Share

Bab 4 – Gerbang Pertama

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-25 18:22:52

"Semua ibu adalah gerbang. Tapi tidak semua anak berani masuk."

Hujan turun seperti tirai yang menutup pandangan.

Langit Jakarta menghitam seperti senja, padahal jam di pergelangan tangan Naira baru menunjukkan 07:06.

Ia berdiri di tengah sawah berkabut—atau apa pun ini. Jari-jarinya masih menggenggam keris yang tertancap di lumpur. Tapi sekarang, tanah di depannya… telah berubah.

Pintu kayu tua itu berdiri tegak. Ukirannya rumit, bercampur dengan simbol-simbol yang terasa… hidup.

Dan dari baliknya, suara itu memanggil:

“Kamu akhirnya datang, Na.”

Naira kaku.

Suara ibunya.

Dia mendekat, pelan.

Setiap langkah membuat suara tanah berdesis, seperti ada sesuatu yang merayap di bawah kulit bumi.

“Bu…?”

Tak ada jawaban.

Hanya pintu itu yang bergetar.

Tiba-tiba, Revan berdiri di sampingnya.

Dia menyentuh ukiran di pintu. Jemarinya meninggalkan bekas merah, seperti darahnya sendiri menyerap ke dalam kayu.

“Gerbang pertama. Pintu milikmu. Pintu yang ibumu tinggalkan.”

“Apa yang ada di baliknya?”

Revan menatapnya. “Apa pun yang kamu sembunyikan dari dirimu sendiri.”

“Aku tidak mengerti—”

“Kamu akan mengerti. Begitu kau membukanya.”

Naira memegang gagang pintu itu.

Dingin. Seperti menyentuh mayat.

Dia menarik napas panjang.

“Kalau aku buka… apa aku bisa menutupnya lagi?”

Revan tersenyum samar. “Itu bukan pertanyaan yang seharusnya kau tanyakan.”

“Lalu apa?”

“Pertanyaannya… siapkah kau kehilangan seseorang begitu gerbang ini terbuka?”

Naira mundur setengah langkah.

“Siapa yang akan hilang?”

Revan menatap lurus ke matanya. “Siapa pun yang masih kamu genggam erat di dunia.”

Hening.

Bayangan Linda, ayahnya, dan bahkan ibunya sendiri melintas di kepalanya.

“Ini bukan penyelamatan, Na,” suara Revan datar. “Ini penyerahan. Gerbang tidak pernah memberi tanpa mengambil.”

Pintu bergetar.

Dari celahnya, cairan hitam menetes ke tanah. Berbau anyir, seperti darah busuk.

Naira hampir muntah.

Lalu ia mendengar suara ibunya lagi:

“Kalau kamu masuk, Na… kamu akan tahu kenapa aku pergi sebelas tahun lalu.”

Jantungnya menghantam keras.

“Bu… kamu di dalam?”

“Masuk. Dan kamu akan tahu siapa dirimu sebenarnya.”

Revan melangkah mundur, membiarkannya sendiri di depan pintu.

“Keputusan ada padamu. Tapi waktu tidak menunggu.”

Jam di tangannya berdetak cepat—aneh, jarumnya bergerak tak karuan.

Naira menutup mata.

“Kalau ini caranya menyelamatkan mereka…”

Ia mendorong pintu itu.

Gelap.

Bukan gelap biasa. Gelap yang menelan cahaya, menelan suara, menelan dirinya.

Udara berubah. Berat. Menyesakkan.

Ia melangkah masuk.

Dan tiba-tiba… ia tidak lagi berdiri di sawah.

Sebuah rumah kayu.

Rumah kakeknya.

Aroma dupa menyergap.

Lantai bambu berderit di bawah kakinya.

Di sudut ruangan, ada meja kecil. Di atasnya, sebuah buku.

Tulisannya samar, tapi ia bisa membacanya:

“Catatan Penjaga Kelima.”

Tangannya bergetar saat membuka halaman pertama.

"Kalau kamu baca ini… berarti aku sudah mati. Dan kamu sudah melihat wajah pertamamu."

“Selamat datang di warisanmu.”

Suara itu membuatnya menoleh.

Ibunya.

Berdiri di ambang pintu.

Pakaian basah. Mata merah. Tapi wajahnya… bukan wajah yang ia ingat.

“Bu…”

Ibunya mendekat.

“Aku pernah di sini sebelummu. Aku pernah jadi pintu. Tapi aku menutupnya. Dan kamu… membuka lagi.”

“Kenapa kamu pergi dari kami?”

Ibunya diam. Air matanya jatuh.

“Karena darah Penjaga… tidak boleh berkeluarga. Dan aku memilih melanggar.”

Naira mundur.

“Apa maksudmu…?”

“Setiap nyawa yang lahir dari darah Penjaga… akan dipanggil kembali ke gerbang. Kamu… seharusnya tidak ada, Na.”

Keris di tangan Naira mendadak berdenyut.

Panas. Membakar kulitnya.

Ia menjatuhkannya ke lantai.

Tapi bilah itu tetap berdiri sendiri. Menancap pada bambu, mengeluarkan suara seperti desis ular.

Revan muncul di belakang ibunya.

“Kamu lihat? Bahkan pintumu tidak ingin kau pergi.”

Naira mundur ke dinding.

“Kenapa aku?!”

Revan mendekat.

“Karena kamu warisan terlarang. Kamu gerbang yang tidak seharusnya ada.”

Pintu kayu di belakang ibunya terbuka pelan.

Dan dari celahnya… muncul tangan-tangan hitam.

Menarik tubuh ibunya perlahan ke dalam kegelapan.

“Na… jangan ikut aku!” teriaknya sebelum hilang.

Naira berlari.

Tapi yang tertinggal hanya kerisnya—menyala merah darah.

Dan buku di meja itu, dengan halaman terakhir yang kini terbuka:

“Hari Keempat: Buka gerbangmu. Atau keluarga yang tersisa akan hilang satu per satu.”

Naira tidak bergerak. Tubuhnya kaku di sudut rumah kayu itu.

Warisan terlarang. Kata-kata Revan terus bergaung di kepalanya.

Dia melirik buku di meja. Halamannya bergulir sendiri, meski tak ada angin.

Tulisan berikutnya tertera dengan tinta merah, seperti baru ditulis:

"Gerbang pertama tidak membuka jalan keluar. Ia membuka jalan pulang."

“Pulang ke mana?” bisiknya.

Revan mendengar, meski ia tak menatapnya. “Ke asalmu. Ke yang menunggu darahmu sejak sebelum kau lahir.”

“Aku… bukan bagian dari mereka,” Naira gemetar.

Revan mendekat. “Kalau begitu… buktikan.”

Tiba-tiba, listrik menyambar.

Tidak mungkin ada listrik di rumah tua ini, tapi kilatan itu nyata. Membelah kegelapan, menyingkap dinding penuh simbol yang tak ia kenali—lingkaran, keris, angka berulang: 9, 3, 6.

Naira menatap angka itu. “Kenapa selalu angka ini muncul?”

Revan tak menjawab. Ia hanya tersenyum samar.

Di luar rumah, hujan deras turun. Tapi suaranya bukan air. Lebih mirip bisikan.

Bisikan-bisikan yang mengulang namanya:

“Naira… Naira… buka gerbangmu…”

Ibunya mencoba melawan tangan-tangan hitam yang menariknya ke celah pintu.

“Na… jangan masuk ke sini!”

“Bu!” Naira mencoba maju, tapi kakinya menempel di lantai. Lengket.

Bambu di bawahnya berubah jadi daging. Denyutnya terasa di telapak kakinya.

“Lepaskan aku!!!” teriaknya.

Revan menyentuh pundaknya. “Kalau kau ingin ibumu kembali… buka gerbang sepenuhnya. Biarkan apa pun yang ada di baliknya keluar.”

Naira menoleh. “Apa yang akan keluar?!”

Revan mendekatkan wajahnya. Matanya gelap, seperti menyimpan jurang.

“Bukan apa… tapi siapa. Dan begitu ia keluar, kamu tak akan pernah bisa berpura-pura jadi manusia biasa lagi.”

Tangannya gemetar.

Ia meraih keris yang masih menancap di lantai. Bilahnya kini menyala—merah darah bercampur hitam.

Suara kakeknya terngiang:

"Kalau jarum kembar tiga kali berturut, jangan tidur. Itu bukan waktu manusia."

Dia menoleh ke jam tua di dinding. Jarumnya kembar. Lagi.

03:33.

Detaknya bukan tik… tik… tik…

Tapi dup… dup… dup.

Detak jantung.

Ibunya menjerit. Suaranya hilang ditelan pintu yang menutup sendiri.

Naira berlari, menabrak Revan, mencoba membuka pintu itu.

Tapi kayu itu hidup.

Gagangnya melilit lengannya seperti tangan manusia. Menahan.

“Lepaskan aku!”

“Pilihannya sederhana,” kata Revan tenang. “Buka gerbang. Atau biarkan keluargamu ditelan satu per satu.”

Naira menatapnya. “Kalau aku buka… apa aku bisa selamatkan mereka?”

Revan mendekatkan wajahnya, membisikkan satu kata ke telinganya:

“Tidak.”

Suara dari balik pintu kembali terdengar.

Kali ini bukan hanya ibunya.

Suara Linda.

Suara ayahnya.

Bahkan… suara dirinya sendiri.

Semua memanggil namanya bersamaan:

“Naira… Naira… buka gerbangmu…”

Tangannya terasa mati rasa. Tapi ia tahu: ia tidak bisa mundur.

Keris di tangannya mendadak menyerap darahnya sendiri. Bilah itu berdenyut seperti makhluk hidup.

Dia mengangkatnya.

Menatap Revan untuk terakhir kalinya.

“Kalau aku buka… apa aku masih jadi aku?”

Revan menatapnya lama. “Itu tergantung… siapa yang paling keras memanggilmu di balik sana.”

Naira menancapkan keris ke tengah pintu.

Suara jeritan membuncah.

Bukan dari satu orang. Dari banyak.

Kayu itu pecah. Darah menyembur dari celahnya.

Dan dari kegelapan… mata-mata tak terhitung jumlahnya menatap balik ke arahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 9– Bayangan di Balik Cermin

    " Cermin tidak sekadar memantulkan. Cermin memperlihatkan siapa yang menunggumu di baliknya." Naira terbangun dengan kepala berat. Pagi itu aneh. Jakarta masih ada di luar jendela, tapi langitnya seperti terbuat dari abu. Ia duduk di lantai, punggung menempel dinding, merasakan nadi di leher berdetak terlalu cepat. Ia menoleh ke cermin besar di sisi ranjang. Dadanya langsung mengencang. Di sana, berdiri sosok-sosok gelap. Awalnya kabur, tapi perlahan membentuk siluet tubuh manusia. Ada tujuh bayangan. Mata mereka tak punya bola mata—hanya lubang hitam. Dan salah satunya… mulai mendekat ke permukaan kaca. Wajahnya muncul samar. Kirana. Sahabatnya. Tapi bukan Kirana yang ia kenal. Wajah itu rata, bibirnya menyatu, dan suara yang keluar bukan suara manusia: “Enam lagi… lepaskan kami… atau kami lepaskanmu.” Naira terhuyung mundur, lututnya terbentur meja. “Pergi… ini nggak nyata… kalian bukan dia!” Ibunya muncul dari pintu kamar mandi, wajahnya pucat. “Mereka tidak perg

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab10-Darah Sebagai Mata Uang

    "Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. Naira membuka mata perlahan. Cahaya samar dari lampu darurat membuat penthouse terlihat seperti bangkai kapal yang

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 10 – Darah sebagai Mata Uang

    "Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. “Kau kira memilih nama cukup, Naira?” “Aku sudah beri mereka apa yang mereka mau. Mereka puas.” “Untuk semalam.” Revan

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 8 – Tumbal yang Hilang

    "Setiap pintu yang dibuka… akan menagih darah. Bahkan kalau itu pintumu sendiri." Gedoran di pintu tak berhenti. DUK! DUK! DUK! Setiap hentakan membuat lantai bergetar. Asap hitam merembes dari celah, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Naira mundur. Keris di tangannya semakin berat, seperti menolak dipegang. “Apa yang mereka mau?” Ibunya menatapnya, mata kosong. “Harga.” “Untuk apa? Aku sudah melakukan yang kau minta!” “Tidak cukup.” DUK! Suara itu makin dekat. Seolah pintu bukan sekat, hanya kulit tipis antara dunia mereka dan dunia Naira. TV menyala sendiri. Revan duduk di sana, gelap di belakangnya, hanya wajahnya terlihat. “Kau pikir memutus satu rantai selesai? Tidak, Naira. Kau sudah memberi mereka jalan. Sekarang mereka lapar.” “Siapa mereka?!” “Yang menunggu di balik pintu. Yang kakekmu jaga. Yang menagih setiap penjaga baru.” Lampu-lampu padam. Tinggal cahaya merah samar dari simbol di tangan Naira. Bisikan mengisi ruangan. Suara anak-anak, peremp

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 7 – Rantai yang Diputus

    "Orang pertama yang kau maafkan… harusnya yang paling ingin kau lupakan."Kertas di lantai masih basah oleh darah dari tangan Naira. Kata-kata di atasnya menyala samar, seperti ditulis dari dalam kertas dengan tinta yang masih hidup:“Luka pertama diterima. Sekarang tentukan: siapa yang melukai—dan siapa yang harus disembuhkan.”Naira duduk di pojok ranjang, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti ada banyak mata mengawasinya, walau kamar itu terlihat kosong.Ibunya—atau sosok yang mengambil bentuk ibunya—duduk di kursi dekat jendela. Tatapannya teduh tapi hampa. “Kau tahu apa artinya itu, kan?”“Tidak,” suara Naira pecah.“Kau harus memutus satu rantai. Melepaskan satu nama yang mengikatmu. Dan memaafkannya… sepenuhnya.”Naira memandang tangannya. Simbol merah itu berdetak seperti nadi. “Kalau aku memaafkan mereka… apa yang terjadi?”“Kau kehilangan mereka dari hatimu. Untuk selamanya. Ikatan itu terputus. Dan luka itu berhenti berteriak.”“Tapi… kalau aku nggak mau?”Ibunya menunduk. “M

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 6 – Luka Pertama

    "Luka pertama bukan yang paling dalam. Tapi yang paling kamu tutupi." Naira terbangun. Penthouse lenyap. Ia berdiri di rumah kayu tua. Aroma bambu basah dan tanah lapuk menusuk hidung. Dindingnya kusam, jendela berdebu, dan udara dingin merayap seperti tangan yang mencari kulit. Tapi ada yang lebih mengganggu: semua warnanya kelabu, seperti dunia ini hanya bayangan yang gagal mati. Di sudut ruangan, duduklah Revan. Namun bukan Revan yang ia kenal. Wajahnya lebih muda, tatapannya tak setajam biasanya. Di pangkuannya, duduk Naira kecil—sekitar tujuh tahun—dengan pipi penuh bekas cakaran dan mata bengkak. Naira tak bisa bergerak. “Apa… ini?” Revan tak menjawab. Naira kecil mengangkat wajah, menatapnya. “Kamu meninggalkan aku.” Naira mundur setapak. “Aku… nggak pernah meninggalkan kamu.” “Kamu berhenti dengar aku,” suara itu parau, tapi menusuk. “Kamu buang aku waktu pertama kali kamu disakiti.” Tiba-tiba, dinding rumah berubah. Seperti layar film rusak, berganti potongan-poto

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status