Perempuan muda itu berjalan perlahan melewati gang-gang sempit Kota Surya, melewati tembok-tembok tua yang pernah jadi saksi kesepakatan antar entitas gaib, dan menyusuri jalur yang hanya bisa ditemukan jika kau tahu apa yang sedang kau lupakan. Ia mengenakan mantel panjang warna abu-abu, rambut hitamnya tergerai, matanya menyimpan cahaya kemilau seperti serpihan cermin.Di tangannya, sebuah cermin oval kecil berbingkai tembaga tua. Permukaannya tidak hanya memantulkan bayangan... tapi juga menahan sesuatu. Di sana, wajah Karina terpantul. Tapi tidak sedang duduk di Warung Kopi Dunia Bawah. Ia tersenyum ke arah perempuan itu, seolah tahu betul siapa dia."Karina... kau lupa siapa aku. Tapi aku tidak lupa kamu," kata perempuan muda itu lirih.Namanya adalah Aluna.Putri dari percabangan waktu yang seharusnya tidak pernah eksis. Anak dari kemungkinan yang dibatalkan, lahir di ruang yang bukan dunia, dibesarkan oleh gema dan bayang-bayang. Ia adalah produk dari Peristiwa Ketiga—peristiwa
Jam dinding di Warung Kopi Dunia Bawah berdetak mundur selama tujuh malam berturut-turut. Waktu bukan lagi sesuatu yang bisa mereka andalkan. Bahkan siang hari pun kini tak datang secara konsisten. Kadang matahari menggantung lama di atas horizon seperti enggan tenggelam, kadang tiba-tiba gelap turun tanpa transisi.Anak kecil bermata biru itu—yang sekarang mereka panggil Si Kunci—tidak banyak bicara, hanya duduk di pojok, matanya tak pernah lepas dari cermin ritual. Ia menggambar dengan sendok kopi di atas meja, bentuk-bentuk yang berubah menjadi peta, lalu menjadi wajah-wajah yang pernah atau belum pernah mereka kenal.Sima paling terganggu dengan semua ini. Ia merasa dirinya mulai pecah jadi dua. Dalam mimpi, ia melihat dirinya sendiri, tapi dari sudut yang berbeda. Dari atas, dari dalam cermin, bahkan dari bawah lantai. Dan kadang, ia merasa bukan dirinya yang mengendalikan tubuh."Aku bangun pagi ini dan sudah bikin tiga gelas kopi tanpa sadar," keluh Sima. "Tanganku bergerak sen
Suasana Warung Kopi Dunia Bawah kembali ke keseharian yang penuh keanehan teratur. Tapi mereka semua tahu: kedamaian ini rapuh. Seperti genangan kopi yang tampak tenang di permukaan, namun menyimpan pusaran di bawahnya. Jam dinding kini berdetak dengan tenang, menyatu dengan suara cangkir dan sendok yang beradu pelan.Dimas menyapu lantai depan warung pagi itu, mencoba membiasakan diri dengan tubuh yang mulai terasa menua. Rambut di pelipisnya sudah hampir sepenuhnya memutih, tapi sorot matanya tetap tajam. Karina duduk di meja dekat jendela, membuka halaman baru jurnal warung. Kali ini, ia menulis bukan hanya dengan kata-kata, tapi juga dengan simbol aneh yang muncul dari mimpinya semalam. Simbol yang jika dipahami, bisa membuka peta tersembunyi di antara dimensi.Rani dan Sima sedang menata ulang susunan rempah dan lilin di rak tengah. Mereka menyadari, sejak tanda tangan kontrak dengan Sang Auditor, aura warung berubah. Bukan lagi sekadar ruang batas dimensi. Tapi sekarang, ia menj
Langit Kota Surya kembali mendung di atas Warung Kopi Dunia Bawah. Tapi malam ini tidak seperti malam lainnya. Ada tekanan di udara, seolah waktu sendiri menahan napas. Jam dinding yang baru terbentuk kembali berdetak lembut, tapi suara itu seperti denyut nadi makhluk hidup yang tidak sepenuhnya damai.Karina duduk di kursi sudut, mencatat pengamatan di jurnal warung yang mulai penuh. Sejak jam pecah dan terbentuk ulang malam sebelumnya, waktu di dalam warung menunjukkan perilaku yang aneh. Tamu-tamu datang tanpa disadari, lalu menghilang tanpa jejak. Secangkir kopi bisa mendingin dalam lima detik, tapi air rebusan bisa tetap mendidih selama lima jam.Dimas berdiri di depan rak rempah, mengurutkan toples demi toples berdasarkan getaran aura mereka. Rambutnya mulai memutih di bagian pelipis. Waktu menyentuhnya lebih cepat dari yang lain. Tapi ia tidak peduli. Sejak melihat versi tuanya sendiri muncul dari portal Omega, ia sadar: nasibnya bukan untuk dihindari, tapi untuk diubah."Kita
Warung Kopi Dunia Bawah kembali sunyi setelah kejadian jam dinding. Tapi keheningan itu tidak lama. Sebab waktu, seperti kopi yang terus diseduh, tak pernah benar-benar selesai. Masih ada sisa-sisa yang mengendap di dasar cangkir. Dan malam itu, endapan itu kembali menguar.Langit malam di atas Kota Surya mendung, tapi tak menurunkan hujan. Awan menggantung berat, seolah menanti sesuatu. Di dalam warung, Sima, Rani, dan Karina duduk berdampingan, memandangi meja tengah yang kini bersih dari segala jimat pelindung. Mereka tahu, malam ini belum akhir.Dimas berdiri di dapur, membuat kopi sambil mengawasi cermin kecil di rak bumbu. Cermin itu—dulu milik seorang pelanggan dari dimensi cermin—memantulkan bukan dapur, tapi lorong lain. Sesuatu mulai mendekat dari dalam bayangannya."Jam dinding kita sudah disetel ulang. Tapi itu cuma satu bagian dari mesin waktu ini," ujar Rani perlahan. "Aku bisa rasakan... getaran dimensi lain mulai menyusup lagi."Sima mengangguk, menyesap kopinya. "Dan
Warung Kopi Dunia Bawah kembali tenang. Atau setidaknya, itu yang terlihat di permukaan. Tapi di bawah kesunyian itu, sesuatu berdenyut. Seperti bisikan kecil di sela waktu. Seperti langkah samar yang menghindari perhatian. Sesuatu yang belum selesai.Karina berdiri di depan jendela, memandangi hujan yang mulai turun deras. Di tangannya, foto Sima dan Rani yang tadi ditemukan di atas meja kini tersimpan dalam bingkai kayu tua, seolah sudah ada di sana sejak lama. Dimas duduk di bangku bar, memainkan cangkir kosong sambil sesekali menatap jam dinding tua yang menggantung di tengah ruangan.Jam itu tidak pernah berhenti berdetak. Tapi malam itu, detaknya terdengar berbeda. Seperti... menangis."Lo denger nggak, Kar?" tanya Dimas tanpa menoleh.Karina menengok. "Denger apaan?""Jam dinding. Kayak... ada suara isakan. Dari dalam mesinnya."Toyo yang tengah menyapu lantai pun menghentikan gerakannya. Ia menajamkan telinga. "Gue kira cuma perasaan. Tapi dari tadi jam itu bunyinya aneh, bro.