Home / Horor / Warung Kopi Dunia Bawah / Bab 7: Randi vs Pengunjung dari Dunia Lain

Share

Bab 7: Randi vs Pengunjung dari Dunia Lain

Author: D.Arluna
last update Last Updated: 2025-06-14 20:58:53

Pagi itu WarKoDuBa diselimuti kabut tipis. Tapi bukan kabut biasa. Ini kabut yang kalau disentuh, rasanya seperti kapas... tapi berbisik. Toyo sampai tiga kali bilang, “Mas, ini kabut kayak ngasih kode Morse.”

Di dalam, Dimas tengah menyeduh kopi dengan telaten. Karina duduk melayang sambil membaca buku puisi yang meneteskan air mata sendiri. Randi? Ia berdiri di depan meja, dengan ekspresi muram yang tak biasa.

“Gue… viral,” kata Randi lirih.

“Bukannya itu yang kamu mau?” sahut Dimas tanpa menoleh.

“Viral di dunia lain, Mas.”

“Wah keren dong,” timpal Toyo.

“Enggak, Yo. Ngeri. Nih liat!”

Randi menunjukkan laptopnya. Di layar, ada akun sosial media dengan username aneh: @NebulaNgopi. Isinya adalah video Randi saat meracik kopi sambil nyanyi dangdut, tapi diedit dengan efek ala galaksi, dan caption dalam bahasa yang tidak dikenali.

“Gue nggak pernah upload video ini. Tapi yang nonton udah dua juta… dan komentar-komentarnya…”

Dimas membaca salah satu komentar:

> “Kandidat sempurna untuk reality show rasa antar dimensi. Segera jemput.”

Karina mendekat. Wajahnya tegang.

“Randi, kamu sudah ditandai.”

---

Tengah malam. Angin berputar di dalam warung. Lampu berkedip. Dan dari pojok ruangan, muncul sebuah portal berbentuk seperti kulkas 2 pintu. Dari dalamnya keluar… tiga makhluk aneh.

Satu bertubuh transparan seperti jelly. Satu berwajah banyak, satu wajah tertawa, satu menangis, satu melongo. Yang terakhir berbentuk... tripod berkaki tiga.

“Salam dari agensi konten multirealita,” kata makhluk jelly. “Kami ingin mengajak Randi bergabung dalam acara unggulan kami: The Sip! — kontes rasa paling menegangkan di 19 semesta.”

“Kontes rasa?” tanya Dimas waspada.

“Ya. Peserta harus menyeduh perasaan yang belum pernah ada. Dan Randi... dinilai punya potensi menyeduh absurditas emosional tingkat tinggi.”

“Wah keren dong, Ran!” seru Toyo.

“Gue belum bilang iya,” balas Randi.

---

Makhluk wajah banyak maju.

“Kami sudah menyeduh versi bayanganmu. Dia bisa menggantikanmu jika kamu menolak.”

Seketika, muncul Randi palsu dari bayangan. Sama persis, hanya saja... mulutnya dua.

“Gue… nggak siap mental,” ujar Randi pelan.

Dimas berdiri. “Kalau kalian bawa peserta, bawa juga rasa. Di warung ini, rasa yang tidak jujur tidak akan diseduh.”

Makhluk tripod bergerak maju. Dari punggungnya keluar piring saji melayang, berisi gelas transparan yang berisi kabut rasa. Mereka menantang Randi: buat seduhan yang bisa mengalahkan ‘Rasa Tanpa Asal’ milik mereka.

---

Randi menelan ludah. “Mas, aku harus bikin kopi... yang bisa ngalahin rasa yang bahkan nggak punya asal?”

Dimas mengangguk. “Pakai hatimu. Tapi juga pakai logikamu. Rasa itu bukan cuma soal pahit dan manis. Tapi tentang ‘apa yang ditinggalkan setelah tegukan terakhir’.”

Randi memejamkan mata. Ia mengambil cangkir dari rak yang sudah retak. Ia memilih biji kopi dari stoples tua yang dulu diberi oleh pengunjung pertama WarKoDuBa. Ia menyeduh perlahan, menetes, menanti.

Setelah itu, ia menambahkan satu bahan terakhir: air mata Karina yang diam-diam menetes ke meja. Karina kaget, tapi tak protes.

“Ini... ‘Kopi Kangen’. Untuk rasa yang nggak sempat disampaikan, tapi tetap bertahan meski tak dibalas,” kata Randi.

Makhluk-makhluk itu mencicipi. Perlahan. Gelas demi gelas. Wajah mereka... berubah. Wajah yang semula datar, mulai berkedut. Salah satu dari mereka menangis.

“Kami… tidak pernah tahu... rasa ini. Kami mengira kami kuat. Tapi ternyata... kami cuma numpang lewat di rasa orang lain.”

---

Portal terbuka kembali. Randi bayangan memudar. Makhluk tripod menunduk dan berkata:

“Kami mundur. Tapi tawaran ini… tetap terbuka. Jika suatu saat kamu ingin pergi dari dunia ini... ingat kami.”

Mereka menghilang.

---

Setelah semuanya tenang, Dimas menepuk bahu Randi.

“Kamu sudah menyeduh lebih dari kopi. Kamu menyeduh keberanian.”

Karina tersenyum. “Dan sedikit rasa rindu.”

Toyo mengangguk pelan. “Gue bangga, Ran. Tapi kalau next time disuruh ikut kontes interdimensi... tolak aja dari awal ya. Gue deg-degan.”

---

Di papan menu hari itu, ditulis dengan kapur putih:

“Kopi Kangen — untuk rasa yang terlalu diam.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 51 - Penyesalan Sang Iblis Tua

    Hujan deras mengguyur Kota Bawah malam itu. Petir menyambar langit dengan kemarahan yang nyaris sepadan dengan suasana hati Dimas di dalam warung. Ia duduk sendirian di bangku panjang, menatap gelas kopi hitam yang uapnya menari seperti kenangan buruk. Warung tampak sepi. Toyo sedang membereskan botol-botol sirup di rak, sementara Karina termenung di pojok dinding, sesekali melirik ke arah tangga yang mengarah ke lantai bawah."Sudah dua hari dia nggak balik-balik," gumam Karina pelan, nyaris seperti bisikan yang hanya bisa didengar oleh dinding.Dimas mengangguk pelan. Yang dimaksud Karina adalah Randi, karyawan konten warung kopi yang sejak pertengkaran hebat dengan Dimas memilih untuk pergi dari warung dan menghilang entah ke mana. Tak ada kabar, tak ada pesan. Hanya aroma kepergian dan luka yang tertinggal."Kalau dia marah karena aku, harusnya dia bilang langsung. Bukan pergi kayak gitu," ucap Dimas dengan nada lelah.Toyo mendekat, membawa nampan berisi camilan bakwan dan tahu i

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 50 – Pertemuan yang Tak Pernah Dijanjikan

    Warung Kopi Dunia Bawah malam itu lebih sunyi dari biasanya. Tak ada pengunjung dari dunia arwah, tak ada penguasa kegelapan yang datang memesan espresso, dan tak ada percikan api gaib dari teko Toyo yang biasanya ceroboh. Bahkan suara jangkrik pun terasa malas menembus kabut tipis yang menyelimuti pelataran warung.Dimas duduk termenung di kursi belakang bar, memainkan gelas kosong yang sudah sejak tadi tak terisi apa-apa. Di sebelahnya, Toyo tergeletak di atas karung goni, setengah tertidur, setengah melamun sambil memandangi langit-langit yang berjamur.“Sejak kemarin suasananya beda, Mas,” gumam Toyo sambil menguap.“Bukan cuma kemarin. Sejak kejadian si Ratu Api itu pergi dari warung ini, semua terasa hampa,” balas Dimas. “Bahkan suara ketel air pun nggak mau mendesis.”“Jangan-jangan… warung kita lagi dikutuk?” bisik Toyo, setengah serius, setengah takut-takut.“Bukan dikutuk,” tiba-tiba suara lembut nan berat terdengar dari ambang pintu. “Ini fase penantian.”Dimas dan Toyo lan

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 49 - “Satu Cangkir Terakhir Sebelum Petaka”

    Hening. Suara ketel mendesis di dapur belakang warung, namun tidak satu pun dari mereka yang memperhatikan. Dimas, Toyo, Karina, dan Randi berdiri di ruang tengah warung kopi dengan tatapan serius. Meja-meja kosong. Bangku tak bergerak. Warung itu untuk pertama kalinya sejak dibuka, terasa… sunyi.“Ini aneh,” gumam Karina sambil memandang ke luar jendela. “Biasanya jam segini udah rame. Dari dunia hantu, dari dunia paralel, dari dimensi absurd mana pun… selalu ada pelanggan.”Dimas mengangguk, pelan. Ia melirik jam dinding. Sudah lewat tengah malam. Waktu puncak kunjungan. Tapi pintu depan tak berderak, lonceng kecil di atasnya tak berdenting. Dunia bawah… seolah menahan napas.Randi yang dari tadi sibuk menulis di buku catatannya mengangkat kepala. “Ada sesuatu yang salah. Aku bisa merasakannya. Energinya berubah. Warung ini terasa... dijaga. Atau malah... dikepung?”Toyo langsung melirik ke jendela. “Jangan-jangan... dunia atas tahu tentang kita?”“Bukan dunia atas,” sela Karina, wa

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 48 – Penawaran dari Bangsa Pengembara Dimensi

    Malam itu langit Kota Antara tampak tak biasa. Bintang-bintang seperti membentuk pola aneh—simetris, berkelap-kelip dengan irama tertentu, seolah ada sesuatu yang datang dari kejauhan. Di dalam Warung Kopi Dunia Bawah, suasana justru hening. Toyo sedang membersihkan mesin espresso sambil menguap, Randi sibuk di sudut ruangan dengan laptopnya, dan Karina… entah menghilang ke mana sejak sore tadi.Dimas memandang keluar jendela, matanya tajam mengikuti pola langit. Ia sudah mencium kejanggalan sejak pagi, ketika mesin pemesan dari dimensi ke-79 secara acak mencetak permintaan kopi dari dimensi ke-1—dimensi asal mula waktu.“Dimas,” suara berat tiba-tiba muncul dari pintu warung yang masih setengah terbuka.Toyo langsung terkejut dan menjatuhkan lap di tangannya. Randi menoleh cepat.Sosok yang berdiri di ambang pintu bukan sembarang makhluk. Ia tinggi, mengenakan jubah berkilauan seperti terbuat dari serpihan kaca langit. Wajahnya tersembunyi di balik topeng perak dengan ukiran bintang.

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 47: Takdir Para Penghuni dan Secangkir Kehilangan

    Hujan deras masih mengguyur pelataran Warung Kopi Dunia Bawah. Suaranya seperti genderang perang yang tak kunjung usai, mengetuk-ngetuk atap warung dan mengguyah tirai waktu. Di dalam, suasana warung tampak lebih sunyi dari biasanya. Karina duduk sendiri di pojok jendela, matanya menatap tetesan air yang berkejaran di balik kaca. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, sebagian menutupi wajah yang kelihatan letih."Randi... belum pulang dari tadi sore," gumamnya pelan.Toyo yang sedang menyapu lantai, berhenti sejenak. "Masih di dunia atas, katanya. Ada kerjaan terakhir dari klien konten. Tapi katanya mau mampir malam ini."Karina mengangguk, meskipun pikirannya mengembara ke tempat lain. Sejak Randi pergi, ada sesuatu yang menggantung di udara. Bukan hanya kekhawatiran, tapi juga semacam firasat. Entah kenapa.Dimas muncul dari dapur dengan nampan berisi tiga cangkir kopi. Salah satunya dia letakkan di meja Karina. "Kopi hitam, tanpa gula. Biar bis

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 46 - "Sumpah yang Terpecah"

    Dimas berdiri diam di depan etalase kaca warung kopi yang retak separuh. Matahari pagi menembus kabut tipis dunia bawah, menyinari genangan-genangan kecil dari sisa semalam yang ganjil. Toyo berdiri di belakangnya, sambil menggenggam teko kopi yang tak lagi mengepul."Mas... kamu yakin kita masih bisa buka hari ini?" tanya Toyo dengan suara pelan.Dimas tak menjawab segera. Matanya masih tertuju pada retakan kaca yang seolah menggambarkan kondisi pikirannya saat ini: rapuh, penuh cabang, dan mengarah ke mana-mana."Buka... atau tidak buka... itu urusan kecil sekarang," jawab Dimas akhirnya, suaranya serak. "Yang penting, kita masih di sini. Kita belum mati."Toyo menelan ludah, ragu. Ia menatap kursi-kursi yang tersisa, beberapa masih terbalik, satu ada yang patah. Karina muncul dari balik tirai dapur, wajahnya pucat, rambut hantu yang biasanya acak-acakan kini digelung rapi."Tamu-tamu dari Departemen Dimensi belum pergi, Mas. Mereka mas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status