Di hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaannya, Rosa justru dipermalukan di depan ratusan pasang mata. Evelyn, mantan kekasih Liam yang menghilang lima tahun lalu, muncul dengan senyum penuh kemenangan, membawa tuduhan keji yang langsung menghancurkan kepercayaan semua orang. Fitnah itu begitu kejam—menyeret masa lalu yang tidak pernah Rosa lakukan, membuatnya tampak seperti wanita penuh dosa di mata keluarga Liam. Saat cinta dan kepercayaan yang dia jaga dengan sepenuh hati hancur begitu saja, Liam hanya bisa berdiri di antara keraguan dan tekanan dari keluarganya. Apakah Rosa benar-benar seperti yang dituduhkan? Terpojok dan dikhianati, Rosa menolak menyerah. Dia bersumpah akan membuktikan kebenaran dan membersihkan namanya, meski dunia seolah bersekongkol untuk menjatuhkannya. Namun, semakin dalam dia menggali kebenaran, semakin banyak rahasia kelam yang terungkap—termasuk fakta bahwa Evelyn tidak datang sendiri. Ketika nyawanya terancam dan kebohongan semakin menjerat, satu pertanyaan besar menghantuinya: Jika cinta Liam tak cukup kuat untuk bertahan di tengah badai ini, apakah dia masih layak untuk diperjuangkan?
view more"Saya terima nikah dan kawinnya Rosaline binti Rafaelan Dirgantara dengan maskawin tersebut, dibayar tunai."
Suara Liam terdengar mantap, bergema di aula pernikahan yang dipenuhi tamu. Cahaya lampu kristal memantul di kelopak bunga putih yang menghiasi ruangan, menciptakan suasana sakral yang nyaris sempurna. Rosa menatap suaminya dengan senyum lega dengan sepasang mata yang berbinar penuh kebahagiaan. Tangan gemetar itu digenggam erat oleh Liam, seolah ingin menegaskan bahwa sekarang adalah awal baru bagi mereka. Semua orang menahan napas menunggu keputusan penghulu. "Sah!" Suara para saksi menggema serempak, disusul tepuk tangan riuh dari para tamu. Rosa menundukkan kepala, meresapi momen sakral yang baru saja terjadi. Hatinya bergetar, penuh syukur, penuh cinta. Hari ini, dia resmi menjadi istri Liam, pria yang selama ini dia cintai. Senyumnya belum sempat memudar ketika tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu hak tinggi yang menggema di lantai marmer. "Jadi dia yang kamu pilih untuk menggantikanku?" Suara itu dingin, menusuk, penuh dengan kesombongan yang disengaja. Para tamu yang tadinya bersorak mulai berbisik, mencari sumber suara yang tiba-tiba mengacaukan kebahagiaan itu. Dari arah pintu masuk, seorang wanita melangkah dengan penuh percaya diri. Gaun merah ketat membalut tubuhnya dengan sempurna, kontras dengan rambut panjang lurus yang menjuntai indah. Senyumnya tipis, tapi matanya menyala dengan tatapan penuh kemenangan. Liam menegang, tangannya di sisi tubuh mengepal tanpa sadar. Rosa mengikuti arah pandangan semua orang dan jantungnya seolah berhenti berdetak. Wanita itu terlalu cantik, terlalu mencolok, dan kehadirannya membawa hawa yang tidak menyenangkan. "Mas, dia siapa? Apa maksudnya bilang kayak gitu tadi?" tanya Rosa dengan suara yang sangat pelan. "Evelyn." Jawaban yang cukup membuat wanita dalam balutan gaun pengantin merah muda itu terkejut. Evelyn. Nama itu tiba-tiba memenuhi benak Rosa meskipun dia belum pernah bertemu dengannya secara langsung. Wanita yang seharusnya sudah menghilang dari kehidupan Liam lima tahun lalu kini berdiri di hadapan mereka. "Lama nggak ketemu, Liam. Aku kangen," ucap Evelyn dengan nada manja yang dibuat-buat. Suasana yang tadi penuh kebahagiaan berubah tegang dalam sekejap. Bisikan semakin keras, beberapa tamu mulai saling bertukar pandangan tidak percaya. Rosa mengerjap, mencoba memahami apa yang sedang terjadi di hadapannya. "Keluar!" usir Liam dingin, rahangnya mengeras, pertanda bahwa dia sedang berusaha menahan emosi. Evelyn justru semakin mendekat dengan langkah santai seolah pernikahan ini hanyalah lelucon baginya. "Memangnya kamu mau menikahi wanita yang udah nggak suci lagi, Liam?" lanjutnya dengan suara yang cukup lantang untuk didengar semua orang. Tawa kecil keluar dari bibirnya, terdengar meremehkan dan menusuk. Rosa merasakan tubuhnya menegang, wajahnya langsung memanas. Liam langsung menoleh tajam dan air muka jelas menunjukkan amarah. Para tamu semakin gaduh, beberapa orang mulai mengeluarkan ponsel untuk merekam kejadian itu. Evelyn jelas sengaja membuat kekacauan dan dia melakukannya dengan penuh percaya diri. "Maksud kamu apa?" Suara Liam terdengar lebih dingin dari sebelumnya. Wanita yang memakai gaun merah menyala itu memiringkan kepala karena menikmati situasi. Tatapannya lalu beralih ke Rosa, menatap dari atas ke bawah dengan ekspresi seolah dia sedang menilai barang murah. Senyum sinisnya semakin melebar dan dia melanjutkan dengan nada suara yang dibuat dramatis. "Aku cuma kasihan sama kamu, Liam. Kamu pikir dia itu perempuan baik-baik? Jangan bodoh. Selama ini dia cuma membohongi kamu." Rosa merasa perutnya seperti ditinju mendengar kata-kata itu. Detik berikutnya, seorang pria melangkah masuk dari pintu belakang, wajahnya tidak asing bagi sebagian tamu. Evelyn menoleh ke arahnya lalu tersenyum puas membuat Rosa langsung merasa ada yang tidak beres, apalagi ketika pria itu berhenti di samping Evelyn dan menatapnya dengan ekspresi penuh arti. "Kenalin ...." Evelyn berkata dengan nada penuh kepuasan. "Ini Raka. Pria yang dulu pernah tidur sama istrimu." Ruangan langsung bergemuruh. Beberapa tamu langsung menutup mulut mereka karena terkejut. Rosa merasakan tubuhnya membeku, wajahnya seketika memucat. Liam menegang di tempat dengan mata melebar, menatap Evelyn dan pria itu dengan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan. Detik itu juga, kebahagiaan yang baru saja dia rasakan seakan runtuh dalam sekejap. "Apa maksudnya ini?" Suara Liam bergetar, tapi nadanya mengandung kemarahan yang berusaha ditahan. "Mas, aku nggak—" "Maksudku?" potong Evelyn dengan suara lantang ketika Rosa mencoba melakukan pembelaan. Setelah itu, dia melirik Rosa dengan senyum mengejek sebelum menatap Liam lagi, "Ah, sayang sekali kamu sangat mudah dibodohi, Liam. Kamu pikir dia setia ke kamu? Kamu pikir dia perempuan baik-baik? Kamu salah besar." Liam menoleh ke arah Rosa, matanya dipenuhi keraguan. Sementara itu, Rosa kembali membuka mulut karena ingin membela diri, tapi suaranya tercekat. Semua mata kini tertuju wanita dalam balutan gaun pengantin itu seakan menunggu penjelasan. Namun, bagaimana dia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak tahu? "Aku nggak kenal dia, Mas." Rosa akhirnya berhasil bersuara meskipun terdengar lirih. "Aku nggak pernah punya hubungan apa pun sama dia." Evelyn terkekeh kecil, dia menganggap pernyataan Rosa adalah lelucon. Dia pun menatap Raka dengan ekspresi puas, kemudian kembali ke Liam. "Oh, ayolah, Liam. Jangan bilang kamu masih percaya omongannya. Coba tanya Raka sendiri." Pria yang sejak tadi diam itu kini membuka suara. "Aku nggak tahu apa dia ingat atau pura-pura lupa, tapi kami pernah dekat beberapa tahun lalu. Aku masih ingat wajahnya. Dia Rosaline." Pernyataan itu membuat Rosa semakin gemetar. Dia ingin berteriak, ingin menyangkal, tapi kata-kata seakan menguap dari pikirannya. Liam menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan—ada kemarahan, ada kekecewaan, dan yang paling menyakitkan, ada keraguan di sana. "Mas, percaya sama aku. Aku nggak pernah kenal sama dia, apalagi sampai tidur." Rosa mencoba meraih tangan Liam, tapi pria itu justru menarik diri. Evelyn tersenyum puas melihat itu. "Kamu mau tetap menikah dengan perempuan kayak gini, Liam? Aku heran, padahal dulu kamu hanya mau wanita yang benar-benar jadi milikmu. Aku kira kamu masih laki-laki yang sama." "Ini sulit dipercaya." Liam mengembuskan napas keras lalu menatap istrinya dengan ekspresi sulit ditebak. Evelyn tidak berhenti di sana, dia kembali berbicara dengan suara lebih tajam. "Lagian, kamu masih milikku, Liam. Aku nggak peduli dengan pernikahan ini. Aku kembali untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku." Pernyataan itu menggema di seluruh ruangan, membuat Rosa semakin merasa terimpit. Tamu-tamu mulai bergumam, bisikan mereka semakin keras, bahkan beberapa dari mereka terlihat menatap Rosa dengan pandangan mencurigakan. Liam masih diam, seperti berada dalam kebingungan besar. Rosa menatap suaminya, berharap Liam akan membela. Namun, yang dia dapatkan hanyalah keheningan. Hatinya mencelos, ada perasaan sakit yang mulai merayap. Apakah Liam benar-benar akan meragukannya hanya karena omongan Evelyn? Dan untuk pertama kalinya sejak akad tadi, Rosa merasa pernikahannya sudah berada di ambang kehancuran, bahkan sebelum sempat dimulai. "Dia mantan pacar Liam? Gimana kalau dia bohong supaya mereka bisa balikan?" celetuk salah seorang yang hadir di sana."Maaf?" Naina mencoba tersenyum manis meski jelas-jelas merasa tidak nyaman. "Pulang!" ulang Bu Diana dengan tatapan tajam yang tak bersahabat. Naina menghela napas panjang. "Maaf, Bu. Aku nggak bisa. Aku khawatir Liam menyakiti Rosa. Kita sama-sama tamu di sini dan aku nggak akan pulang, kecuali tuan rumah sendiri yang nyuruh." "Saya ini ibunya Liam. Saya berhak di rumah ini!" Mata Bu Diana membulat, penuh amarah. "Sedangkan kamu? Siapa kamu?!" "Aku sahabat Rosa, Bu. Sudah dianggap saudara sejak lama. Dan karena itu, aku nggak akan tinggal diam saat orang-orang memfitnah dia. Aku tahu yang sebenarnya. Aku tahu Evelyn-lah yang menyuruh Raka—" "Kebenaran?" Bu Diana menyela dengan senyum miring. "Kebenaran yang kamu lihat itu palsu. Rosa nggak sebaik yang kamu kira—" "Dan juga tidak seburuk yang mereka katakan, bukan?" potong Naina, tatapannya tajam dan tak gentar. Rahang Bu Diana mengeras. Kedua tangannya terkepal sempurna. Setiap kata dari Naina terasa seperti cambuk yang menya
"Gimana aku mau percaya kalau faktanya emang ada cowok lain di sekitar kamu?!" Suara Liam meninggi, nadanya tajam menusuk. Tapi bukannya melanjutkan adu mulut, pria itu malah memilih melangkah keluar rumah. Bahunya tegang, matanya merah menahan luapan emosi yang sudah di ambang batas. Namun Naina segera menghadang langkahnya. Tubuh mungilnya berdiri kokoh di ambang pintu, matanya menatap penuh keyakinan. "Ini nggak adil." Liam mendengus. "Aku tahu kamu bakal belain Rosa karena dia sahabat kamu. Kamu nggak bakal lihat siapa yang benar dan salah—" "Justru karena aku sahabatnya, makanya aku berdiri di sini!" potong Naina lantang. "Aku yang kenal dia luar dalam aja bisa lihat kebenarannya. Tapi kamu, suaminya sendiri... kenapa malah buta dan tuli?!" Liam terdiam sejenak, tapi tatapannya tetap keras. "Berapa lama kalian pacaran sebelum nikah? Kalian dijodohkan setelah kenal sebulan? Nggak, kan?" "Aku cuma bilang... pacaran bertahun-tahun pun gak jamin kita bener-bener kenal orang."
"Mas, mungkin Bu Lin salah lihat. Gak ada yang anter aku, aku pulang sendiri." Rosa mencoba terdengar meyakinkan, tapi suaranya sedikit bergetar. Jemarinya yang gemetar buru-buru dia sembunyikan di balik lipatan baju. Pandangannya menghindar, takut bertemu dengan mata Liam yang tajam menelisik. Liam menyipitkan mata, memperhatikan setiap gerak-geriknya. "Kamu yakin? Gimana kalau Bu Lin punya bukti?" Nada suaranya tenang, tapi sarat dengan kecurigaan. Rosa menelan ludah. "Mas, aku beneran gak bohong sama kamu." "Tapi Bu Lin juga gak mungkin bohong sama aku, kan, Rosa?" Rosa meremas ujung bajunya, pikirannya berputar mencari alasan yang masuk akal. Dia tahu Liam bukan tipe yang mudah percaya begitu saja. Sorot matanya seolah mencari celah, mencari tanda kebohongan dalam dirinya. "Oh, iya!" Rosa menepuk dahinya, berpura-pura seolah baru mengingat sesuatu. "Tadi ada mobil yang menghadang pas aku lari, Mas. Dia menawarkan bantuan. Dia yang nganter aku. Maaf, aku lupa karena tadi sakin
Cahaya putih dari lampu-lampu neon minimarket menerangi wajah Rosa yang dipenuhi kegelisahan. Aroma kopi instan dan makanan kemasan bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Beberapa pelanggan berlalu lalang, sibuk memilih barang, sementara Rosa justru terpaku menatap Rainer dengan sorot penuh kehati-hatian."Tapi, Rainer ...." Rosa menarik napas panjang, mencoba mengendalikan debaran jantungnya. "Aku nggak mau terlibat masalah lagi. Aku udah cukup tersiksa dengan kehadiran Evelyn dan fitnah yang hampir menghancurkan hidupku. Kalau memang dia masalah, kenapa nggak kamu bawa dia pergi aja? Setidaknya aku bisa sedikit tenang. Kamu tahu, kan, aku udah nikah?"Rainer mendengkus pelan, menatap Rosa tajam. "Kamu pikir semudah itu menghentikan Evelyn? Dia nggak pernah benar-benar mencintai Liam. Dia kembali bukan untuk menebus kesalahan, tapi untuk sesuatu yang lebih besar. Aku yakin dia punya rencana lain.""Entahlah." Rosa menggeleng, suaranya melemah. "Yang jelas, sejak dia mu
Liam terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang dikatakan Rosa. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan yang perlahan tumbuh. Ada sesuatu yang disembunyikan istrinya—sesuatu yang tidak ingin Rosa katakan. “Jadi, kamu tahu dari mana soal Rainer dan Evelyn?” tanya Liam dengan suara yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya. “Aku aja nggak tahu soal itu.” Rosa menghela napas berat. “Kalau gitu, nggak usah nanya, Mas.” “Aku pengen tahu.” Liam menatapnya lekat-lekat. “Evelyn selalu datang dan bilang dia pergi demi kebaikanku. Tapi kalau aku ungkit soal Rainer—” “Tidak!” Rosa memotong cepat. Liam menyipitkan mata. Reaksi Rosa terlalu defensif. Kenapa? Apa dia ingin menutupi sesuatu? Apakah dia takut Rainer berulah dan mendapat masalah? Atau … dia hanya tidak ingin Liam tahu lebih banyak? Atau mungkin … dia melindungi seseorang? Tapi siapam “Kenapa kamu tiba-tiba nggak mau aku tahu?” Liam kembali bertanya, tetapi kali ini suaranya lebih dalam, lebih menekan. Rosa menegang. “
Hujan deras mengguyur kota sejak sore, membasahi kaca jendela dengan butiran air yang terus mengalir. Angin dingin menyelinap melalui celah tirai, membuat suasana malam semakin kelam. Di ruang tengah, cahaya lampu kuning temaram hanya menambah kesan muram. Aroma kopi yang telah lama dingin tercium samar di meja.Rosa mondar-mandir di depan televisi, tidak fokus pada layar yang terus menampilkan berita malam. Jemarinya mengusap layar ponselnya berkali-kali, seolah menimbang sesuatu. Sementara itu, Liam sudah duduk di sofa selama satu jam terakhir, sesekali mengetik di laptopnya. Tapi matanya tak sepenuhnya terpaku pada layar. Gerakan gelisah Rosa membuatnya terusik.“Mikirin siapa?” Suara Liam akhirnya memecah kesunyian. “Rainer?”“Mas!” Rosa menoleh tajam, suaranya tersentak. “Apaan, sih? Orang nggak kenal juga masa dipikirin?”“Lalu mikirin siapa?” Nada suara Liam terdengar semakin dingin. “Raka?”Rosa mengepalkan tangannya, menahan kesal. “Evelyn,” jawabnya dengan penekanan.Sejenak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments