Home / Horor / Warung Kopi Dunia Bawah / Bab 9: Pelanggan Tidur 100 Tahun Bangun di WarKoDuBa

Share

Bab 9: Pelanggan Tidur 100 Tahun Bangun di WarKoDuBa

Author: D.Arluna
last update Last Updated: 2025-06-14 21:49:32

Hujan tipis membasahi atap seng WarKoDuBa malam itu. Angin meniupkan aroma kopi, dupa, dan sedikit kesepian. Karina melayang sambil mengelap cermin tua yang tak pernah memantulkan bayangan, sementara Randi sedang menyusun playlist musik untuk suasana ‘setengah horor, setengah galau’.

Toyo berdiri dengan sapu di tangan, tapi justru memeluknya seperti gitar.

“Mas Dimas, kok hari ini sepi, ya?”

“Tenang, Yo,” ujar Dimas dari balik mesin espresso. “Kadang rasa butuh waktu untuk sampai.”

Baru saja Dimas bicara, terdengar suara ‘duk’ keras dari lantai warung. Semua terdiam. Lalu lantai kayu bagian belakang perlahan terbuka sendiri... dan dari sana muncul seorang pria.

Ia tampak kusam, janggut gondrong, rambut acak-acakan, baju lusuh seperti dari zaman Hindia Belanda. Ia membuka mata perlahan dan berbisik:

“...Sudah merdeka?”

---

Mereka semua mendekat perlahan.

“Mas... Mas sehat?” tanya Toyo pelan.

“Aku... siapa?” jawab pria itu sambil berdiri kaku. “Terakhir aku ingat... aku mimpi minum kopi, lalu tertidur di kedai ini.”

Karina menatap Dimas. “Dia... bangun dari kutukan tidur panjang?”

Randi langsung mengeluarkan HP. “Konten banget ini. Pria tertidur 100 tahun bangun di WarKoDuBa. Wah gila.”

Dimas menggeleng. “Jangan dulu. Kita harus tahu dulu siapa dia.”

---

Pria itu duduk di kursi. Tatapannya kosong, tapi perlahan penuh tanya. Dimas menyeduh secangkir kopi ringan, diberi sedikit gula dan setetes sari ‘penyesuaian zaman’ dari botol rahasia.

“Ini... kopi selamat datang kembali,” kata Dimas.

Pria itu mencicipi. Matanya langsung berkaca-kaca. “Ini... rasa rumah. Rasa waktu... sebelum segalanya berubah.”

Toyo duduk di sampingnya. “Mas, boleh tahu nama sampean?”

“Aku... Parto. Terakhir aku ke sini tahun... 1923. Aku tukang ketik. Sering nulis puisi sambil ngopi di pojokan.”

Karina melayang mendekat. “Kamu korban kopi terkutuk?”

Dimas mengangguk. “Waktu itu memang ada legenda soal biji kopi yang bikin orang tertidur seratus tahun kalau diminum tanpa mengikhlaskan masa lalu.”

---

Randi menyodorkan tablet. “Mas, coba lihat ini. Ini Jakarta sekarang.”

Parto menatap layar. Wajahnya tegang. “Apa ini... sihir?”

“Bukan. Ini... gawai.”

“Gawé?”

“Teknologi, Mas. Dunia sekarang serba digital.”

Parto geleng-geleng kepala. “Terakhir aku lihat bioskop masih pakai layar putih dan piano pengiring. Sekarang... manusia bicara dengan kotak ajaib.”

---

Malam makin larut. Dimas membuatkan kopi kedua, kali ini ‘Kopi Terkini’ — minuman khusus yang membantu penyesuaian waktu dan ingatan.

Parto meminumnya perlahan. “Aku belum siap menerima semua ini. Semua orang yang kukenal... pasti sudah tiada.”

Karina duduk di hadapannya. “Tidak semua. Rasa kehilangan itu tetap tinggal. Dan di sinilah tempatnya.”

Dimas berkata pelan, “Kami bisa bantu kamu... untuk memahami duniamu yang sekarang.”

---

Mereka membuat sesi ‘Kelas Penyesuaian Abad’. Randi menjelaskan soal internet, media sosial, dan meme.

“Jadi... kalian saling kirim gambar aneh untuk mengekspresikan perasaan?”

“Ya, dan kadang lebih efektif daripada puisi,” jawab Randi bangga.

Karina mengajarinya soal transportasi modern. Toyo menunjukkan TikTok, membuat Parto muntah karena pusing.

“Dunia ini... terlalu cepat,” keluh Parto. “Dulu, seduh kopi saja bisa sambil menulis surat cinta tiga halaman. Sekarang semua terburu-buru.”

---

Malam itu, mereka duduk melingkar. Parto memandangi lampu neon yang berkedip. Ia mulai menulis lagi di atas kertas bekas struk.

“Rasa... ternyata tidak berubah. Hanya cara menampilkannya yang berganti.”

“Benar, Mas,” sahut Dimas. “WarKoDuBa ini bukan cuma warung. Ini tempat di mana rasa diseduh ulang.”

Parto tersenyum. “Kalau begitu... bolehkah aku tinggal sebentar? Aku ingin... menyelesaikan puisiku yang tertunda seratus tahun.”

“Meja pojok masih kosong, Mas,” kata Toyo.

---

Dari hari itu, Parto menjadi ‘penghuni tetap sementara’ WarKoDuBa. Ia menulis, membaca, dan sesekali melamun panjang. Ia mulai tertawa pelan saat melihat meme, dan mencicipi kopi susu modern dengan boba.

“Boba ini... seperti kenangan mantan. Manis di awal, tapi nyangkut di tenggorokan,” komentarnya.

Karina hanya terkekeh. “Selamat datang di zaman absurd.”

---

Suatu malam, Parto menyerahkan selembar puisi pada Dimas.

> "Kopi tak berubah rasa, hanya cangkirnya yang berganti. Tapi rasa... tetap ingin pulang."

---

WarKoDuBa malam itu penuh tawa, senyum, dan kehangatan yang tidak bisa dibeli. Parto mengangkat cangkirnya.

“Untuk waktu yang tertunda. Tapi tidak terlambat.”

Dan mereka bersulang. Di warung kecil antara dunia, di mana rasa yang tertidur pun akhirnya bisa terbangun kembali.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warung Kopi Dunia Bawah   BAB 65 - KOPI TITIK NOL: PINTU KE RAJA API

    Malam berganti cepat di warung kopi Dunia Bawah. Plakat "Wilayah Netral Dimensi" di dinding kini bersinar lembut, tapi tidak ada yang merasa lebih aman. Justru sebaliknya, ketenangan ini seperti hening sebelum badai. Dimas duduk di bar, menatap biji kopi baru di hadapannya: hitam legam, tapi berkilau seperti kaca obsidian. Biji itu datang pagi tadi, dibungkus dalam amplop kabut dari Angelica. Di atasnya hanya tertulis satu kata:> Titik Nol."Mas, kamu yakin mau seduh itu?" tanya Karina, yang kini nyaris tak punya bayangan lagi saat berdiri di bawah cahaya lampu."Belum sekarang," jawab Dimas. "Tapi ini... semacam kunci. Kayaknya kopi ini bisa buka sesuatu.""Sesuatu... kayak pintu?" sahut Randi sambil menyodok mie goreng ke mulutnya."Iya," jawab Dimas. "Pintu ke Raja Api."Toyo langsung tersedak susu kotak. "Ng... ngapain buka-buka pintu ke Raja Api? Nggak cukup satu Lilit kemarin, Mas? Dia aja udah kayak episode terakhir sinetron azab.""Justru karena itu," kata Karina lirih. "Kala

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 64 - Cangkir Cahaya Melawan Neraka

    Langit-langit warung seolah mendadak dipenuhi kabut hitam kental. Asap mengepul dari cangkir yang baru saja diletakkan Karina di meja. Warnanya bukan cokelat kopi biasa—tapi merah tua seperti darah yang baru ditumpahkan."Apa ini... kopi?" bisik Toyo sambil menahan napas."Ini bukan kopi biasa," jawab Karina pelan. "Ini Cangkir Cahaya... senjata terakhir dari dunia atas."Semua pelanggan diam. Bahkan para makhluk dunia bawah yang biasa gaduh kini menunduk. Mereka tahu apa artinya cangkir itu: deklarasi perang.Dimas menatap Karina dengan sorot bingung. "Kamu yakin ingin melawan?"Karina menoleh. "Bukan ingin, Mas. Harus. Dunia atas sudah terlalu lama diam. Tapi setelah neraka mengincar warung ini... kita tak bisa lagi hanya menyajikan menu dan candaan."Randi menelan ludah. "Oke, tunggu sebentar. Siapa yang mengincar kita, tepatnya?"Saat itulah pintu warung terbuka sendiri, tanpa ada yang menyentuhnya. Angin dingin masuk, dan seorang perempuan bergaun hitam berjalan masuk, langkahnya

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 63: Para Penghidu Neraka

    Warung kopi itu tampak biasa bagi mata manusia. Tapi setelah malam Erebus terbakar dalam gelas kecil kopi Amarah, tempat itu tak pernah sama lagi. Ada bayangan-bayangan aneh di sudut mata. Suara langkah tanpa wujud saat tengah malam. Dan aroma—aroma aneh seperti arang terbakar dan bunga-bunga layu—menyelimuti udara.Dimas menyeduh kopi seperti biasa malam itu. Namun tangannya sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena sadar: sejak Erebus datang, dunia bawah mulai mengarahkan matanya ke warung ini. Aroma kehangatan, aroma perlindungan, dan—lebih penting lagi—aroma kesempatan untuk merusak."Toyo, hari ini ganti mantra pelindung tiap dua jam sekali," kata Dimas sambil mengatur grind setting mesin espresso yang sekarang sudah ditempeli jimat."Dua jam, Mas?" keluh Toyo sambil menggenggam buku mantra. "Kemarin aja gue sampe mimpi disuruh baca mantra sambil nyangrai kopi.""Kalau nggak mau dikunjungi hantu pengupas wajah lagi, ya kerjain. Randi, kamu cek sumur belakang. Pastikan sege

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 62: Kopi Amarah Sang Iblis

    Warung kopi itu malam ini terasa lebih panas dari biasanya. Udara dipenuhi aroma rempah-rempah tajam dan asap dupa yang tebal, membuat Dimas sedikit sesak meski ia sudah terbiasa dengan segala jenis pelanggan eksentrik yang datang.“Gue ngerasa… ada energi jahat di sekitar sini, Mas,” bisik Toyo, yang bahkan tidak sedang nyeruput susu kotaknya seperti biasa. “Bukan jahat kayak tuyul-tuyul iseng itu, tapi… beneran gelap.”Dimas mengangguk, matanya menatap lurus ke kursi pojok yang kini diisi oleh sesosok pria berpakaian serba hitam, mengenakan jas panjang yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Sosok itu tidak minum, tidak bicara, hanya duduk dengan tangan terlipat, menatap kosong ke arah dapur.“Udah duduk dari jam berapa?” tanya Dimas ke Randi yang baru datang dari dapur membawa baki berisi gelas-gelas kopi kosong.“Dari sebelum gua nyampe tadi. Tapi nggak mesen apa-apa. Cuma ngelihatin lo.”Dimas menghela napas, lalu berjalan pelan ke arah sosok pria misterius itu. Ia tersenyum, sika

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 61 – Tatapan Dingin Sang Calon Ratu

    Malam baru saja turun ketika Dimas keluar dari warung sambil menghela napas panjang. Hawa Kota Bawah terasa lebih lembap dari biasanya. Kabut halus mengambang di sekitar jalan-jalan setapak, seolah menyembunyikan sesuatu yang belum sempat diungkap dunia.“Lo nggak takut keluar malam-malam begini?” tanya Toyo, menyusul dari belakang sambil mengunyah keripik lele rasa keju.Dimas melirik temannya, “Gue barusan ditelpon pelanggan baru. Katanya penting. Dia maksa banget buat ketemuan malam ini, di luar warung.”“Siapa?” Toyo mengangkat alis. “Kalo cewek cakep, gue ikut.”“Dia bilang namanya... Reina.”Toyo langsung berhenti mengunyah. “Reina? Nama yang terlalu... megah buat dimensi bawah, ya.”Dimas mengangguk. “Tungguin warung. Gue nggak lama.”Toyo mendengus, tapi tetap melambaikan tangan. “Jangan sampai lo pulang udah jadi kodok, Dim.”Dimas tersenyum tipis, lalu berjalan melewati gang sempit yang hanya diterangi lampu neon redup. Tempat pertemuannya adalah di ujung dermaga kecil yang

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 60: Tamu Tak Terdaftar

    Malam itu, langit di atas Warung Kopi Dunia Bawah tampak lebih pekat dari biasanya. Awan hitam menggantung rendah seperti hendak menyampaikan kabar buruk. Dimas yang sedang membersihkan gelas-gelas kopi di bar, merasakan suasana aneh itu. Bukan karena cuaca, melainkan karena getaran tak biasa yang merambat dari lantai kayu ke telapak kakinya."Toyo, lu ngerasa nggak sih, warung kita kayak... bergetar pelan?" tanya Dimas tanpa menoleh.Toyo yang tengah sibuk mengepel lantai berhenti, berdiri diam, lalu menempelkan telinganya ke lantai."Wah iya, Mas. Kayak ada yang jalan di bawah tanah... atau sesuatu yang gede banget..."Tiba-tiba, lonceng pintu berbunyi. Namun bukan suara khas pintu kayu dibuka, melainkan suara geraman berat—seperti gesekan rantai baja berkarat. Aroma belerang langsung memenuhi ruangan."Kita kedatangan tamu dari neraka nih kayaknya," gumam Randi yang baru turun dari lantai dua sambil membawa kamera. "Cekrek dikit ah, siapa tahu kontennya bisa viral."Dari pintu masu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status