"Maaf?" Naina mencoba tersenyum manis meski jelas-jelas merasa tidak nyaman. "Pulang!" ulang Bu Diana dengan tatapan tajam yang tak bersahabat. Naina menghela napas panjang. "Maaf, Bu. Aku nggak bisa. Aku khawatir Liam menyakiti Rosa. Kita sama-sama tamu di sini dan aku nggak akan pulang, kecuali tuan rumah sendiri yang nyuruh." "Saya ini ibunya Liam. Saya berhak di rumah ini!" Mata Bu Diana membulat, penuh amarah. "Sedangkan kamu? Siapa kamu?!" "Aku sahabat Rosa, Bu. Sudah dianggap saudara sejak lama. Dan karena itu, aku nggak akan tinggal diam saat orang-orang memfitnah dia. Aku tahu yang sebenarnya. Aku tahu Evelyn-lah yang menyuruh Raka—" "Kebenaran?" Bu Diana menyela dengan senyum miring. "Kebenaran yang kamu lihat itu palsu. Rosa nggak sebaik yang kamu kira—" "Dan juga tidak seburuk yang mereka katakan, bukan?" potong Naina, tatapannya tajam dan tak gentar. Rahang Bu Diana mengeras. Kedua tangannya terkepal sempurna. Setiap kata dari Naina terasa seperti cambuk yang menya
"Gimana aku mau percaya kalau faktanya emang ada cowok lain di sekitar kamu?!" Suara Liam meninggi, nadanya tajam menusuk. Tapi bukannya melanjutkan adu mulut, pria itu malah memilih melangkah keluar rumah. Bahunya tegang, matanya merah menahan luapan emosi yang sudah di ambang batas. Namun Naina segera menghadang langkahnya. Tubuh mungilnya berdiri kokoh di ambang pintu, matanya menatap penuh keyakinan. "Ini nggak adil." Liam mendengus. "Aku tahu kamu bakal belain Rosa karena dia sahabat kamu. Kamu nggak bakal lihat siapa yang benar dan salah—" "Justru karena aku sahabatnya, makanya aku berdiri di sini!" potong Naina lantang. "Aku yang kenal dia luar dalam aja bisa lihat kebenarannya. Tapi kamu, suaminya sendiri... kenapa malah buta dan tuli?!" Liam terdiam sejenak, tapi tatapannya tetap keras. "Berapa lama kalian pacaran sebelum nikah? Kalian dijodohkan setelah kenal sebulan? Nggak, kan?" "Aku cuma bilang... pacaran bertahun-tahun pun gak jamin kita bener-bener kenal orang."
"Mas, mungkin Bu Lin salah lihat. Gak ada yang anter aku, aku pulang sendiri." Rosa mencoba terdengar meyakinkan, tapi suaranya sedikit bergetar. Jemarinya yang gemetar buru-buru dia sembunyikan di balik lipatan baju. Pandangannya menghindar, takut bertemu dengan mata Liam yang tajam menelisik. Liam menyipitkan mata, memperhatikan setiap gerak-geriknya. "Kamu yakin? Gimana kalau Bu Lin punya bukti?" Nada suaranya tenang, tapi sarat dengan kecurigaan. Rosa menelan ludah. "Mas, aku beneran gak bohong sama kamu." "Tapi Bu Lin juga gak mungkin bohong sama aku, kan, Rosa?" Rosa meremas ujung bajunya, pikirannya berputar mencari alasan yang masuk akal. Dia tahu Liam bukan tipe yang mudah percaya begitu saja. Sorot matanya seolah mencari celah, mencari tanda kebohongan dalam dirinya. "Oh, iya!" Rosa menepuk dahinya, berpura-pura seolah baru mengingat sesuatu. "Tadi ada mobil yang menghadang pas aku lari, Mas. Dia menawarkan bantuan. Dia yang nganter aku. Maaf, aku lupa karena tadi sakin
Cahaya putih dari lampu-lampu neon minimarket menerangi wajah Rosa yang dipenuhi kegelisahan. Aroma kopi instan dan makanan kemasan bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Beberapa pelanggan berlalu lalang, sibuk memilih barang, sementara Rosa justru terpaku menatap Rainer dengan sorot penuh kehati-hatian."Tapi, Rainer ...." Rosa menarik napas panjang, mencoba mengendalikan debaran jantungnya. "Aku nggak mau terlibat masalah lagi. Aku udah cukup tersiksa dengan kehadiran Evelyn dan fitnah yang hampir menghancurkan hidupku. Kalau memang dia masalah, kenapa nggak kamu bawa dia pergi aja? Setidaknya aku bisa sedikit tenang. Kamu tahu, kan, aku udah nikah?"Rainer mendengkus pelan, menatap Rosa tajam. "Kamu pikir semudah itu menghentikan Evelyn? Dia nggak pernah benar-benar mencintai Liam. Dia kembali bukan untuk menebus kesalahan, tapi untuk sesuatu yang lebih besar. Aku yakin dia punya rencana lain.""Entahlah." Rosa menggeleng, suaranya melemah. "Yang jelas, sejak dia mu
Liam terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang dikatakan Rosa. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan yang perlahan tumbuh. Ada sesuatu yang disembunyikan istrinya—sesuatu yang tidak ingin Rosa katakan. “Jadi, kamu tahu dari mana soal Rainer dan Evelyn?” tanya Liam dengan suara yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya. “Aku aja nggak tahu soal itu.” Rosa menghela napas berat. “Kalau gitu, nggak usah nanya, Mas.” “Aku pengen tahu.” Liam menatapnya lekat-lekat. “Evelyn selalu datang dan bilang dia pergi demi kebaikanku. Tapi kalau aku ungkit soal Rainer—” “Tidak!” Rosa memotong cepat. Liam menyipitkan mata. Reaksi Rosa terlalu defensif. Kenapa? Apa dia ingin menutupi sesuatu? Apakah dia takut Rainer berulah dan mendapat masalah? Atau … dia hanya tidak ingin Liam tahu lebih banyak? Atau mungkin … dia melindungi seseorang? Tapi siapam “Kenapa kamu tiba-tiba nggak mau aku tahu?” Liam kembali bertanya, tetapi kali ini suaranya lebih dalam, lebih menekan. Rosa menegang. “
Hujan deras mengguyur kota sejak sore, membasahi kaca jendela dengan butiran air yang terus mengalir. Angin dingin menyelinap melalui celah tirai, membuat suasana malam semakin kelam. Di ruang tengah, cahaya lampu kuning temaram hanya menambah kesan muram. Aroma kopi yang telah lama dingin tercium samar di meja.Rosa mondar-mandir di depan televisi, tidak fokus pada layar yang terus menampilkan berita malam. Jemarinya mengusap layar ponselnya berkali-kali, seolah menimbang sesuatu. Sementara itu, Liam sudah duduk di sofa selama satu jam terakhir, sesekali mengetik di laptopnya. Tapi matanya tak sepenuhnya terpaku pada layar. Gerakan gelisah Rosa membuatnya terusik.“Mikirin siapa?” Suara Liam akhirnya memecah kesunyian. “Rainer?”“Mas!” Rosa menoleh tajam, suaranya tersentak. “Apaan, sih? Orang nggak kenal juga masa dipikirin?”“Lalu mikirin siapa?” Nada suara Liam terdengar semakin dingin. “Raka?”Rosa mengepalkan tangannya, menahan kesal. “Evelyn,” jawabnya dengan penekanan.Sejenak