Home / Horor / Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari / Bab 9– Bayangan di Balik Cermin

Share

Bab 9– Bayangan di Balik Cermin

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-29 07:25:51

" Cermin tidak sekadar memantulkan. Cermin memperlihatkan siapa yang menunggumu di baliknya."

Naira terbangun dengan kepala berat. Pagi itu aneh. Jakarta masih ada di luar jendela, tapi langitnya seperti terbuat dari abu. Ia duduk di lantai, punggung menempel dinding, merasakan nadi di leher berdetak terlalu cepat.

Ia menoleh ke cermin besar di sisi ranjang.

Dadanya langsung mengencang.

Di sana, berdiri sosok-sosok gelap. Awalnya kabur, tapi perlahan membentuk siluet tubuh manusia. Ada tujuh bayangan. Mata mereka tak punya bola mata—hanya lubang hitam. Dan salah satunya… mulai mendekat ke permukaan kaca.

Wajahnya muncul samar.

Kirana.

Sahabatnya. Tapi bukan Kirana yang ia kenal. Wajah itu rata, bibirnya menyatu, dan suara yang keluar bukan suara manusia:

“Enam lagi… lepaskan kami… atau kami lepaskanmu.”

Naira terhuyung mundur, lututnya terbentur meja. “Pergi… ini nggak nyata… kalian bukan dia!”

Ibunya muncul dari pintu kamar mandi, wajahnya pucat. “Mereka tidak pergi, Na. Mereka terikat padamu. Semakin lama kau menunda, semakin rakus mereka.”

“Kenapa mereka bilang begitu?! Enam lagi… apa maksudnya?”

Suara lain datang dari cermin—lebih dalam, lebih tua:

“Enam rantai tersisa… beri kami nama.”

Cermin bergetar. Retakan menjalar di permukaannya, membentuk pola seperti mulut yang siap menelan.

Tiba-tiba TV menyala. Revan berdiri di layar, dikelilingi cermin-cermin yang sama, menatap Naira dengan mata gelap.

“Bayangan di balik cermin itu bukan mimpi buruk, Naira. Mereka tamu. Dan pintumu… sudah membuka undangan untuk mereka.”

Naira menatapnya, tubuhnya kaku. “Apa yang mereka mau dariku?!”

“Nama. Darah. Hidup. Kamu tahu itu sejak hari pertama.”

“Kalau aku nggak mau kasih?”

Revan mendekat ke kamera, wajahnya separuh gelap. “Kalau kamu tidak memberi, mereka mengambil sendiri. Dari siapa pun yang mereka suka.”

Naira merasa udara menipis. “Tidak… aku nggak mau mainan ini!”

Ibunya menggenggam bahunya, keras. “Nak, dengar! Kalau kau tak beri nama, mereka akan memilih sendiri. Dan mungkin… mereka pilih Linda.”

Nama adiknya diucapkan membuat tubuh Naira bergetar hebat.

Retakan di cermin semakin besar. Dari celahnya, tangan kurus kehitaman menjulur, kuku panjangnya menggores udara, hampir mengenai wajah Naira.

“Nama… beri kami nama…”

Naira meraih kertas di meja. Pena di tangannya gemetar. Air matanya jatuh ke kertas kosong itu.

“Siapa… siapa yang harus kuberi?!”

TV berdesis. Revan tersenyum miring. “Gerbang selalu tahu siapa yang paling siap.”

Tiba-tiba tinta merah muncul sendiri di kertas. Menulis satu nama tanpa sentuhan tangan:

Kirana.

Naira terbelalak. “Tidak… aku nggak menulis itu!”

Cermin berhenti bergetar. Tangan-tangan menarik diri. Bayangan Kirana menatapnya sekali, lalu menghilang.

Kertas itu terlipat sendiri, terbakar dari dalam, menjadi abu.

Revan bertepuk tangan di layar. “Satu pintu puas. Lima tersisa.”

Naira jatuh terduduk, tubuhnya gemetar. “Aku… membunuh sahabatku…”

Ibunya berlutut, memeluknya. “Tidak, Na. Kamu… menyelamatkan dirimu. Untuk sekarang.”

Naira menatap cermin kosong. Tapi di kedalamannya, ia masih bisa melihat bayangan Kirana tersenyum… senyum yang bukan manusia.

Naira memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar hebat. Ruangan penthouse berubah rasa—bukan sekadar kamar, melainkan penjara yang bernapas.

“Ini salahku,” gumamnya. “Kalau aku nggak masuk ke kontrak ini, Kirana masih…”

Ibunya menahan wajahnya, menatap mata anaknya. “Na, berhenti menyalahkan diri sendiri. Kamu bahkan belum tahu siapa yang menulis nama itu.”

“Nama itu muncul sendiri!” teriak Naira, menunjuk abu di lantai. “Aku nggak pernah mau kasih dia!”

Belum sempat ibunya menjawab, TV menyala lagi. Revan berdiri di tengah ruang gelap, kali ini dikelilingi cermin-cermin retak.

“Kamu pikir kau masih memegang kendali, Naira? Bahkan tanganmu tidak lagi milikmu.”

“Kenapa mereka ambil Kirana?!”

Revan mendekat ke kamera. Senyumnya membuat perut Naira mual. “Karena gerbang selalu mengambil yang paling terikat padamu. Dan Kirana… selalu membawa sepotong jiwamu sejak lama.”

Kata-kata itu menghantam seperti palu. Naira teringat semua: tawa mereka di kos, tangan Kirana yang merangkulnya saat ayahnya jatuh sakit, uang Kirana yang ia pinjam diam-diam.

Air matanya jatuh. “Aku… membuka jalannya sendiri untuk mereka…”

Revan mengangguk. “Setiap hubunganmu adalah jalur. Dan setiap jalur… adalah pintu kecil. Semakin banyak jalur yang kamu buat, semakin banyak pintu terbuka. Kamu simpul, Naira. Dan simpul… selalu menarik benang-benang ke arahnya.”

Cermin kembali bergetar.

Kali ini bukan Kirana. Sosok baru muncul. Tubuhnya tinggi, berbaju lusuh. Naira mengenalnya.

Pak Edwin.

“Tidak… tidak mungkin…”

Ibunya menarik napas dalam. “Nak… mereka tidak akan berhenti.”

Tangan panjang hitam keluar dari cermin, mendekati wajahnya. Suara-suara berbisik di kepalanya:

“Lima lagi… lima lagi… beri kami nama…”

Naira menjerit, mencengkram keris di samping meja. Ujung bilahnya berdenyut, memancarkan cahaya merah samar.

Tangan itu berhenti. Menarik diri. Bayangan di cermin mundur perlahan.

Revan tertawa kecil. “Lihat? Mereka takut pada warisanmu. Tapi kamu tidak bisa menghunus keris itu selamanya. Kamu harus memilih, Naira. Selalu memilih.”

TV mati.

Sunyi.

Hanya napas Naira yang terdengar, berat dan terputus-putus. Ia menjatuhkan diri ke lantai, tubuhnya terasa kosong.

“Berapa lama aku harus begini, Ma?”

Ibunya duduk di sampingnya, mengelus rambutnya. “Sampai kamu mengerti. Pintu ini tidak bisa ditutup. Hanya bisa dipuaskan.”

Naira menatap cermin. Bayangan Kirana muncul lagi sebentar, tersenyum lebar—senyum terlalu lebar untuk wajah manusia.

Untuk pertama kalinya, Naira sadar: gerbang ini bukan hanya menginginkan darah. Ia menginginkan semua yang membuatnya manusia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 9– Bayangan di Balik Cermin

    " Cermin tidak sekadar memantulkan. Cermin memperlihatkan siapa yang menunggumu di baliknya." Naira terbangun dengan kepala berat. Pagi itu aneh. Jakarta masih ada di luar jendela, tapi langitnya seperti terbuat dari abu. Ia duduk di lantai, punggung menempel dinding, merasakan nadi di leher berdetak terlalu cepat. Ia menoleh ke cermin besar di sisi ranjang. Dadanya langsung mengencang. Di sana, berdiri sosok-sosok gelap. Awalnya kabur, tapi perlahan membentuk siluet tubuh manusia. Ada tujuh bayangan. Mata mereka tak punya bola mata—hanya lubang hitam. Dan salah satunya… mulai mendekat ke permukaan kaca. Wajahnya muncul samar. Kirana. Sahabatnya. Tapi bukan Kirana yang ia kenal. Wajah itu rata, bibirnya menyatu, dan suara yang keluar bukan suara manusia: “Enam lagi… lepaskan kami… atau kami lepaskanmu.” Naira terhuyung mundur, lututnya terbentur meja. “Pergi… ini nggak nyata… kalian bukan dia!” Ibunya muncul dari pintu kamar mandi, wajahnya pucat. “Mereka tidak perg

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab10-Darah Sebagai Mata Uang

    "Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. Naira membuka mata perlahan. Cahaya samar dari lampu darurat membuat penthouse terlihat seperti bangkai kapal yang

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 10 – Darah sebagai Mata Uang

    "Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. “Kau kira memilih nama cukup, Naira?” “Aku sudah beri mereka apa yang mereka mau. Mereka puas.” “Untuk semalam.” Revan

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 8 – Tumbal yang Hilang

    "Setiap pintu yang dibuka… akan menagih darah. Bahkan kalau itu pintumu sendiri." Gedoran di pintu tak berhenti. DUK! DUK! DUK! Setiap hentakan membuat lantai bergetar. Asap hitam merembes dari celah, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Naira mundur. Keris di tangannya semakin berat, seperti menolak dipegang. “Apa yang mereka mau?” Ibunya menatapnya, mata kosong. “Harga.” “Untuk apa? Aku sudah melakukan yang kau minta!” “Tidak cukup.” DUK! Suara itu makin dekat. Seolah pintu bukan sekat, hanya kulit tipis antara dunia mereka dan dunia Naira. TV menyala sendiri. Revan duduk di sana, gelap di belakangnya, hanya wajahnya terlihat. “Kau pikir memutus satu rantai selesai? Tidak, Naira. Kau sudah memberi mereka jalan. Sekarang mereka lapar.” “Siapa mereka?!” “Yang menunggu di balik pintu. Yang kakekmu jaga. Yang menagih setiap penjaga baru.” Lampu-lampu padam. Tinggal cahaya merah samar dari simbol di tangan Naira. Bisikan mengisi ruangan. Suara anak-anak, peremp

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 7 – Rantai yang Diputus

    "Orang pertama yang kau maafkan… harusnya yang paling ingin kau lupakan."Kertas di lantai masih basah oleh darah dari tangan Naira. Kata-kata di atasnya menyala samar, seperti ditulis dari dalam kertas dengan tinta yang masih hidup:“Luka pertama diterima. Sekarang tentukan: siapa yang melukai—dan siapa yang harus disembuhkan.”Naira duduk di pojok ranjang, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti ada banyak mata mengawasinya, walau kamar itu terlihat kosong.Ibunya—atau sosok yang mengambil bentuk ibunya—duduk di kursi dekat jendela. Tatapannya teduh tapi hampa. “Kau tahu apa artinya itu, kan?”“Tidak,” suara Naira pecah.“Kau harus memutus satu rantai. Melepaskan satu nama yang mengikatmu. Dan memaafkannya… sepenuhnya.”Naira memandang tangannya. Simbol merah itu berdetak seperti nadi. “Kalau aku memaafkan mereka… apa yang terjadi?”“Kau kehilangan mereka dari hatimu. Untuk selamanya. Ikatan itu terputus. Dan luka itu berhenti berteriak.”“Tapi… kalau aku nggak mau?”Ibunya menunduk. “M

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 6 – Luka Pertama

    "Luka pertama bukan yang paling dalam. Tapi yang paling kamu tutupi." Naira terbangun. Penthouse lenyap. Ia berdiri di rumah kayu tua. Aroma bambu basah dan tanah lapuk menusuk hidung. Dindingnya kusam, jendela berdebu, dan udara dingin merayap seperti tangan yang mencari kulit. Tapi ada yang lebih mengganggu: semua warnanya kelabu, seperti dunia ini hanya bayangan yang gagal mati. Di sudut ruangan, duduklah Revan. Namun bukan Revan yang ia kenal. Wajahnya lebih muda, tatapannya tak setajam biasanya. Di pangkuannya, duduk Naira kecil—sekitar tujuh tahun—dengan pipi penuh bekas cakaran dan mata bengkak. Naira tak bisa bergerak. “Apa… ini?” Revan tak menjawab. Naira kecil mengangkat wajah, menatapnya. “Kamu meninggalkan aku.” Naira mundur setapak. “Aku… nggak pernah meninggalkan kamu.” “Kamu berhenti dengar aku,” suara itu parau, tapi menusuk. “Kamu buang aku waktu pertama kali kamu disakiti.” Tiba-tiba, dinding rumah berubah. Seperti layar film rusak, berganti potongan-poto

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status