Share

Bab 5 – Simpul Darah

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-25 18:23:15

"Kalau kamu pikir hanya keluargamu yang bisa jadi taruhan, kamu belum cukup menderita."

Map di meja terbuka sendiri.

Naira mendekat perlahan. Di dalamnya, tujuh foto.

Satu per satu ia tarik keluar.

Wajah-wajah yang ia kenal.

Kirana, sahabatnya di SMA.

Pak Edwin, mantan bosnya di pabrik.

Guru SD-nya.

Pemilik warung dekat kos.

Tukang ojek yang biasa mengantar Linda ke rumah sakit.

Anak kecil yang pernah ia selamatkan dari kecelakaan.

Dan terakhir—Revan.

“Kenapa dia ada di sini…?” bisiknya.

Ibunya berdiri di sudut ruangan. Wajahnya tegang. “Itu… daftar pengikat.”

“Pengikat?”

“Orang-orang yang membuka jalur ke hidupmu. Lewat bantuan, luka… atau doa.”

Naira menatap foto-foto itu. Tangan gemetar. “Kalau mereka diincar… artinya…”

“Kamu bukan hanya pintu, Na,” kata ibunya lirih. “Kamu simpul. Semua jalur berhenti di tubuhmu.”

TV menyala.

Revan muncul di layar. Tapi kali ini, ia tidak sendirian.

Enam orang berdiri di belakangnya, wajah mereka ditutupi kain putih.

“Selamat datang di Hari Kelima,” kata Revan. “Hari di mana kamu belajar… simpul harus diputus. Dengan memilih siapa yang hidup. Dan siapa yang mati.”

“Aku nggak mau main lagi, Revan.”

Revan tersenyum dingin. “Tapi kau sudah bermain. Dan kau tahu aturannya—yang diam, ikut dihukum.”

Salah satu sosok di belakangnya merintih.

“Na… ini Kirana… tolong…”

Naira menahan napas. Itu benar-benar suara sahabatnya.

Dia menoleh ke ibunya. “Apa maksud semua ini?”

Ibunya berjalan mendekat. “Kalau kamu tidak memilih, mereka akan mati… perlahan. Satu per satu. Kamu akan menonton semuanya.”

“Jadi… aku harus menulis satu nama?”

Ibunya mengangguk. “Bukan untuk menyelamatkan mereka. Tapi untuk memutus rantai yang sudah terlalu lama terikat.”

Revan mendekat ke kamera.

“Kalau kamu masih ragu, biar aku yang pilih.”

“Tidak!” teriak Naira.

Sebuah amplop hitam tergelincir dari bawah pintu.

Di luarnya, tulisan tangan:

“Tulis namanya. Atau kehilangan semuanya.”

Naira memungut amplop itu.

Tangannya gemetar.

Ia memejamkan mata. Wajah-wajah itu muncul di benaknya. Kirana, Pak Edwin, anak kecil itu…

Semua pernah jadi titik terang di hidupnya.

“Kenapa bukan musuhku saja?” bisiknya. “Kenapa selalu mereka yang baik?”

Ibunya menatapnya kosong. “Karena ikatan kasih… paling kuat. Dan pengorbanan terbesar… harus datang dari cinta.”

Naira mengambil pena.

Di kertas kosong itu, ia menulis dengan huruf besar:

“AKU MEMILIH DIRIKU SENDIRI.”

Melipatnya, memasukkannya ke amplop.

TV bergetar. Layar berubah merah.

Revan menatapnya lama. “Kau pikir kau bisa selamatkan semua orang… dengan mengorbankan dirimu?”

Naira mengangkat dagunya. “Aku bukan mengorbankan diri. Aku mau mengerti. Aku mau memutus semuanya.”

Revan tersenyum tipis. “Bagus. Kalau begitu… kita mulai.”

Lantai penthouse bergetar.

Sebuah lingkaran hitam muncul, membentuk simbol di bawah kakinya.

Telapak tangan Naira berdarah—entah dari mana. Darahnya menetes ke lantai, diserap oleh simbol itu.

Suara-suara muncul dari dinding.

Jeritan. Tawa. Doa.

Dan di antara semua itu… suara kakeknya:

“Kalau kamu buka jalur pertama, jangan berharap mereka pergi dengan tenang.”

Keris di meja melompat sendiri ke tangannya.

Bilahnya menghitam, seperti menelan cahaya.

Revan berbisik lewat layar:

“Selamat datang di simpul pertamamu. Semoga kau masih berdiri… saat simpul terakhir diputus.”

Naira menancapkan keris ke lantai.

Cahaya merah menyembur.

Foto-foto itu terbakar tanpa api.

Dan di dinding… angka besar muncul sendiri:

6.

Enam jalur tersisa.

Naira menatap angka itu di dinding. 6.

Angka itu berdenyut samar, seolah ditulis oleh darah yang masih hidup.

“Apa maksudnya, Revan?”

“Enam jalur tersisa,” jawabnya datar. “Enam orang yang harus kau lepaskan… sebelum gerbang kedua bisa dibuka.”

“Lepaskan…?”

“Maafkan. Hapus. Korbankan. Pilih istilah yang kamu suka. Intinya sama: mereka tidak akan pernah lagi jadi bagian dari hidupmu.”

Naira menggeleng cepat. “Aku tidak bisa.”

Revan melangkah mendekat ke kamera. “Kau bisa. Kau sudah memilih dirimu sendiri. Itu awal yang tepat.”

Ibunya memegang bahunya. “Na… jangan pikir ini tentang benar atau salah. Ini tentang bertahan.”

Naira menepisnya. “Aku tidak mau memilih siapa yang harus hilang dariku. Aku sudah kehilangan terlalu banyak!”

“Kalau begitu,” suara Revan menajam, “biarkan aku pilih. Percayalah, caraku jauh lebih… cepat.”

TV mati mendadak.

Tapi layar menampilkan refleksi wajah Naira sendiri.

Hanya saja… di bayangan itu, matanya hitam seluruhnya.

Seperti wajahnya bukan lagi wajahnya.

“Kamu mulai berubah,” suara Revan terdengar dari balik layar.

Ibunya menarik Naira menjauh. “Kalau kau biarkan dia memegang kendali, kamu akan hilang sebelum waktunya. Jalur itu akan menelanmu.”

“Apa maksud Mama… jalur itu?”

“Setiap orang yang terhubung denganmu adalah jalan masuk. Kalau kamu tidak menutupnya… mereka akan gunakan tubuhmu. Seperti yang mereka gunakan untuk Linda kemarin.”

Naira memegang dadanya. Nafasnya berat. Tubuhnya terasa dingin, seperti setengahnya sudah bukan miliknya.

“Kalau begitu… bagaimana cara menutupnya?”

Ibunya menatap keris. “Itu kuncinya. Tapi setiap jalur yang ditutup… butuh darah.”

“Darahku?”

Ibunya mengangguk.

Naira meremas gagang keris.

Ia menatap foto-foto di lantai.

Kirana. Pak Edwin. Guru SD-nya. Orang-orang yang pernah menjadi bagian kecil dari hidupnya.

“Kenapa harus mereka?” suaranya pecah.

Ibunya menjawab lirih, “Karena hanya ikatan yang paling kau sayangi… yang bisa menutup jalur. Luka kecil tak pernah cukup.”

Tiba-tiba, suara di luar pintu menggema.

Ketukan pelan. Tiga kali.

“Na…”

Suara itu.

Kirana.

“Buka pintunya… tolong aku…”

Naira mendekat. Tubuhnya bergetar.

“Tidak mungkin… kamu di sini.”

Dia menempelkan telinga ke pintu.

“Na… aku tidak tahu aku di mana… tolong…”

Naira memejamkan mata. “Ini jebakan… ini bukan dia…”

“Kalau kamu tidak buka, mereka akan ambil aku, Na…”

Ibunya berteriak, “Jangan dengar! Itu bukan dia!”

Naira mundur, jatuh terduduk di lantai.

Kertas dan foto berserakan di sekelilingnya.

Enam wajah.

Enam jalur yang harus diputus.

Keris di tangannya mendadak panas. Seperti mendesak.

Pilih. Sekarang.

Dia menggigit bibir. Matanya basah.

“Aku… aku tidak tahu harus mulai dari siapa.”

Suara Revan muncul lagi, entah dari mana.

“Kalau kau tak bisa memilih… biar aku buatkan pilihannya. Tapi ingat… aku tidak punya belas kasihan.”

Lingkaran hitam muncul di lantai, lebih besar dari sebelumnya.

Cahaya merah merambat, membentuk simbol-simbol asing di sekeliling tubuhnya.

Darah Naira menetes ke pola itu, tanpa ia sadari.

TV menyala sendiri.

Revan berdiri di ruang gelap, dikelilingi api kecil.

“Selamat, Naira. Kamu baru saja mengikatkan dirimu pada ritual pertama. Tidak ada jalan kembali.”

“Kalau aku… berhenti sekarang?”

“Kalau kau berhenti… jalur itu terbuka selamanya. Dan mereka akan masuk. Semua.”

Ibunya mendekat, berlutut di depannya. “Kalau kamu mau hidup, kamu harus bertindak sekarang. Tidak ada waktu.”

Naira menatap foto-foto itu lagi.

Satu per satu wajah itu terasa menatap balik padanya.

“Kirana… maaf.”

Dia menulis satu nama di kertas baru. Tangannya gemetar.

Melipatnya, menaruhnya di tengah lingkaran.

Begitu kertas itu menyentuh lantai, lingkaran menyala.

Jeritan terdengar dari balik TV—suara Kirana.

Lalu hening.

Foto-foto lain terbakar tanpa api.

Dan angka di dinding berubah:

5.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 18 – Gerbang Kedua

    "Kalau kau ingin tahu siapa dirimu… lihat siapa yang berdiri di belakangmu sebelum kau lahir." Dingin menusuk. Tubuh Naira serasa dilempar ke jurang tak berujung. Saat matanya terbuka, ia tidak lagi berada di penthouse. Ia berdiri di sebuah jalan tanah yang basah, diterangi rembulan pucat. Udara berbau tanah dan kemenyan. Pohon-pohon bambu di kanan-kirinya bergoyang perlahan, menghasilkan bunyi seperti bisikan. Di ujung jalan, terlihat rumah kayu. Rumah kakeknya. Tapi berbeda. Lebih tua. Lebih suram. “Masuklah… lihat bagaimana semuanya dimulai…” Naira melangkah, kakinya berat seperti ditarik tanah. Saat mendekati teras, terdengar suara—seorang perempuan. “Jangan paksa aku, Pak!” Naira terhenti. Itu… suara ibunya. Ia mendekat ke jendela. Di dalam, terlihat ibunya yang masih muda. Wajahnya tegang, matanya sembab. Di hadapannya berdiri seorang lelaki tua—kakeknya. “Kau tahu darahmu bukan darah biasa, Salma,” suara kakeknya berat. “Kau pewaris. Kalau kau menolak, kita semua

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 17 – Pintu Berbisik

    "Kalau kau dengar suara di kepalamu, jangan percaya. Itu bukan kau… tapi pintu yang sedang membuka matamu." Naira terbangun di ranjang penthouse 9B. Badannya terasa lebih ringan, tapi dingin menjalar dari dalam, seperti ada yang merayap di bawah kulitnya. Ruangan itu gelap. Hanya ada cahaya samar dari jendela besar. Dia duduk. Tangannya meraba bahu—pola rantai itu masih ada. Tapi sekarang bercahaya samar, berdenyut… seperti napas. “Kau bisa melihat mereka sekarang…” Suara itu. Lembut tapi membuat bulu kuduk berdiri. “Siapa… siapa kalian?” Naira berbisik. Tidak ada jawaban. Hanya desis yang menyusup ke telinganya. Dia melangkah ke depan cermin besar. Refleksinya… bukan dirinya. Wajah itu pucat, mata gelap, bibir berlumur darah. Rambutnya basah seakan habis ditenggelamkan. Naira terhuyung mundur. “Bukan aku…” “Kau sedang melihat salah satu dari kami. Yang pernah dibuka pintu ini. Yang dulu… juga menjual hidupnya.” Dia memejamkan mata, berharap bayangan itu hilang. Tapi keti

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 16 – Tumbal Darah

    "Setiap pintu butuh tumbal. Dan darah… adalah kunci yang paling mudah." Naira terbangun dengan bau besi menusuk hidungnya. Bau darah. Penthouse 9B sudah berubah. Karpetnya hilang, diganti lantai hitam licin seperti marmer basah. Di tengah ruangan, ada lingkaran besar—digambar dengan cairan merah yang masih mengkilap. “Tidak…” bisiknya, mundur ke dinding. Di kursi pojok, Revan menunggu. Kali ini ia mengenakan pakaian ritual serba hitam, dengan kalung tulang menggantung di lehernya. “Selamat datang di tahap berikutnya,” katanya tenang. “Hari Ketujuh. Tumbal pertama.” Naira menggigil. “Aku sudah melepaskan Mama… apa lagi yang kau mau?!” Revan berdiri. Langkahnya membuat lantai bergetar ringan. “Pintu tidak kenyang hanya dengan jiwa. Ia butuh darah. Dan kali ini, darahmu sendiri.” Dia menunjuk ke tengah lingkaran. “Duduk.” “Tidak.” “Duduk, atau kau akan ditarik paksa.” Sebelum Naira sempat melawan, udara di sekelilingnya berubah dingin. Angin gelap melilit pergelangan tangannya

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 15 – Rantai Keenam

    "Setiap luka yang kau tutupi, akan muncul di permukaan… sebagai rantai." Naira tersentak. Ia tidak tahu sudah berapa lama berdiri di ruang itu—kabutnya lenyap, tapi tubuhnya terasa berat. Saat melihat tangannya, ia hampir menjerit. Goresan merah seperti urat bercahaya menjalar dari ujung jari hingga ke bahu, membentuk pola bercabang seperti akar pohon. Pola itu berdenyut. Hidup. “Tidak…” Naira memeluk dirinya. “Apa yang terjadi padaku?” Suara Revan datang dari belakang. Ia sudah kembali dengan wajah manusiawinya. “Itu bukan luka. Itu rantai. Dan setiap rantai menandakan ikatan baru dengan pintu.” “Aku tidak mau ini!” “Tidak ada yang mau. Tapi kau sudah memilih ketika masuk.” Naira meraba bahunya. Pola itu panas, menyengat seperti dibakar. Di bawah kulitnya, sesuatu bergerak, menjalar ke tulang. “Kenapa sekarang?!” “Karena kau sudah membuka gerbang pertama. Kau mulai mengerti apa artinya jadi simpul—jembatan antara dunia ini dan mereka.” “Kalau aku potong ini dengan keris—”

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 14 – Wajah Asli Revan

    "Kau ingin tahu siapa aku? Aku adalah masa depanmu… kalau kau berhenti melawan." Gelap. Naira berdiri di ruang tanpa dinding. Tidak ada lantai, tidak ada langit—hanya kabut hitam pekat yang menempel di kulitnya seperti cairan kental. “Ini… di mana?” suaranya menggema, seperti berbicara di dalam tengkorak kosong. Dari kabut, muncul cahaya merah samar. Satu langkah. Dua langkah. Revan. Tapi bukan Revan seperti yang ia kenal. Wajahnya pecah-pecah seperti cermin retak, sebagian menampakkan kulit manusia, sebagian lagi… kosong, seperti topeng hitam yang hidup. “Selamat datang di inti pintu, Naira,” katanya. Suaranya bergema, terdengar dari segala arah. “Ini bukan tempat manusia. Ini tempat di mana semua perjanjian ditulis ulang.” “Kenapa kau di sini?!” Naira mundur, keris terangkat. “Kau bukan manusia, kan?” Revan terkekeh. “Aku manusia. Atau… dulu pernah. Sama sepertimu.” “Berhenti bicara berputar-putar! Siapa kau sebenarnya?!” Revan mendekat. Setiap langkahnya membuat kabut be

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 13 – Malam Darah 

    "Darahmu adalah kuncimu. Tapi ingat… kunci bisa membuka, atau mengurungmu selamanya." Langit di luar penthouse berubah warna—merah tua, seperti darah yang membeku. Jam digital di meja menunjukkan 18:00. Senja. Gerbang telah memilih. Naira berdiri di tengah ruangan, kakinya gemetar. Ibunya duduk di pojok, memeluk diri sendiri. “Na… kau dengar itu?” Dari balik dinding, suara bergema. Bukan hanya bisikan—tapi jeritan. Teriakan berlapis, dari banyak mulut. Seperti seluruh lantai 9 berubah jadi rumah penyiksaan. Darah merembes dari celah lantai marmer. Mengalir cepat, membentuk pola lingkaran di sekitar mereka. Penthouse tak lagi seperti hotel. Tapi seperti altar kuno. TV menyala. Revan muncul, kali ini berdiri di ruangan gelap yang penuh simbol. “Selamat datang di malam darah, Naira. Di sinilah kontrakmu diuji.” “Apa maksudmu?!” Naira menjerit. “Gerbang sudah mengambil pilihannya. Tapi kau masih punya kesempatan. Jalani labirinnya. Kalau kau bisa sampai ke inti sebelum tengah mala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status