“Bukankah kau takut, Naira?” suara Revan serak, bergetar bukan karena dingin, melainkan karena ngeri. “Takut? Aku sudah kehilangan wajah ibuku. Apa yang lebih menakutkan dari lupa pada orang yang melahirkanku?” Pintu kesepuluh berdenyut pelan. Seperti jantung raksasa yang baru saja terbangun. Urat-urat merah merambat di dinding, bercabang ke lantai, hingga menjalar kaki mereka. Setiap detaknya menyalurkan getaran ke tulang. Naira berdiri di depan pintu itu. Dadanya masih perih, luka tikaman belum menutup. Justru dari luka itu, darahnya menetes dan terserap langsung ke dalam urat-urat pintu. Suara berat, dalam, bergema dari balik daging yang berdenyut: “Wadah telah kosong. Saatnya warisan kembali.” Naira menelan ludah, keris di tangannya bergetar seperti mengenali suara itu. “Apa maksudnya… warisan kembali? Warisan siapa?” Revan memalingkan wajah, seolah tak sanggup menatap langsung ke arah pintu. “Warisan yang kakekmu sembunyikan. Warisan yang membuat keluargamu jadi target. K
“Apa yang lebih menakutkan dari kematian itu sendiri, Naira?” Suara itu datang dari kegelapan koridor. Revan menatap sekeliling, tapi Naira tahu itu bukan suara Revan—itu suara pintu kesembilan, suara kontrak yang bersemayam di dalam darahnya. Langkahnya berat. Lantai koridor licin, basah, seolah terbuat dari darah yang baru saja ditumpahkan. Setiap pijakan meninggalkan jejak kaki merah yang cepat menghilang. Di ujung koridor, pintu itu berdiri. Pintu kayu tua dengan simbol-simbol merah berdenyut seperti nadi. Dari celah-celahnya, terdengar suara lirih… tangisan ibunya, tawa Linda, batuk ayahnya. Semuanya bercampur, memanggil namanya. “Naira…” suara ibunya bergetar. “Tolong aku… jangan biarkan aku hilang.” Tangannya gemetar menggenggam keris. Revan berdiri di sampingnya, tapi wajahnya kali ini gelap, matanya seperti retak kaca. “Kalau kau masuk, tak ada jalan kembali,” katanya pelan. “Pintu kesembilan hanya membuka kalau kau sudah siap membayar dengan sesuatu yang tak bisa dikem
“Kalau kau buka pintu itu… kau tak akan lagi mengenali siapa dirimu.” Suara Revan pelan, tapi gemanya terdengar dari segala arah. Naira menatap pintu raksasa berurat merah itu. Jantungnya berdetak seirama dengan denyut pintu. Luka di dadanya masih basah, tapi genggaman pada keris semakin kencang. “Aku sudah kehilangan semuanya, Revan. Apa lagi yang bisa diambil dariku?” Pintu berderit. Perlahan, akar merah yang menutupinya terurai, seakan membukakan jalan bukan karena kehendak Naira, tapi karena sesuatu di baliknya sudah menunggu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin menerpa, membuat tubuh Naira gemetar meski peluhnya masih menetes. Ia melangkah masuk. Ruangan itu bundar, dindingnya tinggi menjulang, dan di setiap sisi—menempel wajah-wajah manusia. Linda. Ayahnya. Ibunya. Revan. Bahkan wajah Naira sendiri. Mereka tertanam di dinding seperti ukiran hidup, mata mereka terbuka, mengikuti setiap langkahnya. Suara lirih bergema, ratusan bisikan menyatu: “Kenapa kau tinggalkan kami…?”
“Apa kau tahu rasanya tinggal satu jiwa saja yang tersisa?” Suara Revan pecah di antara kabut, berat, tapi penuh kegetiran. Naira menoleh. Revan berdiri goyah, tubuhnya masih berdarah, tapi matanya tajam menatapnya. Simbol merah di bawah tulang selangka Naira berdenyut semakin cepat, seperti jantung kedua yang hendak meledak. “Jangan bicara seolah kau mengerti perasaanku,” balas Naira dengan suara bergetar. “Aku yang kehilangan—ibuku, adikku, bahkan wajah sendiri di cermin. Kau masih berdiri dengan bayangan-bayanganmu!” Revan tersenyum samar. “Justru karena itu aku tahu. Kau kira aku masih manusia penuh? Aku hanya sisa dari delapan bayangan yang kau bunuh.” Kabut di sekitar mereka bergerak liar, seperti tangan-tangan tak kasatmata meraih tubuh mereka. Dari jauh, terdengar suara gonggongan anjing bercampur tangisan bayi—suara yang tak masuk akal tapi menusuk ke kepala Naira. Dia menatap simbol merah di kulitnya. “Kalau pintu kesembilan terbuka… aku akan kehilangan apa lagi?” Rev
“Kalau aku mati… apa kau masih percaya ada yang asli dariku?” Suara Revan terdengar di samping telinga Naira. Dia menoleh cepat—dan jantungnya hampir berhenti. Di ruangan itu, ada delapan Revan. Mereka berdiri melingkar, menatapnya dengan tatapan identik, dingin, menusuk. Wajah yang sama, pakaian yang sama, bahkan darah yang menetes di kemeja hitam itu pun identik. Naira mundur, punggungnya menempel ke pintu yang baru saja menelannya masuk. “Ini gila…” bisiknya. Salah satu Revan melangkah maju. “Aku yang asli.” Revan lain menyusul. “Bukan dia. Aku yang kau cari.” Yang ketiga menambahkan dengan nada lebih dingin, “Kalau kau salah pilih, kau akan terjebak di sini. Selamanya.” Delapan suara berbicara hampir bersamaan, bercampur, berlapis, membuat kepala Naira terasa pecah. Dia menutup telinga, tapi suara-suara itu justru bergetar dari dalam otaknya. “Aku kakakmu.” “Aku penjaga kontrak.” “Aku bayangan yang kau ciptakan.” “Aku janji terakhir kakekmu.” Semua bersuara dengan w
“Revan…” Naira hampir tak percaya pada matanya. Di hadapannya berjejer delapan sosok Revan di balik cermin, masing-masing hidup, bergerak, berbicara. Satu mengenakan jas hitam rapi, berwibawa. Satu mengenakan pakaian lusuh, dengan tatapan iba. Satu lagi tersenyum hangat, seperti pria biasa. Tapi ada pula yang matanya merah, wajah retak, tubuhnya miring seperti boneka patah. “Mana… yang asli?” Pertanyaan itu keluar begitu saja. Suaranya pecah. Delapan Revan serempak berbicara, tapi kalimat mereka berbeda-beda: “Aku pelindungmu.” “Aku pencipta kontrak.” “Aku kakakmu.” “Aku bayanganmu.” “Aku yang akan membunuhmu.” “Aku lelaki yang mencintaimu.” “Aku hanya mimpi burukmu.” “Aku… satu-satunya pilihanmu.” Suara-suara itu bergema, menabrak kepala Naira. Ia mundur selangkah, keris di tangannya bergetar seperti tahu siapa musuhnya. “Cukup!!” teriak Naira, suaranya melawan gaung ruang cermin. “Aku hanya butuh satu Revan. Yang asli!” Delapan sosok itu tersenyum serempak, tapi b