Tepat tanggal 21 September, Muammar di-aqiqah. Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Meskipun tidak banyak mengundang, ternyata tamu membludak. Olivia tidak tahu jika Papa Zafir juga mengundang mantan karyawannya dahulu.Banyak doa terhatur pada Muammar, termasuk keluasan rezeki, tumbuh menjadi anak salih serta hidup dalam keberkahan di bawah naungan Allah. Kyai dan ustadz yang kemarin meruqyah mereka juga datang.Sebelum sesi foto keluarga, Olivia berdiri di di depan para tamu undangan, memintanya untuk diam dulu agar fokus mendengarkan apa yang dikatakan oleh Olivia.Semua mata memandang kepadanya. Dari yang raut wajahnya terlihat santai sampai judes stadium empat. Namun, Olivia tidak peduli karena tentu saja mereka adalah komplotan tetangga iri dan dengki."Terima kasih atas perhatiannya. Di sini saya sebagai istri Abyan dan juga mama dari Muammar memberitahu kalian semua kalau kami ...." Olivia melirik ke arah kanan, kemudian meminta Kenzo naik ke panggung. "Dia adalah Alexa
Pada bagian belakang rumah besar bernuansa putih dipadu dengan gold serta memiliki empat pilar itu terdapat sebuah teman yang dipenuhi dengan bunga-bunga mekar berwarna-warni. Ada mawar, melati serta tulip kuning dan dua macam lainnya. Di bawah pohon rindang terdapat sebuah ayunan. Dua anak lelaki tampak begitu ceria. Yang sedang duduk dalam ayunan itu berumur sembilan tahun, sementara satunya menginjak usia remaja yakni lima belas tahun. Terdapat dua perbedaan besar di antara mereka. Anak remaja itu bertubuh tinggi tegap dengan hidung menjulang. Kulitnya putih bersih serta senyum begitu menawan. Rambutnya ikal, sedikit kecokelatan. Sementara sang adik berbeda. Kulit kuning langsat, rambutnya lurus berwarna hitam legam. Dia tampan, seperti kakaknya. "Alif, Muammar! Sudahi mainnya, Nak. Sini makan pizza sama mama!" teriak seorang perempuan dewasa memakai kerudung sambil membawa kotak besar berwarna cokelat. Dua anak lelaki itu seketika mendekat duduk di kursi panjang berwarna putih.
+62 857-7017-xxxx : Olivia, mungkin pesan ini akan sedikit mengejutkanmu, tetapi aku sudah tidak bisa menyembunyikan rahasia ini lebih lama lagi. Kamu jangan tersinggung, mungkin ini bagian dari takdir. Aku mencintai Mas Abyan, tepatnya saling mencintai.Pesan singkat yang hanya berisi tiga kalimat itu seperti belati yang menusuk jantungku. Rasanya sakit, dada terasa sesak membuatku kesulitan mengambil napas. Saat mengecek nomor itu di Get-Contact, tertera sebuah nama yang terasa asing di telinga.Mentari. Siapa dia? Selama ini aku tidak pernah memiliki teman dengan nama Mentari atau mendengar Mas Abyan menyebut nama itu yang barangkali adalah rekan kerjanya. Ya, suamiku bekerja di sebuah pabrik yang ada di kota kami.+62 857-7017-xxxx : Tidak perlu mencari tahu aku siapa, cukup lepaskan Mas Abyan atau kamu akan hidup menderita. Ingat ucapan aku ini, Oliv. Aku tidak pernah bercanda tentang ancaman dan aku selalu berhasil mendapat apa yang aku inginkan meskipun dengan cara yang tidak d
Mendadak lidahku terasa kelu. Air mata pun mengalir semakin deras di sepanjang pipi. Aku menggigit bibir sekuat tenaga berharap tidak ada yang mendengar isakan ini. Kopi yang hangat ketika didiamkan dalam waktu lama akan terasa dingin, begitu pun dengan manusia. Meskipun Mas Abyan tidak mendiamiku selama ini, tetapi cintanya memudar. Bahkan sebelum menemukan kebenaran tentang pesan dari gadis bernama mentari, hatiku sudah remuk redam. Aku hancur, tidak lagi mampu untuk terlihat baik-baik saja. Seperti sebuah acara ulang tahun, aku terkejut bukan main. Kepercayaan yang kuberi sepenuhnya pada Mas Abyan dengan mudah dia rusak, tanpa rasa bersalah. Setengah jam setelah itu, ponsel yang aku simpan di nakas berdering. Ketika mendekat, aku melihat nama Mas Abyan tertera di sana. Kenapa dia menelepon, apakah belum cukup puas melukai hati istri sendiri? Jika dulu hati berdesir mendapat telepon dari suami, kini berbeda. Tanganku ikut gemetar, merasa enggan untuk mengangkat telepon itu sampai d
"Iya, Mas. Mentari." Lelaki itu menggeleng. "Aku tidak punya teman dengan nama Mentari. Kenapa, Dek?" Aku memejamkan mata berusaha menahan setiap perih yang menghujam hati. Bagaimana mungkin Mas Abyan tidak mengenali Mentari sementara mereka saling mencintai? Sejumput nyeri menyebar cepat, mengalir di setiap aliran darahku. Waktu seolah berhenti, memaksaku menelan semua kesedihan. "Demi Allah, aku tidak mengenal Mentari," ulang Mas Abyan penuh penekanan ketika melihatku memalingkan wajah. Sekarang aku tidak bisa menjelaskan apapun tentang Mentari karena lidah terasa kelu. Dengan tangan gemetar, aku coba merogoh ponsel yang berada di bawah bantal, kemudian menunjukkan pesan itu pada Mas Abyan. Dia sendiri meraih ponselku dengan raut wajah santai, seakan memang tidak melakukan kesalahan. Begitu selesai membaca pesan itu, aku bisa menangkap keterkejutan di wajah Mas Abyan. Bola matanya membesar, dia menatapku sambil sedikit melongo. Kenapa? Mungkinkah dia tidak bisa mengelak sekarang
"Kenapa talak satu, Mas?" "Ibu harus tahu masalah ini. Aku tidak mau disalahkan. Jadi, kita sebaiknya menunda perpisahan abadi." Tanpa bisa kubendung, air mata turun berduyun-duyun. Satu-satunya yang kuanggap sebagai rumah justru telah mengasingkanku jauh-jauh. Jawaban yang Mas Abyan beri ternyata tidak berhasil melegakan hati. Aku ditalak, tanpa tapi, tanpa nanti. Apakah sudah terlalu dalam cintanya untuk Kamila sehingga begitu mudah menjatuhkan talak padaku yang telah dinikahi tiga tahun silam? Laki-laki yang dulu menjadi kebanggaanku justru mengkhianat. Aku mengais banyak alasan yang mungkin menjadi penyebab runtuhnya kesetiaan Mas Abyan selain prediksi dokter yang mengatakan kalau aku tidak akan bisa punya anak lagi. Berkeping-keping kenangan masa silam kembali kukais, rasanya terlalu menyakitkan. "Sekarang, keluar dari kamar ini, Liv. Besok ibu akan pulang, jangan biarkan dia tahu aku menjatuhkan talak satu sebelum aku bisa menyelesaikan urusanku dengan Kamila," lanjut Mas Aby
Gara-gara ibu pulang cepat, aku terpaksa kalah lagi dari Kamila. Wina mengantarku sampai depan rumah saja, setelah itu memutar haluan untuk pulang meski sebelumnya kami sudah menyusun rencana untuk mendatangi Kamila lagi suatu hari nanti. Dengan perasaan gusar, aku membuka pintu rumah lebar. Benar saja, ibu dan papa yang sebelumnya aku panggil Om Zafir duduk di depan televisi tempat aku tidur tadi malam. Tatapan mata mereka tidak bersahabat. Walau aku sudah dianggap seperti anak sendiri, rasanya takut juga melihat mereka tanpa senyuman. Aku duduk dengan sangat hati-hati. "Ibu sama papa kenapa nggak bilang biar aku beresin rumah dulu?" "Ibu merasa ada sesuatu yang terjadi di rumah ini, Liv. Ada apa, kenapa bantal kamu ada di luar kamar dan bukannya di dalam?" "Itu ... tadi malam aku ketiduran saat menonton televisi, Bu." Aku tersenyum kikuk, kemudian melanjutkan untuk mengalihkan pembicaraan, "bagaimana liburannya di Bandung? Lancar nggak, Bu, Pa?" Mereka berdua diam membuatku sema
POV Author____Papa Zafir berhasil mencekal tangan Olivia, lalu kembali membawanya masuk ke rumah. Sesak sekali, air mata perempuan itu tidak berhenti berlinang.Kembali berada di ruang keluarga, ternyata Abyan masih diam di tempatnya. Namun, terlalu menyakitkan bagi Olivia karena lelaki tersebut sudah memainkan ponsel seolah tidak pernah ada masalah."Duduk dulu, Oliv!" pinta Ibu Namira dengan tatapan sendu.Perempuan itu menjatuhkan dirinya di lantai yang beralaskan karpet. Sesekali melirik pada Abyan yang menatapnya ketus setelah menyimpan ponsel."Nak, kalian sudah dewasa, jangan bertingkah seperti anak kecil lagi. Setelah melewati banyak ujian dalam pernikahan, apa masih belum bisa mengokohkan cinta dan kasih sayang?" Ibu Namira bertanya lembut, suaranya terdengar memilukan."Untuk apa mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak didasari rasa cinta, Bu? Hati Mas Abyan telah berpaling dan kurasa memang sepatutnya hidup sendiri sekarang. Aku sudah banyak merepotkan Mas Abyan.""Y