Part 23POV SINTAMentari pagi kini menampakkan sinarnya yang mulai menyinari belahan bumi. Diriku yang masih lemah sekuat tenaga ingin bangun duduk bersila namun tak bisa. Perlahan pandanganku melihat sekeliling tumbuhan yang tumbuh di dasar tebing seakan menyemangati ku harus bisa. Kucoba menggerakkan tubuh yang kaku ini benar saja kepalaku masih terasa sakit akibat benturan semalam. Hal yang terakhir kuingat saat hendak berkunjung ke rumah Lani yang ingin membantuku melunasi utang mertuaku secara diam-diam di Bank tempat Mas Arman menggadaikannya sertifikat rumah. Ketika motor buntutku hendak mendaki jalan yang berbukit rewelnya kambuh lagi. Mogok tepat di tempat sepi hanya mengandalkan sinar rembulan. Tepatnya di jalan dekat tebing. Mas Heri yang selalu ada siap membantuku turun untuk memeriksa. Tanpa kami sadari mobil Mas Arman diam-diam membuntuti .Entah iblis apa yang merasukinya sampai dia mempunyai niat jahat ingin mencelakaiku dan Mas Heri. Meskipun diriku ingin ber
Asep adalah seorang asisten rumah tangga yang dipercayakan merawat rumah ini. Dibalik tingkahnya yang polos sebenarnya dia juga seorang laki-laki yang selama ini menyamar menjadi seorang wanita dengan nama Gayatri. Kini dirinya terlihat gugup, ketika Mas Arman datang lagi mencarinya. Beberapa saat kemudian Arman dipanggil oleh Bapak itu. Karena, melihat Asep yang tak kunjung keluar dari kamarnya. “ Sep! Kalau kamu tidak keluar kami dobrak pintunya ya. Kami takut kamu kenapa-kenapa di dalam.”Kini Arman dan Bapak itu sudah berdiri di depan kamar Asep. Bersiap untuk mendobrak pintunya. Baru memulai aksinya tiba-tiba Asep keluar dari kamarnya. Menggunakan sarung sebagai penutup wajah. “Loh Sep! Kenapa mukamu di tutup?” “Aku... Aku lagi demam Pak!” Sambil memegang kain penutup wajahnya. “Tapi... Tadi pagi kamu terlihat biasa saja. Aneh!” gumam Bos Asep. “Aku.. Demamnya baru Pak,” jawab Asep kemudian melangkah pergi ke kamar kecil. Arman yang melihat tingkahnya seperti tak bisa lan
“Kalian sudah saling kenal rupanya,” canda Pak Santo. “Belum pak, ku mengira tamu Bapak adalah orang yang kukenal. Karena sepertinya kita pernah bertemu,” ucap Sinta. sambil menatap tajam ke arah Asep“Oh iya, Paman! Aku dan dia memang belum saling kenal,” jawab Asep membenarkan. Kali ini dirinya harus dipertemukan oleh takdir yang membuatnya hampir syok melihat keberadaan Sinta. Sinta! Kenalkan ini Asep ponakan saya, selama ini dia bekerja di kota dan ini Sinta wanita yang berapa hari ini membantuku dalam mengurus keperluan yang ada termasuk membantuku mengurus ternak. Sinta yang melihat keberadaan Asep hanya bisa Menatapnya dengan santai karena selama ini orang yang dicarinya dengan susah patah malah datang dengan sendirinya di hadapannya. “Oh ya Sin, bisakah kamu memasak untuk makan malam? Karena kata ponakanku dia akan tidur di sini.” “Ti-tidak paman! Asep tidak jadi tidur di sini. Karena, masih ada pekerjaan yang harus Asep selesaikan,” ujarnya. “loh! Kenapa berubah pikira
“Sa-saya paman!” ucap Asep dari dalam kegelapan. “Loh, ngapain kamu di sana Sep?” pak Santo sambil menggosok-gosok matanya yang masih setengah terbuka. “Aku... Aku lagi sakit perut paman. Mau buang air!” balasnya dari sana dengan ancaman Sinta. “Oh iya, paman masuk dulu. Kamu hati-hati karena di sini kadang berkeliaran anjing hutan.” Kemudian Pak Santo berlalu. Tanpa rasa curiga dia pergi meninggalkan Asep yang lagi dikerjai oleh Heri dan Sinta. Sinta melepaskan cengkeramannya di leher Asep sebagai ancaman. “Bagus anak pintar!” Ditepuknya pipi Asep yang merah akibat tamparannya karena emosi. Kini Sinta semakin menjadi akibat ulah Asep yang tak mau mengatakan di mana uang hasil penggadaian sertifikat rumah mertuanya tersebut. “Aduh Mbak, sudah kubilang uang yang Asep dapatkan hanya sepuluh juta. Itu sudah kukirim untuk orang tua Asep di kampung.” Tangisannya semakin pecah. “Terus uangnya ke mana? Jika kamu tak bisa mengatakannya akan kubuang dirimu di tengah hutan agar menjadi
Ahk, Tolong!” Sinta menutup kepalanya dengan telapak tangan sambil meminta tolong. Pak Santo yang mendengar suaranya membatalkan Ayunan gobloknya di kepala Sinta. “Sinta! Kamu kah itu?” dirinya mendekat untuk memastikan. “I-iya Pak de, ini diriku. Maaf malam gini keluyuran.” “Kamu... Dari mana saja Sin? Apa kamu sebagai perempuan tak takut pergi keluar di tengah kegelapan malam begini?” “Sebenarnya takut pak De. Tapi... Sinta keburu mau buang air.” Wajah polosnya mulai beraksi untuk meyakinkan Pak Santo. “ini Asep mana juga, tak ada pulang sejak tadi,” sesekali pandangannya menjauh ke arah luar. Pak, saya mau pamit ke dalam dulu ya mau kembali ke tempat peristirahatan.” Sinta masuk ke kamarnya yang sudah disediakan Pak Santo sejak kedatangannya ke tempat itu. “Iya, jangan lupa jendela kamu ditutup rapat. Nanti ada hewan biasanya masuk tanpa sepengetahuanmu.” Kini Pak Santo juga berbalik arah kembali ke tempat peristirahatannya. Kali ini Sinta hampir saja ketahuan. Masalah As
“Aku akan melunasi hutang Mas Arman di bank. Tapi, Mas Arman siap aku ceraikan,” ucapnya dengan tegas. “Aku tak mau bercerai denganmu Sin! Sampai kapanpun aku tak mau!” ujarnya. “siapa yang mau punya suami yang sudah berselingkuh sama Banci?” Aneh kan!” “Lagi pula... Aku bisa menuntut bahkan dirimu bisa dipenjarakan karena sudah berani mencelakaiku jatuh dari tebing. Tapi... Tidak untuk saat ini aku akan menuntutmu Mas. Aku harus ceraikan kamu dulu!” lanjutnya. “Ma-maaf kan aku Sin! Kini aku sudah mendapatkan karmanya.” Kali ini Arman semakin terhina akibat ulah yang dilakukannya. “Masalah itu, Ayah serahkan semua padamu Nak! Lagi pula... Ayah juga malu punya anak seperti dia. Tak punya balas budi padahal status Cuma anak angkat.” Ayah mertuanya semakin murka dengan perkataannya. “ Ayah! Hentikan!” Arman berusaha bangun dari pembaringannya. Namun, kali ini tetap tak bisa. “ persyaratan yang kedua. Apa kalian mau tahu?” ucap Sinta lagi sambil memandang keduanya. “Apa syaratnya
Dari mana saja kamu neng Sin? Sudah ku ingatkan jangan main jauh-jauh. Di sini banyak anjing hutan berkeliaran.” Sambil berjalan mendekati Sinta. “Eh Bapak! Maaf Pak, saya... Tadi keluar sebentar. Mau membeli perlengkapan dapur yang semakin kurang,” jawabnya sambil menggaruk-garuk kepala. “ Tapi kan kamu bisa pamit dulu ke Bapak. Nanti Bapak atau Heri yang bisa temani kamu ke sana.”“Tidak usah Pak. Lagi pula... Sinta juga hafal jalan-jalan di sini kok! Jadi... Jika ada anjing hutan pasti Sinta bersembunyi,” ucapnya untuk meyakinkan Pak Santo. “ Terserah kamulah. Anak muda sekarang susah dikasih tahu,” ucapnya dan meninggalkan Sinta yang masih duduk untuk menghilangkan lelahnya. Sementara Heri hanya diam menatap kedatangan Sinta. Setelah melihat kepergian Pak Santo didekatinya Sinta. “Sin! Kondisi kamu dan aku sudah mulai stabil. Bagaimana kalau kita meninggalkan tempat ini. Aku tak mau terus-terusan menyusahkan Pak Santo.”“Aku juga begitu Mas. Tapi, sekali-sekali kita tengok Pa
“Mas Heri rese!” Ketiganya seraya tertawa. Pak Santo yang melihat tingkahnya serasa berjiwa mudah kembali. “Kami pamit ya Pak De! Ingat, Pak de jaga diri baik-baik. Kami pasti selalu merindukan Pak de.” Di peluknya kedua anak muda itu kemudian diantarnya sampai ke dekat jalan. Kali ini tujuan utama Sinta setelah dari rumah pak Santo adalah pergi berkunjung ke Sel tahanan di mana Tedi berasal. “ Bagaimana kabar? Apakah masih betah di sini?” tanyanya pada Tedi yang meliriknya dengan sinis. “ Apa tujuanmu kemari?” “Saya hanya ingin menengokmu dan ingin mencari tahu kabar Ibu mertuaku yang menjadi selingkuhanmu selama ini. Salahnya di mana?” Kali ini Sinta berusaha baik karena ingin mengambil hati Tedi. “Oke langsung saja kukatakan padamu tanpa bertele-tele. Kamu mau bebas atau tidak?” lanjut Sinta. “Oh mau dong aku juga sebenarnya tidak betah di sini.”Kali ini raut wajahnya, sedikit berubah. “Baguslah kalau mau bebas. Tapi ada syaratnya?”“Apa? Katakan padaku,” tanya Tedi yang se