Pagi itu langit Jakarta mendung seperti biasa, tapi hawa di gang kecil tempat WarKoDuBa berdiri terasa ganjil. Kabut tidak turun dari awan, melainkan seolah merembes dari bawah tanah. Karina melayang rendah, rambutnya mengepul pelan seperti ditiup angin dunia lain.
“Mas Dimas, ini kabut beda,” kata Toyo sambil menyalakan dupa. “Beda gimana?” Dimas, yang tengah menggiling biji kopi dari daerah pengasingan arwah, menatap jendela. “Ini kabut... ada rasa asemnya.” Randi mendadak terbatuk keras. “Gue kayak baru nyium mantan yang udah move on. Perih tapi aromatik.” Tak lama, dari ujung gang terdengar bunyi aneh—campuran sirine pemadam dan gamelan. Pintu warung berderit terbuka sendiri. Angin masuk, membawa gulungan kertas yang mengapung lalu mendarat di tengah meja bar. Dimas mengambilnya. Di dalamnya tertulis dengan tinta merah: > "Pengumuman Inspeksi Rasa. Oleh Menteri Urusan Keresahan Arwah. Hari ini. Sekarang juga. Bersiaplah.” --- Belum sempat mereka bersiap, iring-iringan makhluk gaib memasuki warung. Ada yang berbentuk kabut, ada yang berwujud kakek tua dengan tubuh terbuat dari kertas, dan ada yang seperti pegawai dinas pajak berseragam tapi tak punya wajah. Di tengah mereka, datang seorang pria tinggi berbaju jas hijau tua, dasinya berbentuk akar hidup yang sesekali bergerak sendiri. Rambutnya terurai seperti asap dupa, dan matanya... penuh angka statistik rasa. “Selamat pagi. Saya Menteri Urusan Keresahan Arwah,” ujarnya dengan suara bergema dari tiga arah. Karina langsung berdiri. “Menteri yang waktu itu bikin aturan tentang kopi rasa trauma, ya?” “Iya. Dan saya datang untuk memverifikasi izin operasional warung ini. Laporan terakhir menyatakan bahwa WarKoDuBa telah menghasilkan gelombang rasa yang terlalu liar dan tak terkontrol.” Toyo meneguk ludah. “Liar? Padahal aku baru bikin kopi susu semalam.” Randi menambahkan, “Tapi emang sih, ada hantu yang nangis gara-gara kopi seduhanku kemarin. Dia bilang rasanya kayak ditolak dua kali tapi tetap pengen ngajak balikan.” --- Menteri melirik Randi. “Itulah masalahnya. Kopi yang kalian seduh terlalu jujur. Kami khawatir, tempat ini sudah menjadi semacam stasiun emosi tak berizin.” Para petugas segera bekerja. Mereka memeriksa semua meja dengan alat pendeteksi trauma. Satu alat berbentuk terompet tiba-tiba menjerit saat diarahkan ke kursi nomor empat. “Masih ada jejak rasa gagal menikah di sini,” lapor petugas. “Itu peninggalan pelanggan minggu lalu,” sahut Toyo. “Sudah kami sumbangkan ke Lembaga Pengarsipan Penyesalan.” Sementara itu, dua petugas lain menyalakan ‘scanner rasa palsu’. Lampu-lampu menyala, berkedip, lalu... mati. “Unik,” gumam petugas. “Tidak terdeteksi sebagai rasa palsu, tapi juga tidak bisa didefinisikan.” “Itulah WarKoDuBa,” Dimas angkat bicara. “Kami tidak membuat rasa. Kami hanya menyeduh apa yang sudah ada di hati pengunjung.” --- Menteri mengangguk pelan. “Kalau begitu, saya minta satu kopi. Yang biasa kalian sajikan. Tapi jujur.” Dimas terdiam. Ia menyadari bahwa ini bukan sekadar penyeduhan. Ini ujian. Ia membuka lemari kecil di bawah meja bar. Mengambil segenggam biji kopi dari Kalimantan, hasil fermentasi selama tujuh tahun di gua gaib. Ia menambahkan satu tetes esensi kenangan yang tersimpan di botol kecil berlabel “Rasa Pertama yang Tidak Sempat Diucapkan”. Sambil menyeduh, ia bicara pelan. “Saya tidak tahu apa yang akan dirasakan Menteri. Tapi ini... kopi untuk orang yang pernah takut menjadi dirinya sendiri.” Cangkir disodorkan. Menteri menerimanya, mencium aromanya, lalu meneguk perlahan. --- Seketika suasana berubah. Ruangan menjadi senyap. Wajah Menteri memucat, matanya berkaca-kaca. Ia menggenggam cangkir itu seperti memeluk masa lalu. “Rasa ini... seperti surat yang tidak pernah sampai,” gumamnya. “Saya pernah menyukai seseorang. Tapi saya tidak berani bicara. Saya... hanya mencatatnya. Di dalam laporan. Dan akhirnya... ia pergi ke dunia atas.” Karina melayang mendekat. “Rasa takut untuk dicintai adalah rasa yang paling sering ditinggal.” Menteri meletakkan cangkir. “Tempat ini... berbahaya. Tapi juga perlu.” --- Petugas-petugas mendekat. Menunggu keputusan. “Saya... tidak akan menutup WarKoDuBa,” kata Menteri akhirnya. “Tapi saya beri satu syarat. Tempat ini harus tetap menjadi warung. Bukan tempat wisata. Bukan tempat konten. Dan tidak boleh menjual rasa untuk keuntungan.” Dimas mengangguk. “Kami tak pernah menjual rasa. Kami hanya mengembalikan yang hilang.” Menteri berdiri. Dari saku jasnya, ia mengeluarkan sebuah papan nama kuno. Ia menyerahkannya pada Dimas. Tulisan di papan itu: > “Tempat Terdaftar: Penyeduh Rasa Lintas Alam – WarKoDuBa. Bekerja Sama dengan Kementerian Keresahan dan Lembaga Pengembalian Kenangan.” --- Setelah mereka pergi, warung kembali hening. Tapi rasa di dalam ruangan... terasa hangat. “Mas Dimas,” bisik Toyo, “Kita aman ya?” “Untuk sekarang.” Karina menyeringai. “Sampai ada hantu yang minta diskon.” Randi menghela napas. “Tapi serius... kopi lo tadi, Mas. Rasanya kayak... tahu diri tapi nggak bisa berhenti berharap.” Dimas tertawa kecil. “Mungkin itulah yang disebut... seduhan yang jujur.” --- Papan nama baru dipasang di dinding, tepat di atas rak kopi. Sejak hari itu, WarKoDuBa dikenal bukan cuma sebagai tempat nongkrong arwah dan makhluk dunia lain, tapi juga sebagai satu-satunya warung yang bisa membuat Menteri menangis tanpa disuruh.Udara di balik pintu itu seperti menyambut mereka dengan tamparan dingin yang menusuk kulit. Cahaya abu-abu menyebar ke segala arah, tapi anehnya, tidak ada matahari, tidak ada bulan—hanya langit kelabu yang berdenyut pelan seperti napas makhluk raksasa.Toyo melangkah pertama, matanya menyapu dataran yang membentang. “Tempat ini…” suaranya serak, “kayak dunia yang pernah kita lihat lewat kursi, tapi lebih… hidup.”Karina memandangi tanah di bawah kaki mereka. Lapisan debu tipis menutupi permukaan, dan setiap langkah membuatnya beterbangan, berputar seperti kabut kecil. “Hidup? Toy… dunia ini nggak kelihatan hidup. Ini kayak… kuburan raksasa.”“Bukan,” Dimas membetulkan. “Tempat ini bernafas. Bumi di sini bukan tanah mati. Dia… memantau kita.”Rani merapatkan jaketnya, memandang sekeliling. Tak ada pepohonan, tak ada batu besar, hanya hamparan luas dengan gundukan-gundukan aneh yang bentuknya seperti tubuh-tubuh raksasa yang tidur. Beberapa bergetar halus, seperti otot yang berkedut d
Jam dinding di Warung Kopi Dunia Bawah kembali berdetak normal.Tik… tok… tik… tok… seolah waktu sudah kembali pada jalurnya.Namun, di antara aroma kopi hangat dan cahaya lampu kuning yang temaram, ada sesuatu yang tetap menggantung—seperti bayangan yang belum selesai bercerita.Karina duduk menunduk, jari-jarinya mengelus bibir cangkir hitam yang kini kosong.“Kalau dipikir-pikir…” suaranya nyaris hanya gumaman, “kita tadi keluar dari dunia mereka, tapi nggak ada jaminan mereka nggak bisa masuk lagi.”Toyo menjatuhkan diri ke kursi, memijat lehernya. “Dan kalau mereka punya akses… berarti kursi itu masih jadi jembatan.”Dimas mengangguk pelan. “Kursi itu bukan cuma jembatan, Toy. Dia itu sinyal. Kayak mercusuar. Setiap kali kita duduk, setiap kali kita menatapnya… mungkin mereka bisa ngelihat kita dari sana.”Rani menatap kursi itu lama. “Jadi… selama kursi ini ada, kita nggak pernah benar-benar aman.”Sima meletakkan sebuah palu besi di meja. “Kalau gitu, kita hancurin aja. Biar ku
Suara detakan jam dinding yang kembali hidup terasa lebih seperti ancaman daripada tanda waktu normal.Tiap tik dan tok menyerupai hentakan sepatu yang perlahan-lahan mendekat dari lorong panjang yang tak terlihat.Udara di Warung Kopi Dunia Bawah seolah tertahan di antara dua napas.Karina menyandarkan tubuhnya pada meja, kedua tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin.“Dia belum pergi,” ucapnya lirih, matanya tak lepas dari kursi seberang cangkir hitam.“Kalau memang belum pergi, kenapa cuma meninggalkan bekas duduk? Kenapa nggak nunjukkin wujud?” tanya Toyo, suaranya setengah kesal, setengah cemas.Dimas duduk bersandar di dinding, menatap kosong ke arah sudut warung. “Mungkin wujudnya nggak bisa kita lihat… kecuali kita ada di waktunya dia.”“Waktunya dia?” Rani mengangkat alis.Dimas mengangguk. “Kita ini… hidup di lapisan waktu yang berbeda dari dia. Dia bisa menyentuh kita, memindahkan barang-barang, tapi kita nggak bisa langsung melihatnya kecuali masuk ke lapisan wak
Fajar berikutnya datang seperti napas yang enggan. Langit memang berganti terang, tapi di Warung Kopi Dunia Bawah, cahaya pagi tidak pernah sepenuhnya masuk. Seolah di pintu warung ada tangan tak terlihat yang menyaring semua sinar, membiarkan hanya yang pucat dan tak bernyawa.Cangkir hitam itu kini berada di kursi sudut, bukan di meja bundar. Tidak ada yang memindahkannya. Atau setidaknya, tidak ada yang mengaku melakukannya.Karina duduk di bangku dekat jendela, memandangi kursi sudut itu dengan perasaan campur antara curiga dan terhisap.“Aku merasa,” ucapnya, “cangkir itu sedang menunggu seseorang duduk di depannya.”“Jangan-jangan… sudah ada yang duduk,” sahut Toyo pelan, sambil melirik kursi seberang cangkir yang kosong—kosong secara mata, tapi tidak secara udara.Waktu di warung hari itu terasa tersendat. Jam dinding tua yang biasanya tetap berdetak meski jarumnya beku, kini sama sekali tak mengeluarkan suara. Gelas-gelas kopi di rak seperti kehilangan pantulan, seakan isi rua
Fajar kelima sejak cangkir retak ditinggalkan oleh sosok kabut itu datang tanpa warna. Langit di luar warung tidak merah, tidak biru, bahkan tidak kelabu—hanya datar, seperti selembar kain putih yang menutupi panggung sebelum pertunjukan dimulai. Di dalam Warung Kopi Dunia Bawah, semua orang terjaga, meskipun belum ada yang memesan kopi atau membuka mulut. Cangkir retak itu diletakkan di tengah meja bundar, menghadap ke semua arah seakan sedang mengawasi. Karina memandanginya lama. "Dia tidak hilang," katanya akhirnya. "Dia meninggalkan bagian dari dirinya di sini. Retakan itu... mungkin peta." "Peta ke mana?" tanya Rani. "Ke bagian dari kita yang ingin dia ganti," jawab Aluna, suaranya datar seperti lantai kayu warung yang sudah tak menyalakan gema sejak pertemuan kemarin. Mereka memutuskan untuk memeriksa cangkir itu lebih dekat. Toyo, yang selama ini paling paham tentang bahasa benda mati, mengangkatnya dengan hati-hati. Retakannya membentuk garis berkelok yang tidak aca
Warung Kopi Dunia Bawah telah kembali membuka pintunya, bukan dengan dentang lonceng atau papan "buka" yang menyala terang, tetapi dengan aroma yang menggamit dan suara-suara samar yang hanya bisa didengar oleh mereka yang kehilangan arah. Langit di atasnya tetap menggantung sebagai halaman kosong, menunggu untuk diisi.Tak ada musim di warung itu. Waktu berjalan dengan cara yang tidak bisa dihitung. Pagi dan malam datang seperti tamu tak diundang, kadang bersama, kadang saling menunggu. Tapi bagi Karina dan kawan-kawan, kedai itu sudah tak lagi beroperasi dalam kerangka waktu biasa. Ia menjadi tempat lintasan: bagi yang tersesat, yang menunggu, dan yang belum lahir dalam kenangan.Pagi hari itu, seorang tamu baru datang. Ia tidak membuka pintu. Tidak melangkah. Ia seperti muncul begitu saja di kursi dekat jendela, tempat cahaya biasanya enggan menyentuh.Rani yang melihatnya lebih dulu. Wajahnya bukan wajah asing, tapi juga tak dikenal. Seperti wajah dari mimpi yang pernah dilupakan.