Kami bertiga berpandangan mendengar ucapan calon mertuanya Vira yang ingin mengadakan pesta secara besar-besaran. Tidak lama meledaklah tawa kami hingga suaranya menggema di ruangan ini.
Air mata ibuku sampai berderai. Mungkin ia juga merasakan apa yang kurasakan saat ini yaitu heran dengan ayahnya Elang yang tingkat kehaluannya tidak tanggung-tanggung itu. Bagaimana mungkin mereka bisa mengadakan pesta mewah? Apakah mereka pikir tidak butuh biaya?
"Anda sehat?" tanyaku setelah puas tertawa hingga perutku sakit.
"Kenapa?" lelaki berkumis itu malah balik tanya.
Sepertinya ia tidak sadar kalau ucapannya cukup menggelitik.
"Tadi bilang ingin mengadakan pesta besar-besaran pada pernikahan Vira dan Elang, kan?" tanyaku sambil mengusap air mata tawa.
"Iya. Memangnya kenapa? Salah?" Pak Purnama mengendikkan bahu.
Berulang kali Elang mencubit tangan ayahnya itu, tetapi tidak digubris. Mulutnya masih saja mencerocos.
"Elang adalah anak laki-laki kami satu-satunya. Kamu tahu sendiri, kan, Man, kalau aku punya dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan?" kata Pak Purnama. Kali ini ia menatap bapak.
Bapak mengangguk. "Iya, aku tahu. Kenapa? kalau Elang anak kamu satu-satunya? Apakah ada yang istimewa?"
"Iya, aku ingin mengadakan pesta meriah agar dia bahagia."
Bapak tepuk jidat. "Membahagiakan anak boleh-boleh saja. Menghalu juga boleh karena itu gratis, tetapi jangan terlalu tinggi. Nanti kalau jatuh sakit, loh."
"Betul itu daripada buat pesta meriah yang pasti harus menggelontorkan biaya yang tidak sedikit, lebih baik uangnya untuk beli beras saja," sahut ibu.
"Tetapi, kami__
Lelaki itu tidak melanjutkan kata-katanya setelah Elang mencubit dan melotot pada sang ayah.
"Oh, iya aku sedang berkhayal. Seandainya aku punya banyak uang pasti pesta pernikahan Elang diadakan secara mewah dengan mengundang ribuan orang." Pak Purnama meringis sambil menautkan jari telunjuk dan jempol membentuk huruf O.
"Sayang, itu hanya mimpi. Makanya sekarang bangun, Pak, kalian itu hanya orang miskin. Tidak akan mampu mengadakan pesta mewah seperti putri raja karena yang akan mengadakan pesta mewah itu hanya aku bukan Vira. Karena apa? karena aku pasti dapat orang kaya yang punya segalanya sehingga untuk mengadakan acara pesta seperti yang kuinginkan tak perlu banyak mikir seperti kalian," ucapku sinis.
Sebenarnya kalau dilihat-lihat pakaian ketiga orang itu cukup berkelas, tetapi aku tidak mau tertipu. Zaman sekarang tempat penyewaan baju banyak, kan?
"Sekarang kita kembali ke dunia nyata kalau pernikahan kalian akan diadakan secara sederhana saja. Vira juga tidak keberatan, kan?" tanyaku sambil menatap Vira yang sedari hanya menunduk.
Sepupuku yang menyebalkan itu mengangguk lemah.
"Oh, iya, Vir. Setelah kamu nikah nanti, enggak usah, ya sering-sering datang ke sini. Anggap saja hubungan kita sudah selesai karena aku khawatir kamu ke sini cuman mau pinjam uang dengan alasan ada hubungan keluarga padahal kamu tahu sendiri kan kalau dari dulu hingga kini, kamu itu hanya pembantu di rumah kami tidak lebih," ucapku sinis.
"Baik, aku pastikan setelah menikah nanti, aku tidak akan mengajak Vira datang ke rumah ini lagi karena kami juga malas sekali bertemu dengan orang-orang sombong seperti kalian," jawab Elang.
Aku mendengkus. Vira yang kuajak bicara, tetapi malah ia yang menanggapi.
"Kami orang kaya, nggak ada salahnya kalau sombong," sahut bapak yang tidak terima dengan ucapan Elang.
"Arman, Kenapa kamu berubah?" tanya Pak Purnama.
Dahi bapak mengernyit. "Berubah? Berubah apa maksudnya?"
Bapak lalu tertawa lebar. "Oh, aku tahu aku berubah terlihat tampan, ya, Pur? Aku sekarang sudah punya banyak uang karena usaha peternakan bebek yang kurintis sudah maju dan itu menyebabkan aku bahagia. Bahagia membuat wajah seseorang menjadi lebih cerah meskipun sebenarnya kita ini sudah tidak muda lagi."
Pak Purnama mengangguk. "Syukurlah kalau uang yang kamu pinjam untuk usaha itu sudah mulai menghasilkan. Itu artinya kamu bisa bayar utang, kan?
"Maksudnya apa bayar utang?" tanya bapak. Mukanya mendadak pias dan dahinya berkerut.
Kini giliran Pak Purnama yang tertawa. "Arman, kamu bilang waktu itu ingin pinjam uang karena butuh modal usaha. Usahamu baru saja bangkrut sehingga ekonomi keluargamu terpuruk. Sebagai seorang sahabat yang baik, aku meminjamimu uang. Kamu masih ingat?"
Bapak menciut, lalu menggaruk kepalanya yang sudah pasti tidak gatal.
"Aku masih ingat kamu datang padaku dengan wajah memelas karena butuh uang, tetapi sekarang kamu berubah sombong. Seandainya aku tahu kamu seperti ini, aku tidak akan mudah meminjamkan uang padamu," kata Pak Purnama.
"Sudahlah, Pur. Itu hanya masa lalu. Sekarang roda kehidupan sudah berputar. Aku sudah hidup berkecukupan sekarang dan gantian kamu yang hidup susah karena bangkrut," kata Bapak.
Lalu bapak tertawa renyah, seolah bahagia dengan penderitaan orang sahabatnya itu.
"Baiklah, berhubung kamu sudah punya banyak uang, kamu harus bayar utang secepatnya. Kalau perlu sebelum Elang dan Vira nikah agar dapat kugunakan untuk modal nikah. Bagaimana, Man, apakah uangnya sudah ada?" tanya Pak Purnama.
Aku memegang tangan bapak, lalu berbisik di telinganya. "Utang Bapak sama dia berapa?"
"Lima puluh juta, Cit." Bapak juga menjawab dengan berbisik.
Lima puluh juta? O em ji, ingin rasanya aku menghilang saat ini juga.
Aku tahu kalau bapak memang punya utang pada seseorang karena ia pernah bercerita dan Pak Purnama orangnya, tetapi aku baru tahu kalau utangnya sebanyak itu.
Wanita yang menolak lamaran ku 56Buru-buru aku mengambil ponsel untuk menghubungi Citra, sementara Mas Elang keluar menyusul ibunya Malik untuk memberitahukan berita gembira ini.Aku lega, jika Malik sadar, itu artinya Citra bisa keluar dari rumahku. Iya, selama Citra ada di rumah, aku memang sedikit was-was akan terjadi sesuatu yang buruk, apalagi Mas Elang begitu perhatian pada Citra dan anaknya itu. Saat aku menghubungi Citra, terdengar bayinya sedang menangis. "Halo, Cit. Kamu harus ke rumah sakit sekarang juga. Malik__Telepon terputus sebelum aku selesai berbicara dan saat aku hendak menghubunginya lagi, sudah tidak diangkat. Ya sudahlah, yang penting dia akan segera ke sini untuk menjemput MalikBu Retno bersama Mas Elang berjalan tergesa menuju ruangan, namun dokter segera datang memeriksa keadaan Malik dan memberi isyarat agar kami tidak mendekat dulu karena dia sedang diperiksa. Setelah beberapa lama akhirnya dokter mempersilahkan kami untuk mendekat usai memastikan bahwa
Wanita yang menolak lamaran ku 55PoV Vira"Kamu pasti akan meminta Citra untuk pulang ke rumahnya setelah Malik sembuh, kan, Mas?" tanyaku saat kami berdua berada di dalam kamar.Entah kenapa perasaanku tidak enak semenjak Citra serta kedua orang tuanya ikut tinggal di sini meski mereka bilang hanya sementara, sampai Malik sadar. Ketakutanku ini bukan tanpa alasan. Tadi aku ingin memanggil Citra untuk ikut makan bersama, tetapi sudah keduluan Mas Elang. Akhirnya aku hanya berhenti di depan pintu. "Sini bayinya biar sama aku dulu kalau kamu mau makan," kata Mas Elang. Bayi mungil itu sedang dalam pangkuan Citra sementara paman dan bibi juga tidak ada di kamar. Mereka berdua sedang berjalan-jalan berkeliling rumah ini. "Enggak usah, Lang. Dia bisa di tidurkan saat aku makan." Citra tersenyum lalu meletakkan bayi itu di kasur lalu memberinya selimut kecil berwarna biru bergambar kartun. Bayi yang awalnya diam dan tertidur nyenyak itu menangis saat diletakkan dan tangisannya cukup k
Wanita yang menolak lamaran ku 54"Ada rencana apa, ya, kok sepertinya serius?" tanya Vira sambil menurunkan minuman yang dibawanya. Aku dan ibu saling berpandangan, lalu ibu nyengir dan menggaruk tengkuk. "Itu rencana Citra untuk punya anak laki-laki. Jadi gini, Vir, saat hamil, Citra itu selalu makan makanan yang mengandung protein agar anaknya laki-laki dan sekarang anaknya beneran laki-laki, kan? Itu artinya apa yang terjadi sesuai dengan yang ia rencanakan. Iya, kan, Cit?"Vira manggut-manggut. "Oh, iya, tetapi setiap aku datang ke rumah Citra, ia pasti sedang makan sayur-sayuran hijau," Tepuk jidat. Entah kenapa setiap kali Vira datang ke rumahku pasti sedang makan dan seperti biasa aku sedang makan dengan sayuran karena hanya itu yang ada. Makan telur rebus hanya dua kali sehari dan bukan pada saat Vira datang. "Ya udah. Sekarang minum dulu, ya. Kalau ada apa-apa nanti bilang saja sama Bik Nur." Vira tersenyum manis. Kubalas senyumannya dan mengangguk. Dia memang beruntung
Wanita yang Menolak Lamaranku 53"Aku nggak mau pulang, Bu. Aku ingin tetap di sini. Belahan jiwaku ada disini, tidak mungkin aku pergi meninggalkannya begitu saja." Aku menunduk. "Aku merasa seperti pengecut jika pulang meninggalkan suamiku di sini dalam keadaan koma. Aku ingin dia melihat aku yang pertama kali saat ia sadar nanti." "Citra, kamu harus pulang. Kasihan anak kamu. Kamu juga perlu istirahat. Percayalah, Malik pasti akan baik-baik saja. Kalau dia sadar, Ibu pasti akan segera hubungi kamu," kata ibu mertua mengusap pundakku dengan lembut. Wanita yang beberapa saat yang lalu sempat pingsan setelah mendengar berita mengenai musibah yang menimpa anaknya tersenyum dan mengangguk padaku untuk memberi isyarat agar aku mau menerima tawaran Vira. "Semua ini salahku, Bu. Seandainya aku tidak memaksa Mas Malik untuk mengantarku beli es buah, pasti tidak akan seperti ini keadaannya." Ibu mertua mengulurkan tangan lalu mendekatkan telunjuk di bibirku. "Ssst, jangan bilang sepert
Wanita yang Menolak Lamaranku 52Es buah di tanganku terlepas melihat Mas Malik tertabrak mobil karena menyelamatkan Vira dan Elang yang akan ditabrak mobil dengan cara mendorong mereka ke tepi jalan. Ia terpental hingga membentur aspal. Sedangkan mobil yang menabraknya langsung tancap gas, tidak peduli dengan orang yang sudah ditabraknya. Aku tidak peduli, yang ada di pikiranku saat ini hanya satu yaitu keselamatan Mas Malik. Mengenai si penabrak bisa diurus nanti. Semua terjadi begitu cepat. Aku berlari dan menjerit histeris memanggil namanya yang sudah tergeletak di jalan. Entah apa yang ada di pikirannya sehingga ia memutuskan membahayakan diri sendiri seperti ini demi orang lain. Apakah ia tidak tahu kalau aku begitu membutuhkannya. Suasana jalan yang tadinya rame lancar mendadak macet karena adanya kecelakaan ini.Aku berlari tanpa mempedulikan perutku yang besar ini. Kakiku terasa ringan seolah tidak membawa ada apa-apa di perutku ini. Vira dan Elang masih terjerembab di pin
Wanita yang Menolak Lamaranku 51Ibu terlihat lebih segar daripada dulu saat aku berkunjung ke rumah. Tubuhnya juga sedikit lebih berisi, wajahnya cerah, tidak pucat lagi. Pun dengan bapak, lelaki yang merupakan cinta pertamaku itu terlihat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda. Saat bapak dan ibu datang, aku sedang makan dan kali ini aku makan dengan lauk telur rebus plus oseng labu. Lidah ini memang sudah terbiasa mengecap makanan sederhana tapi jangan ditanya nikmatnya luar biasa.Awalnya mau berangkat ke rumah ibu, tetapi ibu mertua meminta kami untuk makan dulu. Iya, sejak aku hamil, wanita yang sudah melahirkan suamiku itu paling cerewet mengenai urusan makan dan nggak boleh makan sembarangan. "Kamu makan menggunakan alas cobek seperti ini, sedangkan yang lain menggunakan piring?" tanya ibu.Tepuk jidat. Kalau diperhatikan sekilas, aku memang seperti dibedakan di rumah ini. Yang lain makan memakai piring dan aku cukup dengan cobek saja. Kesannya aku adalah menantu yang t