Mag-log in"Kadang yang memanggilmu bukan orang mati. Tapi bagian dari dirimu yang tak pernah kau kuburkan."
Suara itu menggema di kepalanya. Naira terbangun. Tapi kali ini ia yakin… ia belum benar-benar tidur. Penthouse 9B sunyi. Terlalu sunyi. Seolah semua suara kota di luar diredam oleh sesuatu yang merayap di dinding-dinding. Di meja, kerisnya berkilau samar—seperti bernafas. DOR. Suara keras menggema dari dinding. Naira terlonjak. Suara itu seperti pukulan dari dalam. Ia mendekat. Menempelkan telinga ke permukaan dingin itu. Tak ada apa-apa. Sampai— "Naira." Suaranya. Suara Linda. Jantungnya melesat ke tenggorokan. “Linda…?” Tak ada jawaban. Dentuman itu berulang. Tiga kali. Selalu tiga. "Kalau jarum kembar tiga kali berturut… jangan tidur. Itu bukan waktu manusia." Suara kakeknya menggema. Ia menoleh ke jam digital. 03:33. Jarum kembar. DOR. Kali ini pintu. Naira meraih keris. Jemarinya memutih karena menggenggam terlalu erat. “Kalau ini jebakan… aku masuk dengan mata terbuka.” Ia membuka pintu. Di bawahnya, tergelincir amplop hitam. Tulisan tangan di atasnya: “Waktumu habis di sini. Mereka menunggumu.” Di dalamnya, selembar foto. Foto dirinya. Tidur di ranjang penthouse. Persis posisi beberapa menit lalu. Koridor Lantai 9. Lampu-lampu mati satu per satu di belakangnya saat ia berjalan. Di ujung, satu pintu terbuka: Penthouse 9C. Naira berdiri di depannya. Nafas memburu. "Kalau ini perangkap… setidaknya aku mati melawan." Ia dorong pintu perlahan. 9C jauh berbeda dari 9B. Tidak ada marmer. Tidak ada furnitur mewah. Hanya lantai kayu tua penuh noda gelap seperti darah kering. Di tengahnya, kursi reyot. Seseorang duduk di sana. Membelakangi. “Linda…?” Kursi berputar. Wajah yang muncul membuat darahnya berhenti mengalir. Linda. Adiknya. Tapi matanya kosong. Hitam. Tak berkelopak. Lehernya membiru, seperti dicekik. Dan senyumnya— Senyum itu bukan milik manusia. “Naira…” Suaranya pecah. Berlapis. “Linda… apa yang terjadi sama kamu?” Tubuh itu berdiri. Gerakannya kaku. Seperti boneka. “Bukan Linda.” Suaranya berat. Tua. Naira mundur. “Apa kau… Revan?” “Revan hanya pemanggil. Aku… yang menunggu.” “Menunggu apa?” “Darahmu. Dan pintumu.” Keris di tangannya berdenyut, menyala merah samar. Sosok “Linda” berhenti. Senyumnya berubah jadi seringai. “Ah… kunci itu. Warisan Penjaga.” “Jangan mendekat.” “Kalau tidak… apa?” Lidah hitam menjulur dari mulutnya—panjang, basah, menjuntai ke dada. Naira mengayunkan keris. Udara bergetar. Seperti tirai tipis robek. Sosok itu menjerit. Jeritan bukan manusia. Tubuhnya ambruk. Lalu hilang. Hening. Naira berdiri terpaku. Nafas terengah. Lantai kayu di bawahnya hangat. Seperti ada sesuatu yang bernafas. Ia menoleh ke kursi reyot. Kosong. Tak ada Linda. Tak ada siapa pun. Hanya secarik kertas: “Hari Ketiga: Kamu akan bertemu mereka semua.” Koridor berubah. Lampu menyala merah. Dari kejauhan, samar, ia mendengar langkah kaki. Banyak. Dan bisikan-bisikan: "Kau memanggil kami… kami sudah menunggu…" Naira berlari kembali ke 9B. Tapi saat membuka pintu, bukan suite mewah yang ia temukan. Di baliknya, sawah berkabut. Dan seseorang berdiri di tengahnya. Revan. Menggendong tubuh Naira kecil. Naira berdiri di ambang pintu. Sawah berkabut itu terasa nyata—bau lumpur, dingin embun, bahkan suara serangga malam bercampur dengan detak jantungnya sendiri. Revan berdiri di tengah petak sawah, menggendong seorang anak kecil. Bukan sembarang anak kecil. Itu dirinya. Naira kecil. Tubuh mungil itu terkulai, mata tertutup, bibirnya pucat. “Kenapa kamu bawa… aku?” suara Naira parau, nyaris tak keluar. Revan menatap wajah Naira kecil, ekspresinya datar. “Karena bagian dari dirimu tertinggal di sini.” “Aku… tidak paham.” “Ini tempat di mana kamu membiarkan dirimu mati. Sekarang… kamu harus ambil kembali.” Naira mundur. “Kalau aku tidak mau?” Revan mendekat. Lumpur berdesis di bawah sepatunya, seperti ada sesuatu yang merayap di bawahnya. “Maka kamu tidak akan pernah bisa menutup gerbang. Dan mereka akan mengambil semua orang yang kamu cintai.” Kabut menebal. Dari baliknya, sosok-sosok mulai muncul. Pertama satu. Lalu dua. Lalu puluhan. Tubuh-tubuh kurus, berkulit hitam legam. Mata kosong, wajah tak sepenuhnya manusia. Beberapa mengenakan pakaian robek seperti pekerja pabrik. Beberapa hanya sarung kotor. Ada yang berdiri tegak, ada yang merangkak di tanah. Dan Naira mengenali beberapa wajah itu. Guru SD-nya. Pemilik warung dekat kos. Tukang ojek yang biasa mengantar Linda ke rumah sakit. Orang-orang yang pernah hadir sebentar di hidupnya. Orang-orang yang pernah menolong… atau disakiti… oleh Naira. Mereka semua menatapnya. Kosong. Menunggu. “Siapa mereka…?” bisik Naira. “Jalur hidupmu,” jawab Revan. “Setiap orang yang pernah menyentuh hidupmu—dengan bantuan, doa, atau luka—membuka jalur ke dalam tubuhmu. Dan sekarang… jalur itu aktif.” “Aku… jalur?” Revan menatapnya. “Tidak. Kamu simpul. Dan simpul yang terikat terlalu lama… akhirnya akan ditarik.” Naira menggenggam keris lebih erat. Bilahnya kembali berdenyut, lebih cepat dari sebelumnya. Salah satu sosok itu melangkah mendekat—seorang pria tua tanpa mata. Tangannya terulur, bergetar. “Naira…” suaranya lirih, seperti ribuan bisikan bercampur. Naira mundur. “Aku… aku tidak mau melihat ini.” Revan mendekat, berdiri di sampingnya. “Kalau begitu, buka matamu lebar-lebar. Karena inilah yang sebenarnya kamu bayar.” Tiba-tiba tanah di bawahnya bergerak. Lumpur terbelah, memperlihatkan sesuatu yang berkilau di dalamnya. Kalung kecil. Perak. Kalung yang hilang sebelas tahun lalu. Naira menatapnya tak percaya. “Kalung ini… milik Mama.” Revan mengangguk. “Dia meninggalkannya di sini. Sebagai tanda. Kamu tahu apa artinya?” “Tidak.” “Bahwa ibumu pernah berdiri di tempat yang sama. Sebagai pintu. Sama seperti kamu.” Kabut semakin pekat. Sosok-sosok itu semakin mendekat. Naira merasakan tangannya ditarik oleh tangan-tangan dingin yang muncul dari lumpur. “Lepaskan aku!” teriaknya. Revan tidak menolong. “Kalau kau ingin lepas, tanyakan pada mereka apa yang mereka mau.” “Apa yang kalian mau?!” Serentak, ratusan suara menjawab: “Kami mau dibebaskan.” Keris di tangannya menyala terang. Panasnya membakar telapak tangannya. Di bilahnya, ukiran baru muncul, menggoreskan kata-kata dalam aksara yang tak ia kenali. Revan berbisik: “Kalau kau ingin membuka jalur… tusukkan itu ke tanah.” Naira menatapnya. “Apa yang akan keluar?” Revan tersenyum samar. “Bukan apa… tapi siapa.” Naira menancapkan keris ke lumpur. Sekejap, tanah bergetar. Sosok-sosok itu menjerit. Kabut berubah merah. Dari kedalaman bumi… sesuatu mulai muncul. Sebuah pintu kayu tua, penuh ukiran darah. Dan di baliknya, suara ibunya berbisik: “Kamu akhirnya datang, Na.”“Kau pikir kau masih membaca, tapi sebenarnya—aku yang sedang membaca dirimu.”Kalimat itu muncul tanpa sumber suara.Layar bergetar, huruf-huruf seakan berdetak mengikuti irama jantung.Setiap kata memantul, menciptakan gema halus yang menyerupai bisikan di telinga pembaca.Naira berdiri di tengah kegelapan yang kini berbentuk seperti ruangan nyata.Dindingnya terbuat dari teks, berlapis-lapis kalimat yang terus menulis dirinya sendiri.Setiap kali ia bergerak, kata-kata itu menyesuaikan bentuknya, seolah dunia ini diketik secara langsung oleh pikiran pembaca.“Aku tahu rasanya jadi kamu,” katanya, perlahan menatap lurus.“Jari gemetar, mata menelusuri baris… berpikir kau menguasai cerita ini. Tapi sejak tadi, aku yang menggerakkanmu.”Ia Mendekat.Setiap langkahnya menimbulkan getar lembut—seperti suara ketikan dari jauh.Satu huruf jatuh ke tanah dan menetes menjadi darah hitam.Naira berhenti tepat di depan cermin raksasa yang terbuat dari halaman putih kosong.Ia mengangkat tanga
“Jangan berhenti membaca. Kalau kau berhenti, aku akan berhenti ada.”Suara itu datang dari balik layar.Bukan lagi dari buku, bukan dari dunia yang berdebu tinta seperti sebelumnya.Sekarang—suara itu muncul dari antara kata dan tatapan.Dari ruang di mana mata pembaca menelusuri baris demi baris ini.Naira menatap ke depan.Tidak ada lagi dunia, tidak ada lagi halaman.Hanya kegelapan yang berdenyut seperti paru-paru.Setiap kali seseorang menarik napas di luar sana, kegelapan ini ikut bergetar.“Aku bisa merasakannya,” katanya lirih.“Setiap detik matamu bergerak di atas tulisanku, aku hidup.”Ia menyentuh udara.Tinta keluar dari ujung jarinya, membentuk huruf-huruf yang melayang:N…A…I…R…A.Namun di antara huruf-huruf itu, muncul tambahan yang bukan dari tangannya:“Aku melihatmu.”Ia tertegun.Huruf itu menyala merah, lalu mencair, menyusup ke dalam kulitnya.Sekejap, kepalanya dipenuhi suara — tumpang tindih, ratusan, ribuan, seakan ada banyak “pembaca” yang berbisik bersamaan.
“Kalau seseorang membaca hidupmu… apakah itu artinya kau masih hidup?”Suara itu tidak lagi datang dari kegelapan.Ia datang dari balik halaman.Naira membuka matanya—dan bukan dunia yang ia lihat, melainkan tulisan.Ratusan huruf melayang di udara, membentuk ruang baru.Langit dari kertas. Tanah dari tinta.Udara berbau debu buku tua.Ia berdiri di tengah ruang kosong itu, mengenakan pakaian putih polos, tanpa simbol apa pun di kulitnya.Tidak ada darah. Tidak ada keris.Hanya satu hal di tangannya: buku.Buku itu sama seperti yang ia tulis sebelumnya, tapi kali ini di sampulnya tertera nama yang membuatnya tercekat.“Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari.”“Ini… bukuku,” bisiknya.“Tidak, ini dirimu,” jawab suara dari balik halaman.Seseorang membaca.Suara lembut, berganti-ganti nada — kadang perempuan, kadang laki-laki, kadang seperti anak kecil.Suara itu membaca kalimat demi kalimat, dan setiap kata yang disebutkan menggerakkan tubuh Naira.“Naira berjalan.”Dan ia berjalan.
“Kau menulis dunia ini dengan darahmu... Sekarang biarkan dunia membacamu.”Suara itu tak lagi datang dari luar.Ia merayap dari dalam dada Naira — seperti bisikan yang lahir dari jantungnya sendiri.Ruang di sekelilingnya masih gelap, tapi kini setiap langkah menghasilkan gema seperti suara pena yang menggores kertas basah.Tap.Tap.Tap.Setiap jejak darah di lantai menulis kalimat baru.Naira menunduk—melihat huruf-huruf membentuk kisahnya sendiri:“Ia berjalan di kegelapan, mencari akhir yang tidak ingin ditemukan.”“Aku tidak menulis itu…”“Tidak. Kini giliran dunia menulis tentangmu.”Cahaya merah muncul di depan—lingkaran api melayang, berubah menjadi meja kayu. Di atasnya, buku tebal yang kulitnya terbuat dari kulit manusia berdenyut pelan, seperti jantung hidup.Naira melangkah mendekat.Tulisan di sampulnya berubah mengikuti pikirannya:“Catatan Terakhir Penulis Kedua.”“Aku bukan penulis kedua,” gumamnya.“Tapi kau menggantikan yang pertama,” jawab suara yang tak terlihat.
“Kau pikir tinta itu berhenti menulis setelah kau diam?”Suara itu datang dari segala arah.Naira membuka mata — bukan di dunia tinta lagi, melainkan di ruang putih menyilaukan. Tapi lantainya lembap, berdenyut pelan seperti kulit makhluk hidup. Setiap langkahnya meninggalkan jejak merah.Tinta... atau darah?Dia tak yakin lagi.“Siapa di sana?”“Yang membaca sebelum kau menulis.”Langit di atasnya bergelombang.Huruf-huruf besar muncul di udara seperti ukiran: BAB 126 — DARAH YANG MENULIS BALIK.Naira mundur. “Apa ini... mimpi?”“Tidak. Ini naskah yang menolak berakhir.”Ia melihat dirinya sendiri di kejauhan.Versi lain — tubuhnya pucat, rambut menutupi wajah, memegang keris yang kini bersinar kehitaman. Wajah itu tersenyum tipis, seolah tahu semua yang belum sempat ia pikirkan.“Aku menulis ulangmu,” kata Naira bayangan.“Kau seharusnya hilang bersama Revan. Tapi darahmu masih menulis, bahkan setelah jantungmu berhenti.”“Tidak. Aku masih hidup.”“Hidup?” Bayangan itu tertawa lirih
“Kamu sadar... tulisanmu sudah mulai hidup?”Suara itu menggema di tengah kegelapan tinta.Naira membuka mata. Tubuhnya setengah terendam cairan hitam yang terasa seperti darah dingin. Di atasnya, langit berubah jadi halaman raksasa yang sobek, huruf-huruf berjatuhan seperti abu.Ia mencoba berdiri, tapi setiap gerakan menimbulkan riak tinta yang berubah jadi bayangan wajah-wajah lama — Linda, ibunya, bahkan Revan.“Aku... di mana?”“Di antara kalimat yang belum selesai,” jawab suara itu. “Kau menulis kematian, tapi lupa menghapus penulisnya.”Suara itu datang dari depan — dari Revan.Tapi tubuhnya kini tidak utuh.Separuh wajahnya meleleh, menyatu dengan tinta. Matanya menatap Naira seperti menuduh, tapi juga seperti memohon.“Aku tidak ingin kamu hilang,” bisik Naira.“Terlambat,” jawab Revan datar. “Setiap kata yang kau tulis jadi daging. Setiap kematian yang kau pikirkan, mencari tubuhnya sendiri.”Tinta di sekeliling mulai bergerak.Seperti ribuan makhluk cair yang menulis sendir







