Langit malam masih gelap ketika Liam duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang kini terasa lebih berat dari biasanya. Percakapan yang baru saja terjadi masih terngiang di kepala, berputar seperti rekaman yang enggan berhenti. Ada sesuatu dalam nada suara di seberang sana yang membuat pikiran pria itu terusik meskipun hati menolak untuk mempercayai sepenuhnya.
Di depannya, sang istri berdiri dengan tangan bersedekap, tatapannya tajam dan penuh ketidaksetujuan. Dia sudah mendengar semuanya—tentang telepon yang diterima, tentang janji pertemuan yang diminta. Dan yang paling tidak dia suka, tentang kebimbangan yang kini terlihat jelas di wajah pria itu. “Kamu mau ketemu dia, Mas?” Suara wanita itu terdengar dingin, seperti peringatan yang tak perlu diucapkan dua kali. Ada nada ketegasan yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. Liam menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Dia bilang ini soal nyawa, Sayang.” Kalimat itu keluar dengan nada datar, tapi ada ketegangan di dalamnya. Mata mereka bertemu, menyalurkan ketidakpastian yang sama kuatnya dengan keyakinan masing-masing. Keheningan menggantung sejenak, menciptakan ruang yang dipenuhi dengan pemikiran yang bertabrakan. Pria itu tahu, ada luka lama yang belum benar-benar sembuh. Istrinya itu pun tahu, tak mudah meyakinkan seseorang yang pernah terluka untuk tidak jatuh ke lubang yang sama. Liam mengalihkan pandangan ke arah jendela, membiarkan pikirannya bekerja lebih cepat dari perasaan. Dia tak percaya begitu saja dengan ucapan yang baru didengarnya, tapi ada sesuatu yang mengusik naluri. Jika memang ada sesuatu yang lebih besar, maka dia harus memastikan segalanya dengan mata sendiri. "Kalau gitu aku ikut," ucap Rosa dengan suara tegas, seakan tak memberi ruang untuk perdebatan. Rahangnya mengeras, menunjukkan bahwa dia sudah memutuskan sesuatu dan tak akan mengubah pikirannya. Pria dengan hidung bangir itu menatapnya, jelas tak setuju dengan ide itu. "Ros, ini bukan ide bagus," jawabnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut. Dia tahu perempuan di depannya keras kepala, tapi ini bukan sesuatu yang bisa dihadapi bersama. "Tapi dia mantan kamu, Mas. Malah dia jelas-jelas mengakui kamu masih jadi miliknya tadi. Kamu pikir aku gak denger itu semua?" "Seperti aku yang percaya sama kamu. Kamu pun harus percaya sama aku." "Baiklah." Suara Rosa hampir terdengar seperti bisikan. Dia tahu dirinya sulit bertindak karena kehadiran Raka. Namun, wanita itu sudah punya rencana sendiri. Jika suaminya tak mau membawanya serta, maka dia akan menemukan jalan itu sendiri. *** Pagi datang lebih cepat dari yang diharapkan. Matahari sudah tinggi ketika Rosa berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan penuh pertimbangan. Rencana yang dia susun sudah matang dan dia yakin bisa menjalankannya dengan baik. Kunci mobil ada dalam genggaman, langkahnya ringan tapi penuh kehati-hatian. Namun, saat dia baru saja hendak keluar dari kamar, suara lembut, tapi tegas menghentikan langkahnya. "Mau ke mana?" Suara itu datang dari wanita yang lebih tua, yang kini berdiri di ambang pintu dengan ekspresi khawatir. Wajahnya menyiratkan kelelahan, tapi sepasang mata tetap tajam, seakan bisa membaca apa yang sedang direncanakan anaknya. Rosa menelan saliva, berusaha untuk tetap tenang. Dia tak ingin berbohong, tapi juga enggan menjawab dengan jujur. Namun, sorot mata di depannya menuntut kejelasan. "Jangan bilang kamu mau ngikutin suamimu," tebak Bu Rini, kali ini suaranya terdengar lebih tegas. Rosa menggigit bibir, jari-jarinya mengepal di sisi tubuhnya. Dia bisa saja mengelak, tapi sang mama terlalu cerdas untuk dibohongi. Wanita paruh baya yang masih terlihat segar itu mendekat karena berusaha menyampaikan sesuatu, suaranya sedikit melembut. "Zaman sekarang pelakor makin berani, Ros Kamu hati-hati," katanya, penuh kekhawatiran. Kalimat itu membuat hati Rosa bergetar, menyadarkan dirinya akan sesuatu yang selama ini selalu dia takutkan. Dia tak ingin terlihat seperti wanita yang cemburu tanpa alasan, tapi apakah ini hanya soal kecemburuan? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam dari itu? "Tapi Mama tahu Liam ke mana hari ini selain kerja?" "Mama tahu. Tadi waktu kamu lagi mandi, Liam cerita soal Evelyn—" "Dan Mama bilang apa?" "Sudahlah, kamu harus percaya sama Liam. Kamu pun ada masalah yang menyangkut tentang Raka, kan?" Rosa mengangguk lemah. Keinginannya untuk pergi perlahan memudar. Dia tak ingin membuat mamanya semakin cemas, tak ingin menambah beban yang sudah cukup berat di pundaknya. Dengan berat hati, ia memilih untuk tetap tinggal, meski hatinya masih dipenuhi kegelisahan. *** Di sebuah kafe dengan pencahayaan redup, dua orang duduk berhadapan. Aroma kopi menguar di udara, bercampur dengan keheningan yang membentang di antara mereka. Percakapan belum dimulai, tapi tatapan mata sudah cukup untuk menunjukkan ketegangan yang menggantung. Pria itu tetap diam, menunggu lawan bicaranya membuka suara lebih dulu, sementara wanita yang ada di depannya menatap cangkir kopi di tangan, seakan mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya berbicara. "Aku nggak pernah benar-benar pergi karena mau." Suara Evelyn terdengar pelan, hampir seperti pengakuan. Jari-jarinya saling meremas di atas meja, menunjukkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. "Aku pergi buat lindungin kamu, bukan karena aku ninggalin kamu." Liam sengaja mengalihkan pandangan, rahangnya mengeras. Luka lama kembali menganga, meninggalkan sensasi yang dulu pernah begitu menyakitkan. Dia tak ingin mendengar alasan, tapi suara di depannya terus berbicara. Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengamati dari kejauhan. Seorang perempuan duduk di sudut kafe, mengangkat ponselnya dengan gerakan cepat. Jemarinya lincah, menangkap momen yang mungkin akan menjadi awal dari badai baru. Sebuah pesan singkat terkirim dalam hitungan detik, membawa kabar yang bisa mengubah segalanya. "Aku masih ingat semua tentang kita, Liam." Evelyn melanjutkan, suaranya nyaris bergetar. Ada kesungguhan dalam sorot matanya, seakan berharap pria itu akan merasakan hal yang sama. "Dan aku tahu, jauh di dalam hati, kamu masih ingat juga." Jari-jari Liammengetuk meja, pikirannya sibuk memilah-milah kenyataan dan kenangan. Dia tak ingin terjebak di masa lalu, tapi kata-kata itu menggoyahkan benteng yang selama ini dia bangun. Namun, saat ia hendak membuka mulut untuk menjawab, wanita berambut kuning kecokelatan itu kembali bicara. Kali ini, topik yang diangkat membuat mata pria itu menyipit waspada. "Kamu inget Raka, kan?" Nama itu meluncur begitu saja, membawa sensasi tak nyaman dalam dada Liam. Dia menegakkan punggung, menatap lawan bicaranya dengan pandangan penuh selidik. "Aku yakin kamu nggak tau semua tentang istri kamu." "Kamu ngajak aku ketemu cuma buat dengerin ini, Evelyn?" "Liam, aku mencintaimu. Aku gak pernah ninggalin kamu. Di antara kita, kamu yang punya pasangan. Aku berusaha meyakinkan orang tuaku untuk balik ke sini, tapi kabar yang kudengar adalah kamu akan menikah." "Lantas, kenapa kamu datang tepat di hari pernikahanku? Malah menuduh Rosa dan membawa Raka. Sebenarnya apa yang kamu mau?" "Aku mau kamu, tapi tentang Rosa itu bukan kebohongan!" Keheningan langsung memenuhi ruang di antara mereka. Udara di sekitar terasa lebih dingin, lebih menekan. Untuk pertama kalinya dalam percakapan ini, pria itu merasa seakan sedang terjebak dalam permainan yang dia tak mengerti aturannya. "Kalau kamu tahu siapa dia sebenarnya," lanjut perempuan itu, suaranya lebih pelan dan menusuk, "mungkin kamu nggak akan segini percayanya sama dia.""Maaf?" Naina mencoba tersenyum manis meski jelas-jelas merasa tidak nyaman. "Pulang!" ulang Bu Diana dengan tatapan tajam yang tak bersahabat. Naina menghela napas panjang. "Maaf, Bu. Aku nggak bisa. Aku khawatir Liam menyakiti Rosa. Kita sama-sama tamu di sini dan aku nggak akan pulang, kecuali tuan rumah sendiri yang nyuruh." "Saya ini ibunya Liam. Saya berhak di rumah ini!" Mata Bu Diana membulat, penuh amarah. "Sedangkan kamu? Siapa kamu?!" "Aku sahabat Rosa, Bu. Sudah dianggap saudara sejak lama. Dan karena itu, aku nggak akan tinggal diam saat orang-orang memfitnah dia. Aku tahu yang sebenarnya. Aku tahu Evelyn-lah yang menyuruh Raka—" "Kebenaran?" Bu Diana menyela dengan senyum miring. "Kebenaran yang kamu lihat itu palsu. Rosa nggak sebaik yang kamu kira—" "Dan juga tidak seburuk yang mereka katakan, bukan?" potong Naina, tatapannya tajam dan tak gentar. Rahang Bu Diana mengeras. Kedua tangannya terkepal sempurna. Setiap kata dari Naina terasa seperti cambuk yang menya
"Gimana aku mau percaya kalau faktanya emang ada cowok lain di sekitar kamu?!" Suara Liam meninggi, nadanya tajam menusuk. Tapi bukannya melanjutkan adu mulut, pria itu malah memilih melangkah keluar rumah. Bahunya tegang, matanya merah menahan luapan emosi yang sudah di ambang batas. Namun Naina segera menghadang langkahnya. Tubuh mungilnya berdiri kokoh di ambang pintu, matanya menatap penuh keyakinan. "Ini nggak adil." Liam mendengus. "Aku tahu kamu bakal belain Rosa karena dia sahabat kamu. Kamu nggak bakal lihat siapa yang benar dan salah—" "Justru karena aku sahabatnya, makanya aku berdiri di sini!" potong Naina lantang. "Aku yang kenal dia luar dalam aja bisa lihat kebenarannya. Tapi kamu, suaminya sendiri... kenapa malah buta dan tuli?!" Liam terdiam sejenak, tapi tatapannya tetap keras. "Berapa lama kalian pacaran sebelum nikah? Kalian dijodohkan setelah kenal sebulan? Nggak, kan?" "Aku cuma bilang... pacaran bertahun-tahun pun gak jamin kita bener-bener kenal orang."
"Mas, mungkin Bu Lin salah lihat. Gak ada yang anter aku, aku pulang sendiri." Rosa mencoba terdengar meyakinkan, tapi suaranya sedikit bergetar. Jemarinya yang gemetar buru-buru dia sembunyikan di balik lipatan baju. Pandangannya menghindar, takut bertemu dengan mata Liam yang tajam menelisik. Liam menyipitkan mata, memperhatikan setiap gerak-geriknya. "Kamu yakin? Gimana kalau Bu Lin punya bukti?" Nada suaranya tenang, tapi sarat dengan kecurigaan. Rosa menelan ludah. "Mas, aku beneran gak bohong sama kamu." "Tapi Bu Lin juga gak mungkin bohong sama aku, kan, Rosa?" Rosa meremas ujung bajunya, pikirannya berputar mencari alasan yang masuk akal. Dia tahu Liam bukan tipe yang mudah percaya begitu saja. Sorot matanya seolah mencari celah, mencari tanda kebohongan dalam dirinya. "Oh, iya!" Rosa menepuk dahinya, berpura-pura seolah baru mengingat sesuatu. "Tadi ada mobil yang menghadang pas aku lari, Mas. Dia menawarkan bantuan. Dia yang nganter aku. Maaf, aku lupa karena tadi sakin
Cahaya putih dari lampu-lampu neon minimarket menerangi wajah Rosa yang dipenuhi kegelisahan. Aroma kopi instan dan makanan kemasan bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Beberapa pelanggan berlalu lalang, sibuk memilih barang, sementara Rosa justru terpaku menatap Rainer dengan sorot penuh kehati-hatian."Tapi, Rainer ...." Rosa menarik napas panjang, mencoba mengendalikan debaran jantungnya. "Aku nggak mau terlibat masalah lagi. Aku udah cukup tersiksa dengan kehadiran Evelyn dan fitnah yang hampir menghancurkan hidupku. Kalau memang dia masalah, kenapa nggak kamu bawa dia pergi aja? Setidaknya aku bisa sedikit tenang. Kamu tahu, kan, aku udah nikah?"Rainer mendengkus pelan, menatap Rosa tajam. "Kamu pikir semudah itu menghentikan Evelyn? Dia nggak pernah benar-benar mencintai Liam. Dia kembali bukan untuk menebus kesalahan, tapi untuk sesuatu yang lebih besar. Aku yakin dia punya rencana lain.""Entahlah." Rosa menggeleng, suaranya melemah. "Yang jelas, sejak dia mu
Liam terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang dikatakan Rosa. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan yang perlahan tumbuh. Ada sesuatu yang disembunyikan istrinya—sesuatu yang tidak ingin Rosa katakan. “Jadi, kamu tahu dari mana soal Rainer dan Evelyn?” tanya Liam dengan suara yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya. “Aku aja nggak tahu soal itu.” Rosa menghela napas berat. “Kalau gitu, nggak usah nanya, Mas.” “Aku pengen tahu.” Liam menatapnya lekat-lekat. “Evelyn selalu datang dan bilang dia pergi demi kebaikanku. Tapi kalau aku ungkit soal Rainer—” “Tidak!” Rosa memotong cepat. Liam menyipitkan mata. Reaksi Rosa terlalu defensif. Kenapa? Apa dia ingin menutupi sesuatu? Apakah dia takut Rainer berulah dan mendapat masalah? Atau … dia hanya tidak ingin Liam tahu lebih banyak? Atau mungkin … dia melindungi seseorang? Tapi siapam “Kenapa kamu tiba-tiba nggak mau aku tahu?” Liam kembali bertanya, tetapi kali ini suaranya lebih dalam, lebih menekan. Rosa menegang. “
Hujan deras mengguyur kota sejak sore, membasahi kaca jendela dengan butiran air yang terus mengalir. Angin dingin menyelinap melalui celah tirai, membuat suasana malam semakin kelam. Di ruang tengah, cahaya lampu kuning temaram hanya menambah kesan muram. Aroma kopi yang telah lama dingin tercium samar di meja.Rosa mondar-mandir di depan televisi, tidak fokus pada layar yang terus menampilkan berita malam. Jemarinya mengusap layar ponselnya berkali-kali, seolah menimbang sesuatu. Sementara itu, Liam sudah duduk di sofa selama satu jam terakhir, sesekali mengetik di laptopnya. Tapi matanya tak sepenuhnya terpaku pada layar. Gerakan gelisah Rosa membuatnya terusik.“Mikirin siapa?” Suara Liam akhirnya memecah kesunyian. “Rainer?”“Mas!” Rosa menoleh tajam, suaranya tersentak. “Apaan, sih? Orang nggak kenal juga masa dipikirin?”“Lalu mikirin siapa?” Nada suara Liam terdengar semakin dingin. “Raka?”Rosa mengepalkan tangannya, menahan kesal. “Evelyn,” jawabnya dengan penekanan.Sejenak
Evelyn masih duduk di sudut kafe bersama Raka, menatap cappuccino-nya yang sudah dingin. Dia merasa hatinya semakin tidak karuan karena sosok tadi. Siapa dia? Mungkinkah dia orang yang mengenal Evelyn?Raka memperhatikan wajah Evelyn yang tampak gelisah. "Kamu kelihatan nggak fokus," ucapnya pelan, "ada yang mengganggu pikiranmu?"Evelyn menghela napas, meletakkan sendok di tepi cangkir. "Aku cuma merasa aneh, kayak ada sesuatu yang nggak beres."Sebuah suara pintu kaca terbuka, membuat Evelyn spontan menoleh. Seorang pria tinggi masuk, mengenakan jas hitam yang tampak mahal. Langkahnya mantap, seperti seseorang yang tahu persis apa yang dia inginkan.Tatapan Evelyn langsung terpaku pada pria itu. Ada sesuatu yang familiar dari posturnya, cara dia berjalan, dan bagaimana dia membawa dirinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat.Raka memperhatikan perubahan ekspresi Evelyn. "Kenapa? Kamu kenal dia?"Evelyn buru-buru menggeleng meskipun rasa curiganya semakin kuat. "Aku nggak yaki
Rosa menatap Rainer dengan dahi berkerut. Keheranan tergambar jelas di wajahnya."Apa maksudmu, Rainer?" tanyanya dengan nada curiga.Alih-alih langsung menjawab, Rainer tersenyum tipis dan berjalan santai menuju sofa ruang tamu. Tanpa diminta, dia menjatuhkan diri di sana, menyilangkan kaki dengan ekspresi santai seolah ini rumahnya sendiri."Evelyn dan Raka," ucapnya datar, seakan dua nama itu sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.Rosa terdiam sejenak. Kedua alisnya bertaut, dadanya terasa sedikit sesak. Evelyn dan Raka? Ada sesuatu yang mengusik hatinya saat mendengar dua nama itu disebut dalam satu kalimat."Kenapa kamu tiba-tiba nyebut nama mereka? Dan kenapa kamu tahu aku tinggal di sini? Rainer, sebenarnya kamu siapa? Apa waktu itu bukan kebetulan?" tanya Rosa bertubi-tubi, masih mencoba memahami situasi. Dia masih berdiri di dekat pintu.Rainer menarik napas panjang sebelum menjawab, "Aku pernah mendengar pembicaraan mereka di sebuah kafe. Dan, aku mencoba mencari tahu lebih
Liam melangkah masuk ke dalam kafe yang telah disepakati dalam pesan tadi. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, di sudut ruangan, dua sosok yang sudah sangat dikenalnya sedang menunggunya dengan ekspresi puas—Raka dan Evelyn."Kamu akhirnya datang juga," ujar Raka dengan seringai khasnya.Liam menarik kursi dengan kasar dan duduk, menatap keduanya penuh curiga. "Apa yang kalian inginkan?"Evelyn tersenyum, menyilangkan kakinya dengan elegan. "Kami cuma ingin kamu lihat sesuatu."Raka mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan layar chat yang menunjukkan percakapan mesra antara dirinya dan Rosa. Kata-kata dalam pesan itu seolah menunjukkan bahwa Rosa masih memiliki perasaan untuk Raka, seakan-akan dia hanya berpura-pura mencintai Liam.Liam mengepalkan tangannya di bawah meja. "Ini nggak mungkin.""Tapi kamu lihat sendiri, kan?" Raka mendesak. "Nomor dan foto profilnya jelas milik Rosa."Liam menggeleng, menolak percaya. "Aku tahu