Share

Bab 7. Jejak Masa Lalu

Author: Bintu Hasan
last update Last Updated: 2025-02-19 17:14:21

"Memangnya Rosa kayak gimana?"

"Apa aku masih harus mengeja?"

Liam terdiam. Tak lama kemudian, dia menghela napas panjang beriring harapan bahwa tuduhan itu tidaklah benar.

Masih di dalam kafe yang remang-remang, Evelyn menatap pria di hadapannya dengan mata penuh harapan. Aroma kopi bercampur dengan wangi vanilla samar-samar memenuhi udara, tapi suasana di antara mereka terasa tegang. Jemari Evelyn yang lentik menggenggam cangkir cappuccino yang mulai mendingin; pikirannya sama sekali tidak tertuju pada minuman itu.

Liam duduk dengan bahu tegap, tetapi ekspresinya jelas tidak nyaman. Cahaya lampu gantung yang redup menciptakan bayangan tipis di wajah pria itu, menyoroti rahang tegas yang sedikit mengeras. Tatapan tajam tidak lepas dari perempuan yang kembali datang dengan membawa masa lalu. Bibir Evelyn sedikit bergetar sebelum kembali tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahan yang sejak tadi menggerogoti hatinya.

"Aku tahu aku salah, Liam," kata Evelyn dengan suara yang terdengar lebih pelan kali ini, hampir seperti bisikan yang hanya ditujukan untuk Liam seorang, "aku nggak akan memaksamu kembali saat ini juga, tapi aku masih bisa menunggu."

Pria di hadapannya menghela napas panjang. Dada naik turun sebelum akhirnya punggung bersandar pada kursi kayu. Kedua tangan bertaut di atas meja, menandakan bahwa kesabaran mulai menipis. Liam bukan pria yang mudah tergoda kata-kata manis, terlebih ketika datang dari seseorang yang sudah lama menghilang.

"Evelyn, kalau kamu ngajak aku ketemu cuma buat bahas ini, lebih baik—"

"Jangan!" Evelyn langsung memotong sebelum pria itu menyelesaikan kalimatnya. Mata berbinar seperti menyimpan sesuatu yang belum ingin dia lepaskan. "Suatu hari kamu pasti mengerti. Percaya sama aku, Liam. Aku masih Evelyn yang kamu kenal dulu."

"Evelyn yang aku kenal? Wanita yang menghilang tanpa sepatah kata pun, padahal mengaku sangat cinta sama aku? Itu maksud kamu?"

Wanita yang memiliki rambut lurus itu menatap penuh putus asa lantas berusaha meraih tangan Liam. "Aku masih Evelyn yang sama, yang mencintaimu setulus hati. Untuk itu, aku membawa Raka supaya kamu percaya sama aku. Itu bukan tuduhan palsu, Liam. Raka memang masa lalu Rosa. Aku membawa dia bukan hanya biar kamu ninggalin dia, tapi aku nggak mau Liam-ku jatuh dalam pelukan wanita yang salah."

Di sudut lain kafe, seorang perempuan mengamati dengan cermat. Mata bulat yang biasanya penuh keceriaan kini berubah tajam, menyoroti setiap gestur kecil yang terjadi di antara dua orang itu. Jari ramping bergerak cepat di atas layar ponsel, membidik momen yang dirasa penting. Sebuah foto terkirim ke dalam chat pribadi.

Di rumah yang diterangi cahaya temaram, Rosa menatap layar ponsel dengan napas tertahan. Jantung berdegup tidak karuan saat melihat foto yang dikirim Naina beberapa menit lalu. Sebuah gambar sederhana, tetapi cukup untuk menimbulkan gelombang kecemburuan yang sulit dibendung.

Jari-jari Rosa menggesek layar, memperbesar detail yang terlihat jelas. Liam dan Evelyn duduk berhadapan, dengan ekspresi yang tidak bisa dia baca sepenuhnya. Seolah ada sesuatu yang lebih dalam di antara mereka, sesuatu yang Rosa belum tahu.

Telepon di sisi tempat tidur bergetar pelan. Nama Naina muncul di layar. Rosa mengangkatnya tanpa ragu, mendekatkan perangkat ke telinga.

"Lo lihat fotonya, kan?" Suara di seberang sana terdengar hati-hati, seakan tahu bahwa percakapan ini bisa memicu ledakan emosi.

Rosa menghela napas. "Gue lihat." Suara lebih rendah dari biasanya, hampir seperti berbisik.

"Apa lo masih percaya dia?"

Tidak ada jawaban langsung. Rosa menatap langit-langit dengan tatapan kosong, mencoba mengabaikan perasaan yang menggerogoti dadanya. Detik berikutnya, tangan mengepal di atas selimut.

"Gue janji, gue bakal interogasi dia malam ini."

"Lo pengantin baru, baru kemarin malah dan sekarang dia ketemu—"

"Evelyn. Dia Evelyn, Naina. Gue udah tahu mereka bakal ketemu, kok. Gue tutup dulu, ya, takut kedengaran nyokap."

***

Setelah makan malam, Rosa berjalan menuju kamar dengan langkah lebih cepat dari biasanya. Pintu ditutup sedikit lebih keras, menarik perhatian Liam yang tengah melepas jam tangan di dekat nakas.

Pria itu menoleh, menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda. Mata tajam menangkap ekspresi dingin yang biasanya hanya muncul saat Rosa sedang marah atau merasa dikhianati.

"Ada apa?" Liam bertanya, berusaha meredakan ketegangan sebelum hal-hal yang tidak perlu terjadi.

Rosa tidak langsung menjawab. Ponsel disodorkan ke depan wajah pria itu, memperlihatkan foto yang dikirim Naina. Liam menatapnya sekilas lalu mendesah pelan.

"Kamu ngikutin aku?"

"Bukan aku, Naina melihatmu, Mas."

Liam terdiam.

"Jelasin kalian ngomong apa sampai tatapannya dalam begitu?""

Pria itu menatap Rosa beberapa detik, kemudian menarik napas panjang sebelum duduk di tepi tempat tidur. Dengan suara rendah dan tenang, diceritakan semuanya. Bagaimana wanita itu membahas masa lalu, membicarakan ancaman yang belum jelas, dan bagaimana Liam dengan tegas menolak semua yang Evelyn katakan.

Rosa mendengarkan tanpa menyela, tetapi matanya tetap tajam mengamati setiap perubahan ekspresi Liam.

"Ternyata Evelyn masih mendambakanmu, Mas," kata Rosa akhirnya, nada suara lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

Liam menatap dalam, membaca sesuatu di balik kata-kata yang baru saja keluar dari bibir istrinya. Sebelum sempat merespons, suara notifikasi mengalihkan perhatian mereka.

Ponsel di meja samping bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Rosa mengambilnya dengan dahi mengernyit lalu menatap layar lebih lama dari yang seharusnya.

Pesan itu berasal dari seseorang yang tidak pernah dia duga.

[Rosa, aku minta maaf karena membuatmu malu kemarin. Evelyn memaksa aku untuk datang. Aku sebenarnya nggak mau ingkar tentang kita yang menjaga aib masing-masing, tapi aku nggak punya pilihan dan jujur, aku masih cinta sama kamu. Kalau Liam nggak baik, kamu bisa balik ke aku. I love you. Dariku, Raka. Tolong jangan blokir aku lagi, yaa.]

Jari-jari Rosa menegang di atas layar. Mata berkedip beberapa kali, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia baca.

Liam yang sejak tadi mengawasi, mencondongkan tubuh untuk melihat isi pesan. Ketika nama pengirim terbaca jelas, ekspresi wajah pria itu berubah.

Tatapan dingin muncul, rahang mengeras.

Tanpa mengatakan apa-apa, Liam meraih ponsel dari tangan Rosa, menatap pesan itu dengan sorot yang tidak bisa dijelaskan.

Hawa di kamar berubah.

Ketegangan baru saja dimulai.

Perasaan cemburu dan amarah langsung menyusup ke dalam dada. Jemari mengepal erat, rahang mengeras menahan luapan emosi yang siap meledak.

"Jadi, ini yang kamu sembunyikan?" Suara Liam terdengar rendah, tapi tajam menusuk.

Rosa menatap layar ponsel, perasaan bergejolak di antara kebingungan dan kesal. "Mas, aku nggak tahu dia bakal kirim pesan kayak gini. Lagian udah aku jelasin juga kalau aku nggak kenal sama dia. Entah dia tahu dari mana nomerku ini, Mas. Kamu nggak ngasih nomer aku ke Evelyn, kan?"

Liam tertawa kecil, tapi bukan karena lucu—melainkan karena kecewa. "Kamu bisa jelasin nanti, Ros. Tapi sekarang aku pengen tahu satu hal," ujarnya, suara lebih berat.

Tatapan mengunci milik Rosa, menunggu jawaban yang bisa mengubah segalanya. "Apa?"

"Kamu masih mencintai Raka?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita yang Mendambakan Suamiku   Bab 26

    "Maaf?" Naina mencoba tersenyum manis meski jelas-jelas merasa tidak nyaman. "Pulang!" ulang Bu Diana dengan tatapan tajam yang tak bersahabat. Naina menghela napas panjang. "Maaf, Bu. Aku nggak bisa. Aku khawatir Liam menyakiti Rosa. Kita sama-sama tamu di sini dan aku nggak akan pulang, kecuali tuan rumah sendiri yang nyuruh." "Saya ini ibunya Liam. Saya berhak di rumah ini!" Mata Bu Diana membulat, penuh amarah. "Sedangkan kamu? Siapa kamu?!" "Aku sahabat Rosa, Bu. Sudah dianggap saudara sejak lama. Dan karena itu, aku nggak akan tinggal diam saat orang-orang memfitnah dia. Aku tahu yang sebenarnya. Aku tahu Evelyn-lah yang menyuruh Raka—" "Kebenaran?" Bu Diana menyela dengan senyum miring. "Kebenaran yang kamu lihat itu palsu. Rosa nggak sebaik yang kamu kira—" "Dan juga tidak seburuk yang mereka katakan, bukan?" potong Naina, tatapannya tajam dan tak gentar. Rahang Bu Diana mengeras. Kedua tangannya terkepal sempurna. Setiap kata dari Naina terasa seperti cambuk yang menya

  • Wanita yang Mendambakan Suamiku   Bab 25

    "Gimana aku mau percaya kalau faktanya emang ada cowok lain di sekitar kamu?!" Suara Liam meninggi, nadanya tajam menusuk. Tapi bukannya melanjutkan adu mulut, pria itu malah memilih melangkah keluar rumah. Bahunya tegang, matanya merah menahan luapan emosi yang sudah di ambang batas. Namun Naina segera menghadang langkahnya. Tubuh mungilnya berdiri kokoh di ambang pintu, matanya menatap penuh keyakinan. "Ini nggak adil." Liam mendengus. "Aku tahu kamu bakal belain Rosa karena dia sahabat kamu. Kamu nggak bakal lihat siapa yang benar dan salah—" "Justru karena aku sahabatnya, makanya aku berdiri di sini!" potong Naina lantang. "Aku yang kenal dia luar dalam aja bisa lihat kebenarannya. Tapi kamu, suaminya sendiri... kenapa malah buta dan tuli?!" Liam terdiam sejenak, tapi tatapannya tetap keras. "Berapa lama kalian pacaran sebelum nikah? Kalian dijodohkan setelah kenal sebulan? Nggak, kan?" "Aku cuma bilang... pacaran bertahun-tahun pun gak jamin kita bener-bener kenal orang."

  • Wanita yang Mendambakan Suamiku   Bab 24. Kecurigaan

    "Mas, mungkin Bu Lin salah lihat. Gak ada yang anter aku, aku pulang sendiri." Rosa mencoba terdengar meyakinkan, tapi suaranya sedikit bergetar. Jemarinya yang gemetar buru-buru dia sembunyikan di balik lipatan baju. Pandangannya menghindar, takut bertemu dengan mata Liam yang tajam menelisik. Liam menyipitkan mata, memperhatikan setiap gerak-geriknya. "Kamu yakin? Gimana kalau Bu Lin punya bukti?" Nada suaranya tenang, tapi sarat dengan kecurigaan. Rosa menelan ludah. "Mas, aku beneran gak bohong sama kamu." "Tapi Bu Lin juga gak mungkin bohong sama aku, kan, Rosa?" Rosa meremas ujung bajunya, pikirannya berputar mencari alasan yang masuk akal. Dia tahu Liam bukan tipe yang mudah percaya begitu saja. Sorot matanya seolah mencari celah, mencari tanda kebohongan dalam dirinya. "Oh, iya!" Rosa menepuk dahinya, berpura-pura seolah baru mengingat sesuatu. "Tadi ada mobil yang menghadang pas aku lari, Mas. Dia menawarkan bantuan. Dia yang nganter aku. Maaf, aku lupa karena tadi sakin

  • Wanita yang Mendambakan Suamiku   Bab 23. Rencana yang Memuakkan

    Cahaya putih dari lampu-lampu neon minimarket menerangi wajah Rosa yang dipenuhi kegelisahan. Aroma kopi instan dan makanan kemasan bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Beberapa pelanggan berlalu lalang, sibuk memilih barang, sementara Rosa justru terpaku menatap Rainer dengan sorot penuh kehati-hatian."Tapi, Rainer ...." Rosa menarik napas panjang, mencoba mengendalikan debaran jantungnya. "Aku nggak mau terlibat masalah lagi. Aku udah cukup tersiksa dengan kehadiran Evelyn dan fitnah yang hampir menghancurkan hidupku. Kalau memang dia masalah, kenapa nggak kamu bawa dia pergi aja? Setidaknya aku bisa sedikit tenang. Kamu tahu, kan, aku udah nikah?"Rainer mendengkus pelan, menatap Rosa tajam. "Kamu pikir semudah itu menghentikan Evelyn? Dia nggak pernah benar-benar mencintai Liam. Dia kembali bukan untuk menebus kesalahan, tapi untuk sesuatu yang lebih besar. Aku yakin dia punya rencana lain.""Entahlah." Rosa menggeleng, suaranya melemah. "Yang jelas, sejak dia mu

  • Wanita yang Mendambakan Suamiku   Bab 22. Mimpi Buruk

    Liam terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang dikatakan Rosa. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan yang perlahan tumbuh. Ada sesuatu yang disembunyikan istrinya—sesuatu yang tidak ingin Rosa katakan. “Jadi, kamu tahu dari mana soal Rainer dan Evelyn?” tanya Liam dengan suara yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya. “Aku aja nggak tahu soal itu.” Rosa menghela napas berat. “Kalau gitu, nggak usah nanya, Mas.” “Aku pengen tahu.” Liam menatapnya lekat-lekat. “Evelyn selalu datang dan bilang dia pergi demi kebaikanku. Tapi kalau aku ungkit soal Rainer—” “Tidak!” Rosa memotong cepat. Liam menyipitkan mata. Reaksi Rosa terlalu defensif. Kenapa? Apa dia ingin menutupi sesuatu? Apakah dia takut Rainer berulah dan mendapat masalah? Atau … dia hanya tidak ingin Liam tahu lebih banyak? Atau mungkin … dia melindungi seseorang? Tapi siapam “Kenapa kamu tiba-tiba nggak mau aku tahu?” Liam kembali bertanya, tetapi kali ini suaranya lebih dalam, lebih menekan. Rosa menegang. “

  • Wanita yang Mendambakan Suamiku   Bab 21. Ketegangan di Malam yang Hujan

    Hujan deras mengguyur kota sejak sore, membasahi kaca jendela dengan butiran air yang terus mengalir. Angin dingin menyelinap melalui celah tirai, membuat suasana malam semakin kelam. Di ruang tengah, cahaya lampu kuning temaram hanya menambah kesan muram. Aroma kopi yang telah lama dingin tercium samar di meja.Rosa mondar-mandir di depan televisi, tidak fokus pada layar yang terus menampilkan berita malam. Jemarinya mengusap layar ponselnya berkali-kali, seolah menimbang sesuatu. Sementara itu, Liam sudah duduk di sofa selama satu jam terakhir, sesekali mengetik di laptopnya. Tapi matanya tak sepenuhnya terpaku pada layar. Gerakan gelisah Rosa membuatnya terusik.“Mikirin siapa?” Suara Liam akhirnya memecah kesunyian. “Rainer?”“Mas!” Rosa menoleh tajam, suaranya tersentak. “Apaan, sih? Orang nggak kenal juga masa dipikirin?”“Lalu mikirin siapa?” Nada suara Liam terdengar semakin dingin. “Raka?”Rosa mengepalkan tangannya, menahan kesal. “Evelyn,” jawabnya dengan penekanan.Sejenak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status