Kuusap dada perlahan untuk menetralkan irama jantung yang mendadak tidak karuan.
Aku mengorek telinga, barangkali kotor sehingga salah dengar. Mana mungkin bapak punya utang sebanyak itu? Kalau iya, kenapa selama ini terlihat tenang-tenang saja dan seolah tidak ada beban?
"Bapak punya utang 50 juta? Nggak salah utangnya sebanyak itu? Lima juta kali?" tanyaku masih dengan berbisik dan kututup mulutku dengan tangan agar Pak Purnama tidak ikut mendengarnya.
Bapak menghela napas panjang. "Iya, benar emang segitu. Kamu pikir usaha peternakan bebek Itu modalnya sedikit apa? Menyewa lahan, beli bebeknya yang sudah siap bertelur itu lumayan mahal dan dalam jumlah banyak, beli vitamin, beli pakan, gaji karyawan karena kita tidak bisa mengerjakan sendiri. Kamu tahu sendiri, kan, karyawan kita banyak dan semuanya minta digaji kecuali Vira? Belum lagi untuk beli lampu sebagai penerangan, serta printilan yang lainnya. Yah pokoknya banyak lah. Bapak jelaskan panjang lebar dan detail kamu juga nggak akan paham karena yang kamu tahu hanya minta uang saja," jawab bapak kesal.
Otakku merespon ucapan Bapak. Iya usaha peternakan bebek milik Bapak memang tidak tanggung-tanggung. Di awal Bapak langsung membeli bebek yang sangat banyak karena sekalian, rugi katanya jika hanya sedikit dan itu memang ada benarnya kalau mau usaha sebaiknya jangan setengah-setengah.
Setelah usaha mebel milik keluarga kami bangkrut, Bapak ingin menjadi peternak ayam petelur, tetapi kata orang lebih baik beternak bebek saja karena peternak bebek tidak terlalu banyak risikonya.
Aku nggak pernah ambil pusing dengan usaha bapak. Mau ternak bebek atau ayam terserah, toh aku juga tidak ikut mengelolanya. Yang penting aku bisa makan dan setiap kali minta uang untuk shopping shopping maupun ke salon uangnya ada.
"Tetapi, uang bapak saat ini lebih dari itu, kan?" tanyaku lagi dan berharap ia mengangguk.
"hem hem hem, kenapa kalian malah berbisik-bisik seperti itu? Bagaimana? uangnya sudah ada, kan?" tanya Pak Purnama menghentikan percakapan kami yang berbisik.
Kuusap wajah kasar lalu tersenyum. Gengsi dong, kalau sampai terlihat gugup.
"Tentu, bapak pasti bisa bayar utangnya, iya, kan, Pak? utang Bapak berapa?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku ingin mendengar dari Pak Purnama bukan hanya dari bapak saja.
"Lima puluh juta," jawab Pak Purnama santai.
"Apa? 50 juta?" Aku pura-pura kaget meski nominal uang yang disebutkan Pak Purnama sama dengan yang dibilang bapak.
Aku tertawa hingga membuat dahi bapak mengernyit. "Tidak mungkin Bapak punya utang 50 juta karena selama ini terlihat tenang tenang saja dan seolah tidak punya beban. Yang aku tahu, ya, Pak, orang yang punya utang itu badannya nggak mungkin terlihat segar seperti ini. Ia pasti kurus kering karena pikiran tidak tenang, makan juga nggak enak, tidur pun tidak nyenyak, bahkan ada juga loh yang rambutnya sampai rontok karena terlalu banyak utang, sedangkan Bapak terlihat segar bugar, bahkan terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya," jawabku panjang lebar.
Aku tersenyum setelah berhasil memberikan argumen yang masuk akal.
Pak Purnama menggeleng, mungkin ia salut dengan kepandaianku, "jelaskan pada anakmu ini kalau utang kamu memang 50 juta dan akan dibayarkan secepatnya karena mau kugunakan untuk modal nikah Elang."
"Iya, aku pasti bayar, kok. Cuma 50 juta, kan? Bagiku itu sangat kecil. iya, kan, Bu?" Kali ini bapak melirik ibu dan ibu tersenyum.
"Iyalah, Pak. 50 juta itu kecil bagi kita karena omzet peternakan bebek kita aja lebih dari itu dalam sebulan," jawab ibu dengan senyum lebar.
Wow, benarkah omzet peternakan bebek itu bisa mencapai 50 juta sebulan? Kok aku nggak pernah tahu, ya?
"Kalau gitu, aku mau minta uangnya sekarang juga agar sekalian bisa kujadikan mahar untuk Vira," kata Pak Purnama.
"Apa? Uang sebanyak lima puluh juta mau kamu jadikan mahar untuk Vira?" tanya Bapak dengan nada tinggi.
"Tadi kamu bilang kalau segitu sedikit alias kecil, kenapa sekarang mendadak jadi banyak?"
Bapak kembali menggaruk kepadanya. "Iya, maksudku, uang segitu kalau bagi kami memang kecil, tetapi kalau untuk mahar si Vira, ya, kebanyakan."
"Arman, aku mau uangku kembali sekarang juga dan saat uang itu sudah berada di tanganku nanti, terserah mau kubuat apa. Yang penting uang itu sudah ada sekarang." Pak Purnama mengulurkan tangannya.
"Purnama, aku pasti bayar, kok, tetapi tidak sekarang karena uangku saat ini masih kusimpan di bank. Kamu tahu sendiri, kan, kalau menyimpan uang di rumah itu tidak aman." Bapak tersenyum.
Diam-diam aku mengakui kepintaran bapakku ini dalam mencari alasan agar tidak ditagih utang.
"Betul itu, Pak. Menyimpan uang di rumah itu tidak aman apalagi di rumah ini ada orang lain yang ikut tinggal," sahutku sambil melirik Vira yang sedari tadi diam saja.
"Kamu nggak usah khawatir. Aku akan menunggumu ke bank dan ambil uangnya sekarang juga. Nggak sampai setengah jam, kan?" kata Pak Purnama.
"Ya elah, Purnama, Purnama. Aku pasti bayar utang, kok, tetapi tidak sekarang. Apakah kamu tidak percaya dengan orang yang pernah menjadi sahabatmu ini?" kata bapak.
Pak Purnama menghela napas. "Tadi bilang sudah tidak ingin menjadi sahabatku lagi saat tahu kami tidak punya apa-apa, tetapi saat ditagih utang mendadak ingat kalau kita pernah dekat agar bisa mangkir dari bayar utang. Bagaimana, sih, kamu ini, Man. Jadi orang, kok, tidak punya pendirian."
"Bukannya aku mau mangkir bayar utang, cuma aku nggak mau kamu menunggu terlalu lama di sini saat aku mengambil uang di bank karena jarak dari sini ke bank lumayan jauh," kata bapak.
Tiba-tiba Elang tertawa. "Kalau Bapak memang berniat mau bayar utang, kan, bisa kirim melalui aplikasi M-banking. Transfer uang dengan mudah di mana pun kita berada tanpa perlu repot ke bank,"
"M--M--banking? Apa itu?" tanya Bapak.
Tepuk jidat
PoV ElangAku semakin geram saat mendengar Pak Arman dan keluarganya yang terus menyombongkan diri. Ingin kubungkam mulut mereka dengan apa yang kami punya, tetapi tidak sekarang karena aku yakin jika mereka tahu siapa kami yang sebenarnya pasti akan berubah pikiran. Aku berencana memberi kejutan setelah aku dan Vira resmi nikah nanti agar sudah tidak ada yang mengganggu gugat lagi. Katanya orang kaya, tetapi aplikasi M-banking saja tidak tahu. Orang kaya macam apa itu. "Jelaskan padaku, tetapi bukan isi hatimu, ya, karena kalau itu lagu.Jelaskan padaku apa yang kamu sebutkan tadi? M m apa itu?""M-banking, Pak. Itu adalah aplikasi untuk mengirimkan uang tanpa harus datang ke bank," jawabku. Tatapannya menerawang ke atas dan tangannya memegang dagu. Ia Sedang berpikir keras lalu ia berkata. "Ya ampun, aku sudah bilang, kan kalau uangku aku simpan di bank. Kalian tahu, kan, apa itu bank? Semua orang juga tahu kalau bank adalah tempat penyimpanan uang yang paling aman. Jangan-jangan
Citra masih mengulurkan tangannya untuk meminta ponselku."Ayolah berikan ponselmu padaku agar bapak tahu aplikasi M-banking itu seperti apa.""Pakai saja ponselmu biar aku tunjukkan." Aku menolak memberikan karena tadi aku dan ayah sudah berencana untuk tidak membongkar rahasia kami dulu. "Kenapa kamu nggak mau nunjukin ponselmu? Oh, aku tahu pasti malu karena ponsel kamu sudah jelek atau mungkin jadul? Atau karena ponselnya sudah retak sana-sini dan udah nggak sanggup untuk ganti lagi? Jelek juga nggak papa yang penting masih bisa digunakan sebagai mana mestinya. Kamu nggak usah khawatir, saat kamu menikah dengan Vira nanti, bisa pakai ponsel Vira meski miliknya juga nggak bagus-bagus amat." Rasa kesal yang sudah bergemuruh dalam dada membuatku refleks mengeluarkan benda pipih yang kupunya. "Ini adalah aplikasi M-banking yang kumaksud, Pak. Dengan aplikasi ini Bapak bisa transfer uang tanpa harus ke bank." Aku menyodorkan ponsel pada Pak Arman agar dilihat. Lelaki itu mengambil
Mataku memanas saat melihat pengantinku yang sudah duduk di kursi dengan menunduk. Ternyata kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Aku yang sudah membayangkan Vira terlihat cantik dan beda saat make up, ternyata tidak diapa-apakan sama sekali. Wajahnya masih kusam seperti saat pertama kali aku melihatnya. Pakaiannya juga sederhana berupa kain jarik batik berwarna cokelat dan atasan kebaya berwarna putih dan kerudung panjang dengan warna senada. Yang membuatku semakin masygul adalah semua pakaian yang melekat di tubuhnya itu tidaklah baru. Ibu menggenggam erat tanganku seolah tahu apa yang kurasakan saat ini. Kutahan rasa sesak di dada sambil mensugesti diri kalau semua ini tidak akan lama. Aku tercengang saat melihat penampilan Citra dan ibunya yang terlihat sangat berbeda karena mereka berdua memakai baju baru dan dandan. "Ayo masuk. Kenapa masih berdiri di situ? nggak pengen cepet-cepet halalin si Vira? Dia sudah menunggu dari tadi, lho," kata Citra dengan senyum lebar. Apa maksu
Wanita cantik yang dibilang ibu sebagai MUA itu menggandeng tangan Vira dan meminta untuk menunjukkan di mana kamarnya. Awalnya Vira ragu, aku memberinya isyarat dengan menganggukkan kepala dan tersenyum. "Nurut aja, ya Vir."Wanita itu tidak datang seorang diri melainkan bersama asistennya yang membawa sebuah tas besar berisi pakaian untuk Vira dan aku nanti."Lang, kamu juga perlu make up agar enggak jomplang nanti sama Vira." Ibu tersenyum. Aku mengikuti Vira masuk ke kamarnya dan sungguh batinku menjerit melihat ini. Rumah keluarga citra ini lumayan bagus dan besar, tetapi kamar Vira tidaklah layak disebut sebagai kamar. Ruangan ini tidak memiliki ranjang. Vira tidur di bawah beralaskan kasur yang sudah usang. Geram aku melihatnya. Mataku memanas melihat kondisi kamarnya. Entah kenapa rasa sakit menyusup di sanubari. Namun aku juga tidak habis pikir Kenapa Vira betah tinggal di rumah seperti ini, apalagi penghuninya juga menyebalkan semua. Kenapa ia tidak berusaha pergi saja.
Suasana yang tadinya adem ayem mendadak heboh karena Citra pingsan, entah pingsan sungguhan atau hanya pura-pura. Katanya tidak heran dengan Vira, tetapi baru melihat kunci mobil yang menjadi hadiah pernikahan saja sudah pingsan, bagaimana kalau ia melihat mobilnya secara langsung nanti? Bisa-bisa ia pingsan dan tidak mau bangun lagi karena tidak sanggup melihat orang yang ia hina selama ini bahagia. Sifat sombong memang satu paket dengan sifat iri dan dengki yang paling tidak bisa melihat orang lain bahagia. Bu Tantri-- ibunya teriak histeris melihat anak kesayangannya tergeletak di lantai.Ia dan suaminya menggotong tubuh Citra ke kamar yang ada di sebelah ruangan ini. "Bangun, Cit. Ayo bangun." Bu Tantri menepuk pipi Citra yang masih memejamkan mata. Citra tak bergeming. Tidak ada tanda-tanda untuk membuka mata, hanya dadanya yang terlihat naik turun sebagai pertanda ia masih bernapas. "Aduh, kenapa, sih kamu pakai pingsan segala? dibangunin susah pula." wanita itu menggerutu
"Tunggu Cit, sepertinya aku kenal dengan lelaki yang ada di foto itu." Aku menahan tangan Citra yang sudah bersiap untuk memencet tombol hijau sebagai pertanda kalau ia menerima panggilan itu. Wanita yang make up--nya sudah berantakan itu tertawa lebar. " Mana mungkin lelaki miskin seperti kamu kenal dengan lelaki kaya dan tampan seperti dia. Enggak usah mengada-ngada, deh."Benda pipih nan canggih itu masih saja menjerit karena Citra belum juga menerima panggilan. "Bentar, ya, aku mau bicara dulu sama yayang." Ia tersenyum lalu menggeser gambar telepon lalu menempelkannya di pipi. Ia pasti tidak mau melakukan video call karena sadar wajahnya sangat berantakan saat ini. Wanita seperti dia pasti tidak ingin membuat lelaki yang ia puja menjadi ill feel. "Halo, Sayang apa kabar?" Citra menyapa renyah seseorang di seberang sana. Ia berusaha tersenyum manis meski ia tahu lawan bicaranya tidak melihat senyuman itu. Wanita itu lalu terdiam beberapa saat menunggu jawaban orang itu. "Apa?
"Bagaimana, Vir? kamu suka? Itu mobil kamu sehingga kamu boleh menaikinya kapan pun kamu mau." Aku mengulurkan kunci mobil pada Vira yang masih berdiri mematung seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Vira menerima kunci mobil dengan tangan gemetar. " Tetapi, Aku enggak bisa nyetir," ucapnya lirih. "Nah betul itu, sudah tahu Vira nggak bisa nyetir malah dikasih mobil. Itu sama artinya dengan kambing dikasih burger, tentu saja enggak mau lah alias percuma. Kalau kambing, ya. harusnya dikasih rumput. Sudahlah mobil itu hanya formalitas saja. Buat apa Vira dikasih mobil? Emangnya dia mau ke mana?" ucap Citra sinis. Aku kembali mengelus dada. Mulut wanita ini memang lemas sekali. Aku tersenyum dan mengusap tangan wanitaku ini. Kuabaikan ocehan Citra dan menganggap angin lalu saja. " Kami berencana mendaftarkan kamu kuliah setelah tinggal di rumahku nanti. Jadi kamu bisa pakai mobil itu untuk kuliah. Masalah nyetir? Gampang, nanti aku yang akan ajarin kamu sampai bisa."Citra ke
Vira menghampiri ayah dan ibu yang juga sudah siap.Ia meraih tangan dan ibu lalu menciumnya dengan takzim, hal yang sama juga lakukan pada ayah. "Hati-hati, ya, Vir," seru ibu. "Kamu enggak ikut pergi dengan Vira, Lang?" tanya ibu dengan dahi mengernyit. "Dia bilang ingin pergi sendiri, Bu," "Emangnya dia mau ke mana?""Loh, bukannya tadi pamit sama ibu dan ayah. Nggak tanya dia mau ke mana?"Ibu tersenyum. "Ia hanya bilang ada urusan sebentar dan ibu pikir perginya sama kamu. Ya, udah nggak perlu tanya-tanya lagi kalau sudah pergi sama suaminya, ntar Ibu dibilang sok kepo lagi,"Citra tertawa mendengar obrolan kami. " Kalian mau tahu Vira pergi ke mana? Paling-paling dia mau nemuin si Abdul, tuh," ucapnya dengan nada sinis. "Abdul? Siapa dia?""Abdul itu pacarnya si Vira yang merupakan karyawan bapak juga. Cuma bedanya kalau Vira tugasnya ngambilin telur dan tukang bersih-bersih sedangkan si Abdul ini yang membawa telur ke para pelanggan seperti warung-warung, warung makan, dan