Sesampainya di rumah Sinta segera turun dari mobil tanpa menunggu Heri membukakan pintu.“Mas, aku turun. Maaf karena ulah Mas Arman makan malam kita kali ini jadi kacau.” Kemudian dia melangkah masuk ke rumahnya.“Sinta! Tunggu dulu,” ucapnya sambil menahan lengannya.“ Kenapa Mas?” Rianti berbalik.“Aku...aku...” Namun tak dilanjutkannya lagi.“Kenapa dengan Mas?” tanya Rianti penasaran.“Tidak jadi. Aku takut nanti kamu tersinggung,” balas Heri.“ Ya sudah. Rianti masuk dulu ya Mas.” Dirinya berbalik kemudian segera meninggalkan Dibaringkan tubuhnya di tempat pembaringan kemudian tidur terlelap.Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah Sinta segera menuju ke sel tahanan menuju mantan Ibu mertuanya. Meskipun status mereka kini hanya mantan tapi, dirinya masih saja menganggap Ibunya sebagai mertuanya.“Maaf pak polisi kedatangan saya kemari ingin menengok Ibu Mertua saya. Apakah bisa?” tanya Sinta pada salah satu polisi yang kebetulan berjaga.“Atas nama Bu siapa mertua Anda.” po
Kini Sinta sudah tersadar kembali setelah beberapa lama dirinya sempat tak sadarkan diri akibat ulah Gayatri. Dilihatnya sekeliling tampak ruangan tertutup yang pengap udara dan sedikit gelap layaknya di dalam sebuah gudang yang sudah lama tidak terpakai .Baru saja mau menggerakkan kakinya namun terasa kaku karena lilitan tali yang mengikatnya.“ Ah! Sialan, berani macam-macam ke aku rupanya,” gumamnya dalam hati.Mulutnya yang ditutup dengan sebuah kain hitam Begitu juga dengan kaki dan tangannya membuat dirinya kesulitan dalam bergerak.“Siapa yang berani macam-macam denganku? Apakah itu memang Gayatri? Kalau memang dia kenapa dia masih hidup?” lanjutnya.Dirinya yang kini masih bertanya dalam hati seakan-akan ini suatu hal yang menjadi teka-teki bagi dirinya yang harus dipecahkan.“Oh Tuhan! Tolong aku. Semoga semuanya akan baik-baik saja,” lanjutnya memohon.Terdengar suara langkah kaki diluar membuat denyut jantungnya semakin kencang. Kini di pura-pura tidur kembali agar bisa
“Hei, bangun! Beraninya sama perempuan.” Serentak ketiga lelaki itu terbangun. Di hadapan mereka Sinta mulai geram atas apa yang mereka lakukan sebelumnya.“Maaf Mbak, kami...,”“Kami apa? Jangan pikir aku akan diam atas apa yang kalian lakukan ya.” “Mbak, kami hanya menuruti apa yang diperintahkan Gayatri,” jawab lelaki yang bertubuh kurus itu.“Diam! Saya tidak tanya. Apa yang ingin kalian harapkan padaku?” “ Hei, kamu banci! Kukira dirimu sudah mati. Ternyata nasibmu masih bisa bertemu lagi denganku ya.” Diangkatnya dagu Gayatri dengan jari telunjuknya itu.“Aku begini karena Anda yang dulunya berani menyiksaku,” bantahnya.“Dulu kamu mencoba bermain-main denganku. Dengan cara merusak rumah tanggaku. Sekarang, maumu apa?” “Aku hanya ingin membalaskan dendamku dan mengambil uangmu.”Tawa Sinta seketika meledak. Kalimat yang dilontarkan Gayatri membuatnya jadi merasa lucu.“ Kali ini kamu menangkap orang yang salah. Aku hanya seorang Sinta yang penghasilan setiap bulannya tidak se
Hari- hari dilalui Sinta dengan kesendirian rasanya mulai membosankan. Mas Heri yang dulu selalu membantu ketika dirinya mengalami kesusahan saat ini mulai menjauh darinya.Karena sudah menemukan sosok Ibu polwan calon pendamping yang sebentar lagi menikah dengannya. Berulang kali dirinya mencoba berani mengutarakan isi hatinya. Namun, Sinta selalu menolak dengan alasan di hatinya masih membekas sosok Arman. Sosok Arman begitu sulit untuk dilupakannya.Andaikan saja dulu Arman mau mendengarkan keluh kesahnya, mungkin dia tidak akan termakan oleh hasutan Ibu mertuanya yang ingin menguasai harta menantu. Bahkan hutang-hutang keluarga Arman tak perlu ditanggung olehnya.Seperti biasa disaat waktu subuh dirinya bersiap menghadap sang Halik. Ketika selesai sujud terakhir tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan teriakan Mbak Novita dari arah depan.“ Aaakkhh! Tolong!” teriak Mbak Novita yang mencari pertolongan dari segala arah.“ Ke-kenapa Mbak Nov? Ada apa? Apa yang terjadi?” Sinta yang
“Pesan dari siapa, Mas?” tanyaku pada lelaki yang belum lama berstatus suamiku itu. “Pesan dari Adikku, dia minta kirimi uang lagi. Katanya, untuk biaya hidup mereka bulan ini belum aku berikan,” jawabnya sambil memainkan gawainya. “Apakah suaminya tidak memberikan nafkah untuknya, sampai dia terus -terusan meminta kiriman biaya jatah bulanan dari kamu Mas?“ tanyaku dengan sedikit berlebihan. “Kamu tahu sendirikan aku yang dipercayakan mengelola usaha orang tuaku sayang. Jadi, kedua saudaraku punya hak untuk dinafkahi olehku,” jawabnya sambil mengelus pipiku yang mulai kembung. “Tapi, bukankah minggu lalu adik kamu juga minta dikirimi sepuluh juta Mas? Saya rasa, itu sudah lebih dari cukup untuknya sebulan jika ditambah dengan jatah bulanan dari suaminya.” “Iya , tapi saat ini dia lagi membangun usaha kecil – kecilan di rumahnya. Jadi, dia butuh tambahan modal buat usahanya. Tidak apa – apa kan?” jelasnya padaku. “Bukannya uang suami juga uang istri Mas? Seharusnya Kesya mintan
"Ah...!" Sebuah mobil berwarna putih barusan hampir saja menabrakku. Bersyukur yang kena hanya koperku yang berisi pakaian di dalamnya. Kini koperku tepat berada di tengah jalan. Dari dalam mobil itu terlihat seorang lelaki bertubuh tegap memakai baju seragam polisi menuju ke arahku dan mengambilkan koper milikku yang tergeletak di tengah jalan.“Apakah Ibu tidak apa-apa?” tanya lelaki berseragam polisi itu Padaku. "Ma-maaf ya, aku tidak sengaja," lanjutnya lagi. “ Ti -tidak apa Pak, hanya...kaki saya sedikit terkilir di aspal,” jawabku dengan memegang mata kakiku yang tergores aspal. “Kalau begitu, aku bawa ke puskesmas terdekat ya Bu, Kaki ibu lagi sakit." Pak Polisi tersebut berusaha menawarkan agar aku tetap baik – baik saja. Lama diperhatikannya diriku. Aku yang berusaha menahan sakit sehingga tak memperhatikan pandangan Pak Polisi tersebut kepadaku.“Ma-maaf, Ibu ini Sinta Dewi kan?" tanyanya sekedar untuk memastikan . “I – Iya, kenapa? Apa, Bapak kenal saya?" tanyaku sed
“ Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Malu rasanya ditampar langsung oleh Ibu mertuaku di hadapan Mas Heri. “Dasar wanita murahan, pergi dari rumah sebentar saja kamu sudah berani main hati dengan anakku ya,” dengan nada yang meninggi dimakinya diriku ini. Sehingga, membuat aku semakin malu di hadapan Mas Heri. Apalagi dia baru dekat denganku hari ini. “Ma-maaf Bu, saya dengan Sinta hanya sebatas teman. Lagi pula, kami baru bertemu hari ini.” Mas Heri yang berusaha membelaku. “ Berteman? Tapi, pergi berdua dalam mobil itu apa? Sinta, kamu masih istri Arman, dan kamu seorang polisi beraninya pergi dengan istri orang!” Ibu mertuaku yang makin menjadi – jadi. “ Ibu akan menyesal, jika menuduh menantu berbuat yang bukan-bukan." Mas Heri segera memasang badannya dan menyembunyikan aku di belakangnya. “Percuma kamu membela wanita miskin ini, dia Cuma guru honorer dengan gaji tidak seberapa . Polisi sepertimu sangat tidak cocok dengannya.” Hinaan Ibu mertuaku sudah terbiasa dite
"Tidak! Aku tidak mau mendengar penjelasan kamu lagi. Semua sudah jelas, kamu selingkuh di belakangku.” Kini Mas Arman berulah lagi layaknya orang kesurupan“Mas, ini tidak seperti yang kamu pikirkan, tolong dengarkan aku dulu Mas!" Aku yang berusaha menenangkannya lalu dihalangi oleh Ibu mertuaku. “Sudahlah! Tak ada gunanya kami mendengar penjelasan kamu lagi. Sekarang sudah jelas tujuan kamu, mau menikah dengan Arman hanya butuh harta kami kan?” lagi – lagi kalimat hinaan yang dilontarkan Ibu membuat aku sakit hati. “Ma-maaf ini tidak seperti yang kalian bayangkan! Kami... kami hanya berteman. Lagi pula, hari ini hari ulang tahun Sinta, seharusnya dirimu sebagai suamilah yang lebih dulu tahu.” Mas Heri yang berusaha membelaku kemudian melirik ke kue ulang tahun yang ada di atas meja kemudian menatap wajah Mas Arman.“Mas, jangan turuti emosi kamu tanpa mencari tahu lebih dulu! Seharusnya, sebagai suami Kamulah yang lebih peka,” Aku yang berusaha menenangkan Mas Arman. “Ha! Te