LOGIN"Kalau kamu pikir hanya keluargamu yang bisa jadi taruhan, kamu belum cukup menderita."
Map di meja terbuka sendiri. Naira mendekat perlahan. Di dalamnya, tujuh foto. Satu per satu ia tarik keluar. Wajah-wajah yang ia kenal. Kirana, sahabatnya di SMA. Pak Edwin, mantan bosnya di pabrik. Guru SD-nya. Pemilik warung dekat kos. Tukang ojek yang biasa mengantar Linda ke rumah sakit. Anak kecil yang pernah ia selamatkan dari kecelakaan. Dan terakhir—Revan. “Kenapa dia ada di sini…?” bisiknya. Ibunya berdiri di sudut ruangan. Wajahnya tegang. “Itu… daftar pengikat.” “Pengikat?” “Orang-orang yang membuka jalur ke hidupmu. Lewat bantuan, luka… atau doa.” Naira menatap foto-foto itu. Tangan gemetar. “Kalau mereka diincar… artinya…” “Kamu bukan hanya pintu, Na,” kata ibunya lirih. “Kamu simpul. Semua jalur berhenti di tubuhmu.” TV menyala. Revan muncul di layar. Tapi kali ini, ia tidak sendirian. Enam orang berdiri di belakangnya, wajah mereka ditutupi kain putih. “Selamat datang di Hari Kelima,” kata Revan. “Hari di mana kamu belajar… simpul harus diputus. Dengan memilih siapa yang hidup. Dan siapa yang mati.” “Aku nggak mau main lagi, Revan.” Revan tersenyum dingin. “Tapi kau sudah bermain. Dan kau tahu aturannya—yang diam, ikut dihukum.” Salah satu sosok di belakangnya merintih. “Na… ini Kirana… tolong…” Naira menahan napas. Itu benar-benar suara sahabatnya. Dia menoleh ke ibunya. “Apa maksud semua ini?” Ibunya berjalan mendekat. “Kalau kamu tidak memilih, mereka akan mati… perlahan. Satu per satu. Kamu akan menonton semuanya.” “Jadi… aku harus menulis satu nama?” Ibunya mengangguk. “Bukan untuk menyelamatkan mereka. Tapi untuk memutus rantai yang sudah terlalu lama terikat.” Revan mendekat ke kamera. “Kalau kamu masih ragu, biar aku yang pilih.” “Tidak!” teriak Naira. Sebuah amplop hitam tergelincir dari bawah pintu. Di luarnya, tulisan tangan: “Tulis namanya. Atau kehilangan semuanya.” Naira memungut amplop itu. Tangannya gemetar. Ia memejamkan mata. Wajah-wajah itu muncul di benaknya. Kirana, Pak Edwin, anak kecil itu… Semua pernah jadi titik terang di hidupnya. “Kenapa bukan musuhku saja?” bisiknya. “Kenapa selalu mereka yang baik?” Ibunya menatapnya kosong. “Karena ikatan kasih… paling kuat. Dan pengorbanan terbesar… harus datang dari cinta.” Naira mengambil pena. Di kertas kosong itu, ia menulis dengan huruf besar: “AKU MEMILIH DIRIKU SENDIRI.” Melipatnya, memasukkannya ke amplop. TV bergetar. Layar berubah merah. Revan menatapnya lama. “Kau pikir kau bisa selamatkan semua orang… dengan mengorbankan dirimu?” Naira mengangkat dagunya. “Aku bukan mengorbankan diri. Aku mau mengerti. Aku mau memutus semuanya.” Revan tersenyum tipis. “Bagus. Kalau begitu… kita mulai.” Lantai penthouse bergetar. Sebuah lingkaran hitam muncul, membentuk simbol di bawah kakinya. Telapak tangan Naira berdarah—entah dari mana. Darahnya menetes ke lantai, diserap oleh simbol itu. Suara-suara muncul dari dinding. Jeritan. Tawa. Doa. Dan di antara semua itu… suara kakeknya: “Kalau kamu buka jalur pertama, jangan berharap mereka pergi dengan tenang.” Keris di meja melompat sendiri ke tangannya. Bilahnya menghitam, seperti menelan cahaya. Revan berbisik lewat layar: “Selamat datang di simpul pertamamu. Semoga kau masih berdiri… saat simpul terakhir diputus.” Naira menancapkan keris ke lantai. Cahaya merah menyembur. Foto-foto itu terbakar tanpa api. Dan di dinding… angka besar muncul sendiri: 6. Enam jalur tersisa. Naira menatap angka itu di dinding. 6. Angka itu berdenyut samar, seolah ditulis oleh darah yang masih hidup. “Apa maksudnya, Revan?” “Enam jalur tersisa,” jawabnya datar. “Enam orang yang harus kau lepaskan… sebelum gerbang kedua bisa dibuka.” “Lepaskan…?” “Maafkan. Hapus. Korbankan. Pilih istilah yang kamu suka. Intinya sama: mereka tidak akan pernah lagi jadi bagian dari hidupmu.” Naira menggeleng cepat. “Aku tidak bisa.” Revan melangkah mendekat ke kamera. “Kau bisa. Kau sudah memilih dirimu sendiri. Itu awal yang tepat.” Ibunya memegang bahunya. “Na… jangan pikir ini tentang benar atau salah. Ini tentang bertahan.” Naira menepisnya. “Aku tidak mau memilih siapa yang harus hilang dariku. Aku sudah kehilangan terlalu banyak!” “Kalau begitu,” suara Revan menajam, “biarkan aku pilih. Percayalah, caraku jauh lebih… cepat.” TV mati mendadak. Tapi layar menampilkan refleksi wajah Naira sendiri. Hanya saja… di bayangan itu, matanya hitam seluruhnya. Seperti wajahnya bukan lagi wajahnya. “Kamu mulai berubah,” suara Revan terdengar dari balik layar. Ibunya menarik Naira menjauh. “Kalau kau biarkan dia memegang kendali, kamu akan hilang sebelum waktunya. Jalur itu akan menelanmu.” “Apa maksud Mama… jalur itu?” “Setiap orang yang terhubung denganmu adalah jalan masuk. Kalau kamu tidak menutupnya… mereka akan gunakan tubuhmu. Seperti yang mereka gunakan untuk Linda kemarin.” Naira memegang dadanya. Nafasnya berat. Tubuhnya terasa dingin, seperti setengahnya sudah bukan miliknya. “Kalau begitu… bagaimana cara menutupnya?” Ibunya menatap keris. “Itu kuncinya. Tapi setiap jalur yang ditutup… butuh darah.” “Darahku?” Ibunya mengangguk. Naira meremas gagang keris. Ia menatap foto-foto di lantai. Kirana. Pak Edwin. Guru SD-nya. Orang-orang yang pernah menjadi bagian kecil dari hidupnya. “Kenapa harus mereka?” suaranya pecah. Ibunya menjawab lirih, “Karena hanya ikatan yang paling kau sayangi… yang bisa menutup jalur. Luka kecil tak pernah cukup.” Tiba-tiba, suara di luar pintu menggema. Ketukan pelan. Tiga kali. “Na…” Suara itu. Kirana. “Buka pintunya… tolong aku…” Naira mendekat. Tubuhnya bergetar. “Tidak mungkin… kamu di sini.” Dia menempelkan telinga ke pintu. “Na… aku tidak tahu aku di mana… tolong…” Naira memejamkan mata. “Ini jebakan… ini bukan dia…” “Kalau kamu tidak buka, mereka akan ambil aku, Na…” Ibunya berteriak, “Jangan dengar! Itu bukan dia!” Naira mundur, jatuh terduduk di lantai. Kertas dan foto berserakan di sekelilingnya. Enam wajah. Enam jalur yang harus diputus. Keris di tangannya mendadak panas. Seperti mendesak. Pilih. Sekarang. Dia menggigit bibir. Matanya basah. “Aku… aku tidak tahu harus mulai dari siapa.” Suara Revan muncul lagi, entah dari mana. “Kalau kau tak bisa memilih… biar aku buatkan pilihannya. Tapi ingat… aku tidak punya belas kasihan.” Lingkaran hitam muncul di lantai, lebih besar dari sebelumnya. Cahaya merah merambat, membentuk simbol-simbol asing di sekeliling tubuhnya. Darah Naira menetes ke pola itu, tanpa ia sadari. TV menyala sendiri. Revan berdiri di ruang gelap, dikelilingi api kecil. “Selamat, Naira. Kamu baru saja mengikatkan dirimu pada ritual pertama. Tidak ada jalan kembali.” “Kalau aku… berhenti sekarang?” “Kalau kau berhenti… jalur itu terbuka selamanya. Dan mereka akan masuk. Semua.” Ibunya mendekat, berlutut di depannya. “Kalau kamu mau hidup, kamu harus bertindak sekarang. Tidak ada waktu.” Naira menatap foto-foto itu lagi. Satu per satu wajah itu terasa menatap balik padanya. “Kirana… maaf.” Dia menulis satu nama di kertas baru. Tangannya gemetar. Melipatnya, menaruhnya di tengah lingkaran. Begitu kertas itu menyentuh lantai, lingkaran menyala. Jeritan terdengar dari balik TV—suara Kirana. Lalu hening. Foto-foto lain terbakar tanpa api. Dan angka di dinding berubah: 5.“Kadang akhir bukanlah penutupan—melainkan pintu yang akhirnya memilih untuk tetap terbuka.” Cahaya emas yang memancar dari dalam ruang kebenaran hampir membutakan segalanya. Naira mengangkat tangan, menahan silau yang terasa menusuk sampai tulang. Ketika cahaya itu mereda— sosok Lira berdiri di tengah lingkaran batu. Tapi bukan Lira yang Naira kenal. Rambutnya tersapu angin yang tak ada, melambai seperti serpihan cahaya. Urat-urat emas berpendar lembut di sepanjang kulitnya, dan matanya… matanya bukan lagi mata manusia biasa. Itu adalah mata seseorang yang telah melihat segala kebenaran dunia. Naira nyaris tidak bernafas. “Lira…?” Sosok di hadapannya tidak berkedip. Tidak bergerak. Tidak tersenyum. “Halo… Naira.” Suaranya lembut—tapi terlalu jernih, terlalu tenang, seolah ia berbicara dari dua dunia sekaligus. Bayangan Naira berdiri di sisi kanan, memandangi Lira baru dengan tatapan campuran kagum dan resah. “Well,” gumam nya rendah, “dia memilih menjadi bukan kau,
“Kebenaran bukanlah cahaya. Ia adalah pisau: ia menyinari sambil membelah.” Saat gempa itu mengguncang udara, Naira menempelkan telapak tangannya pada pintu batu yang baru saja menelan Lira. Dinginnya bukan dingin biasa—dingin itu seperti menusuk sampai tulang, seperti ingin menandai dirinya. “Lira…” bisiknya, nyaris tidak terdengar. Bayangan Naira berdiri beberapa langkah di belakang, memperhatikan dengan sorot mata penuh rasa puas bercampur ancaman. “Kau tahu,” katanya pelan, “begitu dia masuk, ruang itu akan memotong setiap lapisan realitas. Tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan.” Naira menoleh cepat. “Kalau kau tahu apa yang ada di balik pintu itu, kenapa kau biarkan dia masuk?” Bayangannya tersenyum tipis. “Kau benar-benar lupa siapa aku.” Ia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang merayap. “Aku bukan penjaga. Aku bukan saksi. Aku adalah kau… tanpa rasa kasihan.” Naira mencengkeram keris, siap menyerang. Tapi tiba-tiba— PINTU BERGETAR. Retakan emas menye
“Jawaban paling sunyi bisa mengguncang dunia lebih keras daripada teriakan.” Kata itu—kata yang Lira pilih—tidak pernah benar-benar terdengar oleh telinga manusia. Tapi dunia mendengarnya. Dan dunia bereaksi. Dalam sekejap, hutan tinta mati yang tadinya membeku langsung meledak dalam badai tinta. Pohon-pohon hitam melengkung ke belakang, seolah ditiup angin dari mimpi buruk. Tanah bergetar seperti ada makhluk raksasa bangun di bawah sana. Naira mencengkeram lengan Lira, menariknya mundur dari semburan tinta yang tiba-tiba menyambar dari segala arah. “LIRA! Apa yang kau katakan barusan!?” Lira terengah, tubuhnya melemah. “Aku… aku tidak tahu. Aku… hanya mengatakannya dengan hati.” Naira Gelap tertawa keras—tawa yang terdengar seperti kaca pecah. “Kalau begitu… dunia sudah memilih.” Naira menatap langit, berharap ia salah. Tapi huruf merah yang semula mencoba menulis: ”Naira Gel—” Kini terpecah. Benar-benar terpecah. Huruf-huruf itu berjatuhan seperti pecahan cermin, l
“Sebuah pilihan tidak menunggu kesiapan. Ia menagih konsekuensinya, bahkan sebelum kita sempat memahami apa yang kita lakukan.” Kata itu keluar dari mulut Lira begitu pelan, begitu patah, hingga Naira nyaris tidak mendengarnya. Namun dunia mendengar. Seluruh hutan tinta mati mendengarnya. Tanah langsung bergemuruh, seperti ratusan makhluk di bawah permukaan bangun bersamaan. Pohon-pohon tinta bersandar ke arah Lira—bukan jatuh, tapi membungkuk, seperti menyambut penguasa baru. Naira membeku. “Lira… apa yang kau katakan barusan?” Lira memegang dadanya, wajahnya bingung dan ketakutan. “Aku… aku tidak tahu. Kata itu keluar begitu saja…” Naira Gelap tersenyum lebar, senyum yang mengiris udara. “Karena dunia hanya butuh kehendak. Dan kehendakmu adalah undangan.” Naira menghunus keris, menyingkirkan tinta yang mulai merayap ke kaki Lira. “Jangan sentuh dia lagi!” bentaknya. Bayangan itu mengangkat tangan seolah tak peduli pada ancaman. “Dia tidak menolak. Itu sudah cukup unt
“Beberapa kebenaran tidak membebaskan. Ia menghancurkan, lalu memaksa manusia memilih serpihan mana yang ingin ia simpan.” Hutan tinta mati terasa lebih sunyi daripada kuburan. Setiap pohon seakan mencondongkan tubuhnya, menunggu kata pertama dari pertarungan dua Naira. Aroma besi dan tinta menguasai udara, bercampur dengan ketegangan yang menekan dada. Naira memegang kerisnya erat, tapi jarinya bergetar halus—gerakan yang nyaris tidak terlihat, kecuali bagi orang yang mengenalnya. Lira menyadarinya. “Naira… apa pun yang dia katakan, jangan—” “Diam,” Naira memotong cepat. Ia tidak bermaksud membentak. Tapi suaranya mengandung ketakutan yang nyata. Bayangannya—Naira Gelap—mengamati dengan mata berkilat puas. “Lihat? Satu kalimat dariku saja sudah membuat tanganmu gemetar. Kau tahu kenapa?” Ia mendekat beberapa langkah, gerak tubuhnya lentur namun berbahaya. Naira mencoba meraih kendali dirinya. “Karena kau berbohong. Kau hanya ingin membuatku goyah sebelum bertarung.” Na
“Bayangan menjadi berbahaya ketika ia mulai percaya bahwa ia adalah yang asli.” Begitu kaki Naira dan Lira menjejak hutan tinta mati, dunia terasa berubah seketika—seperti masuk ke perut makhluk raksasa yang sedang tidur. Aroma logam bercampur tinta kental memenuhi udara. Pohon-pohon hitam menjulang seperti tulang patah, dan tanah berdenyut pelan, seolah punya nadi sendiri. Lira tersentak saat pijakannya menekan sesuatu yang licin. Ia menunduk. Tinta hitam. “Naira… tempat ini seperti—seperti dunia yang membusuk.” Naira memeriksa keris leluhur di tangannya. Cahaya putihnya meredup, tercekik oleh pekatnya kegelapan. “Ini bukan dunia yang membusuk…” Ia menatap sekeliling tajam. “Ini dunia yang menunggu untuk hidup kembali.” Dan sesuatu yang menunggu hidup kembali biasanya memiliki kehendaknya sendiri. Termasuk bayangannya. Angin bertiup dari arah timur, membawa suara lembut yang terdengar sangat familiar—terlalu familiar. “Kau datang juga…” Lira langsung merinding dari uj







