PoV Elang
Aku semakin geram saat mendengar Pak Arman dan keluarganya yang terus menyombongkan diri. Ingin kubungkam mulut mereka dengan apa yang kami punya, tetapi tidak sekarang karena aku yakin jika mereka tahu siapa kami yang sebenarnya pasti akan berubah pikiran.
Aku berencana memberi kejutan setelah aku dan Vira resmi nikah nanti agar sudah tidak ada yang mengganggu gugat lagi.
Katanya orang kaya, tetapi aplikasi M-banking saja tidak tahu. Orang kaya macam apa itu.
"Jelaskan padaku, tetapi bukan isi hatimu, ya, karena kalau itu lagu.Jelaskan padaku apa yang kamu sebutkan tadi? M m apa itu?"
"M-banking, Pak. Itu adalah aplikasi untuk mengirimkan uang tanpa harus datang ke bank," jawabku.
Tatapannya menerawang ke atas dan tangannya memegang dagu. Ia Sedang berpikir keras lalu ia berkata. "Ya ampun, aku sudah bilang, kan kalau uangku aku simpan di bank. Kalian tahu, kan, apa itu bank? Semua orang juga tahu kalau bank adalah tempat penyimpanan uang yang paling aman. Jangan-jangan kalian tidak pernah ke bank, ya?" ucapnya dengan nada sombong lalu mengambil minuman dan menenggaknya sampai habis. Mencerocos terus dari tadi rupanya sudah membuat tenggorokannya kering.
Tepuk jidat, bagaimana aku menjelaskan pada orang yang sepertinya berasal dari zaman pra sejarah ini?
"Iya uangnya kita simpan di bank tapi bisa transfer pakai HP," jawabku sambil menahan rasa kesal.
"Sudahlah, Arman. Bilang saja kamu punya aplikasi M-banking atau tidak?" tanya ayah yang juga ikut geram menghadapi orang-orang yang sok kaya ini dan entah mereka benar-benar kaya atau hanya mengaku-ngaku saja.
"Iya nggak punya lah. Tahu aja enggak, gimana mau punya," jawabnya.
"Oh, kalau gitu ambil uangnya di bank sekarang juga. Aku tunggu," kata Bapak.
Pak Arman tertawa lebar padahal menurutku tidak ada yang lucu. "Purnama, Purnama Kelihatan banget kalau saat ini kamu memang udah nggak punya uang. Ini sudah jam berapa?" Dengan tingkahnya yang sok yes, ia memperlihatkan jam bulat yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Sekarang udah pukul tiga, bank sudah tutup," katanya lagi.
"Oh iya, sekarang ini juga hari Minggu bank tutup, Pak. Waduh kelihatan banget kalau kalian nggak ada pengalaman sama sekali. Hari Minggu disuruh ke bank," sahut Citra dengan bibir maju hingga 5 centi.
Tanganku gatal ingin merobek-robek mulutnya yang lemas itu. Selain itu, telingaku juga terasa panas mendengar hinaan demi hinaan yang terus terlontar dari mulutnya.
Kuakui ia memang cantik dan itu yang membuat aku setuju untuk melamarnya tetapi sekarang aku bersyukur dengan adanya longsor itu, aku jadi selamat dari wanita sombong ini. Seandainya aku datang dengan mobil, ia pasti akan langsung menerima tanpa perlu ada drama seperti ini.
"Dengar, ya kalau ke bank itu harus harus pada saat jam kerja nggak bisa sembarangan. Itupun ambilnya juga lama karena harus ambil nomor antrian dulu, setelah dapat nomor antrian masih harus nunggu dipanggil dan itu butuh waktu lama kadang kalau antrinya lagi banyak harus nunggu berjam-jam. Bahkan harus kutinggal jajan atau jalan-jalan dulu dan kita akan dipanggil sesuai nomor yang sudah kita dapatkan tadi, lalu menuju teller dan bilang kita mau ambil uang berapa." Pak Arman menjelaskan secara detail cara mengambil uang di bank.
Aku dan Bapak hanya manggut-manggut seolah paham dengan apa yang ia ucapkan padahal dalam hati ini ingin mengatakan kalau aku sudah paham tanpa dijelaskan.
"Bagaimana, Pur? Kamu nggak jadi menyuruhku untuk ke bank sekarang juga, kan? Karena sudah pasti banknya tutup. Ingat, ya TUTUP." Pak Arman menekan kata tutup ada ucapannya.
"Aduh, Pak, bank itu tutup, ya, kalau hari Minggu? udah kayak anak sekolah aja kalau gitu," ucapku sambil menahan tawa.
"Lah,iya. Para pegawai bank itu juga perlu istirahat. Makanya kalau hari Minggu dan hari besar tutup," jawabnya dengan bangga.
"Iya, Bank memang tutup karena aku juga pernah lewat bank pada hari Minggu itu sepi, tetapi kalau ATM itu buka setiap hari meski Minggu atau tanggal merah dan buka 24 jam," kata ayah.
"ATM? ATM itu itu jenis makanan apa, ya?" tanya Pak Arman dengan dahi mengernyit. Ya Tuhan, apakah saat ini aku sedang berhadapan dengan manusia purba?
"Citra, kamu, kan anak kuliahan masa, iya nggak tahu dengan yang namanya M-banking, ATM? Nggak masuk akal banget? Jangan-jangan yang kamu bilang kuliah itu bohong, ya?" tanyaku.
"Aku? Siapa yang bilang nggak tahu M-banking dan ATM? Yang nggak tahu itu bapak bukan aku. Kalau aku tahu dengan yang namanya M-banking dan ATM, tetapi memang aku nggak pernah punya. Buat apa? Bapak kan nggak punya? Lagi pula aku paling malas kalau harus ngurus ini itu karena biasanya aku terima uang langsung dari tangan bapak dan uang yang aku terima itu bergepok-gepok tanpa perlu susah payah udah bisa kipas-kipas dengan lembaran uang. Hm, sejuknya," kata Citra sambil mengipasi wajahnya dengan tangan. Ia pasti sedang membayangkan mandi di lautan uang.
"Jadi, kamu tahu dengan apa yang mereka sebutkan tadi, Cit?" tanya Pak Arman.
"He em. Aku tahu, lah, memang mudah kalau kita punya M--banking karena bisa bertransaksi dengan ponsel saja, di mana pun dan kapan pun," kata Citra dengan wajah yang membuatku muak.
"Benarkah bisa transfer uang semudah itu hanya lewat ponsel? Apa aku boleh lihat seperti apa dan bagaimana caranya? Aku mau buat juga soalnya," kata Pak Arman sok gaya.
"Aku nggak punya aplikasinya, Pak," jawab Citra.
"Kalau kamu punya, Lang? Aku ingin lihat, siapa tahu tertarik untuk membuatnya juga." Pak Arman menatapku.
"Jelas punya lah," jawabku.
"Ya udah, ayo tunjukkan pada Bapak agar tahu dan tidak penasaran dengan yang namanya M-banking itu." Citra mengulurkan tangan untuk meminta ponsel padaku.
Aku meringis, bukannya aku pelit tidak mau menunjukkan M-banking, tetapi ponsel yang ada di saku celanaku ini bagus dan harganya mahal. Bisa ketahuan kalau kami orang berada yang dapat membuat mereka berubah pikiran.
"Ayo, Lang. Tunjukkan ponselmu! Nggak usah khawatir, aku hanya mau melihat tanpa berniat untuk memilikinya karena aku juga sudah punya," kata Pak Arman.
Aku melirik ayah, apakah aku harus tunjukkan ponselku yang mahal ini sekarang?
Wanita yang menolak lamaran ku 56Buru-buru aku mengambil ponsel untuk menghubungi Citra, sementara Mas Elang keluar menyusul ibunya Malik untuk memberitahukan berita gembira ini.Aku lega, jika Malik sadar, itu artinya Citra bisa keluar dari rumahku. Iya, selama Citra ada di rumah, aku memang sedikit was-was akan terjadi sesuatu yang buruk, apalagi Mas Elang begitu perhatian pada Citra dan anaknya itu. Saat aku menghubungi Citra, terdengar bayinya sedang menangis. "Halo, Cit. Kamu harus ke rumah sakit sekarang juga. Malik__Telepon terputus sebelum aku selesai berbicara dan saat aku hendak menghubunginya lagi, sudah tidak diangkat. Ya sudahlah, yang penting dia akan segera ke sini untuk menjemput MalikBu Retno bersama Mas Elang berjalan tergesa menuju ruangan, namun dokter segera datang memeriksa keadaan Malik dan memberi isyarat agar kami tidak mendekat dulu karena dia sedang diperiksa. Setelah beberapa lama akhirnya dokter mempersilahkan kami untuk mendekat usai memastikan bahwa
Wanita yang menolak lamaran ku 55PoV Vira"Kamu pasti akan meminta Citra untuk pulang ke rumahnya setelah Malik sembuh, kan, Mas?" tanyaku saat kami berdua berada di dalam kamar.Entah kenapa perasaanku tidak enak semenjak Citra serta kedua orang tuanya ikut tinggal di sini meski mereka bilang hanya sementara, sampai Malik sadar. Ketakutanku ini bukan tanpa alasan. Tadi aku ingin memanggil Citra untuk ikut makan bersama, tetapi sudah keduluan Mas Elang. Akhirnya aku hanya berhenti di depan pintu. "Sini bayinya biar sama aku dulu kalau kamu mau makan," kata Mas Elang. Bayi mungil itu sedang dalam pangkuan Citra sementara paman dan bibi juga tidak ada di kamar. Mereka berdua sedang berjalan-jalan berkeliling rumah ini. "Enggak usah, Lang. Dia bisa di tidurkan saat aku makan." Citra tersenyum lalu meletakkan bayi itu di kasur lalu memberinya selimut kecil berwarna biru bergambar kartun. Bayi yang awalnya diam dan tertidur nyenyak itu menangis saat diletakkan dan tangisannya cukup k
Wanita yang menolak lamaran ku 54"Ada rencana apa, ya, kok sepertinya serius?" tanya Vira sambil menurunkan minuman yang dibawanya. Aku dan ibu saling berpandangan, lalu ibu nyengir dan menggaruk tengkuk. "Itu rencana Citra untuk punya anak laki-laki. Jadi gini, Vir, saat hamil, Citra itu selalu makan makanan yang mengandung protein agar anaknya laki-laki dan sekarang anaknya beneran laki-laki, kan? Itu artinya apa yang terjadi sesuai dengan yang ia rencanakan. Iya, kan, Cit?"Vira manggut-manggut. "Oh, iya, tetapi setiap aku datang ke rumah Citra, ia pasti sedang makan sayur-sayuran hijau," Tepuk jidat. Entah kenapa setiap kali Vira datang ke rumahku pasti sedang makan dan seperti biasa aku sedang makan dengan sayuran karena hanya itu yang ada. Makan telur rebus hanya dua kali sehari dan bukan pada saat Vira datang. "Ya udah. Sekarang minum dulu, ya. Kalau ada apa-apa nanti bilang saja sama Bik Nur." Vira tersenyum manis. Kubalas senyumannya dan mengangguk. Dia memang beruntung
Wanita yang Menolak Lamaranku 53"Aku nggak mau pulang, Bu. Aku ingin tetap di sini. Belahan jiwaku ada disini, tidak mungkin aku pergi meninggalkannya begitu saja." Aku menunduk. "Aku merasa seperti pengecut jika pulang meninggalkan suamiku di sini dalam keadaan koma. Aku ingin dia melihat aku yang pertama kali saat ia sadar nanti." "Citra, kamu harus pulang. Kasihan anak kamu. Kamu juga perlu istirahat. Percayalah, Malik pasti akan baik-baik saja. Kalau dia sadar, Ibu pasti akan segera hubungi kamu," kata ibu mertua mengusap pundakku dengan lembut. Wanita yang beberapa saat yang lalu sempat pingsan setelah mendengar berita mengenai musibah yang menimpa anaknya tersenyum dan mengangguk padaku untuk memberi isyarat agar aku mau menerima tawaran Vira. "Semua ini salahku, Bu. Seandainya aku tidak memaksa Mas Malik untuk mengantarku beli es buah, pasti tidak akan seperti ini keadaannya." Ibu mertua mengulurkan tangan lalu mendekatkan telunjuk di bibirku. "Ssst, jangan bilang sepert
Wanita yang Menolak Lamaranku 52Es buah di tanganku terlepas melihat Mas Malik tertabrak mobil karena menyelamatkan Vira dan Elang yang akan ditabrak mobil dengan cara mendorong mereka ke tepi jalan. Ia terpental hingga membentur aspal. Sedangkan mobil yang menabraknya langsung tancap gas, tidak peduli dengan orang yang sudah ditabraknya. Aku tidak peduli, yang ada di pikiranku saat ini hanya satu yaitu keselamatan Mas Malik. Mengenai si penabrak bisa diurus nanti. Semua terjadi begitu cepat. Aku berlari dan menjerit histeris memanggil namanya yang sudah tergeletak di jalan. Entah apa yang ada di pikirannya sehingga ia memutuskan membahayakan diri sendiri seperti ini demi orang lain. Apakah ia tidak tahu kalau aku begitu membutuhkannya. Suasana jalan yang tadinya rame lancar mendadak macet karena adanya kecelakaan ini.Aku berlari tanpa mempedulikan perutku yang besar ini. Kakiku terasa ringan seolah tidak membawa ada apa-apa di perutku ini. Vira dan Elang masih terjerembab di pin
Wanita yang Menolak Lamaranku 51Ibu terlihat lebih segar daripada dulu saat aku berkunjung ke rumah. Tubuhnya juga sedikit lebih berisi, wajahnya cerah, tidak pucat lagi. Pun dengan bapak, lelaki yang merupakan cinta pertamaku itu terlihat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda. Saat bapak dan ibu datang, aku sedang makan dan kali ini aku makan dengan lauk telur rebus plus oseng labu. Lidah ini memang sudah terbiasa mengecap makanan sederhana tapi jangan ditanya nikmatnya luar biasa.Awalnya mau berangkat ke rumah ibu, tetapi ibu mertua meminta kami untuk makan dulu. Iya, sejak aku hamil, wanita yang sudah melahirkan suamiku itu paling cerewet mengenai urusan makan dan nggak boleh makan sembarangan. "Kamu makan menggunakan alas cobek seperti ini, sedangkan yang lain menggunakan piring?" tanya ibu.Tepuk jidat. Kalau diperhatikan sekilas, aku memang seperti dibedakan di rumah ini. Yang lain makan memakai piring dan aku cukup dengan cobek saja. Kesannya aku adalah menantu yang t