Beranda / Horor / Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari / BAB 34 – Gerbang yang Memakan Jiwa

Share

BAB 34 – Gerbang yang Memakan Jiwa

Penulis: T.Y.LOVIRA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-15 09:38:40

"Kamu pikir gerbang itu hanya butuh darah? Tidak, Naira. Dia lapar… pada dirimu sendiri."

Kalimat itu menggema di lorong gelap yang tak ada ujungnya. Naira tak ingat bagaimana dia sampai di sini. Dindingnya bukan batu, tapi lapisan-lapisan wajah manusia yang bergerak pelan, berbisik, menatapnya dari bawah kulit.

Revan berjalan di sampingnya, tapi tatapannya kosong. Tubuhnya ada di sini—jiwanya entah di mana.

“Ini… bukan mimpi kan?” suara Naira bergetar.

Revan menjawab tanpa menoleh, “Kalau ini mimpi, kau sudah mati saat pertama kali menatap lantai.”

Naira menunduk. Lantai itu… berisi bayangannya sendiri, tapi berulang-ulang, setiap versi menunjukkan ia di momen paling takut: waktu kakeknya meninggal, waktu adiknya nyaris mati, waktu ia menandatangani kontrak.

“Kenapa aku melihat ini?”

“Karena gerbang ini akan memutuskan bagian mana dari dirimu yang pantas hidup. Sisanya…” Revan berhenti, menatap lurus ke depan, “…akan dimakan.”

Di ujung lorong, sebuah pintu hitam berdiri. Pint
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 46 – Bisikan dari Retakan

    “Kau sadar nggak, Naira? Kalau setiap nafasmu sekarang… bukan lagi milikmu.” Suara itu terdengar jelas, padahal tak ada siapa pun di ruangan. Naira menoleh cepat. Hanya kaca balkon yang retak, memanjang seperti saraf terbuka. Dari balik retakan itu, bisikan-bisikan lain ikut menyusup—berlapis-lapis, menirukan suara orang-orang yang ia kenal: ibunya, Linda, bahkan Revan. “Pinjamkan tubuhmu sebentar…” “Atau kami akan mengambilnya tanpa izin.” Keringat dingin menetes dari pelipis Naira. Ia meraih keris, tapi kali ini bilahnya gelap, menolak bersinar. Seakan-akan keris pun ikut takut pada sesuatu yang sedang mencoba keluar dari balik kaca itu. Udara kamar mendadak berubah dingin. Setiap helaan napas Naira keluar seperti asap tipis, padahal AC sudah lama dimatikannya. Retakan kaca makin melebar, bercahaya samar merah dan hitam, seperti akar yang tumbuh terbalik dari langit. Ia mundur satu langkah, tapi bisikan itu terus menekan ke dalam telinga, menusuk saraf-saraf kepala. “Kau per

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 45 – Tamu dari Balkon

    Angin malam menyelusup ke dalam kamar. Tirai berkibar liar, padahal jendela balkon seharusnya terkunci. Naira terbangun oleh suara gesekan logam. Bukan dari pintu, tapi dari arah kaca balkon. KREEEKKK… Kaca itu retak sendiri, membentuk pola akar merah yang menjalar cepat. Dari balik retakan, bayangan hitam menekan masuk, seolah dinding hanyalah kulit tipis yang bisa ditembus. Naira refleks meraih keris di samping bantal. Tapi kali ini, bilahnya dingin, tidak berdenyut. Bayangan itu melangkah keluar dari kaca, tubuhnya tinggi, wajahnya tidak jelas. Hanya matanya—dua lingkaran merah membara seperti bara api. Suara beratnya menggema di seluruh ruangan: “Kau menolak sidang. Maka aku datang sendiri untuk menagih harga.” Naira berdiri, tubuhnya kaku. Kaki menempel ke lantai marmer dingin, seolah tertahan oleh sesuatu yang lebih berat dari rasa takut. Bayangan itu melangkah pelan ke arahnya. Setiap pijakan menimbulkan suara berderak, bukan karena lantai retak, tapi seperti tulang ma

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 44 – Sidang Waktu

    “Bayangkan kalau semua versi dirimu… menatapmu sekaligus.” Itulah yang terjadi. Naira membuka mata, dan di sekelilingnya ada puluhan dirinya—Naira kecil dengan seragam SD, Naira remaja berjerawat, Naira yang hampir jadi TKI dengan koper usang, bahkan Naira yang sudah renta dengan wajah penuh keriput. Semua menatapnya. Tapi tak satupun tersenyum. Di atas mereka, akar merah menjulur seperti lampu gantung raksasa, tiap denyutnya menyalakan wajah-wajah itu dengan cahaya menyeramkan. Di tengah lingkaran, kursi kosong menunggu… kursi yang terbuat dari tulang. Suara bergema dari akar, dalam, berat, bukan manusia: “Duduklah, pewaris. Sidang dimulai. Kau harus memilih siapa dirimu—sebelum aku memilih untukmu.” Bayangan-bayangan itu bergerak. Bukan seperti manusia, tapi seperti potongan cermin hidup yang memantulkan semua masa lalu Naira. Ada yang berbisik, ada yang menangis, ada pula yang menertawakan dengan suara sinis yang menusuk telinga. “Kalau kau memilih jadi aku, kau akan tetap

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 43 – Jalan yang Tak Kembali

    “Aku memilih…” Suara Naira berhenti sepersekian detik sebelum kata terakhir keluar. Tapi kakinya sudah bergerak—menembus riak akar merah, menuju perempuan bergaun bunga itu. Revan memekik, “Naira! Jangan!” Terlambat. Begitu ujung kaki Naira menyentuh riak itu, dunia di sekitarnya pecah menjadi kepingan cahaya. Jalanan, gedung, bahkan langit abu-abu itu tercerai-berai seperti kaca dihempas palu. Yang tersisa hanya tanah hitam dan langit kosong tanpa bintang. Perempuan itu berdiri di depannya, kini wajahnya tak lagi identik dengan Naira. Matanya lebih dalam, kulitnya pucat seperti kertas, dan keris di tangannya bersinar dengan cahaya putih—cahaya yang menusuk mata. “Kau membuat pilihan yang akan memutus masa depanmu sendiri,” katanya pelan. “Tapi ini satu-satunya cara menghentikan Balian Waktu sebelum dia memakan semua jalur.” Naira mencoba berbicara, tapi suaranya tertelan angin yang tiba-tiba berputar kencang. Dari kejauhan, terlihat sebuah pohon raksasa—bukan pohon biasa, tapi

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 42 – Tanda di Langit

    Langit di atas Jakarta tidak lagi biru. Bukan mendung, bukan juga malam. Warna itu… abu-abu pekat, seperti debu yang disapu dari lembaran tua lalu digantung di udara. Naira berdiri di atap gedung parkir, menatap simbol akar raksasa yang perlahan muncul di antara awan. Setiap garisnya berdenyut, mengeluarkan cahaya merah samar—mirip dengan simbol di bawah tulang selangkanya. “Itu tanda kalau Balian Waktu sudah menjejak di dunia ini,” kata Revan, suaranya datar, tapi matanya penuh waspada. Dari bawah, sirine polisi meraung, tapi tak ada kendaraan yang bergerak. Semua macet, orang-orang berdiri mematung, kepala mendongak, mata kosong menatap langit. Penjaga menghampiri Naira, nafasnya berat. “Kalau simbol itu lengkap… waktu akan dilipat. Satu hari kita… bisa jadi seribu tahun bagi dia.” Naira menelan ludah, jarinya secara refleks menyentuh liontin di leher. Getarannya kini konstan, seakan benda itu memanggil sesuatu—atau dipanggil. Revan memutar tubuh, matanya menyapu atap gedung

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 41 – Pesan dari Bayangan

    Jari dingin itu akhirnya menyentuh pundak Naira. Bukan cengkraman keras—hanya sentuhan ringan, tapi cukup membuat lututnya goyah. Saat ia menoleh, bayangan itu tidak menyerang. Ia hanya berdiri… tersenyum tipis dengan bibir yang hampir mirip miliknya. “Kau akan kehilangan semua kalau terus lari.” Suaranya serak, seperti berasal dari paru-paru yang dipenuhi debu. Revan menarik Naira lagi, tapi si bayangan tidak mengejar. Ia justru mengangkat telapak tangan, memperlihatkan sebuah benda kecil—liontin perak berbentuk mata yang terus berputar, meski waktu di sini mati. “Ini milikmu… di masa depan yang sudah kubunuh.” Ucapan itu membuat Naira terhenti. “Kenapa… kau memberikannya padaku?” Bayangan itu tersenyum pahit. “Karena satu-satunya cara menutup gerbang… adalah mengorbankan orang yang memegangnya.” Naira menatap liontin perak itu, kilauannya memantulkan cahaya merah samar dari keris di genggamannya. Jantungnya berdetak cepat meski di Jalur Tanpa Detik, detak itu tak seharusnya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status