dan orang berharga seperti kamu tidak pantas disakiti oleh lelaki breng*sek seperti Prada." "Jangan sebut Mas Prada breng*sek!" Bimala refleks memukul Sean, sedangkan yang dipukul hanya bisa menghela napas sambil memutar bola mata malas. "Dasar bucin." "Sean!" "Baiklah, aku tidak akan menyebut Prada breng*sek lagi." Sean kembali menghela napas. "Now, listen to me. Jangan pernah berpikir kalau kamu tidak pantas menjadi seorang ibu karena di sini bukan kamu yang salah, tapi Prada, Bimala. Kalau aku jadi Prada, aku tidak akan menikah lagi meskipun aku sangat ingin memiliki anak." Bimala tertegun mendengar ucapan Sean barusan. Perasaan hangat pun seketika menjalari hatinya. Bimala pasti merasa sangat bahagia jika kalimat itu keluar dari bibir Prada. "Prada pasti punya alasan mengapa dia diam-diam menikah lagi. Apa kamu sudah mendengar penjelasan Prada?" Bimala menggeleng pelan. Emosi yang meluap membuatnya tutup mata dan tidak mau mendengarkan penjelasan apa pun dari Prada. Lagi pula tidak ada lagi yang perlu Prada jelaskan karena semuanya sudah sangat jelas. Lelaki itu sudah menikahi wanita lain tanpa seizinnya. Sean kembali menghela napas. Entah sudah berapa kali dia menghela napas malam ini karena Bimala. Komunikasi Bimala dan Prada sejak dulu memang buruk. Prada terlalu banyak diam, sedangkan Bimala selalu menyimpulkan semuanya sendirian. Anehnya Tuhan malah menyatukan Bimala dan Prada. Tidak jarang dia menjadi penengah jika mereka sedang bertengkar. "Apa kamu ingat apa yang terjadi terakhir kali saat kamu tidak mau mendengarkan penjelasan Prada?" Kening Bimala berkerut dalam, mencoba menggali kembali ingatannya tentang perselisihan yang pernah dia alami bersama Prada. Namun sekeras apa pun dia berusaha, dia tetap tidak bisa mengingatnya. "Aku lupa," ujarnya lirih. Helaan napas panjang kembali lolos dari bibir Sean. Rasanya dia ingin sekali memukul kepala Bimala untuk melampiaskan kekesalannya. Namun, dia tidak tega melakukannya karena kondisi Bimala sedang tidak baik-baik saja. "Waktu itu kondisinya tidak jauh berbeda dengan sekarang. Saat itu kamu cemburu setelah melihat pesan masuk dari sekretaris Prada yang mengatakan kalau dia sedang hamil. Kamu pikir dia hamil sama Prada, padahal dia hamil sama pacarnya dan ingin minta izin sama Prada untuk cuti sementara waktu. Akhirnya Prada memanggil sekretarisnya itu ke rumah untuk menjelaskan semuanya karena kamu tidak mau mendengar penjelasan Prada. Apa kamu sudah ingat, Bimala?" Bimala mengangguk, rona merah menghiasi kedua pipinya. Bimala merasa sangat malu setelah berhasil mengingat kejadian yang dialaminya beberapa tahun silam. "Nah, poin pentingnya sekarang kamu harus mendengarkan dulu penjelasan Prada." "Tapi, Se ...." Sean meraih kedua bahu Bimala agar menghadapnya. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan yang terpancar dari kedua sorot mata Bimala. "Aku tahu kalau kamu sekarang belum siap. Tapi kamu harus mendengarkan penjelasan Prada mau siap atau pun tidak siap, Bimala. Setelah itu ... semua keputusan ada di tangan kamu." Bimala terdiam mendengar ucapan Sean barusan. Bagaimana kalau alasan Prada menikah lagi karena ingin memiliki anak? Bagaimana kalau Prada ternyata selama ini tidak benar-benar tulus mencintainya? Bagaimana kalau .... Bimala mengerang tertahan, kepalanya mendadak pusing memikirkan kemungkinan buruk tentang Prada. "Are you okay?" Sean menatap Bimala cemas. "Kepalaku sakit." Sean pun menyuruh Bimala kembali berbaring lalu beristirahat. "Sepertinya kondisimu masih belum pulih. Sebaiknya kamu beristirahat dan jangan berpikir terlalu berat. Selamat tidur, Bimala." Sean ingin keluar, tapi Bimala malah menarik ujung kaosnya. Sean pun akhirnya berbalik lantas menatap Bimala. "Bagaimana kalau yang aku pikirkan ternyata benar?" Sean tertegun mendengarnya, ternyata Bimala juga memikirkan hal yang sama seperti apa yang dia pikirkan. Namun, dia memilih diam karena takut semakin membebani pikiran Bimala. "Tidur ya, Bimala. Selamat malam." Sean mengusap kepala Bimala dengan lembut sebelum pergi meninggalkan kamar. Ekspresi wajahnya seketika berubah datar ketika tiba di luar. Dalam hati Sean bersumpah akan memberi Prada pelajaran karena sudah menyakiti Bimala.Prada mengurangi kecepatan mobilnya ketika memasuki kawasan perumahan tempatnya tinggal. Malam ini jalanan terlihat lebih sepi dari pada biasanya, udara pun terasa lebih dingin. Prada sebenarnya ingin segera pulang lalu meminta maaf pada Bimala setelah mendengar penjelasan dari Sean. Namun, pekerjaannya hari ini sangat banyak dan dia baru bisa meninggalkan kantor ketika jam menunjukkan pukul delapan malam.Prada menghentikan mobilnya tepat di depan rumah. Sebelum turun dia mengambil sebuah paper bag berisi macaron dan seikat bunga mawar hijau yang tergeletak di bangku samping kemudi."Kak Prada sudah pulang?""Ah, iya, Fel." Prada merasa sedikit kecewa ketika melihat Felia yang membukakan pintu untuknya. Padahal biasanya Bimala yang menyambut kedatangannya."Padahal Kak Prada baru sehari jadi CEO. Tapi Kakak udah disuruh lembur. Kak Prada pasti capek banget, ya?" Felia merasa bersalah pada Prada. Lelaki itu harus bekerja ekstra keras demi menghidupi dirinya dan Arkana. Padahal dia ha
"Pak, ini berkas kerja sama dengan perusahaan CT Corp yang harus Anda tanda tangani."Prada menerima map berwarna biru tua yang diberikan sekretarisnya setelah itu mengucapkan terima kasih."Saya juga ingin memberi tahu kalau hasil rapat pagi tadi sudah selesai saya ketik.""Langsung saja kirim ke email saya, Karina.""Baik, Pak." Karina mengangguk patuh. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu bekerja dengan baik sebagai sekretaris Prada."Apa ada lagi?""Bapak ada pertemuan dengan perusahaan INB¹⁰⁰ untuk membahas produk baru yang akan dikeluarkan oleh perusahaan kita setelah makan siang nanti.""Baiklah, terima kasih banyak, Karina.""Sama-sama, Pak." Karina pun pamit undur diri dari ruangan PradaPrada mengembuskan napas panjang selepas kepergian Karina. Padahal dia baru sehari menjadi CEO, tapi ada banyak sekali tugas yang harus dia kerjakan. Memimpin rapat, memeriksa laporan, dan bertemu dengan klien penting.Prada kembali memeriksa berkas yang ada di hadapannya. Baru beberapa me
Felia mengerjabkan kedua matanya perlahan ketika ranjang yang berada di sebelahnya bergerak. Tubuh wanita itu sontak menegang ketika sebuah tangan tiba-tiba memeluk pinggangnya dengan erat.Felia pun berbalik. Mulut ibu satu anak itu sontak menganga lebar karena wajahnya berhadapan langsung dengan dada bidang Prada."Kak Prada!" Felia refleks membungkam mulutnya dengan kedua telapak tangan. Dia nyaris saja berteriak karena Prada tiba-tiba ada di kamarnya. Untung saja dia punya pengendalian diri yang baik."Kak Prada kenapa tidur di sini?" Felia menatap Prada dengan jantung yang berdebar hebat. Dia selalu merasa deg-degan jika berada di dekat Prada."Ingin saja," jawab Prada sekenanya.Felia diam-diam mengulum senyum. Tanpa perlu bertanya pun Felia sebenarnya tahu alasan yang membuat Prada tidur di kamarnya malam ini. Prada pasti kecewa dengan Bimala yang pergi ke mall bersama Sean tanpa meminta izin darinya.Seharusnya Felia tidak boleh bahagia di atas penderiataan Bimala. Akan tetapi
Bimala kembali mencoba untuk menelepon Prada. Namun, Prada lagi-lagi mengabaikan panggilannya. Sepertinya Prada kali ini benar-benar marah pada dirinya.Wajar saja kalau Prada marah karena dia sudah mengingkari janji yang dia buat pada lelaki itu.Bimala pun mencoba menelepon Felia. Namun, Felia juga mengabaikan teleponnya sama seperti Prada.Entah apa yang sedang Prada dan Felia lakukan sekarang. Mereka pasti sedang bersenang-senang untuk merayakan keberhasilan Prada hingga tidak memedulikan telepon darinya.Detik demi detik berlalu, tidak terasa sekarang sudah hampir jam sembilan malam, tapi Prada dan Felia belum juga pulang. Telepon dan pesan yang dia kirim untuk mereka pun tidak ada yang dibalas. Padahal dia ingin tahu bagaimana kabar mereka.Bimala memandang lesu spageti buatannya yang tersaji di atas meja makan. Bimala ingin sekali makan karena perutnya sudah sangat lapar. Namun, dia memilih menunggu Prada dan Felia pulang agar mereka bisa makan malam bersama.Bimala tiba-tiba b
Prada mencengkeram setir mobilnya dengan erat. Wajah lelaki berusia tiga puluh tahun itu terlihat mengeras, rahangnya pun mengatup rapat. Prada merasa sangat marah sekaligus kecewa dengan Bimala.Prada mungkin bisa memaklumi alasan Bimala yang tidak bisa mendampinginya hari ini karena ingin membantu Ibu Panti. Tapi apa yang dia lihat barusan. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri Bimala pergi ke mall bersama Sean. Bimala bahkan tidak meminta izin pada dirinya sebelum pergi.Kenapa Bimala tega membohonginya? Apa Bimala tidak pernah memikirkan bagaimana perasaannya?"Sial!" desis Prada terdengar penuh amarah. Tanpa sadar dia menambah kecepatan mobilnya membuat seorang wanita bergaun merah muda yang duduk di sebelahnya ketakutan."Kak Prada ...," gumam Felia dengan suara gemetar. Jantung Felia berdetak cepat, wajahnya pun terlihat sedikit pucat, tanpa sadar kedua tangannya mencengkeram sabuk pengaman dengan erat karena Prada mengendarai mobilnya dengan sangat kencang.Felia sepenuhny
Suasana panti hari ini lebih ramai dari pada biasanya. Ada sebuah panggung kecil yang dihiasi balon warna-warni di tengah halaman. Beberapa buah meja dan kursi pun tertata rapi di depan panggung tersebut.Semua penghuni panti tampak sibuk menyambut tamu yang akan datang, begitu pula dengan Sean. Dia sengaja mengosongkan jadwalnya hari ini untuk membantu ibu panti."Kevin, tolong taruh kursi ini di sana." Sean menyuruh seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun untuk meletakkan kursi di tempat yang dia tunjuk.Sean mengembuskan napas panjang setelah itu menegakkan tubuhnya. Sepasang iris hitam miliknya memperhatikan sekitar dengan lekat untuk memastikan kalau semuanya sudah siap. Hari ini panti asuhan kedatangan beberapa pelajar dari luar negri. Mereka datang untuk memberi edukasi serta bantuan untuk anak-anak."Semua sudah siap, Se?" tanya Ibu Panti."Sudah, Bu." Sean melihat jam tangannya. Ternyata sekarang sudah jam sebelas kurang sepulih menit.Sean pun meminta anak-anak